“Aki bilang dia akan menjauh dariku tapi sebelumnya dia ingin berciuman sekali saja dan bodohnya aku menyetujui dan sialnya Altair melihatnya!” gerutu Aquila frustasi. Ia mengacak-acak rambutnya sendiri.
“Kenapa.. kenapa kau takut saat Altair mengetahuinya?” Pertanyaan Emilia membuat Aquila terdiam. Ia tidak tahu kenapa ia merasa menyesal karena Altair melihatnya.
“Lain kali saja kau beri jawabannya.” Emilia menepuk pundak Aquila pelan. Emilia tahu Aquila sendiri belum menemukan jawaban atas perasaannya sendiri.
“Ayo keluar, sepertinya live music sudah selesai!” Ajak Emilia.
***
“Aquila.. kau bisa mengambil cuti besok, aku tidak tega melihatmu seperti ini.” ucap Emilia di parkiran apartemen Aquila atau lebih tepatnya apartemen Altair. Mereka berdua baru saja pulang bekerja.
Emilia mengantarkan Aquila pulang karena sudah tidak ada kendaraan umum yang beroperasi pukul dua dini hari, kecuali taxi. Dan setelah mengetahui bagaimana keuangan sahabatnya ini sekarang, Emilia bersikukuh untuk mengantarkannya setiap hari karena jika tidak sudah bisa dipastikan gaji Aquila hanya akan habis untuk membayar taxi setiap hari yang bisa dibilang cukup mahal karena jarak tempat kerja dan tempat tinggal dia lumayan jauh.
Aquila tidak enak hati sebenarnya karena selalu merepotkan sahabat baiknya ini, tapi dia juga tidak punya pilihan lain. Gajinya hanya cukup untuk mencicil biaya kuliah juga keperluan pribadi. Beruntung sekarang dia tinggal bersama Altair, jadi ia tidak harus membayar sewa tempat tinggal. Sebagai gantinya Aquila kadang membeli keperluan sehari-hari untuk dirinya dan Altair. Awalnya Altair selalu menolak tapi Aquila bersikukuh dia tidak mau tinggal secara cuma-cuma.
“Apa aku terlihat sangat menyedihkan?” tanya Aquila dengan tawanya.
“Ya, kau seperti zombie!” jawab Emilia cepat. Aquila tertawa mendengar jawaban yang diberikan sahabatnya itu.
“Terima kasih, tapi aku baik-baik saja!” desah Aquila pelan. Sesungguhnya yang Emilia katakan benar, ia seperti zombie sekarang. Aquila merasa seperti kehabisan tenaga, beberapa hari ini sangat melelahkan untuknya, dari mulai urusan kuliah sampai urusan pekerjaan, belum lagi masalah keluarga.
“Kau mau mampir?” Tawar Aquila yang bersiap turun dari mobil Emilia.
“Tidak!”
“Baiklah, sampai ketemu besok!”
“Kalian sudah baikkan?” Pertanyaan Emilia menghentikan pergerakan Aquila.
“Sekali lagi terima kasih, maaf sudah merepotkanmu!” Aquila tersenyum kecil ke arah sahabatnya itu. Melihat senyum Aquila, Emilia sudah tau jawaban akan pertanyaan yang ia ajukan.
Sesampainya di apartemen Aquila bergegas menuju dapur, tenggorokannya benar-benar kering. Mengambil sebotol air mineral dari dalam kulkas lalu ia mendudukan dirinya di meja makan.
“Lelah sekali hari ini, rasanya aku kehabisan tenaga.” gumamnya.
Dia benar-benar lelah sekarang, baik fisik maupun mental. Ayahnya mendesak untuk segera pulang ke rumah, jika tidak ia mengancam akan menghentikan biaya Aquila kuliah. Aquila tidak bisa membayangkan itu, untuk mencukupi kebutuhannya yang sekarang saja sudah membuat ia harus bekerja keras, bagaimana dia bisa membiayai kuliahnya sendiri.
Universitas yang ia tempati saat ini masuk dalam jajaran kampus termahal di Jepang. Sementara jika dia pulang mentalnya akan lebih hancur karena harus melihat pertengkaran kedua orang tuanya setiap hari.
“Kak..” Aquila menangis lirih, ia butuh seseorang untuk teman bercerita, untuk teman berbagi, dan yang terlintas di fikirannya hanya Altair.
