Sejak kepulanganku kembali ke rumah, Eyang menyuruhku untuk fokus di sekolah tanpa harus menghadiri semua kegiatan les di luar. Eyang lebih perhatian padaku kini. walau terasa sedikit aneh tapi aku suka dengan perubahan ini. setidaknya aku merasa keluargaku peduli padaku.
Tidak hanya Eyang yang berubah, Papa juga. Hari ini minggu entah ada apa Papa mengajakku untuk menemaninya jalan. walau terlihat kaku, Papa berusaha terlihat senatural mungkin mengobrol bersamaku. kami berjalan ke sebuah Mall. "Rain mau membeli sesuatu?"
Aku menatap ke arah Papa "hm gak usah pa, saat ini gak ada yang mau Rain beli" ku sunggingkan senyum ke Papa. "Mau temenin Papa nonton di bioskop gak?" aku hanya menjawab dengan anggukan ditambah senyuman.
"Ada film yang pengen Rain tonton?" Kami sedang memandangi layar yang menampilkan jadwal film yang sedang tayang. Aku menunjukan ke arah film petualangan. beruntung sebentar lagi film akan di putar jadilah kita bergegas membeli tiket da
Setelah satu bulan aku di rawat di rumah sakit, akhirnya aku di perbolehkan untuk pulang ke rumah. Papa dan Eyang datang menjemputku. Rasa lega tak hanya aku saja yang merasakan. Karena selama di rumah sakit Eyang dan Papa juga harus mondar mandir kantor, rumah, rumah sakit. Aku merasakan sikap mereka yang berbeda seratus delapan puluh derajat dari dulu mereka memperlakukanku sebelum kecelakaan itu. Sekarang aku berada di dalam kamarku bersama Rara. Papa sudah berangkat pagi tadi ke kantor dan Papa tak pernah lagi pergi ke kantor cabang di kota lain. Eyang sudah jarang berangkat ke kantor, urusannya di serahkan pada orang kepercayaannya saja. Eyang datang ke kantor hanya jika ada keperluan atau meeting. "Kapan masuk sekolah Rain? Pasti kamu udah puas liburan dan gak akan bolos lagi. Puas dong liburan selama sebulan" celetuk Rara dengan menaik turunkan alisnya. "Emang kamu sahabat paling baik ya, sahabat sakit malah di bilang liburan" sungutku tak terima.
Akhirnya masa putih abu-abu akan berakhir dan aku bersyukur karena aku bisa masuk ke kampus yang aku inginkan. Tak terasa sebentar lagi aku akan menyandang status sebagai mahasiswa. Untuk merayakan keberhasilanku Papa mengadakan syukuran kecil-kecilan yang hanya untuk kami sekeluarga dan pekerja di rumah. Tentang para bodyguard, Eyang hanya menugasi dua orang saja sesuai dengan permintaanku. karena terasa risih selalu di ikuti rombongan seakan aku penjahat saja yang harus di ikuti kemana-mana. Papa mengundang mas Raka dan kedua orang tuanya. sayang saat aku mengundang Rara dia tidak bisa datang karena Rara sekeluarga pergi ke kampung halaman mamanya di Lombok. Malampun tiba, mas Raka sekeluarga datang. Kami memulai acara dengan makan malam sambil berbincang hal-hal kecil. Papa , mas Raka dan papanya membahas tentang bisnis. Eyang dan Mama mas Raka membahas mulai dari harga sembako sampe isi mall juga. Dan aku merasa disini sebagai penghias saja. mau ikutan tapi
Ku rebahkan tubuhku ke ranjang nyaman di kamarku. Aku bersiap untuk tidur dan meletakkan hp di atas nakas sebelah tempat tidur. Aku memejamkan mata menuju dunia mimpi. Suara notifikasi pesan masuk dari hp ku berbunyi. Ku raba atas nakas untuk mengambil hp dan mengecek pesan.'Hi, Rain. udah tidur'Pesan dari mas Raka.'Ni otw pulau kasur mas' balasku. Tak berapa lama pesan baru masuk.'Besok mau jogging bareng gak? keliling komplek atau taman juga boleh'Ni ngajak ngedate atau apaan ya? kok ngajaknya jogging tapi cuma keliling komplek atau taman. Apa gak ada tempat romantis? ah, aku lupa kalau cowok yang lagi chating denganku ini ANTI ROMANTIC MAN. Aku akan ganti nama kontaknya menjadi anti romantic man mulai saat ini.Me :' Terserah mas Raka aja. asal bilang jam berapa sama ketemuan dimana. maklum aku suka molor bangun kalau hari minngu, sebenarnya tiap hari juga sih hehehe'Anti Romantic Man : 'Jam 6 aku jemput di rumahm
