Di hari Minggu yang cerah, Pemuda tampan dengan setelan jas dan rambut klimis, keluar dari mobil Honda CR-V yang di parkir di halaman rumah Adelia, melangkah begitu gagahnya menuju pintu utama. Seorang wanita paruh baya membukan pintu seraya mengulas senyum dan mempersilakan pemuda tersebut untuk masuk dan duduk di ruang tamu."Nak Angga tunggu sebentar, Ibu panggilkan Adelia di kamarnya." "Baik Bu, terima kasih," ucap Angga yang kini duduk dengan wajah yang begitu ceria.Adelia menghampiri Angga yang sedang duduk dengan santai di ruang tamu."Maaf menunggu lama.""Is okay no problem, menunggumu selama apapun aku tidak pernah keberatan." Keduanya keluar dari rumah, Angga meraih tangan Adelia untuk menggandengnya menuju mobil, namun Adelia seakan menghindar dan berpura - pura merogoh ponsel di tasnya, Angga menyadari kalau Adelia seakan menghindari, Angga hanya tersenyum kecut menutupi rasa kecewanya, dan bergegas masuk ke dalam mobil. Di dalam mobil seakan hanya keheningan yang terc
Sekitar pukul sembilan pagi, Adam dan Bagas telah tiba di hotel Arimbi, di sambut penuh rasa hormat oleh General manager dan asisten Manager, mereka mendampingi Bagas dan Adam menuju ruangan yang sudah disiapkan untuk meeting. Rapat yang diikuti perwakilan setiap departemen dari front office, marketing, HRD, accounting, engineering, public relation (PR), sekretaris, fnb, dan kitchen, sudah menunggu di dalam, duduk dengan tertib. Saat Adam dan Bagas memasuki ruang meeting, seluruh pegawai serentak berdiri dan memberi salam.Setelah dua jam membahas evaluasi harian, mingguan, bulanan, baik operasional maupun manajemen hotel, dan perencanaan ulang tahun hotel selesai, Adam dan Bagas meninggalkan ruang meeting terlebih dahulu menuju room yang biasa dipergunakan Bagas beristirahat."Om saya ingin istirahat sebentar, semalam saya bergadang, jadi kurang tidur, nanti bangunkan saya saat makan siang. Oh iya, kita makan siang di luar saja, tempat makan sunda yang dulu sering kita datangi, saya
Setelah berkemas keperluan untuk ke Ancol, Adelia berpamitan kepada ibunya. Adelia melajukan mobilnya ke rumah Sinta, sementara Cindy sudah lebih dulu tiba di rumah Sinta. Setibanya di rumah Sinta, Adelia bergegas masuk ke dalam rumah Sinta, yang di sambut langsung oleh Cindy yang saat itu sedang asik menikmati secangkir es teh manis.Keduanya duduk di ruang tamu, menunggu Sinta yang masih prepare, setelah sepuluh menit menunggu, Sinta keluar dengan menggendong tas dan kamera digital di tangan kirinya."Ayo, aku sudah siap, Sorry lama, tadi terima telepon ibu, ngabarin baru bisa balik dari semarang lusa.""Kita nginep nggak, Del?" tanya Cindy seraya meneguk tetes terakhir minumannya."Nggak tau, aku masih belum berpikir ke arah situ, yang penting sekarang tiba dulu di sana menghirup udara pantai, memandang luas lautan yang membentang indah." Adelia menjawab sambil memperagakan sedang menikmati udara pantai Ancol, menghirupnya dalam - dalam sambil memejamkan mata."Seorang Adelia pergi
