[Pulanglah Sofia, aku ingin kamu mempertanggungjawabkan ucapanmu padaku dan keluargaku!]Sofia melirik ponselnya yang berada di atas meja. Tak ada niat sedikit pun untuk membalas pesan yang dikirimkan Adnan.Pagi hari ini, Sofia berniat berbelanja ke pasar. Sekalian melihat-lihat kampung halamannya yang sudah hampir dua tahun tak ia pijaki."Sofia, kamu sudah makan?" tanya Habibi, mengetuk pintu kamar sang putri."Iya, Ayah, nanti Sofia makan," jawabnya. Sofia lalu buru-buru membersihkan tempat tidur dan bergegas ke luar kamar.Dulu, sebelum Sofia dilahirkan ke dunia. Ibunya adalah keturunan orang berada. Mereka menikah karena saling mencintai. Habibi juga sama, dia diperlakukan tak layaknya seorang babu di rumah mertuanya sendiri. Itu karena pernikahan mereka yang belum dapat restu dari orang tua istrinya."Aa, kita pergi saja dari sini. Zahra tidak kuat mendengar hinaan yang terus dilontarkan pada Aa," ucap Zahra menemani Habibi yang sedang membersihkan rumput di halaman rumah mertu
"Loh, ini Sofia? Kok makin kurus sekali sih kamu, wajahmu juga kusam. Padahal kan suamimu orang kaya, hidupnya berkecukupan, kok kamu pulang ke desa malah kayak orang gembel. Nggak diberi makan suamimu ya di kota?" Tiba-tiba sebuah suara menghentikan tawa mereka berdua. Ada perasaan beda saat dirinya diberi pertanyaan yang menurutnya sedikit menyakitkan."Ladalah, Bu Rina ini datang-datang main nyerocos aja. Cantik begini kok dibilang kayak gembel," protes Bu Ijah sambil menatap kesal wajah Bu Rina."Bukannya ngatain ya, Bu, kita bisa lihat sendiri. Cantikan kamu yang di sini loh Sofia daripada pas pulang dari kota. Kamu ini juga Sofia, mentang-mentang sudah bersuami orang kota sampai lupa sampai kampung halaman sendiri. Sama ayahmu pun kamu seperti lupa, sakit senang ayahmu tetap sendiri," kata Bu Rani mengomeli Sofia. Sofia terdiam, benar, sebagian banyak perkataan dari Bu Rina memang benar.Semenjak dia menikah dengan Adnan, tak sekali pun dia bisa pulang ke kampung halaman. Namun
"Sofia?" panggil Hafiz dengan pandangan ragu bahwa yang sekarang di depannya adalah Sofia. Wanita yang dulu pernah singgah di hatinya dan sampai saat ini rasa itu masih tetap sama.Sofia menoleh ke arah Habibi meminta jawaban mengapa Hafiz bisa ada di rumah mereka. Dan ia juga sedikit penasaran kenapa Hafiz tiba-tiba ada di kampung halaman ini lagi."Nanti akan Ayah jelaskan," jawab Habibi seakan mengerti dengan sorot mata sang putri."Untuk apa kamu ke sini?" tanya Sofia dengan ketus. Tatapan matanya membenci seseorang yang ditatapnya. Bagaimana tidak, sosok yang sekarang di depannya adalah penggores luka terbesar dalam hidup Sofia."Sofia, kapan kamu pulang?" Bukannya menjawab pertanyaan Sofia, Hafiz malah balik bertanya."Bukan urusanmu, pergi dari sini. Kamu tidak ada hak lagi menginjakkan kakimu di rumah ayahku!" tegas Sofia penuh penekanan, tak ada lagi sorot sendu dari seorang Sofia.Tak ada lagi senyum manis menghiasi bibir Sofia, kini hanya tersirat luka dan amarah dalam mani
