"Apa ini masa lalu dan aku terdampar disini?" Pertanyaan yang aku tak tahu untukku sendiri atau untuk orang yang ku temui ini?
"Masa lalu? Artinya kamu dari masa depan?" Ingin ku abaikan kata-kata dari dia yang mengaku Mamaku, bukan tapi Diajeng Ayu Baskoro.
"Apa bukti aku ada di tahun 1995?" Tanyaku sarkas.
"Dan apa buktinya kamu dari masa depan?"
Aku menatap perempuan di hadapanku lama. MAMA.... ya dia Mamaku. Wajahnya persis dengan foto-foto di rumah yang dipajang Eyang dan selalu di peluk Eyang ketika merindukan putri tercintanya.
Tanpa pikir panjang ku berhambur kepelukannya. Mama yang hanya aku tahu dari foto, akhirnya bisa ku peluk tubuhnya nyata. Bagai mimpi dan tanpa sadar aku terisak juga menangis. Ingin ku katakan aku anaknya, Tapi aku tahu dia tak percaya dengan ucapanku.
Aku mencoba menghentikan isakan tangis, entah mengapa aku menjadi anak cengeng. Bahkan saat aku terjatuh atau saat tanganku patah pun tak pernah menangis.
"Namamu Diajeng kan? Bolehkah aku minta bantuan? Aku tak tahu siapa-siapa disini" ku katupkan kedua tangan di hadapanku.
"Buktikan dulu kamu benar dari masa depan?" Aku mulai berpikir. Andai ini tahun 2015 aku dengan mudah menjawab pertanyaan apapun. Toh tinggal tanyakan saja pada si embah yang serba tahu, embah g****e maksudnya. Aku menggaruk kepala yang tak gatal, walau 100 kali mikir kayaknya aku gak bisa jawab deh.
"hhhmmm.... Kamu kasih pertanyaan kali aja aku bisa jawab". senyumku kikuk. "Bagaimana kamu bisa tahu nama ayah dan namaku? Apa yang kamu ketahui selain itu?"
"Umurmu 20 tahun kan? Dan pacarmu..... Andra, Keano Deandra. Dan.... Eyang, eh maksudku ibumu tidak menyukai Andra. Dia pikir Andra pembawa pengaruh buruk untukmu juga masa depanmu.
Aku melihat reaksi Diajeng, Mamaku. "Wah... Kamu tahu juga ya tentang Andra, bahkan orang lain memanggilnya ken atau Ano". Aku tersenyum kaku. bagaimana aku tak tahu tentang Papaku. meski aku bertemu dengannya bisa di hitung jari seumur hidupku, tapi Eyang sering menceritakannya saat Dia memarahiku karena kenakalanku.
"Dan tentang Hp, Bagaimana bentuknya. Apa itu barang masa depan?" Dengan binar mata seolah begitu ttakjub dengan barang yang bahkan dia belum temui.
"Hp itu telepon genggam, seluler. tanpa kabel yang bisa di bawa kemana-mana. dulu bentuknya sebesar telepon kuno itu" sambil ku tunjuk ke arah telepon yang tadi aku gunakan untuk menghubungi Rara.
"Tapi sekarang bentuknya makin tipis dan makin banyak fungsi".
"Apa saja fungsinya?" Dia bertanya dengan rasa penasaran. "Selain buat telepon, bisa buat kirim pesan, ambil foto, simpan nomor telepon, internetan dan masih banyak lagi" berasa kayak guru saja aku sekarang menjelaskan seperti ini.
"Wah banyak banget fungsinya ?. Semoga aku bisa melihat itu semua di masa depan ya". Aku hanya bisa meng-Aamiini dalam hati. Hanya ku jawab dengan anggukan.
"Hhmm... Aku masih 18 tahun, bolehkah aku memanggilmu mbak?" Diajeng tersenyum dengan mengangguk. "Mbak Ajeng bolehkah aku bertanya? Mengapa mbak bisa sangat mencintai Papa? Maksudku mas Andra. Bukankah dia terkenal nakal dan bengal?" Tanyaku penasaran.
