"Terima kasih sudah menolongku," ucap Sofia pada Hafiz yang kini sedang menemaninya di puskesmas."Iya, sama-sama. Apa sekarang kamu sudah merasa baik Sofia?" tanya Hafiz dengan raut wajah masih khawatir terhadap keadaan Sofia, kekasih hatinya."Aku merasa lebih baik," jawab Sofia, lalu mencoba memejamkan matanya karena kepalanya mulai terasa pusing."Sofia!" panggil Habibi yang terburu-buru menghampiri putrinya."Bagaimana keadaanmu, Nak. Ayah terkejut mendengar kabar kamu. Di mana yang sakit, Ayah tadi ke tempat Adnan terlebih dahulu. Berkali-kali Ayah mengetuk pintu, tapi tak ada sahutan dari dalam. Sepertinya dia takut jika Ayah mengamuk di tempatnya.""Ayah tak terima putri Ayah disakiti oleh pria itu. Kurang ajar sekali dia, beraninya menyakitimu lagi. Di mana yang sakit?" tanya Habibi sambil mengecek keadaan Sofia yang terbaring lemah."Sofia sudah agak mendingan dari sebelumnya Ayah. Hanya kepala Sofia yang masih terasa sedikit pusing. Ayah sudah makan?" tanya Sofia balik. Ent
"Bunda, bagaimana kabar, Bunda?" Setelah beberapa hari Sofia istirahat di rumah. Hari ini dia kembali mengajar mengaji seperti biasanya, Adnan pun sudah tak ada lagi di kampung untuk mengganggunya. Saat tak sengaja bertemu dengan Hafiz, Sofia langsung memalingkan pandangannya. Entah mengapa ada perasaan berbeda, Sofia merasa gugup setiap saat jika selalu ada di dekat Hafiz.Dan sekarang dia tidak sengaja bertemu dengan Ibunda Hafiz saat perjalanan pulang ke rumahnya. Sofia menyalimi punggung tangan milik Ibunda Hafiz."Alhamdulillah, Bunda baik. Bagaimana kabarmu, Nak, Ibu sudah lama tidak melihatmu. Kamu tambah cantik sekarang, ya," ucap sang Bunda. Sofia tersenyum malu saat mendengar pujian itu."Iya dong, Bunda. Sofia memang selalu cantik dari dulu," kata Hafiz yang membuat senyuman di bibir Sofia menipis."Sofia, Bunda sebenarnya ke sini ingin sekalian ke rumahmu, apakah boleh?" tanya Ibunda Hafiz pada Sofia. "Oh, tentu saja sangat boleh, Bunda. Ayo, Bunda, kita sekalian saja ba
"Kamu marah sama Ibu Adnan, kamu lupa siapa yang dulu mengajarimu bicara. Sekarang nada bicaramu lebih tinggi daripada Ibu.""Sakit sekali hatiku, Tuhan. Anak-anakku sama sekali tidak ada yang peduli dengan nasibku, bahkan mereka dengan secara sengaja menyakitiku begitu saja."Romlah menangis histeris, bukan tangis sesungguhnya dia sekarang sedang bersandiwara karena ingin mendapatkan rasa iba dari anak-anaknya."Bukan begitu, Bu. Adnan tetap peduli pada Ibu, jika Adnan tidak peduli dari dulu sudah Adnan telantarkan Ibu. Namun, buktinya kan sekarang Adnan rela rumah tangga Adnan hancur karena rasa bakti Adnan pada Ibu.""Jadi, kamu menyalahkan Ibu atas hancurnya keluargamu, begitukah?""Adnan, Sofia itu memang tidak pantas untukmu. Dia itu wanita kampungan, tidak sederajat dengan kita. Lagipula, dia juga tak bisa menyenangkan hati Ibu, kerjanya hanya menjadi bebanmu saja.""Bukannya berpikir untuk mencari cara supaya bisa mencari uang untuk membantu perekonomian, ini malah nambah-namba
