Awalnya Sofia dan Hafiz berencana berangkat malam itu juga, tapi karena ada satu dua hal akhirnya mereka tak jadi berangkat pada malam hari.Di sinilah Sofia berada, dia duduk di samping brankar milik Lisa. Sofia diberi kabar bahwa keadaan Lisa saat ini sangat memprihatinkan. Dari tadi air matanya tak kunjung reda, bagai hujan yang terus menerus turun membasahi bumi."Lili, Mbak Sofia sudah datang. Kenapa tak bangun, katanya kamu mau bertemu dengan Mbak. Lili maafkan, Mbak, maafkan atas ucapan Mbak yang membuat kehidupanmu menjadi seperti ini," ucap Sofia terdengar lirih. Hanya ada ia dan juga Lisa di dalam kamar rumah sakit ini."Mbak nggak nyangka kamu harus menderita penyakit yang jahat ini. Kenapa nggak pernah bilang sama Mbak, Lili. Andai saja kamu bilang dari awal, mungkin penyakitmu tak akan separah ini, Dek," ujar Sofia sambil menggenggam tangan Lisa dengan penuh harapan agar Lisa kembali bangun."Mbak sudah memaafkanmu, Dek, Mbak ikhlas dan ridha, lagipula selama menjadi adik
"Dek, ini uang bulanan ini, ya. Maaf bulan ini penghasilanMas semakin merosot. Mas juga bingung bagaimana cara meningkatkan penghasilan di toko milik Mas," tutur Adnan pada sang istri Sofia.Sofia melihat Adnan meletakkan uang di atas meja 4 lembar berwarna merah. Sofia tersenyum menerima uang itu."Iya, Mas, ini juga alhamdulillah, masih ada pemasukan yang bisa Mas berikan untuk aku. Mas sudah bertanggung jawab dalam memenuhi kebutuhanku.""Oh ya, Mas, aku udah buatin lauk buat kamu, Mas. Mau makan sekarang atau nanti?" tanya Sofia pada Adnan yang terlihat terburu-buru."Ah, nggak usah, Dek, Mas mau ke tempat Ibu dulu, soalnya mau benerin lampu di rumah Ibu.""Nggak mau makan dulu, Mas?""Nanti saja, Dek. Nunggu balik dari rumah Ibu, aku mau mandi dulu," ucap Adnan pada Sofia. Tanpa merasa curiga sedikitpun Sofia lalu mengangguk dan duduk di meja makan menunggu Adnan. Meski ia tahu bahwa suaminya tidak akan makan di rumah bersama dengannya.Saat Adnan pergi mandi, tak sengaja bunyi no
"Allah, maafkan aku jika perkataanku terlanjur melampau pada batas. Hati ini terlanjur sakit atas segala kebohongan yang sudah dilakukan oleh Mas Adnan." Sofia berujar di dalam hati, saat ini dia pulang menaiki ojol dan berniat akan pergi ke rumah ayahnya keesokan harinya."Terima kasih, Pak," ucap Sofia, lalu ia bergegas masuk ke dalam rumah. Setelahnya mengunci pintu rapat-rapat, dia tak peduli jika seandainya Adnan pulang malam ini. Hatinya terlanjur sangat sakit akibat ulah mereka.Dengan gemetar, Sofia menelepon sang Ayah. [Hallo, assalamualaikum, Nak.] Panggilan dari ayahnya membuat air mata Sofia mengalir deras membasahi pipi.[Halo Sofia,] panggil sang Ayah lagi."Wa'alaikumsalam, Ayah. Ayah bagaimana kabarnya?" tanya Sofia dengan nada suara yang dikendalikan olehnya. Ia tak ingin membuat ayahnya merasa khawatir karena masalah yang dialami.[Alhamdulillah Ayah baik, kabar kamu gimana, Nak? Baik-baik saja, 'kan? Kapan pulang ke sini, Nak?] tanya sang Ayah yang membuat isakan S