Beberapa hari setelah aku dan mas Raka jogging bersama, mas Raka mengirim pesan mengajakku untuk makan siang bersama di sebuah restoran. Dan tentu saja mas Rakaa sudah mempunyai izin dari Papa dan Eyang. Aku berasa seperti kendaraan saja yang harus memiliki izin jika ingin di ajak jalan. Aku bersiap mematutkan diri di depan cermin melihat penampilanku apakah sudah rapi atau ada yang kurang. Ini kan pertama kalinya aku diajak makan sama cowok jadi sebisa mungkin jangan sampai malu maluin. "Rain, cepat turun ke bawah sampai malam pun kalau tetap menatap cermin itu, kalian tidak akan jadi pergi untuk makan siang" Eyang berkacak pinggang di depan pintu kamarku yang ku buka sejak tadi. Aku tersenyum pada Eyang. "Bagus gak Eyang? " Sambil ku memperlihatkan sisi samping kiri kanan juga belakang bajuku. Dress warna biru selutut dengan lengan pendek yang kupadankan dengan flat shoes. "Dandananmu sudah oke Rain. Hanya percaya dirimu saja yang kura
Setelah beberapa hari tak ada kabar dari mas Raka, hari ini tiba tiba dia sudah datang ke rumah di saat aku masih tidur karena hari ini minggu. Aku harus menikmati sisa kebebasan bangun siang seperti ini karena sebentar lagi aku akan kuliah yang mana jadwal bangun pagi jadi kewajiban walau mungkin tak setiap hari. Dengan drama di bangunin Eyang tadi pake acara di semprot sprayer air dan aku yakin itu sprayer tanaman yang ada dalam ruangan, pagi seperti Eyang slalu mengurus tanamannya. "Mas, kalau kesini pagi tu kirim pesan dulu sebelumnya jadi aku gak harus terpaksa bangun kayak sekarang ini" Aku ikut bergabung dengan Papa dan mas Raka di sofa ruang tamu. Aku tak melihat Eyang ada disana, aku rasa Eyang pasti masih melanjutkan bertanam dan berkebun. "Rain, Apa kamu tidak tahu jam berapa sekarang ? ini sudah jam 10 lebih dan anak gadis baru bangun dan bilang ini masih pagi?" Aku melihat jam yang melingkar di pergelangan tangan kiriku.
Aku berpamitan pada Eyang pagi ini untuk lari pagi keliling komplek seorang diri. Meski diawal Eyang melarangku tanpa pengawal, Aku mencoba melobi Papa untuk membujuk Eyang agar memberi izin. Setelah melalui perdebatan yang alot akhirnya aku diberi izin juga untuk lari keliling komplek sendiri. Aku heran dengan Eyang yang terlalu takut banyak hal padaku, bukankah aku sudah dewasa secara umur. Apalagi sebentar lagi aku juga akan menjadi mahasiswa, bukankah itu sudah membuktikan bahwa aku bukan anak kecil lagi. Sebenarnya aku punya rencana lain, tujuanku bukan untuk mengelilingi komplek pagi ini, tapi ingin bertemu Rara. Sudah hampir dua minggu aku tak dapat kabar dari Rara. Aku kirim pesan tak di balas begitu juga saat aku telepon, tak bisa aku hubungi. Jika bertanya kenapa aku tak langsung meminta izin pada Eyang untuk ke rumah Rara? Jawabannya adalah Eyang akan marah yang otomatis aku tak di beri izin untuk bertemu Rara. Tapi anehnya tiap Rara datang&nb