Seminggu sudah Sofia berada di rumah ayahnya. Sedikit banyaknya memang ada gosip-gosip miring tentang dirinya. Seminggu itu juga Adnan tak henti-hentinya menghubungi Sofia, apalagi setelah Adnan menerima surat panggilan sidang cerai.Hal itu semakin membuat Adnan murka. Sayangnya Sofia sama sekali tak mau mengangkat telepon dari Adnan. Tak berselang lama, telepon masuk dari Adinda."Halo, assalamualaikum," salam Sofia pada Adinda."Wa'alaikumsalam, jadikan kamu hari ini ke sini, Fia?" tanya Adinda."Iya, jadi, ini aku udah mau jalan ke halte. Nanti kita langsung ketemu di sana saja ya," ucap Sofia lagi. Ya, dia hari ini berencana untuk kembali ke kota suaminya. Bukan untuk bertemu dengan Adnan, melainkan untuk mengurus sidang perceraian mereka."Baiklah, aku akan tunggu kamu nanti di sini, ya. Jangan lupa kabari aku, dan tolong ponselmu aktifkan terus. Kalo kamu nonaktifkan, aku akan sulit menghubungimu nantinya," omel Adinda karena Sofia yang dulu mematikan ponselnya hingga membuat
"Sofia!" teriak Adinda saat melihat Sofia baru turun dari bus. Sofia lalu melambaikan tangan pada Adinda."Masyaa Allah, baru seminggu kamu di sana sudah kelihatan lebih ceria dari sebelumnya. Bagaimana kabarmu, Sofia?" tanya Adinda selepas memeluk Sofia."Alhamdulillah aku baik-baik saja, bagaimana denganmu, Din?" tanya Sofia balik. Ia tersenyum haru karena Adinda yang antusias menjemputnya.Padahal sekali lagi Sofia tegaskan bahwa ia dan Adinda tak saling dekat. Namun karena permasalahan yang menimpa Sofia, akhirnya mereka didekatkan. Sofia berharap Adinda memang benar-benar baik, tapi dari caranya memperlakukan Sofia, Sofia yakin bahwa Adinda bukanlah orang yang mengambil kesempatan untuk mendapatkan keuntungan."Aku baik-baik saja, Din. Maaf aku belum sempat untuk ke kampung halamanmu. Banyak pekerjaan yang harus aku kerjakan, jadi sangat susah jika tak dikendalikan olehku." Sofia mengerti, Adinda memang memiliki jiwa bisnis yang tinggi. Oleh sebab itu, toko milik Sofia bermacam-
"Assalamualaikum." Habibi menoleh ke luar dan mendapati Hafiz yang berdiri di sana."Wa'alaikumsalam, eh Nak Hafiz silakan masuk," ucap Habibi lalu mendekati Hafiz dan mengajaknya masuk ke dalam rumah. Hafiz menelisik mencari keberadaan Sofia, tapi dia tak menemukannya."Sofia tidak ada di sini, dia kembali ke kota," ucap Habibi yang seperti mengerti bahwa Hafiz sedang mencari putrinya. Hafiz yang sadar karena teguran dari Habibi merasa sungkan sekaligus malu, malu karena sudah ketahuan sedang mencari Sofia.Namun ia buru-buru menghapus khayalannya tentang Sofia, apalagi Hafiz sekarang sudah tahu bahwa Sofia memiliki suami. Jadi, sangat tak ada kemungkinan ia dan Sofia akan kembali seperti sedia kala."Oh iya, Ayah, saya pikir dia masih di sini. Wajar saja dia pulang kembali ke kota, karena ya di sana kan ada suaminya." Hafiz terkekeh kecil mengingat bahwa Sofia sudah menjadi milik orang lain. Jujur dari lubuk hati yang terdalam Hafiz masih sangat mencintai Sofia, bahkan hingga saat i
"Ada apa, Bu? Mengapa pulang merengut begitu?" tanya Rani yang heran dengan sang Ibu. Padahal tadi saat mau berangkat ke arisan, ibunya begitu senang untuk memamerkan tas dan sepatu yang baru saja ia dapatkan."Ke mana tas dan sepatu, Ibu? Ibu nyeker pulang ke rumah?" tanya Rani yang tak kunjung dapat jawaban dari sang Ibu.Rani yang khawatir buru-buru mendekati ibunya, lalu bertanya secara detail. Namun Romlah malah menangis kencang, dan tentu saja itu membuat Rani terkejut."Malu sekali Ibu, Ran, ternyata itu si Sofia ada di tempat arisan. Ibu kaget banget dia ada di sana, dan tiba-tiba Sofia datang malah malu-maluin Ibu," ucap Romlah pada Rani. Rani mengerutkan keningnya bingung."Bukannya dia pulang kampung ya, Bu?" tanya Rani pada Romlah."Nggak tau juga, Adnan sih bilangnya gitu, tapi kenapa dia sekarang ada di sini. Nggak mungkin kan kalo itu kembarannya Sofia," ucap Romlah sambil menghapus air mata buayanya."Lagian kok bisa si Sofia malu-maluin Ibu, kan Ibu dapat beli tas dan
