“Band yang akan mengisi live music belum datang padahal acaranya dimulai lima belas menit lagi dan kami tidak menyiapkan cadangannya.” Aquila mengacak rambutnya kasar.
“Kau tau, Altair sangat bagus dalam bernyanyi” ucap Ryota yang dihadiahi tatapan tidak suka dari Altair.
“Benarkah itu? Kak aku mohon bantu aku kak..”
“Boss akan memecatku jika acara ini berantakan karena aku penanggung jawabnya.” Lanjut Aquila memelas, memberi tatapan puppy eyes ke arah Altair yang tentu saja tidak akan bisa ditolak oleh orang berbadan kekar tersebut. Dan Altair hanya mengangguk tanda persetujuan. Ia sudah tidak pernah bernyanyi setelah sibuk mengurus perusahaannya jadi Altair merasa aneh untuk bernyanyi, tetapi mendengar Aquila mungkin akan dipecat oleh bossnya membuat dirinya tidak tega. Menyanyi satu dua lagu sepertinya bukan masalah.
“Lain kali jangan lupa siapkan cadangan!” Altair menjitak kepala gadis itu pelan.
“Hehe... You are my savior, kak!” Reflek Aquila memeluk Altair erat. Sedangkan yang dipeluk berharap sang pemeluk tidak akan merasakan detak jantungnya yang mendadak ingin melompat keluar.
“Kalau begitu aku akan menyiapkan semuanya dahulu, apa kakak butuh sesuatu untuk nanti?” tanya Aquila setelah melepaskan pelukannya.
“Aku rasa piano itu cukup.” jawab Altair menunjuk piano yang berada di panggung kecil di sebelahnya.
“Baiklah aku mengerti.” Senyum Aquila mengembang, dia merasa sangat senang karena Altair mau membantunya, jadi dia tidak akan kehilangan pekerjaan.
“Kau menyukainya?” tanya Ryota setelah Aquila pergi.
“Omong kosong, aku baru mengenalnya tadi malam.” jawab Altair dingin.
“Apa? Kau baru mengenalnya semalam tapi kalian sudah saling memanggil dengan nama kecil? Dan sekarang kau berperan seperti seorang kekasih yang menunggui gadisnya bekerja begitu?” Naoki bertanya panjang lebar.
“Apa yang kalian lakukan semalam? Bahkan ‘dia’ dulu harus mengejarmu bertahun-tahun.”
“Diamlah, kau membuat moodku hancur Ryota!” tegas Altair, “Arata yang membawanya ke apartemenku dan menitipkannya, sepertinya anak itu suka padanya.” jelas Altair pada akhirnya. Dia tidak mau kedua sahabatnya salah paham.
Tuts piano ditekan, semua mata mengarah ke arah Altair yang sudah di atas panggung tak terkecuali Aquila. Gadis manis itu terpana begitu melihat Altair memainkan pianonya, kharisma yang dimiliki pria keturunan Australia itu begitu kuat seakan menyedot semua atensi Aquila.
Pria tinggi itu mulai menyenandungkan sebuah lagu, lagu yang mendayu bercerita tentang kerinduan kepada seseorang yang sudah menghianatinya dengan kebohongan. Dengan penghayatan yang sangat sempurna pengunjung kafe itu dibuat terdiam bahkan ada beberapa yang meneteskan airmata karena terbawa perasaan.
Aku benci mengakuinya
Aku masih merindukanmu
Bagaimana aku bisa melupakannya
Hari dimana kau berbohong padaku
Kita tidak tahu apakah kita bisa kembali seperti semula
Katakan apa yang harus aku lakukan
Aku tahu kamulah satu-satunya yang membuat kehancuran ini
(i won’t to admit it ~ Bangchan)
Sedikit lirik yang terus terngiang-ngiang di kepala Aquila. Aquila mengamatinya dalam diam, dan menerka-nerka seberapa menderita Altair sampai bisa bernyanyi dengan penghayatan sedalam itu, siapa yang sudah menyakitinya.
Tiga menit berlalu, Altair menekan tuts piano terakhir kali untuk mengakhiri konser mendadaknya itu, semua orang tersadar dan riuh tepuk tangan terdengar dari seluruh penjuru kafe. Respon yang tak Altair duga sebenarnya. Ia membungkukkan badannya sedikit lalu berjalan ke meja di mana Aquila dan teman-temannya berada.