"Sepertinya kamu melupakan sesuatu?" Aku mengernyitkan dahiku memikirkan apa yang aku lupakan. "Namamu... Kamu belum memberi tahu siapa namamu".
"Oh sorry. Aku..." Aku mencoba mencari nama yang bisa aku gunakan untuk nama samaran. Ku edarkan pandangan ke sekeliling. Terlihat taman bunga matahari di luar jendela. "Namaku Sunny". Berkebalikan dengan nama asliku. Mungkin saat aku lahir semua orang menangis karena kehilangan makanya namaku Rainy.
"Sunny? Nama yang indah" aku hanya tersenyum.
"Apa mbak Ajeng bisa tolong aku? Tolong sembunyikan aku. Jangan sampai ada orang yang tahu hanya sampai aku kembali ke tahun 2015". Hanya itu yang bisa ku minta, aku benar-benar tak tahu tempat ini, keadaan ini.
"Aku punya kost di dekat kampus, dan ibuku tidak tahu. itu tempat pelarian jika aku merasa lelah dengan tugas-tugas kampus" Diajeng tersenyum hangat kepadaku. Makanya Papa tergila-gila dengan Mama mungkin salah satunya karena senyumnya itu.
~ ~ ~
Tanpa menghabiskan banyak waktu, Diajeng membawaku ke tempat kost-nya. Meski kecil, ini lumayan untukku dari pada aku tinggal di jalanan.
"hemm... Mbk, Biasanya Andra, eh mas Andra biasa main kesini ya? Waduh aku ganggu dong kalau gitu?" Sambil nyengir kuda ku ledek Mamaku. Mama, seseorang yang ingin ku peluk dengan wujud nyata. Dan Tuhan mengabulkan permintaanku dengan cara.... aku terdampar disini, di masa lalu.
"Eh... Kita tidak seperti yang ada dalam bayanganmu loh ya..."
Dan tawaku membahana keseluruh ruangan.
"Apa ibu mbak gak di rumah? kok bisa kemana-mana? Apa bodyguard mbak sedang tidak tugas?". Tanyaku penasaran.
"Hei.. kalau tanya itu satu-satu seperti aku di introgasi polisi saja" Senyum dibibir Mama tak pernah pudar. Begitu hangat dan menyenangkan.
"Ibuku ada acara arisan, kalau bodyguard aku tentu saja tidak punya. Memangnya aku anak jendral!"
"Hah? Bukannya mbak ada yang jaga 24 jam gitu, biar gak ada yang nyulik kali". dengan nada candaan, padahal sebenarnya aku penasaran. Aku merasa heran anak kesayangan Eyang saja tidak ada penjaga, tapi kenapa aku harus dijaga 24 jam. Andai saja aku tidak di atur dan harus mengikuti semua keinginan Eyang dengan les-les yang membuatku bosan itu, mungkin aku tak ada cerita terdampar disini.
"Kenapa kamu murung, Sun?" Aku mencoba pura-pura senyum. "Makasih ya mbak, mau nolong aku. Andai enggak ada mbak gak tau lagi harus bagaimana disini".
"Tidak usah dipikirkan. Aku malah kira tadi kamu di culik terus di sembunyikan dalam bagasi mobil Ayahku. Kayak yang sering di dengar gitu kasus penculikan terus hilang tidak ditemukan lagi".
"Aku juga bingung mbak, tadinya mau sembunyi dari dari kejaran bodyguard yang jaga aku. Eh waktu aku buka bagasi tau-tau disini. Pengen nangis tapi percuma gak tau harus gimana".
Mama memeluk dan mengusap punggungku. Rasanya nyaman banget. Mungkin selama ini aku merasa tidak di pedulikan keluargaku. Dan rasa hangat ini nyata. Hanya Rara jadi teman baikku. Itupun baru beberapa tahun belakangan sejak keluarga Rara pindah ke sebelah rumah Eyang.
"Lalu bagaimana kamu tahu tentang keluargaku? Apa kita bertemu lagi dimasa depan?".
Tiba-tiba Mama bertanya seperti itu membuatku merasa bersalah dan juga sedih. karena aku tak ingin menjawab jujur.