Sekitar jam tujuh malam mas Raka telah tiba di rumah untuk menjemputku. Mas Raka mengajakku makan malam di restoran terkenal, dan kali ini bukan restoran Jepang kesukaannya."Setelah kita makan nanti, mas mau ngajak Rain ke suatu tempat" Aku menoleh ke arah mas Raka yang sedang fokus menyetir."Memang mau kemana sih?" Tanyaku penasaran. "Rahasia" Aku menatap sebal ke arah mas Raka. "Nyebelin deh..." rungutku."Ntar juga tahu setelah kita sampai tempatnya" Aku tak bersuara lagi hingga kamin sampai restoran yang kami tuju.~ ~ ~ ~ ~Di restoran ini punya banayk varian makanan mulai dari lokal hingga manaca negara. Mas Raka menyodorkan buku menu ke arahku. Setelah memilih menu, kami di suruh untuk menunngu beberapa saat. Dan aku masih melanjutkan acara diamku."Masih ngambek ya sama mas?" Aku tak menghiraukan mas Raka."Jangan ngambekan entar cantiknya luntur gimana?" Aku menatap ke arah mas Raka dengan senyum segaris. Sejak kapan Anti R
Rara berlari kearah belakang rumah hantu, semakin aku mengikutinya semakin gelap rasanya. Aku berhenti ketika sekelebat bayangan seperti ingatanku atau entah apa ini. Aku melihat diriku dengan versi yang lebih kecil beberapa tahun dari sekarang berlari seperti di kejar orang dan aku terjatuh karena tersandung akar pohon yang tak terlihat jelas, penerangan yang samar samar menandakan tempat ini jauh dari pemukiman atau pun keramaian. Aku yang terlihat di depanku saat ini berusaha untuk berdiri sekuat tenaga. Meski lututku berdar@h tapi masih berusaha berlari kembali. Suara berisik ranting patah, langkah kaki yang semakin dekat, membuat jantungku berpacu dengan cepat seakan aku ikut berlari bersama aku yang aku lihat di depanku ini.Apa ini ingatanku. Aku tak mungkin ada di tempat seperti ini. Jika benar itu aku, bagaimana aku bisa dalam keadaan di kejar seperti itu?. Aku melihat aku di bayangan itu terjatuh untuk yang kedua kalinya, luka sebelumnya membuat kakiku tak bis
Monday morning,Aku bersiap ke kampus, Papa menawariku untuk berangkat bersama. Tapi ku tolak karena tahu Papa ada meeting pagi ini, tadi om bagas menelepon saat kami sarapan. Client dari luar negeri sudah datang, jadi Papa datang menyambut dan di lanjutkan dengan kerja sama.Aku tak punya bodyguard untuk menjaga dua puluh empat jam lagi. Jadilah aku pergi di antar sopir yang bekerja cukup lama di keluargaku, namanya mang Ujang."Udah siap, non?" Tanya mang Ujang padaku. "Sudah, mang" jawabku dengan senyuman. Aku berjalan masuk ke dalam mobil, terdengar klakson mobil begitu familiar di telingaku."Mas Raka..." gumamku. Sepagi ini mas Raka sudah datang ke rumahku. Pikirku mungkin ada janji dengan Papa, karena pagi tadi buru buru jadi lupa memberi tahu mas Raka kalau Papa sudah ke kantor."Bentar mang, Rain kasih tahu mas Raka dulu kalau Papa sudah berangkat ke kantor" aku mendapatkan anggukan dari mang Ujang.Gegasku lari menuju m
Aku mengganti bajuku dengan cepat, tak sampai sepuluh menit aku sudah turun ke ruang tamu. Aku hanya memakai dress bunga selutut berlengan pendek dan polesan make up tipis juga liptint. "Ha hai.. mas Raka. maaf nunggu lama" tiba tiba aku grogi berhadapan dengan mas Raka. "Hai Rain, kamu sibuk gak? aku mau ajak jalan, boleh?" aku memandang mas Raka, kemudian sebuah pertanyaan muncul di kepalaku. "Mas Raka ngajak malam mingguan eh maksudnya jalan. Emang pacar mas Raka bolehin ?" entah pertanyaan bodoh atau polos yang aku tanyakan. "Pacar? aku gak punya pacar Rain, dan wait kenapa kamu mikir kalau aku sudah punya pacar?" panggilan 'mas' yang dulu disematkan untuk diri mas Raka saat berbicara padaku kini hilang. "Bukannya mbak Risa sama mas Raka pacaran?" aku tak salahkan jika melihat bagaimana interaksi antara Risa dan mas Raka di mall waktu itu. "Jangan bilang kamu mikir aku pacaran sama Risa karena kita pernah ketemu di