“Aquila.. hey, Aquila!” Altair melambaikan tangannya di depan wajah Aquila yang masih membatu.
“Ah.. kak.” Aquila gelagapan.
“Sepertinya dia tersihir pesonamu bung.” gurau Ryota dan mereka semua tertawa menanggapinya.
“Penampilan kakak sungguh luar biasa!” Pipi Aquila sedikit bersemu dan itu tidak luput dari penglihatan Altair, ekor matanya mengikuti Aquila yang sudah mulai kembali bekerja.
Pukul dua pagi Aquila menghampiri Altair yang sudah menunggunya di mobil dan lagi-lagi Aquila merasa bersalah melihat Altair yang tertidur di belakang kemudi, harusnya akhir pekan ia gunakan untuk istirahat bukan untuk menemaninya bekerja. Sedikit tak enak hati Aquila menepuknya pelan, tak butuh waktu lama Altair terjaga, setelah Aquila masuk ke dalam mobil ia mulai melajukan mobilnya, melaju menembus jalanan kota Tokyo yang terlihat sepi.
“Tadi itu sangat bagus kak.” Puji Aquila jujur. Penampilan Altair saat di panggung tadi benar-benar mencuri perhatian gadis manis itu.
“Terima kasih!” Altair menoleh ke arah Aquila yang duduk di sampingnya dan melemparkan senyum tulus.
“Umm.. lagu itu apa kakak menyanyikannya untuk seseorang?” tanya Aquila yang tidak bisa membendung rasa penasarannya. Namun, rasa bersalah menyelimutinya saat tak mendapat jawaban sepatah katapun dari pria yang kini tetap fokus mengemudi, tentu saja itu cerita masa lalu yang cukup kelam mengingat setiap kata di lirik lagunya begitu menyayat hati untuk pendengar apalagi untuk yang membuat atau yang menyanyikan, jadi wajar saja jika Altair tidak ingin membicarakannya fikir Aquila.
Tak ada ucapan yang terlontar setelah itu, mereka masing-masing sibuk dengan isi pikirannya sendiri.
***
“Terima kasih kak, lagi-lagi aku merepotkanmu!” ucap Aquila ramah.
“No worry!” jawab Altair tak kalah ramah.
Mereka berdua sedang berada di luar gerbang kediaman Aquila, Altair menawarkan diri untuk mengantarnya tadi, setelah semalaman gadis itu menginap di apartemennya lagi.
Altair menyapukan pandangannya ke arah rumah besar di depannya, menelusuri bangunan yang tidak asing di ingatan, pagar tinggi kokoh yang menjulang mengitari rumah bergaya mediterania tersebut, luas, indah dan nyaman tapi entah kenapa terlihat sangat hampa dan kosong dalam pandangan Altair.
“Kau masuklah dulu, aku akan langsung pulang.” ujar Altair. Aquila merasa tidak sopan karena tidak bisa mengajak tamunya masuk atau lebih tepatnya merasa malu jika ada orang lain yang akan tahu keadaan rumahnya yang sesungguhnya.
“Lain kali aku akan mengajak kakak masuk.” gumam Aquila lirih. Mata sendunya ia sembunyikan dari Altair. Pria tampan itu membalasnya dengan senyuman dan dengan lembut mengusap kepala Aquila.
“Please remain, if you need me, you can call me anytime yeah.” Aquila menengadah menatap mata orang yang baru saja mengucapkan kata-kata sederhana yang begitu dibutuhkan olehnya. Tidak bisa membalas dengan ucapan Aquila hanya menganggukkan kepalanya paham, menahan kristal yang hampir jatuh dari matanya .
Tak lama setelah Aquila meninggalkan Altair, sebuah mobil mewah berhenti tepat di depan gerbang, seseorang keluar dari mobil itu lalu menghampiri Altair yang masih berdiri bersandar pada mobilnya.
“Altair.. apa yang kau lakukan di depan kediamanku?” tanya pria paruh baya itu sembari membuka kacamata hitamnya.
“Paman?” seru Altair. “Aku baru saja mengantar Aqui- ahh maksudku Minami.” sambung Altair.
“It’s okay, kau bisa memanggilnya dengan nama kecil, ayo masuk!” Tawar ayah Aquila ramah.
“Ah tidak, aku ada urusan setelah ini paman.” Tolak Altair sopan.