"Aku tidak terlalu tahu mbak. karena aku baru pindah ke kompleks perumahan ini. dan hanya sekali ke rumah ini, saat Eyang menyuruhku mengantarkan makanan. Dan aku juga tidak terlalu akrab dengan tetangga karena takut mereka merasa terganggu".
Aku mengarang cerita agar tak di beri pertanyaan aneh-aneh lagi. Aku benar-benar tak ingin mengarang cerita semakin panjang karena akan memberikan luka pada diriku sendiri dengan cerita yang aku tahu akhirnya ini.
Kami menghentikan sesi tanya jawab itu. Mama pulang setelah membelikanku nasi bungkus. Selesai mandi dan makan, ku rebahkan tubuhku diatas kasur. Rasa lelah menyelimuti seluruh tubuhku, entah sejak kapan aku sudah masuk ke alam mimpi. Aku berharap saat bangun nanti semua kembali seperti semula. Dan apa yang aku alami hari ini semua hanya mimpi, semoga saja.
Mungkin karena aku tidur awal, pagi ini aku bangun lebih awal dari biasa. Saat netraku memandang keluar jendela langit masih gelap. Harapanku agar kembali seperti semula tak terkabul. aku masih ada disini, di tempat kemarin ku terdampar.Aku duduk di ujung tempat tidur, pikiranku melayang entah kemana. Pertanyaan bagaimana aku kembali ke tahunku selalu terngiang di telinga. Aku tak membawa barang apapun kecuali baju yang aku pakai.Karena rasa bosan mulai menderaku, ingin rasanya mendengarkan musik yang ada di dalam list hp ku. Yang sayangnya ternyata hp- ku hilang tak tahu sejak kapan.Aku hanya melihat radio di atas meja belajar.Kucoba untuk menghidupkan. Ini pertama kalinya aku menghidupkan radio. Dengan modal utak atik seadanya kemudian ku cari siaran radio yang menarik menurutku. Dan aku berhenti di lagu milik NIKE ARDILA - TINGGALAH KU SENDIRI. Itu yang dikatakan penyiar radio.Lagu ini berasa mewakili aku banget. Ku dengarkan sambil ku pejamkan mat
Cepat-cepat ku tata rambut agar tertutupi wajahku meski tak yakin dengan yang ku laukan, toh Papa tak akan mengenaliku. di masaku saja aku tak yakin Papa ingat dengan wajahku apa lagi di masa lalu."maaf lama ya nungguin?" Ku gelengkan kepala untuk jawabannya."Kenalin ini Andra, Keano Deandra. Dan ini Sunny sepupu aku" Ide Mama yang menjadikankusepupunya, katanya biar tak banyak pertanyaan ataupun keanehan nanti jika bertemu teman Mama.ku jabat tangan Papa. Bahkan dimasaku kejadian ini tak pernah terjadi. Kami saling menyebutkan nama masing-masing."Apa kalian akan pergi kencan? Aku rasa lebih baik aku pulang saja dari pada jadi obat nyamuk" ku pura-pura manyun seakan ngambek. Tapi reaksi Mama malah tertawa. Dan jawaban Papa lebih aneh lagi "Tenang saja nanti aku kenalin dengan teman-temanku. Stock jomblo masih banyak jadi tenang aja joker juga ada kok". Sekarang aku yang melongo dengan jawabannya."joker? musuhnya batman?" tanyaku ya
Aku tak ingin mengganggu sesi belajar Mama. kuputuskan menunggu di luar kelas sambil berkeliling. gedung ini luas dengan beberapa kelas musik dan kesenian lainnya.Aku ingin ke toilet tapi binggung tak tahu arah. Ku langkahkan kaki mencari orang yang bisa ku tanyakan. Samar-samar ku dengar suara bebrapa perempuan. ketika ingin bertanya pada mereka, ku urungkan niatku. Mereka sedang menyebut nama Mama. Aku tidak salah dengar karena mereka menyebut nama Diajeng Ayu Baskoro.Mereka membahas bagaimana cara menyingkirkan Mama. Pelan-pelan ku intip dari balik tembok agar aku bisa melihat wajah mereka. Tapi aku tak mengenal mereka satupun.Dari pembicaraan mereka aku mengambil kesimpulan mereka dendam kepada Mama karena tak suka Papa memilih Mama dari pada teman mereka. Papa memang banyak penggemar aku lihat dengan Mata kepalaku sendiri bagaimana perempuan-perempuan dengan pakaian kurang bahan merayu Papa bahkan terang-terangan di depan Mama. Tak jarang kadang aku meng