“Kak..” panggilnya sangat lirih yang tak mungkin bisa didengar oleh orang lain.
“Aquila!” panggil Altair pelan. Pria itu ke dapur untuk mengambil minum dan menemukan Aquila yang sudah tertidur di meja makan. Altair duduk di hadapan Aquila, tidak berniat untuk membangunkan gadis manis itu. Ia hanya mengamati wajah teduh Aquila yang tertidur.
Sudah setengah jam Altair menunggu Aquila tetapi tidak ada tanda-tanda gadis itu akan bangun.
“Kau pasti kelelahan kiddo, istirahatlah!” Altair menyelimuti tubuh Aquila dengan selimut yang baru saja ia ambil dari kamarnya, tadinya ia ingin memindahkan Aquila ke kamar tapi pasti gadis ini akan terbangun jadi Altair memutuskan untuk menyelimutinya saja. Lagipula ini sudah pukul setengah empat pagi dan ia harus kembali tidur, mengumpulkan sedikit tenaga untuk bekerja pagi nanti.
“Ughh.” Aquila mengerjap-ngerjapkan matanya yang terasa sangat berat, dan mendapati Altair tengah menyelimutinya.
“Aquila, maaf aku membangunkanmu!” Altair menyesal. Aquila mengeleng-gelengkan kepalanya.
“Ini jam berapa? Kak Altair sudah mau bekerja?” gumam Aquila masih setengah sadar.
“Belum, ini masih setengah empat pagi!” jawab Altair kalem, ia usap lembut kepala gadis yang lebih muda beberapa tahun darinya itu. Mencoba menyalurkan ketenangan agar Aquila kembali tidur.
“Kau pulang jam berapa semalam?” tanya Altair tak bisa menyembunyikan rasa penasarannya.
“Seingatku aku turun dari mobil Emilia pukul setengah tiga.” Aquila mencoba bangun, menyandarkan tubuhnya ke kursi, “Tadi di kafe ramai sekali!” Lanjut Aquila. Altair ingat seberapa ramainya kafe itu saat akhir pekan, “Sekarang aku bekerja fulltime kak.”
“Jadi sekarang kau bekerja setiap hari?”
“Ya.”
“Apa ada masalah?” Aquila terdiam cukup lama mendengar pertanyaan Altair, ia bingung harus berkata jujur atau tidak, tapi ia juga tak mau membuat yang lebih tua khawatir.
“Tidak, hanya ingin saja.” Bohong Aquila.
“Aquila.. aku.. aku belum minta maaf padamu dengan benar, maafkan aku Aquila.. karena masalah yang dulu, kita belum bicara dengan benar sampai sekarang jadi aku benar-benar minta maaf!” ucap Altair tulus. Altair benar-benar menyesal atas perkataanya yang tidak baik.
Kejadian terakhir kali yang membuat hubungan mereka renggang sampai sekarang dan Altair tidak mau masalah itu sampai berlarut-larut hingga membuat mereka saling menjauh. Altair tidak ingin itu dan begitu pula Aquila. Hanya saja ego dan gengsi masih menguasai mereka kemarin.
“Jauh sebelum kakak minta maaf aku sudah memaafkanmu kak!” Senyum Aquila merekah. Ia bahagia akhirnya mereka kembali saling bicara.
“Benarkah? Terima kasih Aquila!” Senyum Atair ikut mengembang.
“Sejujurnya aku tidak tau kenapa itu bisa terjadi, maksudku aku sendiri tidak tahu kenapa aku bisa marah melihat kejadian itu. Aku tidak suka kau bersama orang lain semesra itu Aquila.. Aku mungkin menci-“ Aquila menempelkan jari telunjuknya di bibir Altair, menghentikan kata-kata yang hampir keluar dari mulutnya. Altair terdiam, tidak tahu maksud Aquila yang mencoba menghentikan ucapannya, apa Aquila membenci dirinya sehingga dia tidak mau mendengarnya atau bagaimana.
“Aku khawatir kau akan menyesal mengeluarkan kata-kata itu, jadi aku menghentikanmu kak.” jelas Aquila lembut. Altair menatap mata Aquila dalam, mencoba menyelami manik coklat madu gadis manis yang mungkin sudah mencuri hatinya, untuk mencari jawaban yang mungkin tersirat dari pertanyaan yang tadi belum lolos dari mulutnya.