“Oh ayolah.. Kau sudah jauh-jauh ke sini setidaknya minumlah secangkir kopi, sambil membicarakan kerjasama perusahaan kita bagaimana?” Bujuk sang tuan rumah. Merasa tak enak hati untuk kembali menolaknya Altair hanya mengangguk tanda setuju, segera ia kemudikan mobilnya di belakang mobil ayah Aquila, memasuki pelataran rumah bercat serba putih itu.
Turun dari mobil Altair sedikit kaget saat melihat seorang wanita muda memeluk tangan ayah sahabat barunya itu, seingatnya istri Paman Minami tidak semuda itu. Tentu saja Altair tahu karena Keluarga Sato dan Keluarga Minami sudah menjalin kerjasama sejak lama, hanya saja dia memang belum pernah bertemu Aquila yang dari kecil tinggal di luar negeri bersama kakek-neneknya. Setidaknya itulah yang Altair ingat.
Mereka bertiga memasuki kediaman besar itu dipimpin sang pemilik rumah, beberapa pelayan menyapa mereka ramah.
“Di mana Aquila?” tanya Tuan Minami pada kepala pelayan.
“Nona muda ada di kamarnya, Tuan.” jawab pelayan itu sopan.
“Panggilkan dia, kami akan makan malam bersama dengan sahabatnya!” perintah Paman Minami.
“Tu..Tuan apa perlu saya panggilkan Nyonya besar juga, beliau sudah kembali tadi siang?” Pelayan itu bertanya dengan ragu. Firasat Altair mendadak sedikit tidak enak.
Mereka bertiga sudah duduk di meja makan saat Aquila dan ibunya datang, ibu dan anak itu kaget melihat sosok wanita yang duduk di sisi kanan meja makan yang biasa di duduki nyonya rumah. Sementara yang ditatap acuh seakan tidak ada yang salah di sini. Altair segera menyadari apa yang terjadi di rumah Aquila.
“Bagaimana mungkin Otou-sama membawa wanita lain ke rumah ini, apa Otou-sama tidak menganggapku dan Okaa-sama?” tanya Aquila lirih. Terdengar sekali nada kecewa pada suaranya.
“Aquila duduklah! Kita akan makan malam!” Perintah Tuan Minami tenang.
“Apa Otou-sama gila? Bagaimana mungkin anda menyuruh kami makan di meja yang sama dengan dia?” Racau Aquila sambil menunjuk wanita asing yang kini duduk di samping sang ayah. Ibunya mencoba menenangkannya dengan mengelus pundak Aquila lembut tapi percuma, terlihat sekali kemarahan dan kekecewaan di sorot mata gadis yang biasa memamerkan senyum manisnya itu.
Altair hanya terdiam di sana, ia tidak tau harus berbuat apa, ia tidak mungkin ikut campur masalah keluarga orang lain begitu saja. Tapi tentu saja mata elangnya terus memperhatikan Aquila awas.
“Jaga bicaramu Aquila!” Tegas Tuan Minami penuh penekanan.
“Untuk apa aku harus menjaga ucapanku? Anda dan perempuan murahan itu saja tidak bisa menjaga perasaanku dan perasaan Okaa-“
Plak
Aquila memegangi pipinya yang terasa panas, ini pertama kalinya ia mendapatkan perlakuan kasar dari ayahnya,ia tak menyangka akan mendapat tamparan, sementara terlihat sekali Tuan Minami menyesali perbuatannya. Altair yang tidak mengira hal itu akan terjadi tidak bisa mencegahnya
“Apa yang kau lakukan pada anakku hah?” teriak Nyonya Minami histeris.
“Harusnya kau mengajari anakmu sopan santun, liat sikap anak mu sekarang.. itu karena kau terlalu asyik dengan karirmu.” teriak pria paruh baya itu.
“Kau sendiri bagaimana, bukankah kau juga punya kewajiban untuk mengajarinya? Tapi kenapa kau malah sibuk berkencan dengan banyak wanita?”
“Diam.. diam.. AKU MOHON KALIAN BERDUA DIAM!” Aquila membanting gelas yang tidak jauh darinya. Semua orang terdiam, menatap awas pada Aquila, baru kali ini mereka melihat Aquila yang tak bisa mengontrol emosinya.