Beberapa hari telah berlalu, keadaanku juga makin membaik. aku mulai bisa menggerakkan seluruh tubuhku. meski aku harus melakukan terapi tiap hari agar aku bisa kembali berjalan seperti sedia kala.Aku hanya menjawab satu atau dua kata saja. Eyang setia menemaniku, Papa akan datang setelah pulang kantor. kadang Papa menyempatkan datang sebelum ke kantor. dan aku juga di datangi psikiater ke kamar rawat, yang sebenarnya tak telalu penting untukku. tapi satu hal yang aku tahu, aku baik-baik saja. hanya aku lelah dengan keadaan yang pernah terjadi denganku.Jika aku bercerita pernah terdampar di masa lalu, aku tak yakin akan ada yang percaya. maka jalan terbaik saat ini aku 'diam' dari pada aku di cap sebagai orang 'gila'. Aku hanya ingin menyembuhkan ragaku dulu, baru kemudian pelan aku akan menyembuhkan luka batinku kemudian.Rara pernah datang beberapa kali mengunjungiku. inginku bercerita semuanya. yang aku tahu disini bukan tempat yang tepat. sekarang ya
HAI SEMUA, Saya mau minta maaf atas ketidak nyamanan kalian dalam membaca novel ini. karena terjadi kesalahan dalam me- upload, jadi bab 7 disini akan saya upload ulang. dan karena kemarin saya sudah upload BAB 8 jadilah saya harus upload BAB 7 setelah bab 8. silahkan tinggalkan komen yang membangun untuk saya karena saya masih baru dalam dunia literasi. tolong tinggalkan komen dan juga rating untuk novel ini. saran dan masukan kalian sangat berarti buat saya. dan untuk semua yang berkenan membaca novel pemula ini saya ucapkan terima kasih banyak. semoga kalian selalu dalam lindungannya. dan jangan lupa stay safe ya...... love you all, LYSI GALAXY
Sejak kepulanganku kembali ke rumah, Eyang menyuruhku untuk fokus di sekolah tanpa harus menghadiri semua kegiatan les di luar. Eyang lebih perhatian padaku kini. walau terasa sedikit aneh tapi aku suka dengan perubahan ini. setidaknya aku merasa keluargaku peduli padaku.Tidak hanya Eyang yang berubah, Papa juga. Hari ini minggu entah ada apa Papa mengajakku untuk menemaninya jalan. walau terlihat kaku, Papa berusaha terlihat senatural mungkin mengobrol bersamaku. kami berjalan ke sebuah Mall. "Rain mau membeli sesuatu?"Aku menatap ke arah Papa "hm gak usah pa, saat ini gak ada yang mau Rain beli" ku sunggingkan senyum ke Papa. "Mau temenin Papa nonton di bioskop gak?" aku hanya menjawab dengan anggukan ditambah senyuman."Ada film yang pengen Rain tonton?" Kami sedang memandangi layar yang menampilkan jadwal film yang sedang tayang. Aku menunjukan ke arah film petualangan. beruntung sebentar lagi film akan di putar jadilah kita bergegas membeli tiket da
Setelah satu bulan aku di rawat di rumah sakit, akhirnya aku di perbolehkan untuk pulang ke rumah. Papa dan Eyang datang menjemputku. Rasa lega tak hanya aku saja yang merasakan. Karena selama di rumah sakit Eyang dan Papa juga harus mondar mandir kantor, rumah, rumah sakit. Aku merasakan sikap mereka yang berbeda seratus delapan puluh derajat dari dulu mereka memperlakukanku sebelum kecelakaan itu. Sekarang aku berada di dalam kamarku bersama Rara. Papa sudah berangkat pagi tadi ke kantor dan Papa tak pernah lagi pergi ke kantor cabang di kota lain. Eyang sudah jarang berangkat ke kantor, urusannya di serahkan pada orang kepercayaannya saja. Eyang datang ke kantor hanya jika ada keperluan atau meeting. "Kapan masuk sekolah Rain? Pasti kamu udah puas liburan dan gak akan bolos lagi. Puas dong liburan selama sebulan" celetuk Rara dengan menaik turunkan alisnya. "Emang kamu sahabat paling baik ya, sahabat sakit malah di bilang liburan" sungutku tak terima.