Adelia mulai menceritakan segala hal yang menjadi beban pikirannya secara detail, termasuk sudah berbicara kepada ibunya, namun ibunya meminta dirinya untuk tidak bersikap bodoh dengan mengikuti egonya."Begitu ceritanya. Sekarang aku makin bingung dengan perasaanku sendiri dan nggak tahu harus memilih jalan apa yang sepantasnya aku tempuh, bila mengikuti kata hati, pasti akan melukai banyak hati, tapi bila terus dilanjutkan, aku tidak bisa membayangkan bagaimana hidupku harus bersama Angga.""Apakah kamu sudah menjelaskan soal Bagas yang sebenarnya kepada ibumu?" tanya Sinta."Belum, aku baru berbicara soal pernikahan yang ingin aku batalkan, ibu sudah sewot duluan dan habis - habisan aku di nasehati.""Harusnya kamu cerita dulu soal Bagas, setidaknya ibumu bisa menimbang - nimbang keinginan kamu.""Benar kata Sinta, setidaknya hilangkan dulu sebagian kebencian yang membekas karena Bagas, sebagai seorang ibu pasti berpikir ke arah lain, dengan kamu bilang ingin membatalkan pernikahan
Suasana yang begitu ramai di kediaman Heni dan Syamsul, tenda membentang sepanjang pekarangan rumah, dan kursi yang diatur sesuai alurnya, bunga - bunga cantik menghiasi pelaminan, kedua mempelai duduk berdampingan dengan senyum sumringah, tamu - tamu undangan memenuhi kursi yang telah disediakan. Bagas berjalan bersama Putri ke arah kedua mempelai."Selamat ya Bro, akhirnya kamu melepas masa lajangmu juga," ucap Bagas sambil memeluk Syamsul dan menepuk bahunya beberapa kali."Terima kasih Bro, kamu nanti nyusul ya?" ucap Syamsul seraya tersenyum menggoda Bagas."In Sya Allah, kalau ada calonnya." "Adelia, masih sendiri tuh, kejarlah." Lagi - lagi Syamsul menggoda Bagas.Bagas hanya tersenyum mendengar ucapan Syamsul, melepas pelukannya kemudian menjabat tangan Heni seraya memberi ucapan selamat."Oh iya, Adelia katanya mau datang, kamu coba dekati lagi jangan menyerah, aku dan Syamsul berdoa semoga kalian bisa bersama lagi. Iya nggak sayang," ucap Heni yang langsung menoleh ke Syams
Adelia berjalan lebih dulu menuju pelaminan Syamsul dan Heni dengan wajah cemberut menahan rasa tidak enak kepada Bagas atas ucapan Angga yang menurutnya sangat tidak sopan, sementara Angga mengikutinya di belakang dengan berjalan cepat menyusul Adelia. Keduanya kini berjalan bersama, Angga meraih tangan Adelia namun Adelia menepisnya dan menoleh ke arah Angga dengan tatapan mata yang marah."Sudah dong masa gitu aja kamu ngambek sih, kelihatan banget belain sang mantannya," ucap Angga datar."Mau kamu apa sih Angga?" "Mau aku ya kamu, lagian suruh siapa sok akrab banget, katanya mantan tapi..."Belum selesai Angga berbicara Adelia langsung memotong."Tapi apa!? cukup Angga, jangan ngajak berantem di tempat umum, apalagi di hari bahagia sahabat - sahabat aku.""Siapa juga yang ngajak berantem, kamunya saja sensi, setelah menemui teman - teman kamu kita pulang, males aku di sini, suasananya sudah membuat aku nggak mood.""Kalau kamu mau pulang, ya sudah pulang saja, saya mau nunggu Si
"kenapa kamu ngomong begitu, apa karena Bagas!""Itu lagi...itu lagi, apa nggak ada pembahasan lain selain Bagas.""Karena kamu berubah setelah bertemu dengan Bagas, segala bilang cape dengan hubungan kita, kita itu tidak ada masalah selama ini.""Aku mau tidur.""Jangan mengalihkan pembicaraan kita, kenapa tiba - tiba ingin tidur, kamu aneh Adelia."Adelia tidak menggubris ucapan Angga, ia menyandarkan kepalanya ke kursi dan memejamkan matanya. Angga yang merasa kesal atas sikap dan ucapan Adelia tidak kuasa menahan amarahnya, seketika mobil ia hentikan di pinggir jalan, kedua tangannya memukul kemudi mobil dengan kencang."Sialan, brengsek!!"Adelia membuka matanya menoleh ke arah Angga dengan tatapan sinis, mencoba mengatur sisi hatinya yang kesal karena sikap Angga yang terlalu kekanak - kanakan, menghela napas panjang beberapa kali, mengatur setiap kata yang terlontar dari mulutnya, agar tidak memicu pertengkaran."Angga, kenapa menghentikan mobilnya, sudah ya, jangan marah - mar