Keputusannya untuk pulang ke rumah ternyata salah, jika tahu akan begini Aquila lebih memilih menumpang di apartemen Altair atau rumah teman-temannya. Sudah empat bulan ini Aquila memang tidak pernah pulang ke rumah, dia lebih memilih untuk menginap di tempat manapun asalkan bukan rumahnya, asalkan dia tidak mendengar pertengkaran kedua orang tuanya. Ia sudah sangat lelah melihat mereka selalu berseteru.
“Aku tidak pernah meminta kalian melahirkanku.. bagaimana kalian bisa saling menyalahkan seperti itu? Jika tidak punya waktu untuk membimbingku cukup jangan BAWA AKU KE DUNIA YANG KOTOR INI!” ucap Aquila lirih dengan nada tinggi di akhir kalimatnya. Kedua orang tuanya terkesiap mendengar terikan frustasi Aquila.
“Dan kau Tuan Minami, lelaki brengsek sepertimu tidak pantas dipanggil ayah! Kau wanita jalang yang sudah merenggut kebahagiaan keluargaku juga tidak pantas menjadi seorang ibu, aku berdoa semoga anakmu merasakan kesedihan yang lebih dalam dari apa yang aku rasakan saat ini!” Aquila berucap dengan penuh penekanan, terasa sekali rasa sakit yang teramat dalam setiap kata yang terucap dari mulutnya.
Aquila melangkah pelan menjauh dari keriuhan rumahnya setelah sebelumnya tersenyum tipis ke arah Altair. Bisa Altair lihat tatapan kesedihan yang terpancar dari manik coklat madu Aquila yang sudah retak. Dengan cepat Altair mengekor di belakang Aquila, gadis itu berhenti tepat di samping mobil hitamnya.
“Take me to somewhere?” Aquila berujar lirih.
“Just get in!” Altair masuk ke mobilnya, disusul Aquila. Ia mengemudi dengan kecepatan sedang. Tak ada obrolan di antara mereka, Aquila asik menerawang keluar jendela dengan tatapan kosong, sementara Altair fokus mengemudi sambil menyenandungkan lagu mengikuti irama lagu dari radio yang ia nyalakan.
“Menangislah!” ucap Altair memecah keheningan tanpa kehilangan fokusnya pada jalanan.
“Aku tidak lemah.”
“Jadi kau pikir jika kita menangis itu artinya kita lemah?”
“...”
“Kita bukan robot Aquila, semua emosi yang kita rasakan itu valid. Bahagia, bersedih, marah, tertawa maupun menangis itu yang membuktikan kalau kita adalah manusia.” ucap Altair pelan.
“...”
Altair mengaktifkan kemudi otomatisnya, ia membuka hoodienya lalu menutupi wajah Aquila dengan itu.
Aquila tidak menyetujui ataupun menolak sikap Altair. Tidak lama setelah itu dapat Altair liat badan gadis di sampingnya itu sedikit bergetar, sesekali isakan kecil terdengar darinya.
Kembali menggunakan kemudi manual Altair menambah kecepatan mobil Audi mewah miliknya.
Menembus jalanan kota Tokyo yang nampak sepi malam ini.
Empat puluh lima menit sudah Altair mengendari mobilnya, kini ia berhenti di parkiran yang berada di atas dataran tinggi yang menghadap langsung ke pantai. Dari sana bisa dilihat kelap-kelip lampu kapal-kapal kecil milik nelayan, deburan ombak terdengar pelan, juga hembusan angin pantai menerpa keduanya yang kini duduk beriringan di atas kap mobil.
“Kak, kau tidak dingin?” tanya Aquila pelan. Bukan apa-apa hanya saja sekarang Altair hanya menggunakan kaos tanpa lengan setelah ia memberikan hoodienya kepada Aquila tadi.
“Jika aku bilang tidak, kau pasti tau aku berbohong.”
“Kemarikan tanganmu!” Aquila meraih kedua tangan Altair lalu menggosok-gosokannya dengan tangannya, setelah dirasa cukup hangat Aquila membawa tangannya ke pipi Altair, menangkupnya. Altair yang mendapatkan perlakuan tiba-tiba itu sejenak membatu.
“Kau tidak suka? Maaf aku lancang.” Aquila melepaskan tangannya dari pipi Altair.
“No, i like it.. it’s warm, really!” Altair menarik kembali tangan Aquila, meletakkannya di kedua belah pipinya.