Akhirnya masa putih abu-abu akan berakhir dan aku bersyukur karena aku bisa masuk ke kampus yang aku inginkan. Tak terasa sebentar lagi aku akan menyandang status sebagai mahasiswa. Untuk merayakan keberhasilanku Papa mengadakan syukuran kecil-kecilan yang hanya untuk kami sekeluarga dan pekerja di rumah. Tentang para bodyguard, Eyang hanya menugasi dua orang saja sesuai dengan permintaanku. karena terasa risih selalu di ikuti rombongan seakan aku penjahat saja yang harus di ikuti kemana-mana. Papa mengundang mas Raka dan kedua orang tuanya. sayang saat aku mengundang Rara dia tidak bisa datang karena Rara sekeluarga pergi ke kampung halaman mamanya di Lombok. Malampun tiba, mas Raka sekeluarga datang. Kami memulai acara dengan makan malam sambil berbincang hal-hal kecil. Papa , mas Raka dan papanya membahas tentang bisnis. Eyang dan Mama mas Raka membahas mulai dari harga sembako sampe isi mall juga. Dan aku merasa disini sebagai penghias saja. mau ikutan tapi
Monday morning,Aku bersiap ke kampus, Papa menawariku untuk berangkat bersama. Tapi ku tolak karena tahu Papa ada meeting pagi ini, tadi om bagas menelepon saat kami sarapan. Client dari luar negeri sudah datang, jadi Papa datang menyambut dan di lanjutkan dengan kerja sama.Aku tak punya bodyguard untuk menjaga dua puluh empat jam lagi. Jadilah aku pergi di antar sopir yang bekerja cukup lama di keluargaku, namanya mang Ujang."Udah siap, non?" Tanya mang Ujang padaku. "Sudah, mang" jawabku dengan senyuman. Aku berjalan masuk ke dalam mobil, terdengar klakson mobil begitu familiar di telingaku."Mas Raka..." gumamku. Sepagi ini mas Raka sudah datang ke rumahku. Pikirku mungkin ada janji dengan Papa, karena pagi tadi buru buru jadi lupa memberi tahu mas Raka kalau Papa sudah ke kantor."Bentar mang, Rain kasih tahu mas Raka dulu kalau Papa sudah berangkat ke kantor" aku mendapatkan anggukan dari mang Ujang.Gegasku lari menuju m
Aku mengganti bajuku dengan cepat, tak sampai sepuluh menit aku sudah turun ke ruang tamu. Aku hanya memakai dress bunga selutut berlengan pendek dan polesan make up tipis juga liptint. "Ha hai.. mas Raka. maaf nunggu lama" tiba tiba aku grogi berhadapan dengan mas Raka. "Hai Rain, kamu sibuk gak? aku mau ajak jalan, boleh?" aku memandang mas Raka, kemudian sebuah pertanyaan muncul di kepalaku. "Mas Raka ngajak malam mingguan eh maksudnya jalan. Emang pacar mas Raka bolehin ?" entah pertanyaan bodoh atau polos yang aku tanyakan. "Pacar? aku gak punya pacar Rain, dan wait kenapa kamu mikir kalau aku sudah punya pacar?" panggilan 'mas' yang dulu disematkan untuk diri mas Raka saat berbicara padaku kini hilang. "Bukannya mbak Risa sama mas Raka pacaran?" aku tak salahkan jika melihat bagaimana interaksi antara Risa dan mas Raka di mall waktu itu. "Jangan bilang kamu mikir aku pacaran sama Risa karena kita pernah ketemu di