"Ada apa, Sofia?" tanya Adinda saat melihat Sofia melamun. Ia berjalan mendekati temannya."Lili baru saja mengirim pesan padaku, dia bilang Mas Adnan sakit," ucap Sofia pada Adinda."Lalu, jika dia sakit apa kamu akan menemuinya dan kembali luluh dan kalian akan bersama lagi?" tanya Adinda pada Sofia."Tidak! Aku sudah bertekad tak ingin menemui Mas Adnan terkecuali saat sidang pertama perceraian. Aku tak akan mau luluh lagi padanya, cukup sampai di sini saja luka yang dia berikan. Aku tak ingin kembali ke tempat yang sama, tempat di mana aku tak pernah dianggap," ungkap Sofia menatap Adinda dalam. "Baguslah, Sofia. Tetaplah pada tujuan dan komitmenmu, kamu bisa memberikan doa saja untuk kesembuhannya agar dia bisa hadir di persidangan pertama kalian nanti. Kalo tidak hadir, ya itu akan lebih mempermudah proses perceraianmu dan juga Adnan," ucap Adinda."Aku mau ke toko, kamu mau ikut atau di rumah saja?" tanya Adinda sambil melangkah pergi ke luar kamar."Aku di rumah saja, Din, te
Awalnya Sofia dan Hafiz berencana berangkat malam itu juga, tapi karena ada satu dua hal akhirnya mereka tak jadi berangkat pada malam hari.Di sinilah Sofia berada, dia duduk di samping brankar milik Lisa. Sofia diberi kabar bahwa keadaan Lisa saat ini sangat memprihatinkan. Dari tadi air matanya tak kunjung reda, bagai hujan yang terus menerus turun membasahi bumi."Lili, Mbak Sofia sudah datang. Kenapa tak bangun, katanya kamu mau bertemu dengan Mbak. Lili maafkan, Mbak, maafkan atas ucapan Mbak yang membuat kehidupanmu menjadi seperti ini," ucap Sofia terdengar lirih. Hanya ada ia dan juga Lisa di dalam kamar rumah sakit ini."Mbak nggak nyangka kamu harus menderita penyakit yang jahat ini. Kenapa nggak pernah bilang sama Mbak, Lili. Andai saja kamu bilang dari awal, mungkin penyakitmu tak akan separah ini, Dek," ujar Sofia sambil menggenggam tangan Lisa dengan penuh harapan agar Lisa kembali bangun."Mbak sudah memaafkanmu, Dek, Mbak ikhlas dan ridha, lagipula selama menjadi adik
"M-mas Adnan," ucap Lisa tergagap saat melihat Adnan yang datang dengan raut wajah tak dapat diartikan."Kamu bohong kan, Dek?" tanyanya sambil memegang bahu Lisa. Lisa hanya diam dengan air mata yang terus mengalir membasahi pipinya."Kenapa, Dek? Kenapa hal seberat ini kamu sembunyikan dari Mas, kamu sudah tak menganggap Mas lagi, Dek?""Maafkan Lisa, Mas, Lisa ...." Tenggorokan Lisa rasanya tercekat, dia bahkan tak mampu melanjutkan ucapannya.***Hampir sebulan sudah lamanya Lisa di rawat di rumah sakit. Setelah pernyataan-pernyataan yang dilontarkan Lisa hari itu juga Adnan merasa dunianya benar-benar hancur. Cobaan bertubi-tubi menghampirinya. Bahkan sekarang, adik kecil kesayangannya pun harus terbaring menahan sakit."Kamu yang kuat ya, Dek, Mas akan usahakan apapun agar kamu bisa kembali seperti semula." Adnan memegang tangan sang Adik, besar harapannya agar Lisa bisa kembali normal seperti sedia kala."Jangan berjuang terlalu keras, Mas. Dokter sudah memvonis bahwa hidupku t