Cukup lama keduanya bertatapan tanpa sadar dan bunyi smartphone dari saku celana Altair membuyarkan keduanya. Sedikit panik Altair berjalan mejauh dari Aquila.“Ha.. hallo, Ryota?” Altair tergagap, mencoba menetralkan detak jantungnya.“Altair.. apa kau baru saja melalukan hal yang tidak pantas, kenapa suaramu gugup sekali?” goda Ryota seakan bisa melihat apa yang baru saja terjadi.“Apa maksudmu, aku hanya kaget tadi.. Untuk apa kau menelpon?” Altair tidak terima.“Aku dan Naoki sudah berada di apartemenmu, sekarang kau di mana?” Ryota menjelaskan.“Apa? untuk apa?”“Apa kau lupa besok pagi kita ada meeting penting dan kita harus menyiapkan semua materinya.” Ryota sedikit heran karena sahabatnya itu belum pernah melupakan schedule kerja sebelumnya.“Ahh.. aku a
Mereka berdua sudah di supermarket, Altair mendorong troli sementara Aquila yang akan mengambil bahan makanan yang mereka butuhkan tepatnya yang Aquila inginkan.Altair tidak keberatan tentang itu, ia menyukainya, ia menyukai wajah Aquila yang bersemangat tiap kali mengambil satu persatu makanan yang dia suka atau wajah memelasnya saat Altair melarangnya mengambil barang yang hanya terlihat lucu untuk Aquila.Tingkah keduanya membuat orang-orang disekitar mereka merasa iri karena menurut pandangan orang lain, mereka terlihat begitu mesra, juga serasi. Altair dengan tinggi diatas rata-rata sementara tinggi Aquila hanya sebatas pundak Altair. Altair yang begitu menawan, Aquila yang begitu menarik.“Kau bekerja nanti malam?” tanya Altair. Ia ingat Aquila harus bekerja setiap akhir pekan.“Tidak, hari ini aku cuti.”“Bagaimana jika nanti malam kita mengadakan pe
Semua terdiam mendengar pertanyaan yang lolos dari mulut Altair. Tentu semua tahu pertanyaan itu di arahkan untuk siapa meski Altair tidak menyebutkan nama.“Siapa pria itu.. Aquila Minami?” desis Altair merendahkan suaranya.“Di.. dia sahabatku.” gumam Aquila lirih tidak berani menatap Altair. Gadis manis itu takut mendengar nada rendah pria yang beberapa bulan ini tinggal bersamanya. Selama mereka tinggal bersama belum pernah sekalipun Altair menggunakan nada rendah untuk berbicara padanya, sekalipun Aquila membuat kesalahan Altair tak pernah marah padanya. Nada rendah Altair benar-benar mengintimidasi Aquila.“Jadi kami semua yang ada disini boleh mencium bibirmu seperti tadi, bukankah kami juga sahabatmu?”Hening.Semua orang terdiam mendengar pertanyaan Altair. Aquila menatap Altair tak percaya. Entahlah, tapi pertanyaan Altair membuatnya
“Aki bilang dia akan menjauh dariku tapi sebelumnya dia ingin berciuman sekali saja dan bodohnya aku menyetujui dan sialnya Altair melihatnya!” gerutu Aquila frustasi. Ia mengacak-acak rambutnya sendiri.“Kenapa.. kenapa kau takut saat Altair mengetahuinya?” Pertanyaan Emilia membuat Aquila terdiam. Ia tidak tahu kenapa ia merasa menyesal karena Altair melihatnya.“Lain kali saja kau beri jawabannya.” Emilia menepuk pundak Aquila pelan. Emilia tahu Aquila sendiri belum menemukan jawaban atas perasaannya sendiri.“Ayo keluar, sepertinya live music sudah selesai!” Ajak Emilia.***“Aquila.. kau bisa mengambil cuti besok, aku tidak tega melihatmu seperti ini.” ucap Emilia di parkiran apartemen Aquila atau lebih tepatnya apartemen Altair. Mereka berdua baru saja pulang bekerja.Emilia mengant
