"Assalamualaikum." Habibi menoleh ke luar dan mendapati Hafiz yang berdiri di sana."Wa'alaikumsalam, eh Nak Hafiz silakan masuk," ucap Habibi lalu mendekati Hafiz dan mengajaknya masuk ke dalam rumah. Hafiz menelisik mencari keberadaan Sofia, tapi dia tak menemukannya."Sofia tidak ada di sini, dia kembali ke kota," ucap Habibi yang seperti mengerti bahwa Hafiz sedang mencari putrinya. Hafiz yang sadar karena teguran dari Habibi merasa sungkan sekaligus malu, malu karena sudah ketahuan sedang mencari Sofia.Namun ia buru-buru menghapus khayalannya tentang Sofia, apalagi Hafiz sekarang sudah tahu bahwa Sofia memiliki suami. Jadi, sangat tak ada kemungkinan ia dan Sofia akan kembali seperti sedia kala."Oh iya, Ayah, saya pikir dia masih di sini. Wajar saja dia pulang kembali ke kota, karena ya di sana kan ada suaminya." Hafiz terkekeh kecil mengingat bahwa Sofia sudah menjadi milik orang lain. Jujur dari lubuk hati yang terdalam Hafiz masih sangat mencintai Sofia, bahkan hingga saat i
"Ada apa, Bu? Mengapa pulang merengut begitu?" tanya Rani yang heran dengan sang Ibu. Padahal tadi saat mau berangkat ke arisan, ibunya begitu senang untuk memamerkan tas dan sepatu yang baru saja ia dapatkan."Ke mana tas dan sepatu, Ibu? Ibu nyeker pulang ke rumah?" tanya Rani yang tak kunjung dapat jawaban dari sang Ibu.Rani yang khawatir buru-buru mendekati ibunya, lalu bertanya secara detail. Namun Romlah malah menangis kencang, dan tentu saja itu membuat Rani terkejut."Malu sekali Ibu, Ran, ternyata itu si Sofia ada di tempat arisan. Ibu kaget banget dia ada di sana, dan tiba-tiba Sofia datang malah malu-maluin Ibu," ucap Romlah pada Rani. Rani mengerutkan keningnya bingung."Bukannya dia pulang kampung ya, Bu?" tanya Rani pada Romlah."Nggak tau juga, Adnan sih bilangnya gitu, tapi kenapa dia sekarang ada di sini. Nggak mungkin kan kalo itu kembarannya Sofia," ucap Romlah sambil menghapus air mata buayanya."Lagian kok bisa si Sofia malu-maluin Ibu, kan Ibu dapat beli tas dan
"Ada apa, Sofia?" tanya Adinda saat melihat Sofia melamun. Ia berjalan mendekati temannya."Lili baru saja mengirim pesan padaku, dia bilang Mas Adnan sakit," ucap Sofia pada Adinda."Lalu, jika dia sakit apa kamu akan menemuinya dan kembali luluh dan kalian akan bersama lagi?" tanya Adinda pada Sofia."Tidak! Aku sudah bertekad tak ingin menemui Mas Adnan terkecuali saat sidang pertama perceraian. Aku tak akan mau luluh lagi padanya, cukup sampai di sini saja luka yang dia berikan. Aku tak ingin kembali ke tempat yang sama, tempat di mana aku tak pernah dianggap," ungkap Sofia menatap Adinda dalam. "Baguslah, Sofia. Tetaplah pada tujuan dan komitmenmu, kamu bisa memberikan doa saja untuk kesembuhannya agar dia bisa hadir di persidangan pertama kalian nanti. Kalo tidak hadir, ya itu akan lebih mempermudah proses perceraianmu dan juga Adnan," ucap Adinda."Aku mau ke toko, kamu mau ikut atau di rumah saja?" tanya Adinda sambil melangkah pergi ke luar kamar."Aku di rumah saja, Din, te