"Biarkan saja, Ibu sudah tidak peduli dengan anak durhaka itu. Semenjak kelahiran dia, ekonomi kita menurun. Bahkan Ibu merasa kehadirannya hanyalah sebagai pembawa sial, sama seperti mantan istrimu itu ... Sofia!""Ibu, berhenti berbicara seperti itu. Adnan tidak suka Ibu mengatakan seperti itu pada Lisa. Adnan sakit hati mendengarnya, bisa tidak? Sekali saja Ibu memahami perasaan Lisa." Adnan berbicara tegas pada Romlah. Romlah hanya mengerlingkan matanya, bosan mendengar perdebatan yang daritadi tak kunjung selesai.Sebagai orang tua, dia sama sekali tak ingin mengintrospeksi diri sendiri. Apa yang salah pada dirinya, selalu merasa diri adalah orang yang paling benar di antara orang termuda.Sedangkan Lisa, dia menangis dari balik pintu. Meski sekarang sudah berada di dalam kamar, masih terdengar jelas perdebatan yang dilakukan Abang dan ibunya sendiri."Ibu kok jahat banget sih ngatain aku gitu, capek banget aku hidup kayak gini. Nggak ada aturannya sama sekali, nggak ada yang bis
Sudah hampir tiga hari lamanya Lisa pergi dari rumah, selama itu juga Adnan sangat mengkhawatirkan adiknya itu. Bahkan, saat dia ke tempat kerja Lisa, dia sama sekali tak menemukan Lisa di sana."Ya Allah Lisa, kemana perginya kamu, Dek," ucap Adnan di dalam mobilnya, ia mengusap wajahnya dengan kasar."Harusnya aku lebih memperhatikan adikku, dia sekarang pasti sangat terpukul atas kata-kata Ibu. Bahkan, saat Lisa pergi pun Ibu sama sekali tak peduli," gumam Adnan berbicara pada dirinya sendiri. Dia merasa gagal menjadi Abang dan juga sebagai anak. Dia merasa sangat hancur melihat seberapa berantakannya keluarganya sekarang. Sedikit terbesit, apakah ini artinya sumpah Sofia sedang bekerja. Namun, ia buru-buru menggelengkan kepalanya, tak percaya akan itu semua.***"Sofia, apa benar ada guru baru di Madrasah?" tanya Hafiz yang tiba-tiba sudah ada di rumah Sofia saat Sofia baru pulang bekerja."Iya, benar." Sofia hanya menjawab singkat, dia sedikit canggung berhadapan dengan Hafiz apa
"Adnan, ada apa dengan mbakmu?" tanya Romlah yang masih tidak mengerti. "Apa kamu sudah menemukan mbakmu, di mana dia? Ibu akan memarahi dia karena sudah mengambil sertifikat rumah dan juga menggadaikannya." Romlah dengan geram berkata seperti itu."Ibu, Mbak Rani sudah tidak ada." Adnan memegang telapak tangan ibunya. Romlah mengernyitkan keningnya."Tidak ada bagaimana, Adnan? Kamu lagi ngelantur, ya. Kamu kangen ya sama mbakmu?" tanya Romlah sambil meletakkan telapak tangannya di kening milik Adnan."Adnan tidak sakit, Bu, yang menelepon Adnan tadi adalah anggota kepolisian yang mengatakan bahwa mayat milik Mbak Rani ditemukan di hotel ***," ucap Adna yang membuat Romlah shock dan langsung terduduk di lantai.Romlah menatap Adnan mencari kebohongan pada putraya. "Tidak mungkin, Adnan, pasti mereka salah memberikan informasi pada kita," ucap Romlah yang masih enggan untuk percaya, padahal di hati kecilnya dia sangat takut jika itu benar-benar terjadi pada putri kesayangannya."Mak
Hari sudah mulai larut suasana duka menyelimuti keberadaan keluarga Adnan, saat ini Romlah sedang berbaring di ranjang. Karena beberapa kali ia pingsan saat melihat sang putri memasuki liang lahat, bahkan mungkin ia juga lelah karena sempat berdebat dengan putri bungsunya. Bukan berdebat lebih tepatnya, dia marah.Saat ini Adnan duduk termenung di sofa, sambil menatap kosong langit-langit rumahnya. Perasaannya berkecamuk, bercampur aduk menjadi satu. Hingga tak dapat dijelaskan dengan kata-kata lagi. Adnan mengingat kejadian yang membuatnya hampir lepas kendali. Ia merasa sangat bersalah pada adik kecil kesayangannya.Namun di sisi lain, dia senang karena ada seseorang yang membela adik kecilnya saat dalam keadaan yang benar-benar terpuruk."Untuk apa kamu kemari, hah?!" Romlah begitu murka saat melihat Lisa datang saat Rani mulai dimandikan."Anak durhaka kamu, untuk apa lagi kamu kembali. Aku lebih baik kehilanganmu daripada harus kehilangan putri tersayangku.""Ibu." Adnan menatap