“Aquila, kau ingin makan sesuatu?” tanya Altair setelah sampai di apartemen mereka.“Aku ingin langsung istirahat saja kak.” jawab Aquila lemah. Ia masih merasa pusing, badanpun masih terasa berat. Altair hanya mengangguk, ia memapah Aquila ke kamarnya. Terlihat sekali raut lelah di wajah gadis itu. Altair menidurkan Aquila pelan, menyelimutinya sampai sebatas dada, tidak lupa mengelus surainya lembut.“Tidurlah!” ucap Altair sembari mengusap-usap kuping Aquila pelan. Matanya menatap Aquila lekat. Gadis itu menuruti perkataan pria di sampingnya, ia mencoba memejamkan mata. Aquila yang begitu merasa nyaman akan perlakuan Altair langsung terbawa ke alam mimpi. Ia tidak pernah diperlakukan selembut ini oleh orang lain. Yakin Aquila telah tertidur Altair keluar menuju balkon lalu meraih handphonenya untuk menghubungi seseorang.“Halo Tsuyu, bisakah kau ke apartemenku sekarang? Temank
Altair bersiap secepat yang dia bisa, dari ucapa Ryota pasti ada hal penting yang terjadi di kantor. Tentu Altair tidak ingin sesuatu terjadi pada perusahaan yang dia dan sahabatnya bangun dengan susah payah.Selesai bersiap Altair menghampiri Aquila yang masih berada di dapur, gadis itu terlihat tengah menyesap teh chamomile kesukaannya, “Aquila, aku berangkat ya.” Altair berucap cepat.“Tunggu, aku sudah menyiapkan bento untukmu.” Aquila mengejar Altair yang sedikit lagi mencapai pintu. Ia menyerahkan bungkusan makan siang yang ia siapkan saat menunggu Altair bersiap tadi.“Thanks! Ittekimasu!” ucap Altair, ia menerima bento dari Aquila.“Itterashai!” jawab Aquila, ia perhatikan punggung lebar Altair yang mulai menjauh.Dengan kecepatan tinggi Altair melajukan mobil Audi hitamnya menuju kantor,
“Tadaima!” ucap Altair seraya membuka pintu apartemennya setelah pulang dari kantor. Penasaran karena tidak ada jawaban dari Aquila ia lirik jam yang melingkar di tangannya menunjukkan pukul sembilan malam, tidak mungkinkan gadis itu sudah tidur seawal ini.“Aquila?” Panggilnya lagi.“Kak Altair.. okaeri!” Aquila keluar dari arah dapur dengan celemek yang terpasang.“Maaf aku tidak dengar, aku sedang fokus memasak.” Jelas Aquila. Altair berjalan mendekatinya.“Memangnya sudah sembuh? Kita bisa membeli makanan saja agar kau tidak perlu repot seperti ini.” ucap Altair lembut. Ia usap-usap kepala Aquila pelan.“Kak.. aku pingsan karena kelelahan, bukan karena penyakit mematikan jadi berhentilah terlalu mengkhawatirkanku.” Aquila berkata lembut. Altair hanya mengangguk-anggukkan kepala.“Sudahlah lebih baik k
Hari berganti, Aquila sudah sembuh dari sakitnya dan sekarang dia sudah tidak bekerja fulltime di kafe lagi, Altair benar-benar melarangnya sejak insiden Aquila jatuh pingsan karena kelelahan. Altair yang akan membiayai kuliah Aquila. Tentu saja Aquila menolak pada awalnya. Dia tidak mau merepotkan siapapun, selagi dia masih bisa bekerja dia akan bekerja hingga akhirnya Altair memberikan penawaran yang menurut gadis itu masuk akal. Setelah Aquila lulus kuliah dia harus bekerja untuk perusahaan Altair sebagai cara untuk membayar biaya hidup dan biaya kuliah Aquila yang sudah Altair keluarkan. Sebenarnya Altair tidak mempermasalahkan uang yang harus ia keluarkan untuk Aquila tapi mengingat gadis manis itu tidak akan menerima bantuan nya secara cuma-cuma akhirnya dia memberikan penawaran tersebut. Hubungan mereka berdua pun semakin dekat. Sudah tidak ada lagi rasa canggung di antara mereka. Keduanya sudah seperti kakak beradi