"Karena kau memiliki wajah yang sangat mirip dengan bajingan itu!"Sudah berbulan-bulan lamanya, tetapi perkataan sang Ibu terus melekat di ingatan Lisa. Semenjak malam perdebatan yang panjang, Lisa sudah jarang bertegur sapa dengan sang Ibu. Setelah lulus sekolah pun, dia langsung fokus bekerja dan memilih untuk tinggal sendiri di kost. Lisa ingin memulai hidupnya dari awal tak peduli lagi dengan bagaimana murka ibunya kepada dirinya nanti. Menurut Lisa mentalnya lebih penting dari apapun.***Enam bulan yang lalu, sidang antara Sofia dan Adnan dilaksanakan. Dan Adnan tentunya berhadir untuk menolak perceraian mereka berdua.Karena bukti yang kuat, membuat Adnan harus ikhlas menerima bahwa ia dan Sofia tak bisa bersatu kembali."Baguslah kau sadar diri Sofia. Aku bersyukur tak lagi bermenantukan gadis kampung sepertimu," ucap Romlah dengan sinis. Dia menatap Sofia seperti jijik.Sofia hanya tersenyum, enggan berdebat dengan mantan mertuanya. Saat ini Sofia ditemani sang Ayah menghad
Bukan Adnan namanya kalo tidak mengganggu Sofia, meski sudah berpisah. Adnan masih saja mengganggu Sofia dengan cara mengirim pesan, bahkan sudah diblokir Adnan masih tak kehabisan akal untuk terus menghubungi Sofia. Sampai akhirnya Sofia memutuskan untuk mengganti nomor telepon. Karena Sofia yang tak bisa lagi dihubungi Adnan memutuskan untuk pergi ke kampung halaman Sofia hanya untuk mengawasi Sofia dan terus memantau kegiatannya. Meski ibunya sudah melarang, Adnan tetap nekat menemui Sofia. Bahkan Adnan pergi tanpa sepengetahuan Romlah.Adnan sekarang sudah tak lagi mengelola toko miliknya, karena usahanya yang kian menurun membuat dia harus kehilangan tempat untuk dia mencari nafkah. Bukannya mencari cara supaya bisa bekerja, Adnan malah fokus kepada Sofia, mantan istrinya.Berbagai cara Adnan lakukan, dan semua itu dilakukannya agar Sofia mau tinggal bersamanya, tapi tentu saja tidak akan mudah. Setiap kali Adnan berkunjung ke rumah Sofia, Sofia tak pernah mau membukakan pintu r
"Hentikan! Apa yang kalian lakukan di rumah saya!" bentak Romlah seraya melepaskan cengkraman erat Bu Indah pada putrinya."Aduh, sakit, Bu," lirih terdengar suara milik Rani. Dia tak mengerti mengapa tiba-tiba ada segerombolan ibu-ibu yang datang menghampirinya dan membuat kekacauan di rumah sang Ibu."Romlah! Aku tidak mau tahu, suruh anakmu mengembalikan uang yang sudah dirampasnya dari suamiku!" ucap Bu Indah penuh penekanan. "Suamimu yang mana, aku tak pernah merampas uang suamimu. Kenal saja tidak," elak Rani yang memang tak tahu siapa suami dari Bu Indah. Karena selama ini pria yang dikencaninya itu acak, tak terlalu berpatokan pada satu laki-laki saja.Bu Indah buru-buru mengeluarkan ponsel dari dalam tasnya dan menampilkan gambar suaminya pada Rani.Rani terkejut bukan main mendapati lelaki yang ada di dalam foto tersebut. Dia baru ingat itu adalah Pak Kamal, manager perusahaan yang selama ini sudah dekat dengannya.Ia juga sudah beberapa kali berkencan dengan lelaki tersebu
"Sofia, kenapa senyum-senyum sendiri?" tanya Habibi saat tak sengaja menatap putrinya yang sepertinya sedang bahagia."Sofia cuma merasa lucu saja dengan pesan yang dikirimkan Adinda, Ayah, makanya daritadi tidak berhenti untuk tersenyum," jawab Sofia pada sang Ayah."Apa kamu masih mencintai Nak Hafiz?" tanya Habibi membuat Sofia terdiam bingung menjawab pertanyaan yang diberikan sang Ayah."Tidak, Ayah. Sofia sudah tak ingin menaruh hati lagi pada laki-laki. Trauma yang Sofia rasakan, sangat susah untuk dilupakan. Menurut Sofia, semua laki-laki itu sama saja. Pandai memberi manis, tapi juga pembuat luka yang hebat." Sofia memandang lurus ke depan. Dia seperti seolah-olah mati rasa pada semua pria. Bermula dari Hafiz dan sekarang Adnan yang menyakitinya."Namun, tak ada salahnya jika kamu mencoba membuka hati, Nak. Ayah juga tak memaksa, Ayah masih melihat sorot matamu pada Hafiz masih sama," ucap Habibi. Sebagai seorang Ayah dia paham betul masalah percintaan sang putri."Tidak, Aya