Sudah hampir dua minggu Hafiz sudah tak lagi menganggu Sofia. Selama itu juga Sofia merasa ada yang hilang. Bahkan, Hafiz bertamu ke rumah Sofia jika Sofia sudah tak ada di rumah."Assalamualaikum.""Wa'alakumsalam warahmatullah," sahut Habibi dan Hafiz serentak. Hafiz yang melihat Sofia pulang, bangkit dari duduknya."Ayah, Hafiz pulang dulu, ya. Nanti Hafiz akan sering-sering mampir lagi ke rumah Ayah," ucap Hafiz tanpa menoleh pada Sofia.Hafiz melalui Sofia sambil menganggukkan kepalanya."Hafiz," panggil Sofia yang melihat ada banyak perubahan pada diri Hafiz."Ya, Sofia, ada apa?" tanya Hafiz sekenanya."Apa aku ada berbuat salah?" tanya Sofia. Entah mengapa dia tiba-tiba mengeluarkan kalimat seperti itu. Melihat sikap Hafiz beberapa Minggu ini membuat Sofia merasa hampa. Seperti ada yang tak beres."Tidak ada. Memangnya kenapa?" Hafiz kembali bertanya pada Sofia."Aku merasa kamu berubah," ucap Sofia menatap Hafiz dengan penuh arti."Aku tidak berubah, Sofia," ucap Hafiz sambil
Awalnya Sofia dan Hafiz berencana berangkat malam itu juga, tapi karena ada satu dua hal akhirnya mereka tak jadi berangkat pada malam hari.Di sinilah Sofia berada, dia duduk di samping brankar milik Lisa. Sofia diberi kabar bahwa keadaan Lisa saat ini sangat memprihatinkan. Dari tadi air matanya tak kunjung reda, bagai hujan yang terus menerus turun membasahi bumi."Lili, Mbak Sofia sudah datang. Kenapa tak bangun, katanya kamu mau bertemu dengan Mbak. Lili maafkan, Mbak, maafkan atas ucapan Mbak yang membuat kehidupanmu menjadi seperti ini," ucap Sofia terdengar lirih. Hanya ada ia dan juga Lisa di dalam kamar rumah sakit ini."Mbak nggak nyangka kamu harus menderita penyakit yang jahat ini. Kenapa nggak pernah bilang sama Mbak, Lili. Andai saja kamu bilang dari awal, mungkin penyakitmu tak akan separah ini, Dek," ujar Sofia sambil menggenggam tangan Lisa dengan penuh harapan agar Lisa kembali bangun."Mbak sudah memaafkanmu, Dek, Mbak ikhlas dan ridha, lagipula selama menjadi adik
"M-mas Adnan," ucap Lisa tergagap saat melihat Adnan yang datang dengan raut wajah tak dapat diartikan."Kamu bohong kan, Dek?" tanyanya sambil memegang bahu Lisa. Lisa hanya diam dengan air mata yang terus mengalir membasahi pipinya."Kenapa, Dek? Kenapa hal seberat ini kamu sembunyikan dari Mas, kamu sudah tak menganggap Mas lagi, Dek?""Maafkan Lisa, Mas, Lisa ...." Tenggorokan Lisa rasanya tercekat, dia bahkan tak mampu melanjutkan ucapannya.***Hampir sebulan sudah lamanya Lisa di rawat di rumah sakit. Setelah pernyataan-pernyataan yang dilontarkan Lisa hari itu juga Adnan merasa dunianya benar-benar hancur. Cobaan bertubi-tubi menghampirinya. Bahkan sekarang, adik kecil kesayangannya pun harus terbaring menahan sakit."Kamu yang kuat ya, Dek, Mas akan usahakan apapun agar kamu bisa kembali seperti semula." Adnan memegang tangan sang Adik, besar harapannya agar Lisa bisa kembali normal seperti sedia kala."Jangan berjuang terlalu keras, Mas. Dokter sudah memvonis bahwa hidupku t