Altair melangkahkan kaki jenjangnya menuju ruangan pribadinya usai sampai di kantor. Wajahnya yang tampan tak berhenti mengulas senyum simpul. Rasa bahagia yang meluap masih tertinggal dari kegiatannya bersama Aquila kemarin. Founder dari North Star Corporation itu bahkan menyapa setiap pegawai yang berpapasan dengannya, hal yang tidak pernah ia lakukan sebelumnya dan hal itu cukup menggugah rasa penasaran di benak karyawan, kira-kira apa yang sudah terjadi dengan bos mereka yang sangat dingin hingga mau menyapa mereka sebelum mereka menemukan noda merah ke unguan yang memenuhi leher pucat pria menawan yang merupakan atasan mereka. Ah sepertinya bosnya tengah jatuh cinta.“Selamat pagi Ryota.. Naoki..!” serunya begitu melihat kedua sahabatnya itu sudah mulai anteng dengan laptop masing-masing.Keduanya menatap Altair aneh, “Aquila salah memberimu obat?” sindir Ryota.“Nope.. dia memberiku ob
Pukul tujuh tepat Aquila keluar kamar untuk membuatkan sarapan untuk kekasihnya dan sahabatnya, ia menggunakan sweater dengan model turtle neck untuk menutupi tanda cinta yang semalam kekasihnya bubuhkan di seluruh lehernya, ia tak ingin para sahabatnya melihat itu. Seulas senyum menghiasi wajahnya, wanita cantik itu masih merasakan kebahagiaan yang meluap yang tertinggal di hatinya usai kegiatan yang mereka lakukan semalam.Sebenarnya mereka melakukan kegiatan itu lagi usai Altair mengisi kembali tenaganya, pria tinggi itu berhasil membuatnya keluar sebanyak empat kali, sementara Altair keluar dua kali. Aquila tidak tahu kekasihnya itu benar-benar lihai membuatnya terbang bersama kupu-kupu di dalam perutnya.Arata datang menghampirinya saat wanita cantik itu tengah menghidangkan enam porsi sandwich, dua cangkir kopi susu dan empat cangkir kopi hitam di atas meja makan.“Aquila, kau sakit?” tanya Arata cemas
Altair menimbang-nimbang apakah ia harus melanjutkan kegiatan ini atau tidak. Ia tak mau menyakiti kekasihnya lebih lagi. Altair yang tengah bimbang dikejutkan dengan Aquila yang menariknya mendekat setelah tangan gadis itu ia lepaskan tadi. Dengan berani Aquila mengalungkan tangannya di leher Altair dan perlahan menariknya mendekat. Saat sudah cukup dekat gadis cantik itu meraih bibir ranum milik prianya. Altair tidak menolak maupun membalas ciuman Aquila, ia ingin tahu seberapa jauh kekasihnya itu akan mendominasi dirinya.Aquila mencium bibir Altair dengan sangat lembut, mengabsen gigi gerigi kekasihnya seperti yang Altair ajarkan tadi, dengan perlahan melumat bibir merah itu. Puas merasakan bibir kekasihnya gadis manis itu berpindah ke leher jenjang Altair, menciumnya perlahan sebelum ia mengigitnya pelan hingga menimbulkan bercak merah tua yang begitu kontras dengan kulit putih pucat yang dimiliki Altair.Aquila membuat banyak kissmark
Pukul sebelas tepat, ke enam nya baru bisa menikmati hidangan yang sudah Aquila siapkan setelah sebelumnya mereka menyanyikan lagu ulang tahun dan memotong kue. Mereka makan sambil sesekali bersenda gurau guna mencairkan suasana di antara Altair dan Aquila yang mendadak membeku.Namun, itu tak berpengaruh pada Aquila, gadis manis itu tetap asyik dengan pikirannya sendiri. Ia masih merasakan ngilu tiap kali mengingat ada aroma parfum vanilla yang menempel di badan kekasihnya. Bukankah tidak mungkin aroma parfum bisa menempel tanpa ada kontak fisik yang cukup lama?“Sayang, kenapa tidak kau buka saja kado-kadonya?” Altair memberi saran pada Aquila begitu mereka sudah menyelesaikan acara makan malamnya.“Altair benar!” seru Arata mengiyakan ucapan kakak