"Apa urusanmu?" tanya Adnan dengan geram menatap wajah milik Hafiz."Urusanku, tentu saja aku bertugas untuk melindungi Sofia dari lelaki sepertimu."Adnan tertawa keras.mendengar penuturan yang disampaikan oleh Hafiz. "Memangnya kau siapa hingga harus melindungi Sofia. Asal kau tahu, aku adalah suaminya!" tegas Adnan.Sekarang malah Hafiz yang tertawa ketika mendengar perkataan yang dilontarkan oleh Adnan. "Kau sedang bermimpi atau bagaimana? Bukankah kamu sudah bercerai dengan Sofia, lalu di mana letak statusmu sebagai suaminya? Jangan bermimpi lagi, nanti lama-lama kau bisa gila dengan khayalanmu itu."Bugh! Adnan langsung menampar pipi milik Hafiz, tak terima Hafiz lalu membalas balik pukulan Adnan dengan lebih keras.Bugh!Bugh!"Hentikan!" teriak Sofia yang kelimpungan saat melihat perkelahian di antara dua pria itu."Stop!" Bugh!Saat Adnan melayangkan kembali tamparan pada Hafiz, bukannya Hafiz yang kena. Malah Sofia yang akhirnya terjatuh ke tanah dengan pandangan yang mula
Awalnya Sofia dan Hafiz berencana berangkat malam itu juga, tapi karena ada satu dua hal akhirnya mereka tak jadi berangkat pada malam hari.Di sinilah Sofia berada, dia duduk di samping brankar milik Lisa. Sofia diberi kabar bahwa keadaan Lisa saat ini sangat memprihatinkan. Dari tadi air matanya tak kunjung reda, bagai hujan yang terus menerus turun membasahi bumi."Lili, Mbak Sofia sudah datang. Kenapa tak bangun, katanya kamu mau bertemu dengan Mbak. Lili maafkan, Mbak, maafkan atas ucapan Mbak yang membuat kehidupanmu menjadi seperti ini," ucap Sofia terdengar lirih. Hanya ada ia dan juga Lisa di dalam kamar rumah sakit ini."Mbak nggak nyangka kamu harus menderita penyakit yang jahat ini. Kenapa nggak pernah bilang sama Mbak, Lili. Andai saja kamu bilang dari awal, mungkin penyakitmu tak akan separah ini, Dek," ujar Sofia sambil menggenggam tangan Lisa dengan penuh harapan agar Lisa kembali bangun."Mbak sudah memaafkanmu, Dek, Mbak ikhlas dan ridha, lagipula selama menjadi adik
"M-mas Adnan," ucap Lisa tergagap saat melihat Adnan yang datang dengan raut wajah tak dapat diartikan."Kamu bohong kan, Dek?" tanyanya sambil memegang bahu Lisa. Lisa hanya diam dengan air mata yang terus mengalir membasahi pipinya."Kenapa, Dek? Kenapa hal seberat ini kamu sembunyikan dari Mas, kamu sudah tak menganggap Mas lagi, Dek?""Maafkan Lisa, Mas, Lisa ...." Tenggorokan Lisa rasanya tercekat, dia bahkan tak mampu melanjutkan ucapannya.***Hampir sebulan sudah lamanya Lisa di rawat di rumah sakit. Setelah pernyataan-pernyataan yang dilontarkan Lisa hari itu juga Adnan merasa dunianya benar-benar hancur. Cobaan bertubi-tubi menghampirinya. Bahkan sekarang, adik kecil kesayangannya pun harus terbaring menahan sakit."Kamu yang kuat ya, Dek, Mas akan usahakan apapun agar kamu bisa kembali seperti semula." Adnan memegang tangan sang Adik, besar harapannya agar Lisa bisa kembali normal seperti sedia kala."Jangan berjuang terlalu keras, Mas. Dokter sudah memvonis bahwa hidupku t