"S-sofia ...," Adnan tergagap dengan apa yang dilakukannya baru saja. Ia menatap telapak tangannya yang digunakan untuk men*mp*r Sofia. Adnan tak menyangka ia menjadi sangat ringan tangan sekarang. Emosi dalam dirinya membuat ia lupa bahwa sekarang yang berdiri di depannya adalah sang istri.Adnan buru-buru mensejajarkan tubuhnya dengan Sofia, ia berniat membersihkan luka pada bibir sang istri. Namun Sofia lebih dahulu menepis tangannya dengan lemah.Sofia tak lagi bisa menahan tangisnya, sesak kian mendera hingga ia hampir tak dapat bersuara. "Aku selalu diam saat keluargamu menghinaku, Mas. Semuanya kulakukan karena aku menghormatimu. Namun, mengapa padaku kau sama sekali tak ada rasa iba. Apa selama ini baktiku kurang untukmu. Apa selama ini pengorbananku menjadi istrimu tak pernah ternilai, Mas?""Ayah menitipkan aku padamu untuk kau lindungi. Bukan kau perlakukan seperti ini, Mas. Kamu memperlakukan aku dengan kasar, kamu tak melindungiku. Kemana Mas Adnan yang Sofia kenal dahulu
"Apa maksudmu, Sofia? Kita tak akan pernah berakhir!" ucap Adnan penuh penekanan."Aku ingin bercerai! Aku ingin bercerai, Adnan! Kau dengar apa yang aku ucapkan!" tegas Sofia penuh penekanan."Tidak akan ada perceraian di antara kita berdua!" bentak Adnan yang merasa gusar saat mendengar ancaman yang diberikan oleh Sofia."Ya, itu sebelum aku tahu bahwa kamu telah membohongiku. Sekarang tak ada lagi yang harus aku pertahankan denganmu. Tak ada!" teriak Sofia emosi, terpancar jelas bahwa Sofia sekarang sedang meluapkan amarahnya pada Adnan."Sofia, pikirkan baik-baik. Kamu sekarang hanya sedang kacau, aku yakin jauh di dalam hatimu pasti masih ada rasa terhadapku!" Sofia berjalan menjauh masuk ke dalam kamar yang dulu menjadi tempat keluh kesah antara dia dan juga Adnan.Sofia lalu mengambil tas untuk memasukkan beberapa bajunya tak termasuk yang dibelikan oleh Adnan."Berhenti!" Adnan menggertak Sofia, tapi Sofia seolah tak lagi takut pada amarah Adnan."Aku bilang berhenti, Sofia! T
"Sofia, Mas sedang berbicara denganmu, kamu dengar tidak?" tanya Adnan saat Sofia sama sekali tak menghiraukan keberadaannya.Sofia membawa ke luar tas yang sudah disiapkan, ia berniat malam ini juga akan pulang ke kampung halaman sang Ayah.Tak peduli jika harus sendirian, daripada dia tersiksa bersama Adnan yang tak pernah menghargai perjuangannya selama ini sebagai seorang istri.Drrt ... drrt ... drrt ....Belum sempat Sofia mengangkat telepon, Adnan datang dan langsung merampasnya lalu melempar ponsel tersebut ke lantai.Prak!Bersamaan dengan itu tangan Sofia melayang ke pipi milik Adnan.Plak!"Mengapa kau hancurkan ponselku, Mas! Tahukah kamu, hanya di ponsel itu kenangan ibuku. Hanya di ponsel itu aku bisa melihat Ibu selalu! Kenapa kamu selalu menghancurkan kebahagiaanku!""Tak cukupkah selama ini, semua perlakuan buruk yang kalian lakukan padaku." Sofia menatap Adnan dengan nyalang, lalu ia bergegas mengumpulkan serpihan ponsel yang pecah."Kita bisa memperbaikinya, Sofia.