Setelah menyelesaikan sarapan pagi, ketiganya segera bersiap - siap menuju warung si emak. Sinta sudah siap di depan kemudi mobil, segera melajukan mobilnya dengan santai, sembari berbincang - bincang mengenai hal apa saja yang bisa dijadikan pokok pembahasan. Tidak terlalu memakan waktu lama dalam perjalanan, yang memang jaraknya tidak terlalu jauh, mereka telah tiba. Sinta memarkirkan mobilnya disamping kiri warung si emak, ketiganya segera turun dengan wajah ceria, seakan udara dingin dengan pemandangan yang asri membuat mereka bersemangat, maklum saja di Jakarta memang udaranya sangat panas. Ketiganya sudah duduk saling berhadapan, Cindy memesan minuman kesukaan mereka bertiga dan tidak lupa memesan goreng pisang serta cireng salju dengan bumbu rujak. Setelah menunggu sepuluh menit si emak warung membawakan pesanannya dan menyajikan di meja depan mereka bertiga."Sudah lama tidak kesini si neng - neng geulis (cantik), kirain lupa sama warung Emak," ucap si Emak sembari tersenyum r
“Adelia, kamu marah sama aku?” tanya Bagas menatap Adelia yang sedang sibuk dengan ponselnya.“Enggak,” ucap Adelia singkat, tanpa menatap Bagas.“Kita baru saja baikan, masa harus berjarak lagi, sini duduknya, dekat aku.”“Iya nanti,” tetap menunduk fokus dengan ponselnya.Cindy hanya menggelengkan kepala, melihat Adelia yang sebenarnya jelas ketara kalau sedang cemburu gara – gara tamu wanita yang sebenarnya tidak perlu di besar – besarkan masalahnya, karena Bagas sudah dengan tegas menolak kehadiran mereka.Sinta berjalan dengan perlahan menuju ruang tamu, di ikuti tamu yang bukannya di suruh pergi namun di bawa masuk oleh Sinta. Bagas menatap kearah tamu, bibirnya mengulas senyum, baru saja akan membuka mulutnya untuk menyapa mereka, salah satu dari tamu memberi isyarat menempelkan jari telunjuknya ke bibir, sebagai tanda untuk jangan bersuara, begitu juga Cindy untuk jangan bersuara dan tetap tenang seperti sebelumnya. Salah satu tamu wanita menyapa Bagas dengan sedikit manja.“
Adam sudah berada di kamar Bagas, memapah Bagas duduk di kursi ruang tamu kamar. Adam duduk di depan Bagas mendengarkan dengan wajah serius.“Om, saya belum memberitahu Adelia tentang si pengemudi tersebut, saya hanya takut perkataan saya akan membuat Adelia merasa tidak nyaman, bahwa orang itu adalah Angga, mantan tunangannya, saya baru berbaikan sama Adelia, tidak ingin merusak suasana hatinya, Om belum memberitahu Adelia, kan?”“Selamat Tuan Muda, saya sangat senang mendengar Tuan muda dan Adelia sudah berbaikan. Saya belum bertemu dengan Adelia, setelah mengurus Angga dengan pihak yang berwajib, saya langsung menemui Tuan Muda.”“Syukurlah kalau Adelia belum tahu, saya takut Adelia salah paham harus tahu dari Om dan bukan dari saya, yang jelas – jelas tadi kita berbicara di telepon, Adelia juga pasti menyadari kejanggalan tatapan saya tadi, hanya saja mencoba percaya dengan apa yang saya katakan, seperti tidak ingin merusak suasana hati saya. Saya yang akan memberitahukan langsung