"M-mas Adnan," ucap Lisa tergagap saat melihat Adnan yang datang dengan raut wajah tak dapat diartikan."Kamu bohong kan, Dek?" tanyanya sambil memegang bahu Lisa. Lisa hanya diam dengan air mata yang terus mengalir membasahi pipinya."Kenapa, Dek? Kenapa hal seberat ini kamu sembunyikan dari Mas, kamu sudah tak menganggap Mas lagi, Dek?""Maafkan Lisa, Mas, Lisa ...." Tenggorokan Lisa rasanya tercekat, dia bahkan tak mampu melanjutkan ucapannya.***Hampir sebulan sudah lamanya Lisa di rawat di rumah sakit. Setelah pernyataan-pernyataan yang dilontarkan Lisa hari itu juga Adnan merasa dunianya benar-benar hancur. Cobaan bertubi-tubi menghampirinya. Bahkan sekarang, adik kecil kesayangannya pun harus terbaring menahan sakit."Kamu yang kuat ya, Dek, Mas akan usahakan apapun agar kamu bisa kembali seperti semula." Adnan memegang tangan sang Adik, besar harapannya agar Lisa bisa kembali normal seperti sedia kala."Jangan berjuang terlalu keras, Mas. Dokter sudah memvonis bahwa hidupku t
Sudah hampir dua minggu Hafiz sudah tak lagi menganggu Sofia. Selama itu juga Sofia merasa ada yang hilang. Bahkan, Hafiz bertamu ke rumah Sofia jika Sofia sudah tak ada di rumah."Assalamualaikum.""Wa'alakumsalam warahmatullah," sahut Habibi dan Hafiz serentak. Hafiz yang melihat Sofia pulang, bangkit dari duduknya."Ayah, Hafiz pulang dulu, ya. Nanti Hafiz akan sering-sering mampir lagi ke rumah Ayah," ucap Hafiz tanpa menoleh pada Sofia.Hafiz melalui Sofia sambil menganggukkan kepalanya."Hafiz," panggil Sofia yang melihat ada banyak perubahan pada diri Hafiz."Ya, Sofia, ada apa?" tanya Hafiz sekenanya."Apa aku ada berbuat salah?" tanya Sofia. Entah mengapa dia tiba-tiba mengeluarkan kalimat seperti itu. Melihat sikap Hafiz beberapa Minggu ini membuat Sofia merasa hampa. Seperti ada yang tak beres."Tidak ada. Memangnya kenapa?" Hafiz kembali bertanya pada Sofia."Aku merasa kamu berubah," ucap Sofia menatap Hafiz dengan penuh arti."Aku tidak berubah, Sofia," ucap Hafiz sambil
Hari sudah mulai larut suasana duka menyelimuti keberadaan keluarga Adnan, saat ini Romlah sedang berbaring di ranjang. Karena beberapa kali ia pingsan saat melihat sang putri memasuki liang lahat, bahkan mungkin ia juga lelah karena sempat berdebat dengan putri bungsunya. Bukan berdebat lebih tepatnya, dia marah.Saat ini Adnan duduk termenung di sofa, sambil menatap kosong langit-langit rumahnya. Perasaannya berkecamuk, bercampur aduk menjadi satu. Hingga tak dapat dijelaskan dengan kata-kata lagi. Adnan mengingat kejadian yang membuatnya hampir lepas kendali. Ia merasa sangat bersalah pada adik kecil kesayangannya.Namun di sisi lain, dia senang karena ada seseorang yang membela adik kecilnya saat dalam keadaan yang benar-benar terpuruk."Untuk apa kamu kemari, hah?!" Romlah begitu murka saat melihat Lisa datang saat Rani mulai dimandikan."Anak durhaka kamu, untuk apa lagi kamu kembali. Aku lebih baik kehilanganmu daripada harus kehilangan putri tersayangku.""Ibu." Adnan menatap
"Adnan, ada apa dengan mbakmu?" tanya Romlah yang masih tidak mengerti. "Apa kamu sudah menemukan mbakmu, di mana dia? Ibu akan memarahi dia karena sudah mengambil sertifikat rumah dan juga menggadaikannya." Romlah dengan geram berkata seperti itu."Ibu, Mbak Rani sudah tidak ada." Adnan memegang telapak tangan ibunya. Romlah mengernyitkan keningnya."Tidak ada bagaimana, Adnan? Kamu lagi ngelantur, ya. Kamu kangen ya sama mbakmu?" tanya Romlah sambil meletakkan telapak tangannya di kening milik Adnan."Adnan tidak sakit, Bu, yang menelepon Adnan tadi adalah anggota kepolisian yang mengatakan bahwa mayat milik Mbak Rani ditemukan di hotel ***," ucap Adna yang membuat Romlah shock dan langsung terduduk di lantai.Romlah menatap Adnan mencari kebohongan pada putraya. "Tidak mungkin, Adnan, pasti mereka salah memberikan informasi pada kita," ucap Romlah yang masih enggan untuk percaya, padahal di hati kecilnya dia sangat takut jika itu benar-benar terjadi pada putri kesayangannya."Mak