“Aquila aku tidak akan menyesal.” Altair meraih jari telunjuk Aquila, menggenggamnya, dan menciumnya lembut. Aquila tersipu mendapat perlakuan manis Altair yang begitu tiba-tiba.
“Aku tau kau belum yakin dengan perasaanmu, jadi aku tidak ingin mendengarnya sekarang. Katakan lain kali jika kau sudah benar-benar yakin akan perasaanmu itu.” Aquila menarik tangannya dari genggaman Altair.
“Ini sudah pagi, kakak harus tidur begitu pula aku.” Aquila berdiri besiap menuju kamarnya sebelum langkahnya dihentikan oleh ucapan Altair.
“Tunggu aku!” seru Altair penuh arti. Aquila menjawabnya dengan senyum yang begitu lembut.
Mereka hanya butuh menurunkan ego sedikit untuk membuat hubungan yang sempat renggang kembali seperti semula. Namun, juga dibutuhkan keberanian dan kemauan yang kuat. Ke depannya mungkin akan lebih mudah untuk Altair karena setidaknya dia sudah tahu apa yang hatinya inginkan. Kadang sedikit kesalahpahaman tidaklah seburuk yang kita fikirkan asalkan kita tidak takut untuk mencari kebenaran yang sesungguhnya.
***
“Altair, getaran handphonemu benar-benar mengganggu!” teriak Ryota sebal. Ia merasa sangat terganggu dengan getaran handphone Altair.
Mereka bertiga, Altair, Ryota dan Naoki sedang sibuk dengan pekerjaan masing-masing setelah selesai meeting sebelumnya. Mereka belum beranjak dari ruangan itu saat handphone Altair tidak berhenti bergetar sedari tadi menandakan ada panggilan yang masuk.
Altair tidak berniat mengangkatnya, ia masih sibuk dengan tumpukan kertas yang harus ia teliti satu persatu, melihat siapa peneleponnya pun tidak. Sementara Ryota dan Naoki juga tak kalah sibuk dengan laptop masing-masing.
“Angkatlah!” Perintah Ryota yang sudah kehilangan kesabaran.
“Mungkin itu panggilan penting, angkatlah!” ucap Naoki yang masih anteng dengan laptop di depannya.
“Memangnya ada yang lebih penting dari tumpukan kertas ini?” ujar Altair tanpa mengalihkan atensinya.
“Aquila.” Naoki berujar santai.
Mendengar jawaban Naoki membuat Altair menghentikan pekerjaannya, benar juga bagaimana jika itu Aquila karena seingatnya gadis itu berjanji akan memasakkan makan malam untuknya nanti. Tapi bukankah ini baru pukul empat sore atau Aquila ingin menanyakan menu yang ia inginkan pikir Altair.
Altair tersenyum lembut membayangkannya, ia lihat sekilas benarkah Aquila yang menghubunginya. Mengernyitkan dahinya sekilas melihat nama ‘Emilia’ yang terpampang di layar handphonenya, ia segera mengangkatnya.
“Kak kau lama sekali!” teriak Emilia dari seberang panggilan, membuat Altair menjauhkan sedikit telepon itu dari indra pendengarannya, dia tidak ingin tuli di usia muda.
“Aku sedang meeting, ada apa?” tanya Altair tanpa basa-basi.
“Ah maaf mengganggu, tapi Aquila baru saja pingsan di kafe bisakah kau menjemputnya nanti?” jelas Emilia.
“Apa? Pingsan? Kenapa?” seru Altair panik, membuat kedua sahabatnya ikut panik.
“Apa? Siapa yang pingsan?” teriak Naoki heboh.
“Aku ke sana!” lanjut Altair cepat. Altair memutuskan panggilan dengan Emilia, lalu bersiap untuk menjemput Aquila.
“Aquila pingsan, tolong kalian bereskan berkas-berkas sialan ini dan antar ke rumahku nanti!” Perintah Altair, ia benar-benar panik sekarang. Kedua sahabatnya hanya memandang kepergian Altair yang setengah berlari dengan tatapan heran, pasalnya mereka belum pernah melihat Altair sepanik ini karena seseorang apalagi perempuan. Altair sendiri merutuki dirinya karena tidak sadar Aquila sedang sakit padahal dini hari tadi mereka cukpu lama mengobrol.