"M-mas Adnan," ucap Lisa tergagap saat melihat Adnan yang datang dengan raut wajah tak dapat diartikan."Kamu bohong kan, Dek?" tanyanya sambil memegang bahu Lisa. Lisa hanya diam dengan air mata yang terus mengalir membasahi pipinya."Kenapa, Dek? Kenapa hal seberat ini kamu sembunyikan dari Mas, kamu sudah tak menganggap Mas lagi, Dek?""Maafkan Lisa, Mas, Lisa ...." Tenggorokan Lisa rasanya tercekat, dia bahkan tak mampu melanjutkan ucapannya.***Hampir sebulan sudah lamanya Lisa di rawat di rumah sakit. Setelah pernyataan-pernyataan yang dilontarkan Lisa hari itu juga Adnan merasa dunianya benar-benar hancur. Cobaan bertubi-tubi menghampirinya. Bahkan sekarang, adik kecil kesayangannya pun harus terbaring menahan sakit."Kamu yang kuat ya, Dek, Mas akan usahakan apapun agar kamu bisa kembali seperti semula." Adnan memegang tangan sang Adik, besar harapannya agar Lisa bisa kembali normal seperti sedia kala."Jangan berjuang terlalu keras, Mas. Dokter sudah memvonis bahwa hidupku t
Sudah hampir dua minggu Hafiz sudah tak lagi menganggu Sofia. Selama itu juga Sofia merasa ada yang hilang. Bahkan, Hafiz bertamu ke rumah Sofia jika Sofia sudah tak ada di rumah."Assalamualaikum.""Wa'alakumsalam warahmatullah," sahut Habibi dan Hafiz serentak. Hafiz yang melihat Sofia pulang, bangkit dari duduknya."Ayah, Hafiz pulang dulu, ya. Nanti Hafiz akan sering-sering mampir lagi ke rumah Ayah," ucap Hafiz tanpa menoleh pada Sofia.Hafiz melalui Sofia sambil menganggukkan kepalanya."Hafiz," panggil Sofia yang melihat ada banyak perubahan pada diri Hafiz."Ya, Sofia, ada apa?" tanya Hafiz sekenanya."Apa aku ada berbuat salah?" tanya Sofia. Entah mengapa dia tiba-tiba mengeluarkan kalimat seperti itu. Melihat sikap Hafiz beberapa Minggu ini membuat Sofia merasa hampa. Seperti ada yang tak beres."Tidak ada. Memangnya kenapa?" Hafiz kembali bertanya pada Sofia."Aku merasa kamu berubah," ucap Sofia menatap Hafiz dengan penuh arti."Aku tidak berubah, Sofia," ucap Hafiz sambil
Hari sudah mulai larut suasana duka menyelimuti keberadaan keluarga Adnan, saat ini Romlah sedang berbaring di ranjang. Karena beberapa kali ia pingsan saat melihat sang putri memasuki liang lahat, bahkan mungkin ia juga lelah karena sempat berdebat dengan putri bungsunya. Bukan berdebat lebih tepatnya, dia marah.Saat ini Adnan duduk termenung di sofa, sambil menatap kosong langit-langit rumahnya. Perasaannya berkecamuk, bercampur aduk menjadi satu. Hingga tak dapat dijelaskan dengan kata-kata lagi. Adnan mengingat kejadian yang membuatnya hampir lepas kendali. Ia merasa sangat bersalah pada adik kecil kesayangannya.Namun di sisi lain, dia senang karena ada seseorang yang membela adik kecilnya saat dalam keadaan yang benar-benar terpuruk."Untuk apa kamu kemari, hah?!" Romlah begitu murka saat melihat Lisa datang saat Rani mulai dimandikan."Anak durhaka kamu, untuk apa lagi kamu kembali. Aku lebih baik kehilanganmu daripada harus kehilangan putri tersayangku.""Ibu." Adnan menatap
"Adnan, ada apa dengan mbakmu?" tanya Romlah yang masih tidak mengerti. "Apa kamu sudah menemukan mbakmu, di mana dia? Ibu akan memarahi dia karena sudah mengambil sertifikat rumah dan juga menggadaikannya." Romlah dengan geram berkata seperti itu."Ibu, Mbak Rani sudah tidak ada." Adnan memegang telapak tangan ibunya. Romlah mengernyitkan keningnya."Tidak ada bagaimana, Adnan? Kamu lagi ngelantur, ya. Kamu kangen ya sama mbakmu?" tanya Romlah sambil meletakkan telapak tangannya di kening milik Adnan."Adnan tidak sakit, Bu, yang menelepon Adnan tadi adalah anggota kepolisian yang mengatakan bahwa mayat milik Mbak Rani ditemukan di hotel ***," ucap Adna yang membuat Romlah shock dan langsung terduduk di lantai.Romlah menatap Adnan mencari kebohongan pada putraya. "Tidak mungkin, Adnan, pasti mereka salah memberikan informasi pada kita," ucap Romlah yang masih enggan untuk percaya, padahal di hati kecilnya dia sangat takut jika itu benar-benar terjadi pada putri kesayangannya."Mak