"Siapa itu tadi Rain? Mantan Kamu?" Pertanyaan yang terucap oleh Reno setelah insiden bertemu mas Raka dan Risa. Aku masih menarik tangan Reno menjauh dari area bioskop. "Rain, kita mau kemana sih ini? bentar lagi filmnya mulai loh? Telat entar kita" aku berhenti berjalan. "Dia bukan mantanku, dan aku udah gak mood buat nonton. Sekarang aku lapar, dari pada aku makan orang mending kita cari makan. entar aku ganti deh uang tiket tadi" aku masih manyun sama Reno. Aku tahu Reno tak tahu apa apa tapi aku tak bisa merubah mood ku dengan bersikap baik baik saja setelah bertemu mas Raka dan Risa. "Ya udah ayo cari makan. Mau makan apa? Buruan takut ni aku entar kamu makan juga jadiin aku sashimi" dan tawa kami berdua pun pecah. Reno memang bisa merubah suasana meski dengan kata kata receh gak jelas sekalipun. * * * * * Kami memustuskan makan di restoran Jepang gegara Reno sashimi. "Kayaknya aku pernah lihat deh cowok tadi, tapi dimana
Mobil melaju dengan kecepatan sedang. Air mata yaang aku tahan sejak tadi tak bisa ku bendung. Awalnya aku hanya terisak tapi rasa sakit kehilangan itu pelan menjalar ke relung hatiku. Reno membawa tubuhku ke dalam pelukannya. Tangisan ini terdengar pilu mewakili perasaanku yang pilu. "Rain... nangis aja sepuasnya. Nanti ketika kita sampai, kamu gak boleh nunjukin sisi lemahmu yang ini. Karena Rainy yang aku tahu adalah gadis yang kuat" Tangisku semakin keras, kulepaskan rasa pilu yang menusuk dada. Aku menyesal tak mengucapkan kata terakhir atau pun pelukan terakhir. "Gimana ini Ren? aku belum sempat minta maaf, ngabisin waktu lebih lama bahkan aku gak sempat kasih pelukan hangat tuk terakhir kali sambil bilang betapa aku sayang banget sama Eyang. Selama ini aku yang bandel gak pernah nurut. Aku nyesel banget kenapa aku gak bisa jadi cucu yang baik" Reno semakin menenggelamkanku dalam pelukan di dadanya dengan satu tangannya dia mengelus punggungku.
Reno menepati janjinya itu. Yang mana dia akan menemui ku di sini meski dia repot sebagai mahasiswa lagi. Ternyata Reno cuti kuliah dan bukan sepertiku yang cuma menyandang gelar calon mahasiswa. Aku masih tak pernah menghubungi mas Raka, begitu pun Papa yang tak pernah memberi tahukan di mana keberadaanku. Ini bulan ketiga setelah aku di tinggal pulang oleh Reno. Seperti pagi ini dia sudah nyengir kuda saat mengunjungi ku. "Kenapa pagi pagi udah senyum gak jelas aja? Kangen akut ya sama aku?" Tanya ku sambil tersenyum yang ikut tertular dari Reno. "Ih... geer bener kamu. mana ada aku kangen ama kamu. Yang ada tu kamu yang kangen tingkat dewa sama aku" Reno membalas sambil memberikanku paper bag. "Apa ni?" Tanyaku penasaran. "Makanan dari Mami, takutnya kamu makin kurus di sini sendirian tanpa aku. Makanya sengaja aku minta Mami buatin makanan buat kamu" Aku langsung membuka isi paper bag, aroma harum masakan Tante Susan langsung m