Altair melihat keseluruh penjuru kafe dan menemukan sosok Emilia yang sedang melayani pelanggan. Ingin sekali ia menghampiri gadis itu untuk menanyakan kabar Aquila tapi ia juga tidak mau mengganggu pekerjaan Emilia, jadi ia memutuskan untuk duduk sembari menenangkan dirinya sendiri.
“Kak, kau sudah sampai?” sapa Emilia basa-basi setelah selesai melayani pelanggan, tadi dia melihat kedatangan Altair.
“Baru saja.. di mana Aquila? Bagaimana keadaannya? Bagaimana mungkin dia bisa pingsan?” tanya Altair panjang. Membuat Emilia tersenyum lembut, mengindahkan hatinya yang terasa ngilu melihat perhatian Altair untuk sahabatnya.
“Jadi aku tak punya kesempatan eh.” Batin Emilia nanar.
“Emilia?” panggil Altair membuyarkan lamunan Emilia.
“Aquila ada di ruang istirahat karyawan,” jawab gadis itu, “Tapi sebelum itu ada yang harus aku katakan padamu kak.” Lanjut Emilia.
“Apa?”
“Apa kau tau kenapa Aquila bekerja fulltime sekarang?” tanya Emilia.
“Dia bilang karena dia bosan di rumah dan ingin saja, apa ada alasan lain?” Altair penasaran dengan pertanyaan Emilia.
“Paman Minami sudah memblokir semua akses keuangan Aquila.” Altair terkejut dengan penuturan gadis yang lebih muda darinya itu.
“Kenapa?” hanya pertanyaan itu yang lolos dari mulutnya.
“Agar Aquila pulang ke rumah, tapi kau tahukan Aquila tidak semudah itu menyerah. Jadi alih-alih pulang ke rumah dia lebih memilih bekerja walaupun ini sangat berat untuknya. Dia tidak punya waktu luang sekarang apalagi untuk istirahat.” terang Emilia. Altair tidak bisa berkata-kata, dia yang tinggal bersama Aquila tapi dia juga tidak tau apapun tentang anak itu.
Kenapa Aquila tidak pernah bercerita tentang apapun padanya? Apa dia tidak berarti apapun untuk Aquila? Apa Aquila tidak percaya padanya? Pertanyaan demi pertanyaann hinggap di kepala Altair.
“Aquila tidak mau merepotkanmu.” ucap Emilia seakan bisa mendengar batin Altair.
“Antar aku ke tempat Aquila.” Altair berujar lirih. Emilia menganggukkan kepalanya pelan.
Mereka berdua berjalan ke ruangan di mana Aquila berada, sesampainya di sana terlihat gadis manis itu sedang tertidur di sofa, satu lengannya ia gunakan sebagai bantal dan satu lengan lagi ia gunakan untuk menutupi matanya.
Altair berjalan perlahan menghampiri Aquila lalu berjongkok di sampingnya, ia usap surai Aquila lembut. Dilihat dari dekat seperti ini terlihat sekali tubuh kurus Aquila membuat dada Altair berdenyut ngilu. Aquila anak yang baik tapi cobaan yang sudah ia terima tak main-main. Ia selalu menyembunyikan emosinya di balik senyum manis yang selalu menghiasi wajah manisnya dan pembawaanya yang selalu ceria.
Di luar sana banyak yang iri dengan kehidupan Aquila. Anak tunggal seorang konglomerat yang memiliki segalanya. Paras yang cantik, harta yang melimpah, kepintaran diatas rata-rata, dan tentunya keluarga yang bahagia. Sekilas nampak sempurna di depan panggung tanpa tahu seberapa kacaunya kehidupan Aquila di belakang panggung.
Aquila membuka matanya begitu merasakan seseorang membelai surainya lembut dan yang pertama ia lihat adalah senyum Altair yang begitu menenangkan.
“Kak.” Aquila sedikit heran melihat Altair ada di tempat kerjanya.
“Maaf Aquila, aku yang menghubunginya tadi.” gumam Emilia. Aquila menjawabnya dengan senyum kecil.
“Kau tidak harus kemari kak, semalam kau bilang hari ini akan sibuk?” Aquila menatap Altair, takut jika dirinya sudah mengganggu kegiatan pria tampan itu.
“Kau lupa aku punya dua tangan kanan yang sangat bisa diandalkan?” Altair balik bertanya. Benar Altair mempunyai Ryota dan Naoki yang akan selalu membantunya.