"Siapa itu tadi Rain? Mantan Kamu?" Pertanyaan yang terucap oleh Reno setelah insiden bertemu mas Raka dan Risa. Aku masih menarik tangan Reno menjauh dari area bioskop. "Rain, kita mau kemana sih ini? bentar lagi filmnya mulai loh? Telat entar kita" aku berhenti berjalan. "Dia bukan mantanku, dan aku udah gak mood buat nonton. Sekarang aku lapar, dari pada aku makan orang mending kita cari makan. entar aku ganti deh uang tiket tadi" aku masih manyun sama Reno. Aku tahu Reno tak tahu apa apa tapi aku tak bisa merubah mood ku dengan bersikap baik baik saja setelah bertemu mas Raka dan Risa. "Ya udah ayo cari makan. Mau makan apa? Buruan takut ni aku entar kamu makan juga jadiin aku sashimi" dan tawa kami berdua pun pecah. Reno memang bisa merubah suasana meski dengan kata kata receh gak jelas sekalipun. * * * * * Kami memustuskan makan di restoran Jepang gegara Reno sashimi. "Kayaknya aku pernah lihat deh cowok tadi, tapi dimana
Mobil melaju dengan kecepatan sedang. Air mata yaang aku tahan sejak tadi tak bisa ku bendung. Awalnya aku hanya terisak tapi rasa sakit kehilangan itu pelan menjalar ke relung hatiku. Reno membawa tubuhku ke dalam pelukannya. Tangisan ini terdengar pilu mewakili perasaanku yang pilu. "Rain... nangis aja sepuasnya. Nanti ketika kita sampai, kamu gak boleh nunjukin sisi lemahmu yang ini. Karena Rainy yang aku tahu adalah gadis yang kuat" Tangisku semakin keras, kulepaskan rasa pilu yang menusuk dada. Aku menyesal tak mengucapkan kata terakhir atau pun pelukan terakhir. "Gimana ini Ren? aku belum sempat minta maaf, ngabisin waktu lebih lama bahkan aku gak sempat kasih pelukan hangat tuk terakhir kali sambil bilang betapa aku sayang banget sama Eyang. Selama ini aku yang bandel gak pernah nurut. Aku nyesel banget kenapa aku gak bisa jadi cucu yang baik" Reno semakin menenggelamkanku dalam pelukan di dadanya dengan satu tangannya dia mengelus punggungku.
Reno menepati janjinya itu. Yang mana dia akan menemui ku di sini meski dia repot sebagai mahasiswa lagi. Ternyata Reno cuti kuliah dan bukan sepertiku yang cuma menyandang gelar calon mahasiswa. Aku masih tak pernah menghubungi mas Raka, begitu pun Papa yang tak pernah memberi tahukan di mana keberadaanku. Ini bulan ketiga setelah aku di tinggal pulang oleh Reno. Seperti pagi ini dia sudah nyengir kuda saat mengunjungi ku. "Kenapa pagi pagi udah senyum gak jelas aja? Kangen akut ya sama aku?" Tanya ku sambil tersenyum yang ikut tertular dari Reno. "Ih... geer bener kamu. mana ada aku kangen ama kamu. Yang ada tu kamu yang kangen tingkat dewa sama aku" Reno membalas sambil memberikanku paper bag. "Apa ni?" Tanyaku penasaran. "Makanan dari Mami, takutnya kamu makin kurus di sini sendirian tanpa aku. Makanya sengaja aku minta Mami buatin makanan buat kamu" Aku langsung membuka isi paper bag, aroma harum masakan Tante Susan langsung m
Saat awal aku harus memeriksakan diri ke Dokter, Aku masih duduk di kelas IX. Diagnosa mengalami BPD yang aku tak paham itu apa. Semakin di perparah dengan aku yang pernah mengalami penculikan. Hingga aku menjadi PTSD.Papa dan Eyang yang tidak terlalu peduli padaku, memicu gangguan yang aku alami di usia yang belia. Belum sembuh aku dari gangguan 'Borderline', Trauma penculikan membuatku semakin parah.Hayalanku bertemu Mama, menciptakan pertemanan dengan Rara adalah 'side effect' yang aku tunjukkan. Karena takut semakin parah, Eyang membawaku ke psikiater mengobati dengan cara menghipnotis agar aku bisa melupakan semua kejadian yang pernah aku alami untuk mengurangi tindak 'aneh'ku yang lain.Yang sayangnya meski Eyang mencoba menghapus ingatanku yang menyebabkan aku trauma, semua sia sia. Membuat ingatanku tumpang tindih, aku semakin tidak bisa membedakan mana yang khayalan, ilusi, atau nyata. Dokter pernah menyarankan keluargaku untuk membawaku berobat secar