"M-mas Adnan," ucap Lisa tergagap saat melihat Adnan yang datang dengan raut wajah tak dapat diartikan."Kamu bohong kan, Dek?" tanyanya sambil memegang bahu Lisa. Lisa hanya diam dengan air mata yang terus mengalir membasahi pipinya."Kenapa, Dek? Kenapa hal seberat ini kamu sembunyikan dari Mas, kamu sudah tak menganggap Mas lagi, Dek?""Maafkan Lisa, Mas, Lisa ...." Tenggorokan Lisa rasanya tercekat, dia bahkan tak mampu melanjutkan ucapannya.***Hampir sebulan sudah lamanya Lisa di rawat di rumah sakit. Setelah pernyataan-pernyataan yang dilontarkan Lisa hari itu juga Adnan merasa dunianya benar-benar hancur. Cobaan bertubi-tubi menghampirinya. Bahkan sekarang, adik kecil kesayangannya pun harus terbaring menahan sakit."Kamu yang kuat ya, Dek, Mas akan usahakan apapun agar kamu bisa kembali seperti semula." Adnan memegang tangan sang Adik, besar harapannya agar Lisa bisa kembali normal seperti sedia kala."Jangan berjuang terlalu keras, Mas. Dokter sudah memvonis bahwa hidupku t
Sudah hampir dua minggu Hafiz sudah tak lagi menganggu Sofia. Selama itu juga Sofia merasa ada yang hilang. Bahkan, Hafiz bertamu ke rumah Sofia jika Sofia sudah tak ada di rumah."Assalamualaikum.""Wa'alakumsalam warahmatullah," sahut Habibi dan Hafiz serentak. Hafiz yang melihat Sofia pulang, bangkit dari duduknya."Ayah, Hafiz pulang dulu, ya. Nanti Hafiz akan sering-sering mampir lagi ke rumah Ayah," ucap Hafiz tanpa menoleh pada Sofia.Hafiz melalui Sofia sambil menganggukkan kepalanya."Hafiz," panggil Sofia yang melihat ada banyak perubahan pada diri Hafiz."Ya, Sofia, ada apa?" tanya Hafiz sekenanya."Apa aku ada berbuat salah?" tanya Sofia. Entah mengapa dia tiba-tiba mengeluarkan kalimat seperti itu. Melihat sikap Hafiz beberapa Minggu ini membuat Sofia merasa hampa. Seperti ada yang tak beres."Tidak ada. Memangnya kenapa?" Hafiz kembali bertanya pada Sofia."Aku merasa kamu berubah," ucap Sofia menatap Hafiz dengan penuh arti."Aku tidak berubah, Sofia," ucap Hafiz sambil
Hari sudah mulai larut suasana duka menyelimuti keberadaan keluarga Adnan, saat ini Romlah sedang berbaring di ranjang. Karena beberapa kali ia pingsan saat melihat sang putri memasuki liang lahat, bahkan mungkin ia juga lelah karena sempat berdebat dengan putri bungsunya. Bukan berdebat lebih tepatnya, dia marah.Saat ini Adnan duduk termenung di sofa, sambil menatap kosong langit-langit rumahnya. Perasaannya berkecamuk, bercampur aduk menjadi satu. Hingga tak dapat dijelaskan dengan kata-kata lagi. Adnan mengingat kejadian yang membuatnya hampir lepas kendali. Ia merasa sangat bersalah pada adik kecil kesayangannya.Namun di sisi lain, dia senang karena ada seseorang yang membela adik kecilnya saat dalam keadaan yang benar-benar terpuruk."Untuk apa kamu kemari, hah?!" Romlah begitu murka saat melihat Lisa datang saat Rani mulai dimandikan."Anak durhaka kamu, untuk apa lagi kamu kembali. Aku lebih baik kehilanganmu daripada harus kehilangan putri tersayangku.""Ibu." Adnan menatap
"Adnan, ada apa dengan mbakmu?" tanya Romlah yang masih tidak mengerti. "Apa kamu sudah menemukan mbakmu, di mana dia? Ibu akan memarahi dia karena sudah mengambil sertifikat rumah dan juga menggadaikannya." Romlah dengan geram berkata seperti itu."Ibu, Mbak Rani sudah tidak ada." Adnan memegang telapak tangan ibunya. Romlah mengernyitkan keningnya."Tidak ada bagaimana, Adnan? Kamu lagi ngelantur, ya. Kamu kangen ya sama mbakmu?" tanya Romlah sambil meletakkan telapak tangannya di kening milik Adnan."Adnan tidak sakit, Bu, yang menelepon Adnan tadi adalah anggota kepolisian yang mengatakan bahwa mayat milik Mbak Rani ditemukan di hotel ***," ucap Adna yang membuat Romlah shock dan langsung terduduk di lantai.Romlah menatap Adnan mencari kebohongan pada putraya. "Tidak mungkin, Adnan, pasti mereka salah memberikan informasi pada kita," ucap Romlah yang masih enggan untuk percaya, padahal di hati kecilnya dia sangat takut jika itu benar-benar terjadi pada putri kesayangannya."Mak