“Kita pulang ya, kau akan lebih nyaman istirahat di rumah.” tawar Altair masih dengan tatapan lembutnya.
“Kau bisa berjalan atau aku harus menggendongmu?” Pertanyaan Altair barusan membuat Aquila sedikit malu.
“Tidak perlu, aku bisa berjalan sendiri kak.”
“Emilia, aku pulang dulu ya!” Aquila pamit pada Emilia yang masih berdiri di dekat pintu.
“Pulanglah, aku tidak mau melihatmu besok. Kau harus lebih banyak istirahat dulu!” Emilia menyingkir dari tempatnya berdiri, memberi ruang untuk Aquila dan Altair keluar, “Huh.. aku benar-benar kalah dari Aquila.” desah Emilia pada dirinya sendiri. Ia amati punggung Altair dan Aquila yang semakin menjauh.
“Aquila, kau ingin makan sesuatu?” tanya Altair setelah sampai di apartemen mereka.“Aku ingin langsung istirahat saja kak.” jawab Aquila lemah. Ia masih merasa pusing, badanpun masih terasa berat. Altair hanya mengangguk, ia memapah Aquila ke kamarnya. Terlihat sekali raut lelah di wajah gadis itu. Altair menidurkan Aquila pelan, menyelimutinya sampai sebatas dada, tidak lupa mengelus surainya lembut.“Tidurlah!” ucap Altair sembari mengusap-usap kuping Aquila pelan. Matanya menatap Aquila lekat. Gadis itu menuruti perkataan pria di sampingnya, ia mencoba memejamkan mata. Aquila yang begitu merasa nyaman akan perlakuan Altair langsung terbawa ke alam mimpi. Ia tidak pernah diperlakukan selembut ini oleh orang lain. Yakin Aquila telah tertidur Altair keluar menuju balkon lalu meraih handphonenya untuk menghubungi seseorang.“Halo Tsuyu, bisakah kau ke apartemenku sekarang? Temank
Altair bersiap secepat yang dia bisa, dari ucapa Ryota pasti ada hal penting yang terjadi di kantor. Tentu Altair tidak ingin sesuatu terjadi pada perusahaan yang dia dan sahabatnya bangun dengan susah payah.Selesai bersiap Altair menghampiri Aquila yang masih berada di dapur, gadis itu terlihat tengah menyesap teh chamomile kesukaannya, “Aquila, aku berangkat ya.” Altair berucap cepat.“Tunggu, aku sudah menyiapkan bento untukmu.” Aquila mengejar Altair yang sedikit lagi mencapai pintu. Ia menyerahkan bungkusan makan siang yang ia siapkan saat menunggu Altair bersiap tadi.“Thanks! Ittekimasu!” ucap Altair, ia menerima bento dari Aquila.“Itterashai!” jawab Aquila, ia perhatikan punggung lebar Altair yang mulai menjauh.Dengan kecepatan tinggi Altair melajukan mobil Audi hitamnya menuju kantor,
“Tadaima!” ucap Altair seraya membuka pintu apartemennya setelah pulang dari kantor. Penasaran karena tidak ada jawaban dari Aquila ia lirik jam yang melingkar di tangannya menunjukkan pukul sembilan malam, tidak mungkinkan gadis itu sudah tidur seawal ini.“Aquila?” Panggilnya lagi.“Kak Altair.. okaeri!” Aquila keluar dari arah dapur dengan celemek yang terpasang.“Maaf aku tidak dengar, aku sedang fokus memasak.” Jelas Aquila. Altair berjalan mendekatinya.“Memangnya sudah sembuh? Kita bisa membeli makanan saja agar kau tidak perlu repot seperti ini.” ucap Altair lembut. Ia usap-usap kepala Aquila pelan.“Kak.. aku pingsan karena kelelahan, bukan karena penyakit mematikan jadi berhentilah terlalu mengkhawatirkanku.” Aquila berkata lembut. Altair hanya mengangguk-anggukkan kepala.“Sudahlah lebih baik k