Sudah hampir tiga hari lamanya Lisa pergi dari rumah, selama itu juga Adnan sangat mengkhawatirkan adiknya itu. Bahkan, saat dia ke tempat kerja Lisa, dia sama sekali tak menemukan Lisa di sana."Ya Allah Lisa, kemana perginya kamu, Dek," ucap Adnan di dalam mobilnya, ia mengusap wajahnya dengan kasar."Harusnya aku lebih memperhatikan adikku, dia sekarang pasti sangat terpukul atas kata-kata Ibu. Bahkan, saat Lisa pergi pun Ibu sama sekali tak peduli," gumam Adnan berbicara pada dirinya sendiri. Dia merasa gagal menjadi Abang dan juga sebagai anak. Dia merasa sangat hancur melihat seberapa berantakannya keluarganya sekarang. Sedikit terbesit, apakah ini artinya sumpah Sofia sedang bekerja. Namun, ia buru-buru menggelengkan kepalanya, tak percaya akan itu semua.***"Sofia, apa benar ada guru baru di Madrasah?" tanya Hafiz yang tiba-tiba sudah ada di rumah Sofia saat Sofia baru pulang bekerja."Iya, benar." Sofia hanya menjawab singkat, dia sedikit canggung berhadapan dengan Hafiz apa
"Biarkan saja, Ibu sudah tidak peduli dengan anak durhaka itu. Semenjak kelahiran dia, ekonomi kita menurun. Bahkan Ibu merasa kehadirannya hanyalah sebagai pembawa sial, sama seperti mantan istrimu itu ... Sofia!""Ibu, berhenti berbicara seperti itu. Adnan tidak suka Ibu mengatakan seperti itu pada Lisa. Adnan sakit hati mendengarnya, bisa tidak? Sekali saja Ibu memahami perasaan Lisa." Adnan berbicara tegas pada Romlah. Romlah hanya mengerlingkan matanya, bosan mendengar perdebatan yang daritadi tak kunjung selesai.Sebagai orang tua, dia sama sekali tak ingin mengintrospeksi diri sendiri. Apa yang salah pada dirinya, selalu merasa diri adalah orang yang paling benar di antara orang termuda.Sedangkan Lisa, dia menangis dari balik pintu. Meski sekarang sudah berada di dalam kamar, masih terdengar jelas perdebatan yang dilakukan Abang dan ibunya sendiri."Ibu kok jahat banget sih ngatain aku gitu, capek banget aku hidup kayak gini. Nggak ada aturannya sama sekali, nggak ada yang bis
"Kamu marah sama Ibu Adnan, kamu lupa siapa yang dulu mengajarimu bicara. Sekarang nada bicaramu lebih tinggi daripada Ibu.""Sakit sekali hatiku, Tuhan. Anak-anakku sama sekali tidak ada yang peduli dengan nasibku, bahkan mereka dengan secara sengaja menyakitiku begitu saja."Romlah menangis histeris, bukan tangis sesungguhnya dia sekarang sedang bersandiwara karena ingin mendapatkan rasa iba dari anak-anaknya."Bukan begitu, Bu. Adnan tetap peduli pada Ibu, jika Adnan tidak peduli dari dulu sudah Adnan telantarkan Ibu. Namun, buktinya kan sekarang Adnan rela rumah tangga Adnan hancur karena rasa bakti Adnan pada Ibu.""Jadi, kamu menyalahkan Ibu atas hancurnya keluargamu, begitukah?""Adnan, Sofia itu memang tidak pantas untukmu. Dia itu wanita kampungan, tidak sederajat dengan kita. Lagipula, dia juga tak bisa menyenangkan hati Ibu, kerjanya hanya menjadi bebanmu saja.""Bukannya berpikir untuk mencari cara supaya bisa mencari uang untuk membantu perekonomian, ini malah nambah-namba