Sudah hampir tiga hari lamanya Lisa pergi dari rumah, selama itu juga Adnan sangat mengkhawatirkan adiknya itu. Bahkan, saat dia ke tempat kerja Lisa, dia sama sekali tak menemukan Lisa di sana."Ya Allah Lisa, kemana perginya kamu, Dek," ucap Adnan di dalam mobilnya, ia mengusap wajahnya dengan kasar."Harusnya aku lebih memperhatikan adikku, dia sekarang pasti sangat terpukul atas kata-kata Ibu. Bahkan, saat Lisa pergi pun Ibu sama sekali tak peduli," gumam Adnan berbicara pada dirinya sendiri. Dia merasa gagal menjadi Abang dan juga sebagai anak. Dia merasa sangat hancur melihat seberapa berantakannya keluarganya sekarang. Sedikit terbesit, apakah ini artinya sumpah Sofia sedang bekerja. Namun, ia buru-buru menggelengkan kepalanya, tak percaya akan itu semua.***"Sofia, apa benar ada guru baru di Madrasah?" tanya Hafiz yang tiba-tiba sudah ada di rumah Sofia saat Sofia baru pulang bekerja."Iya, benar." Sofia hanya menjawab singkat, dia sedikit canggung berhadapan dengan Hafiz apa
"Biarkan saja, Ibu sudah tidak peduli dengan anak durhaka itu. Semenjak kelahiran dia, ekonomi kita menurun. Bahkan Ibu merasa kehadirannya hanyalah sebagai pembawa sial, sama seperti mantan istrimu itu ... Sofia!""Ibu, berhenti berbicara seperti itu. Adnan tidak suka Ibu mengatakan seperti itu pada Lisa. Adnan sakit hati mendengarnya, bisa tidak? Sekali saja Ibu memahami perasaan Lisa." Adnan berbicara tegas pada Romlah. Romlah hanya mengerlingkan matanya, bosan mendengar perdebatan yang daritadi tak kunjung selesai.Sebagai orang tua, dia sama sekali tak ingin mengintrospeksi diri sendiri. Apa yang salah pada dirinya, selalu merasa diri adalah orang yang paling benar di antara orang termuda.Sedangkan Lisa, dia menangis dari balik pintu. Meski sekarang sudah berada di dalam kamar, masih terdengar jelas perdebatan yang dilakukan Abang dan ibunya sendiri."Ibu kok jahat banget sih ngatain aku gitu, capek banget aku hidup kayak gini. Nggak ada aturannya sama sekali, nggak ada yang bis
"Kamu marah sama Ibu Adnan, kamu lupa siapa yang dulu mengajarimu bicara. Sekarang nada bicaramu lebih tinggi daripada Ibu.""Sakit sekali hatiku, Tuhan. Anak-anakku sama sekali tidak ada yang peduli dengan nasibku, bahkan mereka dengan secara sengaja menyakitiku begitu saja."Romlah menangis histeris, bukan tangis sesungguhnya dia sekarang sedang bersandiwara karena ingin mendapatkan rasa iba dari anak-anaknya."Bukan begitu, Bu. Adnan tetap peduli pada Ibu, jika Adnan tidak peduli dari dulu sudah Adnan telantarkan Ibu. Namun, buktinya kan sekarang Adnan rela rumah tangga Adnan hancur karena rasa bakti Adnan pada Ibu.""Jadi, kamu menyalahkan Ibu atas hancurnya keluargamu, begitukah?""Adnan, Sofia itu memang tidak pantas untukmu. Dia itu wanita kampungan, tidak sederajat dengan kita. Lagipula, dia juga tak bisa menyenangkan hati Ibu, kerjanya hanya menjadi bebanmu saja.""Bukannya berpikir untuk mencari cara supaya bisa mencari uang untuk membantu perekonomian, ini malah nambah-namba