Hari berganti, Aquila sudah sembuh dari sakitnya dan sekarang dia sudah tidak bekerja fulltime di kafe lagi, Altair benar-benar melarangnya sejak insiden Aquila jatuh pingsan karena kelelahan. Altair yang akan membiayai kuliah Aquila. Tentu saja Aquila menolak pada awalnya. Dia tidak mau merepotkan siapapun, selagi dia masih bisa bekerja dia akan bekerja hingga akhirnya Altair memberikan penawaran yang menurut gadis itu masuk akal. Setelah Aquila lulus kuliah dia harus bekerja untuk perusahaan Altair sebagai cara untuk membayar biaya hidup dan biaya kuliah Aquila yang sudah Altair keluarkan. Sebenarnya Altair tidak mempermasalahkan uang yang harus ia keluarkan untuk Aquila tapi mengingat gadis manis itu tidak akan menerima bantuan nya secara cuma-cuma akhirnya dia memberikan penawaran tersebut. Hubungan mereka berdua pun semakin dekat. Sudah tidak ada lagi rasa canggung di antara mereka. Keduanya sudah seperti kakak beradi
“Would you like to be mine?” tanya Altair. Ia genggam kedua tangan Aquila erat sembari memaku sepasang manik coklat madu itu.“Absolutely, yes!” Mendengar jawaban yang diberikan Aquila, Altair segera menarik tangan gadis itu hingga terjatuh di pangkuannya. Memeluknya erat, menyesap aroma jasmine yang menguar dari tubuh Aquila. Aquila melakukan hal yang sama, ia memeluk erat pria tampan beraroma mint yang baru saja sah menjadi kekasihnya.Lama keduanya saling berpelukan, mencurahkan segala perasaan yang sudah mereka tahan beberapa bulan yang lalu.“Arigatou.. hontou ni arigatou!” Altair berucap lembut, “terima kasih karena sudah hadir di hidupku.” Lanjutnya.“Un.. terima kasih karena telah ‘menemukanku’!” balas Aquila.Altair yang pertama melepaskan pelukannya, ia i
Pagi menjelang. Ryota, Arata dan Naoki masih tertidur di sofa panjang apartemen Altair sementara sang empunya tengah menikmati segelas kopi hitam di balkon depan. Menikmati udara pagi yang begitu segar, pria itu sudah lupa kapan terakhir kali ia menikmati udara pagi seperti sekarang ini.Menyesap kopinya santai, menikmati segala rasa yang terkandung di minuman berwarna hitam pekat itu. Ada rasa manis juga pahit yang menyapa indra pengecapnya bersamaan, mau tidak mau ia harus meneguknya. Seperti kehidupan. Kau tidak bisa memilih untuk selalu merasakan bahagia dan membuang pahitnya, suka tidak suka kau dipaksa menelan ke duanya untuk menyeimbangkan rasa.Beberapa kali pria tampan itu mengambil nafas panjang kemudian menghembuskannya perlahan. Dari ufuk timur bisa ia lihat matahari yang masih malu-malu menampakkan diri, sebagian sinarnya menerobos awan yang menghalangi. Bisa Altair lihat juga beberapa burung berterbangan untuk memulai aktivitas
Hari sudah menjelang sore saat Aquila sampai di tempatnya bekerja. Beberapa rekan kerjanya menoleh ke arah gadis cantik itu heran, bagaimana tidak, Aquila datang menggunakan mobil mewah keluaran terbaru yang tak mungkin bisa dimiliki oleh pekerja paruh waktu seperti mereka. Aquila sendiri memilih tak ambil pusing dengan tatapan yang dilayangkan oleh teman-temannya, ia berjalan menuju ruang ganti karyawan.“Sepertinya ada yang punya pekerjaan sampingan lain.” sindir salah satu rekan yang Aquila tahu tidak menyukainya. Gadis manis itu tidak menjawab, ia sibuk untuk mengganti pakaiannya.“Di mana kau mencari pria kaya untuk menunjang finansialmu?” tanya rekannya yang sedikit meninggikan suara karena tak juga mendapat respon dari Aquila, “hei.. aku berbicara padamu, Aquila!” seru temannya.Aquila menoleh, “aku tidak mencari pria kaya untuk menunjang finansialku.” balas Aquila.