"Mana dia?" tanya Romlah saat Adnan baru saja sampai di rumah. "Siapa?" tanya Adnan pada sang Ibu. Adnan memijit kepalanya yang terasa sakit, ia mendudukkan dirinya di sofa empuk milik sang Ibu."Ya siapa lagi kalo bukan istrimu itu. Kenapa dia tak ikut kemari?" Romlah bertanya dengan nada suara ketus. Ia sangat marah karena perlakuan buruk yang diberikan Sofia padanya "Adnan memberinya waktu untuk menenangkan diri, Bu. Saat ini Sofia sedang kusut, pikirannya kacau. Mungkin dia terkejut setelah mengetahui kebenarannya." Adnan berniat langsung pergi ke kamar, tapi tangannya ditarik oleh sang Ibu dan membawanya untuk duduk di sofa."Menenangkan diri bagaimana? Memangnya istrimu pergi ke mana?" Romlah benar-benar penasaran."Dia bilang ingin ke rumah ayahnya, Bu," jawab Adnan yang memang sudah lelah. Pasalnya sejak pulang dari toko, dia sama sekali tak diberi kesempatan untuk beristirahat.Sekarang yang ada malahan masalah tak kunjung selesai, apalagi setelah mendengar ucapan Sofia yan
"Mbak, mau ke mana memakai pakaian seksi begitu?" tanya Adnan saat Rani beranjak dari duduknya dan senyum-senyum sendiri."Mbak mau ketemu teman-teman dulu, kamu bisa kan sendiri aja di sini?" tanya Rani pada Adnan. Adnan mengernyitkan keningnya."Lagi, Mbak? Perasaan baru hari kemarinnya ketemu sama teman-teman Mbak, kok sekarang ketemuan lagi," kata Adnan merasa sedikit terganggu dengan cara hidup sang kakak."Sst! Kamu jangan banyak ngomong, kamu tuh nggak ngerti perempuan, Adnan. Kami sebagai perempuan ini berbeda dengan kalian yang laki-laki, perlu refreshing," jawab Rani pada Adnan. Rani mengeluarkan cermin dari dalam tasnya, lalu mengoleskan lipstik berwarna cerah ke bibirnya."Sofia dulu tidak begitu kok, Mbak, malah dia sering menghabiskan waktu di rumah melayaniku. Lagi pun, apa Mas Rehan tidak masalah jika Mbak selalu keluyuran dengan teman-teman sosialita Mbak itu?" tanya Adnan pada kakak tertuanya itu."Istrimu itu kampungan, mana ngerti dia yang kayak aku. Mas Rehan juga
Awalnya Sofia dan Hafiz berencana berangkat malam itu juga, tapi karena ada satu dua hal akhirnya mereka tak jadi berangkat pada malam hari.Di sinilah Sofia berada, dia duduk di samping brankar milik Lisa. Sofia diberi kabar bahwa keadaan Lisa saat ini sangat memprihatinkan. Dari tadi air matanya tak kunjung reda, bagai hujan yang terus menerus turun membasahi bumi."Lili, Mbak Sofia sudah datang. Kenapa tak bangun, katanya kamu mau bertemu dengan Mbak. Lili maafkan, Mbak, maafkan atas ucapan Mbak yang membuat kehidupanmu menjadi seperti ini," ucap Sofia terdengar lirih. Hanya ada ia dan juga Lisa di dalam kamar rumah sakit ini."Mbak nggak nyangka kamu harus menderita penyakit yang jahat ini. Kenapa nggak pernah bilang sama Mbak, Lili. Andai saja kamu bilang dari awal, mungkin penyakitmu tak akan separah ini, Dek," ujar Sofia sambil menggenggam tangan Lisa dengan penuh harapan agar Lisa kembali bangun."Mbak sudah memaafkanmu, Dek, Mbak ikhlas dan ridha, lagipula selama menjadi adik
"M-mas Adnan," ucap Lisa tergagap saat melihat Adnan yang datang dengan raut wajah tak dapat diartikan."Kamu bohong kan, Dek?" tanyanya sambil memegang bahu Lisa. Lisa hanya diam dengan air mata yang terus mengalir membasahi pipinya."Kenapa, Dek? Kenapa hal seberat ini kamu sembunyikan dari Mas, kamu sudah tak menganggap Mas lagi, Dek?""Maafkan Lisa, Mas, Lisa ...." Tenggorokan Lisa rasanya tercekat, dia bahkan tak mampu melanjutkan ucapannya.***Hampir sebulan sudah lamanya Lisa di rawat di rumah sakit. Setelah pernyataan-pernyataan yang dilontarkan Lisa hari itu juga Adnan merasa dunianya benar-benar hancur. Cobaan bertubi-tubi menghampirinya. Bahkan sekarang, adik kecil kesayangannya pun harus terbaring menahan sakit."Kamu yang kuat ya, Dek, Mas akan usahakan apapun agar kamu bisa kembali seperti semula." Adnan memegang tangan sang Adik, besar harapannya agar Lisa bisa kembali normal seperti sedia kala."Jangan berjuang terlalu keras, Mas. Dokter sudah memvonis bahwa hidupku t