Apa yang akan kamu lakukan jika apa yang kamu alami selama ini ternyata tak semuanya benar tapi hanya khayalan bahkan imajinasi yang tercipta oleh traumamu? Seperti Fata morgana yang bersifat khayal atau tak mungkin tercapai.Papa dan Eyang kekeh mengatakan aku baik baik saja. Hingga aku sendiri mengatakan ingin beristirahat dari kekacauan yang aku ciptakan dan menghilang untuk selamanya jika mereka tak membantu dan mendukung dalam kesembuhan penyakit mental yang aku alami.Mas Raka menemuiku beberapa kali ketika aku di rawat di rumah sakit. Aku tak ingin berpamitan pada mas Raka secara langsung. Jujur berat rasanya mengatakan perpisahan secara langsung padanya. Aku tak mau terlihat cengeng di depannya. Aku ingin menjadi perempuan yang lebih baik untuk ku sendiri ataupun orang di sekitarku.Meski Papa tak pernah memberikan sikap baik pada mas Raka setiap menjengukku, mas Raka tak surut sedikit pun. Bahkan Papa pernah menampar pipi mas Raka, Tapi ia m
Hari ini Papa menyuruh mas Raka datang menemuiku. Alasanku ingin bertemu mas Raka karena ingin meminta maaf tentang kejadian di taman hiburan dan aku datang ke kantornya hingga terjadi kecelakaan, Karena aku tak mungkin keluar jadilah mas Raka yang datang ke rumah sakit. Sekitar jam sepuluh siang mas Raka datang. "Hai... Rain" sapa mas Raka sambil mengangkat tangan. Terlihat kaku saat mas Raka mengucapkan sambil memandang ke arahku juga ke arah Papa yang duduk di sofa sedang menontoh tv. Tadi mas Raka memasuki kamarku bareng Papa. Entah kebetulan atau Papa berbicara dulu dengan mas Raka. Ku lihat bibir mas Raka terluka dan sedikit memar yang masih tertinggal di wajah putihnya. "Pa... Papa gak maksud mau jadi pengawas Rain kan? Rain mau ngobrol berdua sama mas Raka doang loh Pa? boleh kan? Rain gak akan kabur kok" Aku menoleh ke Papaku yang seakan tak peduli dengan ucapanku. di anggap angin lalu atau radio rusak aku ini. "Pa.... please. bentar doang kok"
Suara detak jantuk dari patient monitor terdengar pertama kali di indraku. Aku yakin berada di Rumah Sakit dari bau yang menyeruak ke indra penciumanku juga warna ruangan yang dominan putih ini."Rain? Apa sudah bangun?" Ku lihat Papa bertanya menatapku di sampingnya ada Eyang juga. Ingin rasanyamenjawab namun tiba tiba rasa sakit menyerang kepalaku. Refleks ku pegang kepalaku. Aku yakin kain yang melilit din kepala ini adalah perban.Seorang dokter dan suster datang mendekati ku. Mereka memeriksa mata dan juga tubuhku. Kemudian Dokter mereka mengobrol dengan Papa dan juga Eyang."Jika ada yang sakit atau tidak nyaman bilang saja ya?" Itu yang di ucapkan Dokter sebelum keluar ruangan. Aku hanya memberikan anggukan sebagai jawaban."Pa.... Rain kenapa?" Papa mengernyitkan dahi menatapku. "Kamu gak gak pa pa kok Rain. Apa ada yang sakit?" aku mencoba mengumpulkan tenaga unuk berbicara."Pa, Apa Rain tidak waras atau sakit jiwa?" suaraku semakin lirih