Tadaima!” Altair memasuki rumahnya.Gelap yang pertama menyapa indra penglihatan pria tinggi itu. Dinyalakannya saklar yang terletak tidak jauh dari pintu. Melihat kondisi rumah yang masih gelap tentu kekasihnya belum pulang, ia lirik jam yang melingkar di lengannya masih menunjukkan pukul setengah satu. Usai makan malam tadi ia dan kedua sahabatnya menikmati wine sebentar sambil berbincang-bincang ringan, setelahnya Ryota dan Naoki menghantarnya pulang.Ia duduk di ruang tengah, menyalakan benda elektronik yang berjarak beberapa meter darinya. Mencari siaran yang menarik menurutnya, tidak ada yang menarik akhirnya pria itu lebih memilih untuk menonton film yang sudah lama belum sempat ia tonton.Setelah menunggu hampir dua jam akhirnya yang ditunggu pulang juga. “Tadaima!” ucap gadis itu terdengar lembut di telinga Altair.“Okaeri, Aquila!&rdquo
Altair melangkahkan kaki jenjangnya menuju ruangan pribadinya usai sampai di kantor. Wajahnya yang tampan tak berhenti mengulas senyum simpul. Rasa bahagia yang meluap masih tertinggal dari kegiatannya bersama Aquila kemarin. Founder dari North Star Corporation itu bahkan menyapa setiap pegawai yang berpapasan dengannya, hal yang tidak pernah ia lakukan sebelumnya dan hal itu cukup menggugah rasa penasaran di benak karyawan, kira-kira apa yang sudah terjadi dengan bos mereka yang sangat dingin hingga mau menyapa mereka sebelum mereka menemukan noda merah ke unguan yang memenuhi leher pucat pria menawan yang merupakan atasan mereka. Ah sepertinya bosnya tengah jatuh cinta.“Selamat pagi Ryota.. Naoki..!” serunya begitu melihat kedua sahabatnya itu sudah mulai anteng dengan laptop masing-masing.Keduanya menatap Altair aneh, “Aquila salah memberimu obat?” sindir Ryota.“Nope.. dia memberiku ob
Pukul tujuh tepat Aquila keluar kamar untuk membuatkan sarapan untuk kekasihnya dan sahabatnya, ia menggunakan sweater dengan model turtle neck untuk menutupi tanda cinta yang semalam kekasihnya bubuhkan di seluruh lehernya, ia tak ingin para sahabatnya melihat itu. Seulas senyum menghiasi wajahnya, wanita cantik itu masih merasakan kebahagiaan yang meluap yang tertinggal di hatinya usai kegiatan yang mereka lakukan semalam.Sebenarnya mereka melakukan kegiatan itu lagi usai Altair mengisi kembali tenaganya, pria tinggi itu berhasil membuatnya keluar sebanyak empat kali, sementara Altair keluar dua kali. Aquila tidak tahu kekasihnya itu benar-benar lihai membuatnya terbang bersama kupu-kupu di dalam perutnya.Arata datang menghampirinya saat wanita cantik itu tengah menghidangkan enam porsi sandwich, dua cangkir kopi susu dan empat cangkir kopi hitam di atas meja makan.“Aquila, kau sakit?” tanya Arata cemas
Altair menimbang-nimbang apakah ia harus melanjutkan kegiatan ini atau tidak. Ia tak mau menyakiti kekasihnya lebih lagi. Altair yang tengah bimbang dikejutkan dengan Aquila yang menariknya mendekat setelah tangan gadis itu ia lepaskan tadi. Dengan berani Aquila mengalungkan tangannya di leher Altair dan perlahan menariknya mendekat. Saat sudah cukup dekat gadis cantik itu meraih bibir ranum milik prianya. Altair tidak menolak maupun membalas ciuman Aquila, ia ingin tahu seberapa jauh kekasihnya itu akan mendominasi dirinya.Aquila mencium bibir Altair dengan sangat lembut, mengabsen gigi gerigi kekasihnya seperti yang Altair ajarkan tadi, dengan perlahan melumat bibir merah itu. Puas merasakan bibir kekasihnya gadis manis itu berpindah ke leher jenjang Altair, menciumnya perlahan sebelum ia mengigitnya pelan hingga menimbulkan bercak merah tua yang begitu kontras dengan kulit putih pucat yang dimiliki Altair.Aquila membuat banyak kissmark