Sudah hampir tiga hari lamanya Lisa pergi dari rumah, selama itu juga Adnan sangat mengkhawatirkan adiknya itu. Bahkan, saat dia ke tempat kerja Lisa, dia sama sekali tak menemukan Lisa di sana."Ya Allah Lisa, kemana perginya kamu, Dek," ucap Adnan di dalam mobilnya, ia mengusap wajahnya dengan kasar."Harusnya aku lebih memperhatikan adikku, dia sekarang pasti sangat terpukul atas kata-kata Ibu. Bahkan, saat Lisa pergi pun Ibu sama sekali tak peduli," gumam Adnan berbicara pada dirinya sendiri. Dia merasa gagal menjadi Abang dan juga sebagai anak. Dia merasa sangat hancur melihat seberapa berantakannya keluarganya sekarang. Sedikit terbesit, apakah ini artinya sumpah Sofia sedang bekerja. Namun, ia buru-buru menggelengkan kepalanya, tak percaya akan itu semua.***"Sofia, apa benar ada guru baru di Madrasah?" tanya Hafiz yang tiba-tiba sudah ada di rumah Sofia saat Sofia baru pulang bekerja."Iya, benar." Sofia hanya menjawab singkat, dia sedikit canggung berhadapan dengan Hafiz apa
"Biarkan saja, Ibu sudah tidak peduli dengan anak durhaka itu. Semenjak kelahiran dia, ekonomi kita menurun. Bahkan Ibu merasa kehadirannya hanyalah sebagai pembawa sial, sama seperti mantan istrimu itu ... Sofia!""Ibu, berhenti berbicara seperti itu. Adnan tidak suka Ibu mengatakan seperti itu pada Lisa. Adnan sakit hati mendengarnya, bisa tidak? Sekali saja Ibu memahami perasaan Lisa." Adnan berbicara tegas pada Romlah. Romlah hanya mengerlingkan matanya, bosan mendengar perdebatan yang daritadi tak kunjung selesai.Sebagai orang tua, dia sama sekali tak ingin mengintrospeksi diri sendiri. Apa yang salah pada dirinya, selalu merasa diri adalah orang yang paling benar di antara orang termuda.Sedangkan Lisa, dia menangis dari balik pintu. Meski sekarang sudah berada di dalam kamar, masih terdengar jelas perdebatan yang dilakukan Abang dan ibunya sendiri."Ibu kok jahat banget sih ngatain aku gitu, capek banget aku hidup kayak gini. Nggak ada aturannya sama sekali, nggak ada yang bis
"Kamu marah sama Ibu Adnan, kamu lupa siapa yang dulu mengajarimu bicara. Sekarang nada bicaramu lebih tinggi daripada Ibu.""Sakit sekali hatiku, Tuhan. Anak-anakku sama sekali tidak ada yang peduli dengan nasibku, bahkan mereka dengan secara sengaja menyakitiku begitu saja."Romlah menangis histeris, bukan tangis sesungguhnya dia sekarang sedang bersandiwara karena ingin mendapatkan rasa iba dari anak-anaknya."Bukan begitu, Bu. Adnan tetap peduli pada Ibu, jika Adnan tidak peduli dari dulu sudah Adnan telantarkan Ibu. Namun, buktinya kan sekarang Adnan rela rumah tangga Adnan hancur karena rasa bakti Adnan pada Ibu.""Jadi, kamu menyalahkan Ibu atas hancurnya keluargamu, begitukah?""Adnan, Sofia itu memang tidak pantas untukmu. Dia itu wanita kampungan, tidak sederajat dengan kita. Lagipula, dia juga tak bisa menyenangkan hati Ibu, kerjanya hanya menjadi bebanmu saja.""Bukannya berpikir untuk mencari cara supaya bisa mencari uang untuk membantu perekonomian, ini malah nambah-namba