Saat awal aku harus memeriksakan diri ke Dokter, Aku masih duduk di kelas IX. Diagnosa mengalami BPD yang aku tak paham itu apa. Semakin di perparah dengan aku yang pernah mengalami penculikan. Hingga aku menjadi PTSD.Papa dan Eyang yang tidak terlalu peduli padaku, memicu gangguan yang aku alami di usia yang belia. Belum sembuh aku dari gangguan 'Borderline', Trauma penculikan membuatku semakin parah.Hayalanku bertemu Mama, menciptakan pertemanan dengan Rara adalah 'side effect' yang aku tunjukkan. Karena takut semakin parah, Eyang membawaku ke psikiater mengobati dengan cara menghipnotis agar aku bisa melupakan semua kejadian yang pernah aku alami untuk mengurangi tindak 'aneh'ku yang lain.Yang sayangnya meski Eyang mencoba menghapus ingatanku yang menyebabkan aku trauma, semua sia sia. Membuat ingatanku tumpang tindih, aku semakin tidak bisa membedakan mana yang khayalan, ilusi, atau nyata. Dokter pernah menyarankan keluargaku untuk membawaku berobat secar
Apa yang akan kamu lakukan jika apa yang kamu alami selama ini ternyata tak semuanya benar tapi hanya khayalan bahkan imajinasi yang tercipta oleh traumamu? Seperti Fata morgana yang bersifat khayal atau tak mungkin tercapai.Papa dan Eyang kekeh mengatakan aku baik baik saja. Hingga aku sendiri mengatakan ingin beristirahat dari kekacauan yang aku ciptakan dan menghilang untuk selamanya jika mereka tak membantu dan mendukung dalam kesembuhan penyakit mental yang aku alami.Mas Raka menemuiku beberapa kali ketika aku di rawat di rumah sakit. Aku tak ingin berpamitan pada mas Raka secara langsung. Jujur berat rasanya mengatakan perpisahan secara langsung padanya. Aku tak mau terlihat cengeng di depannya. Aku ingin menjadi perempuan yang lebih baik untuk ku sendiri ataupun orang di sekitarku.Meski Papa tak pernah memberikan sikap baik pada mas Raka setiap menjengukku, mas Raka tak surut sedikit pun. Bahkan Papa pernah menampar pipi mas Raka, Tapi ia m
Hari ini Papa menyuruh mas Raka datang menemuiku. Alasanku ingin bertemu mas Raka karena ingin meminta maaf tentang kejadian di taman hiburan dan aku datang ke kantornya hingga terjadi kecelakaan, Karena aku tak mungkin keluar jadilah mas Raka yang datang ke rumah sakit. Sekitar jam sepuluh siang mas Raka datang. "Hai... Rain" sapa mas Raka sambil mengangkat tangan. Terlihat kaku saat mas Raka mengucapkan sambil memandang ke arahku juga ke arah Papa yang duduk di sofa sedang menontoh tv. Tadi mas Raka memasuki kamarku bareng Papa. Entah kebetulan atau Papa berbicara dulu dengan mas Raka. Ku lihat bibir mas Raka terluka dan sedikit memar yang masih tertinggal di wajah putihnya. "Pa... Papa gak maksud mau jadi pengawas Rain kan? Rain mau ngobrol berdua sama mas Raka doang loh Pa? boleh kan? Rain gak akan kabur kok" Aku menoleh ke Papaku yang seakan tak peduli dengan ucapanku. di anggap angin lalu atau radio rusak aku ini. "Pa.... please. bentar doang kok"
Suara detak jantuk dari patient monitor terdengar pertama kali di indraku. Aku yakin berada di Rumah Sakit dari bau yang menyeruak ke indra penciumanku juga warna ruangan yang dominan putih ini."Rain? Apa sudah bangun?" Ku lihat Papa bertanya menatapku di sampingnya ada Eyang juga. Ingin rasanyamenjawab namun tiba tiba rasa sakit menyerang kepalaku. Refleks ku pegang kepalaku. Aku yakin kain yang melilit din kepala ini adalah perban.Seorang dokter dan suster datang mendekati ku. Mereka memeriksa mata dan juga tubuhku. Kemudian Dokter mereka mengobrol dengan Papa dan juga Eyang."Jika ada yang sakit atau tidak nyaman bilang saja ya?" Itu yang di ucapkan Dokter sebelum keluar ruangan. Aku hanya memberikan anggukan sebagai jawaban."Pa.... Rain kenapa?" Papa mengernyitkan dahi menatapku. "Kamu gak gak pa pa kok Rain. Apa ada yang sakit?" aku mencoba mengumpulkan tenaga unuk berbicara."Pa, Apa Rain tidak waras atau sakit jiwa?" suaraku semakin lirih