"M-mas Adnan," ucap Lisa tergagap saat melihat Adnan yang datang dengan raut wajah tak dapat diartikan."Kamu bohong kan, Dek?" tanyanya sambil memegang bahu Lisa. Lisa hanya diam dengan air mata yang terus mengalir membasahi pipinya."Kenapa, Dek? Kenapa hal seberat ini kamu sembunyikan dari Mas, kamu sudah tak menganggap Mas lagi, Dek?""Maafkan Lisa, Mas, Lisa ...." Tenggorokan Lisa rasanya tercekat, dia bahkan tak mampu melanjutkan ucapannya.***Hampir sebulan sudah lamanya Lisa di rawat di rumah sakit. Setelah pernyataan-pernyataan yang dilontarkan Lisa hari itu juga Adnan merasa dunianya benar-benar hancur. Cobaan bertubi-tubi menghampirinya. Bahkan sekarang, adik kecil kesayangannya pun harus terbaring menahan sakit."Kamu yang kuat ya, Dek, Mas akan usahakan apapun agar kamu bisa kembali seperti semula." Adnan memegang tangan sang Adik, besar harapannya agar Lisa bisa kembali normal seperti sedia kala."Jangan berjuang terlalu keras, Mas. Dokter sudah memvonis bahwa hidupku t
Sudah hampir dua minggu Hafiz sudah tak lagi menganggu Sofia. Selama itu juga Sofia merasa ada yang hilang. Bahkan, Hafiz bertamu ke rumah Sofia jika Sofia sudah tak ada di rumah."Assalamualaikum.""Wa'alakumsalam warahmatullah," sahut Habibi dan Hafiz serentak. Hafiz yang melihat Sofia pulang, bangkit dari duduknya."Ayah, Hafiz pulang dulu, ya. Nanti Hafiz akan sering-sering mampir lagi ke rumah Ayah," ucap Hafiz tanpa menoleh pada Sofia.Hafiz melalui Sofia sambil menganggukkan kepalanya."Hafiz," panggil Sofia yang melihat ada banyak perubahan pada diri Hafiz."Ya, Sofia, ada apa?" tanya Hafiz sekenanya."Apa aku ada berbuat salah?" tanya Sofia. Entah mengapa dia tiba-tiba mengeluarkan kalimat seperti itu. Melihat sikap Hafiz beberapa Minggu ini membuat Sofia merasa hampa. Seperti ada yang tak beres."Tidak ada. Memangnya kenapa?" Hafiz kembali bertanya pada Sofia."Aku merasa kamu berubah," ucap Sofia menatap Hafiz dengan penuh arti."Aku tidak berubah, Sofia," ucap Hafiz sambil
Hari sudah mulai larut suasana duka menyelimuti keberadaan keluarga Adnan, saat ini Romlah sedang berbaring di ranjang. Karena beberapa kali ia pingsan saat melihat sang putri memasuki liang lahat, bahkan mungkin ia juga lelah karena sempat berdebat dengan putri bungsunya. Bukan berdebat lebih tepatnya, dia marah.Saat ini Adnan duduk termenung di sofa, sambil menatap kosong langit-langit rumahnya. Perasaannya berkecamuk, bercampur aduk menjadi satu. Hingga tak dapat dijelaskan dengan kata-kata lagi. Adnan mengingat kejadian yang membuatnya hampir lepas kendali. Ia merasa sangat bersalah pada adik kecil kesayangannya.Namun di sisi lain, dia senang karena ada seseorang yang membela adik kecilnya saat dalam keadaan yang benar-benar terpuruk."Untuk apa kamu kemari, hah?!" Romlah begitu murka saat melihat Lisa datang saat Rani mulai dimandikan."Anak durhaka kamu, untuk apa lagi kamu kembali. Aku lebih baik kehilanganmu daripada harus kehilangan putri tersayangku.""Ibu." Adnan menatap