Setibanya di kamar hotel. Syamsul menurunkan Bagas dengan hati – hati untuk berbaring di kasur. Adelia dengan sigap segera mengambil air hangat dan lap kering, membasuh luka – luka Bagas dengan perlahan. Tidak berapa lama Dokter Anwar sudah tiba di kamar Bagas dan segera memeriksa luka – luka Bagas, serta memberikan obat Pereda sakit. setelah selesai mengobati luka – luka Bagas, Dokter Anwar pamit untuk pulang, diantar Syamsul sampai ambang pintu.“Lebih baik kamu istirahat dan minum obatnya, biar nggak demam, aku balik ke ruanganku lagi, ya?” tukas Syamsul.“Terima kasih, Syam.”“Iya, lekas sembuh. nanti aku ke sini lagi sama Heni dan Winda, sekalian nginep nemenin kamu.”"Iya."Syamsul pamit kepada Adelia, Sinta dan Cindy, segera meninggalkan kamar Bagas menuju ruangan kerjanya.“Del, ayo balik kamar, Bagas butuh istirahat,” ucap Sinta.“Kalian balik saja duluan, aku masih ingin disini,” tukas Adelia.Sinta dan Cindy saling tatap, mendengar ucapan Adelia. Cindy memberi kode dalam is
Bagas menghelas napas Panjang dan menghembuskannya perlahan, diletakannya kembali es milo disebelahnya. Membuka kedua tangannya, merasakan tetesan air hujan yang turun perlahan di kedua telapak tangannya, pandangan matanya lurus kedepan, bibirnya tersenyum dalam kesedihan.Sementara di kafe tempat Adelia bersama kedua temannya tidak ada lagi perbincangan, ketiganya saling membisu, seakan larut dalam alunan musik yang mengiringi rintik hujan, gemericiknya seakan menyatu dalam suasana saat itu. Mata cindy tidak sengaja beberapa kali memergoki Adelia yang menengok terus ke arloji.“Adelia, temui saja Bagas,” ucap Cindy.“Maksudnya?”“Del, aku sudah mengenal kamu sangat lama, aku tahu saat ini kamu sedang gelisah. Sudahlah, Del jangan ikuti ego kamu, jangan sampai semuanya terlambat kamu mengerti dan pada akhirnya kamu yang akan menyesal.”“Aku masih belum menemukan jawaban dari keinginanku sendiri, pastinya Bagas juga sudah pergi. Di luar hujan, nggak mungkin dia terus menunggu kedatanga
Mentari pagi bersinar sangat terang, menyinari bumi yang basah akibat hujan semalam. Adelia bersama kedua sahabatnya sudah duduk santai di warung seberang hotel, menikmati sarapan ditemani secangkir es milo racikan si pemilik warung yang nikmatnya tiada duanya, bagi mereka.Mereka membahas prihal ACSMart yang akan membuka cabang lagi di Surabaya, setidaknya ada Reni dan Susi yang bisa di singgahi dan diajak kumpul – kumpul di kala kunjungannya nanti. Rencananya minggu depan mereka akan terbang ke Surabaya, mencari lokasi yang cocok dengan usaha mereka. Mereka bertiga memang berencana dari jaman dulu, membuka usaha bersama. Mendirikan usaha di berbagai kota, agar mereka bisa sekalian traveling juga.“Cin, untuk lokasinya, kita minta bantuan Susi atau Reni saja, mereka lebih hapal daerah sana. Tempat yang ramai tapi belum terlalu banyak pesaing dalam usaha kita,” ucap Adelia.“Boleh, tuh. By the way. Susi dan Reni pada kemana, ya? Aku kirim pesan belum di balas.”“masih tidur, kayaknya!
Adelia sudah berada di dalam kamar hotel, menyimpan sebuket bunga di meja sebelah televisi, diraihnya secarik kertas yang menyelip di tengah – tengah hiasan bunga.Adelia berjalan menuju kursi, duduk dengan menyilangkan kakinya, perlahan tanganya membuka secarik kertas tersebut.***Tahukah kamu…hari – hari yang kulalui, ‘Kesedihan dan kehampaan’.Tahukah kamu…berapa berat waktu yang kulalui, ‘Rindu dalam diam’.Tahukah kamu…Kesedihan, Kehampaan, dan Rindu, mengikat hatiku dalam namamu, ‘Adelia Maheswari’.Betapa bodohnya aku, mengatakan semua ini setelah menyakitimu sangat dalam.Aku datang bukan untuk memintamu memahamiku, tentang betapa rapuhnya aku tanpamu,Tapi, untuk cinta dan masa depan kita,Karena aku datang bukan untuk pergi, ingin menetap selamanya, sebagai rumah yang nyaman.Dan aku tahu, cinta tidak bisa dipaksa, begitu juga hatimu.Aku Tunggu di tempat pertama kali kita bertemu, di waktu yang sama.Entah menjadi saksi bisu yang sama atau saksi bisu tentang luka untukku.