Altair dan Naoki sampai di kantor pukul setengah sembilan, mereka berdua dikejutkan dengan kehadiran Kakek Sato dan Orihime yang sudah duduk di ruangan mereka bersama Ryota yang nampak acuh sibuk dengan laptop di depannya.Naoki tampak tidak peduli meskipun jauh di dalam hatinya ia khawatir dengan Altair, pria tampan itu langsung duduk di kursinya sementara Altair menduduk kan dirinya di sofa yang berhadapan dengan kedua tamu tak diundangnya.“Ryota, bisa pesankan kami kopi?” gumam Altair. Ryota mengangguk, ia segera keluar ruangan untuk menyuruh sekretarisnya membuatkan tiga cangkir kopi.“Langsung saja, kedatangan kakek kemari untuk mengantarkan Orihime,” Kepala Keluarga Sato itu menggantung kata-katanya, “dia akan menjadi sekretaris pribadimu mulai hari ini.” Alih-alih merespon ucapan sang kakek Altair hanya menghembuskan nafasnya berat, ia terlalu lelah untuk berdebat dengan sang k
“Hallo Naoki?”“Ada apa kau meneleponku selarut ini?” tanya Naoki dari seberang sana.“Carikan aku mobil sekarang!”“Altair kau gila, ini sudah pukul sebelas malam dan kau meminta mobil?” Naoki tidak percaya sahabatnya meminta mobil selarut ini.“Aku tidak peduli, besok pagi harus ada mobil di parkiran apartemenku.” Altair mematikan panggilannya sepihak. Membuat Naoki bertanya-tanya apa yang terjadi dengan sahabatnya itu.Altair begitu takut ucapan Orihime benar bahwa sang kakek akan menghalalkan segala cara agar dirinya mau dijodohkan dengan Orihime. Meskipun begitu sudut hati Altair tidak percaya
Jam istirahat Altair turun ke lantai dasar untuk menemui Orihime meskipun ia tidak yakin mantan kekasihnya itu masih menunggunya mengingat Orihime adalah orang yang tidak suka menunggu. Namun, tebakan Altair salah, wanita itu masih ada di kafe yang terletak di bagian samping lobi kantornya. Wanita itu terlihat sedang menyesap kopinya sambil melihat pemandangan di luar kafe, sebuah taman kecil yang didesain sebagai area hijau kantor itu.“Aku kira kau sudah pergi.” sapa Altair lalu duduk dihadapan Orihime, wanita itu menoleh dan memamerkan senyumnya.“Aku menunggumu.”“Apa yang ingin kau bicarakan?” tanya Altair langsung.“Seperti janjiku tempo hari, aku sudah mencoba b
Altair berusaha membuka matanya yang terasa seperti dilem kala ia merasakan sapuan di kepala. Mencoba memfokuskan penglihatan ia melihat Aquila yang sedang tiduran di sampingnnya sambil mengusap-usap kepalanya. Gadis manis itu tersenyum untuknya.“Ohayou.” gumam Altair. Ia masih mengantuk sekali karena baru bisa tidur dini hari.“Maaf.. aku membangunkanmu.” ucap Aquila menyesal telah membangunkan kekasihnya.“Tidak masalah, lebih mendekatlah.” Pinta Altair.Gadis manis itu menurut, ia mendekat lebih dekat dan merebahkan dirinya di samping Altair dengan berbantalkan lengan kekasihnya. Dirasakannya Altair yang mulai mengelus-elus kepalanya pelan. Aquila merubah posisi tidurnya dengan meletakkan kepalanya di atas dada bidang Altair, didengarnya jantung sang kekasih yang berdetak teratur, kepalanya ikut naik turun seirama dengan tarikan dan hembusan nafas orang terkasi
Altair dan Aquila berjalan-jalan di sekitar penginapan tradisional itu, pria tinggi itu melambatkan langkahnya untuk mengimbangi langkah Aquila yang pelan karena saat ini gadis cantik itu menggunakan geta.Di sekitar ryokan yang mereka tempati terdapat juga beberapa penginapan tradisional yang ukuran nya lebih kecil, ada banyak pula kedai-kedai makanan tradisional yang masih buka, terlihat juga beberapa tamu yang lalu lalang dengan menggunakan yukata dari masing-masing ryokan.Meski di luar cukup dingin mereka terlihat antusias untuk menjelajahi sekitaran tempat itu sambil bercengkerama mengenai topik-topik ringan. Ini quality time yang tak bisa dibiarkan begitu saja pikir keduanya. Minggu depan Aquila akan sidang untuk gelar kuliahnya dan Altair akan disibukkan dengan pekerjaannya.“Kau lelah?” tanya Altair yang merasa langkah kekasihnya semakin pelan.“Sedikit.. aku tidak terbiasa