"Adnan, ada apa dengan mbakmu?" tanya Romlah yang masih tidak mengerti. "Apa kamu sudah menemukan mbakmu, di mana dia? Ibu akan memarahi dia karena sudah mengambil sertifikat rumah dan juga menggadaikannya." Romlah dengan geram berkata seperti itu."Ibu, Mbak Rani sudah tidak ada." Adnan memegang telapak tangan ibunya. Romlah mengernyitkan keningnya."Tidak ada bagaimana, Adnan? Kamu lagi ngelantur, ya. Kamu kangen ya sama mbakmu?" tanya Romlah sambil meletakkan telapak tangannya di kening milik Adnan."Adnan tidak sakit, Bu, yang menelepon Adnan tadi adalah anggota kepolisian yang mengatakan bahwa mayat milik Mbak Rani ditemukan di hotel ***," ucap Adna yang membuat Romlah shock dan langsung terduduk di lantai.Romlah menatap Adnan mencari kebohongan pada putraya. "Tidak mungkin, Adnan, pasti mereka salah memberikan informasi pada kita," ucap Romlah yang masih enggan untuk percaya, padahal di hati kecilnya dia sangat takut jika itu benar-benar terjadi pada putri kesayangannya."Mak
Sudah hampir tiga hari lamanya Lisa pergi dari rumah, selama itu juga Adnan sangat mengkhawatirkan adiknya itu. Bahkan, saat dia ke tempat kerja Lisa, dia sama sekali tak menemukan Lisa di sana."Ya Allah Lisa, kemana perginya kamu, Dek," ucap Adnan di dalam mobilnya, ia mengusap wajahnya dengan kasar."Harusnya aku lebih memperhatikan adikku, dia sekarang pasti sangat terpukul atas kata-kata Ibu. Bahkan, saat Lisa pergi pun Ibu sama sekali tak peduli," gumam Adnan berbicara pada dirinya sendiri. Dia merasa gagal menjadi Abang dan juga sebagai anak. Dia merasa sangat hancur melihat seberapa berantakannya keluarganya sekarang. Sedikit terbesit, apakah ini artinya sumpah Sofia sedang bekerja. Namun, ia buru-buru menggelengkan kepalanya, tak percaya akan itu semua.***"Sofia, apa benar ada guru baru di Madrasah?" tanya Hafiz yang tiba-tiba sudah ada di rumah Sofia saat Sofia baru pulang bekerja."Iya, benar." Sofia hanya menjawab singkat, dia sedikit canggung berhadapan dengan Hafiz apa
"Biarkan saja, Ibu sudah tidak peduli dengan anak durhaka itu. Semenjak kelahiran dia, ekonomi kita menurun. Bahkan Ibu merasa kehadirannya hanyalah sebagai pembawa sial, sama seperti mantan istrimu itu ... Sofia!""Ibu, berhenti berbicara seperti itu. Adnan tidak suka Ibu mengatakan seperti itu pada Lisa. Adnan sakit hati mendengarnya, bisa tidak? Sekali saja Ibu memahami perasaan Lisa." Adnan berbicara tegas pada Romlah. Romlah hanya mengerlingkan matanya, bosan mendengar perdebatan yang daritadi tak kunjung selesai.Sebagai orang tua, dia sama sekali tak ingin mengintrospeksi diri sendiri. Apa yang salah pada dirinya, selalu merasa diri adalah orang yang paling benar di antara orang termuda.Sedangkan Lisa, dia menangis dari balik pintu. Meski sekarang sudah berada di dalam kamar, masih terdengar jelas perdebatan yang dilakukan Abang dan ibunya sendiri."Ibu kok jahat banget sih ngatain aku gitu, capek banget aku hidup kayak gini. Nggak ada aturannya sama sekali, nggak ada yang bis
"Kamu marah sama Ibu Adnan, kamu lupa siapa yang dulu mengajarimu bicara. Sekarang nada bicaramu lebih tinggi daripada Ibu.""Sakit sekali hatiku, Tuhan. Anak-anakku sama sekali tidak ada yang peduli dengan nasibku, bahkan mereka dengan secara sengaja menyakitiku begitu saja."Romlah menangis histeris, bukan tangis sesungguhnya dia sekarang sedang bersandiwara karena ingin mendapatkan rasa iba dari anak-anaknya."Bukan begitu, Bu. Adnan tetap peduli pada Ibu, jika Adnan tidak peduli dari dulu sudah Adnan telantarkan Ibu. Namun, buktinya kan sekarang Adnan rela rumah tangga Adnan hancur karena rasa bakti Adnan pada Ibu.""Jadi, kamu menyalahkan Ibu atas hancurnya keluargamu, begitukah?""Adnan, Sofia itu memang tidak pantas untukmu. Dia itu wanita kampungan, tidak sederajat dengan kita. Lagipula, dia juga tak bisa menyenangkan hati Ibu, kerjanya hanya menjadi bebanmu saja.""Bukannya berpikir untuk mencari cara supaya bisa mencari uang untuk membantu perekonomian, ini malah nambah-namba