Malam kian beranjak, hanya suara rintik hujan yang menemani kesunyian. Bagas memandang langit dari balkon kamarnya, tiada bintang, terselimut awan hitam pekat. Bagas begitu mendambakan kehadiran sosok Adelia, hatinya pilu membaur bersama kerinduan yang kerap menyelimuti setiap detak napasnya, mengalun dalam irama tak betepi, begitu dekat namun seakan jauh, karena Adelia seakan menutup jalan untuknya.Beberapa kali Bagas melihat layar ponselnya, pesan yang dari siang ia kirim kepada Adelia tiada kunjung balasan, hidupnya seakan terasa hampa.Bagas melangkah masuk ke dalam, duduk menghadap televisi yang terpampang lebar, pandangannya terus menatap layar televisi, dalam batinnya, ‘Hitam pekat membentang, seperti rusak tidak bergambar, hanya memantulkan sosok yang menatapnya’. Bagas terdiam seketika, seakan sedang berpikir dengan ucapannya.Wajahnya yang suram kembali tersenyum, batinnya kembali berkecamuk, ‘Bodohnya aku, sampai harus menyerah begitu saja, hanya karena sikap Adelia yang c
Setelah hampir tiga jam berada di rumah Heni, mereka berlima segera pamit untuk pulang. Danu sudah menghubungi Adelia, dikarenakan akan segera kembali ke Jakarta.Setibanya di hotel. Danu sudah menunggu Adelia di lobi hotel, dengan pakaian rapi, menenteng koper kecil di tangan kirinya.“Adelia, Ayah harus segera pulang. Ayah akan menghadiri rapat tentang hasil kontrak kerja baru dengan perusahaan Ivander Group yang sudah di Acc, sekaligus menyusun anggaran dan rancangan kerja bersama para staf Ayah. Adelia pulang bersama Sinta dan Cindy, ya? Atau mau beberapa hari di sini juga Ayah tidak keberatan, nanti Ayah yang bicara sama Ibu. Ayah juga sudah berbicara dengan Bagas, soal kamar yang kamu tempati, apabila kamu masih ingin di sini.”“Soal kamar, Adel bisa cek-in sekarang, tidak enak sama Bagas harus menginap gratis sampai beberapa hari.”“Bagas tidak keberatan! Kamu nggak usah mempermasalhkannya. Jangan menolak kebaikan seseorang. Nikmati saja waktumu, setelah melalui hal tidak menge
Bagas sudah berada di kamar hotel. Merebahkan badannya yang terasa lelah, matanya terus menatap foto Adelia di ponselnya. Satu notif pesan masuk, tertera nama Cindy. Bagas segera membuka pesan tersebut, dengan cepat membalas pesan Cindy. Bagas memandang langit – langit kamar hotel, bibirnya mengulas senyum ceria. Berguman lirih, ‘Setidaknya orang – orang yang dulu membenciku, kini mau mendukungku untuk kembali kepadamu, Adelia Maheswari. Semoga kamu bersedia membuka jalan untukku, menuju hatimu, aku janji, tidak akan membuatmu menangis lagi’. Perlahan mata Bagas mulai meredup dan melabuhkan diri dalam peraduan mimpi.Keesokan harinya, tepat pukul delapan pagi. Bagas bergegas menuju taman belakang hotel untuk menemui Cindy dan Sinta.“Maaf, sudah menunggu,” ucap Bagas yang masih ngos – ngosan mengatur napasnya, setelah berlari menuju taman belakang.“Santai saja, kita juga sambil menikmati udara pagi,” tukas Sinta.“Kalian sudah sarapan?” tanya Bagas.“Belum.” Sinta dan Cindy menjawab