Pukul sebelas tepat, ke enam nya baru bisa menikmati hidangan yang sudah Aquila siapkan setelah sebelumnya mereka menyanyikan lagu ulang tahun dan memotong kue. Mereka makan sambil sesekali bersenda gurau guna mencairkan suasana di antara Altair dan Aquila yang mendadak membeku.Namun, itu tak berpengaruh pada Aquila, gadis manis itu tetap asyik dengan pikirannya sendiri. Ia masih merasakan ngilu tiap kali mengingat ada aroma parfum vanilla yang menempel di badan kekasihnya. Bukankah tidak mungkin aroma parfum bisa menempel tanpa ada kontak fisik yang cukup lama?“Sayang, kenapa tidak kau buka saja kado-kadonya?” Altair memberi saran pada Aquila begitu mereka sudah menyelesaikan acara makan malamnya.“Altair benar!” seru Arata mengiyakan ucapan kakak
Altair dan Naoki sampai di kantor pukul setengah sembilan, mereka berdua dikejutkan dengan kehadiran Kakek Sato dan Orihime yang sudah duduk di ruangan mereka bersama Ryota yang nampak acuh sibuk dengan laptop di depannya.Naoki tampak tidak peduli meskipun jauh di dalam hatinya ia khawatir dengan Altair, pria tampan itu langsung duduk di kursinya sementara Altair menduduk kan dirinya di sofa yang berhadapan dengan kedua tamu tak diundangnya.“Ryota, bisa pesankan kami kopi?” gumam Altair. Ryota mengangguk, ia segera keluar ruangan untuk menyuruh sekretarisnya membuatkan tiga cangkir kopi.“Langsung saja, kedatangan kakek kemari untuk mengantarkan Orihime,” Kepala Keluarga Sato itu menggantung kata-katanya, “dia akan menjadi sekretaris pribadimu mulai hari ini.” Alih-alih merespon ucapan sang kakek Altair hanya menghembuskan nafasnya berat, ia terlalu lelah untuk berdebat dengan sang k
“Hallo Naoki?”“Ada apa kau meneleponku selarut ini?” tanya Naoki dari seberang sana.“Carikan aku mobil sekarang!”“Altair kau gila, ini sudah pukul sebelas malam dan kau meminta mobil?” Naoki tidak percaya sahabatnya meminta mobil selarut ini.“Aku tidak peduli, besok pagi harus ada mobil di parkiran apartemenku.” Altair mematikan panggilannya sepihak. Membuat Naoki bertanya-tanya apa yang terjadi dengan sahabatnya itu.Altair begitu takut ucapan Orihime benar bahwa sang kakek akan menghalalkan segala cara agar dirinya mau dijodohkan dengan Orihime. Meskipun begitu sudut hati Altair tidak percaya
Jam istirahat Altair turun ke lantai dasar untuk menemui Orihime meskipun ia tidak yakin mantan kekasihnya itu masih menunggunya mengingat Orihime adalah orang yang tidak suka menunggu. Namun, tebakan Altair salah, wanita itu masih ada di kafe yang terletak di bagian samping lobi kantornya. Wanita itu terlihat sedang menyesap kopinya sambil melihat pemandangan di luar kafe, sebuah taman kecil yang didesain sebagai area hijau kantor itu.“Aku kira kau sudah pergi.” sapa Altair lalu duduk dihadapan Orihime, wanita itu menoleh dan memamerkan senyumnya.“Aku menunggumu.”“Apa yang ingin kau bicarakan?” tanya Altair langsung.“Seperti janjiku tempo hari, aku sudah mencoba b
Altair berusaha membuka matanya yang terasa seperti dilem kala ia merasakan sapuan di kepala. Mencoba memfokuskan penglihatan ia melihat Aquila yang sedang tiduran di sampingnnya sambil mengusap-usap kepalanya. Gadis manis itu tersenyum untuknya.“Ohayou.” gumam Altair. Ia masih mengantuk sekali karena baru bisa tidur dini hari.“Maaf.. aku membangunkanmu.” ucap Aquila menyesal telah membangunkan kekasihnya.“Tidak masalah, lebih mendekatlah.” Pinta Altair.Gadis manis itu menurut, ia mendekat lebih dekat dan merebahkan dirinya di samping Altair dengan berbantalkan lengan kekasihnya. Dirasakannya Altair yang mulai mengelus-elus kepalanya pelan. Aquila merubah posisi tidurnya dengan meletakkan kepalanya di atas dada bidang Altair, didengarnya jantung sang kekasih yang berdetak teratur, kepalanya ikut naik turun seirama dengan tarikan dan hembusan nafas orang terkasi
Altair dan Aquila berjalan-jalan di sekitar penginapan tradisional itu, pria tinggi itu melambatkan langkahnya untuk mengimbangi langkah Aquila yang pelan karena saat ini gadis cantik itu menggunakan geta.Di sekitar ryokan yang mereka tempati terdapat juga beberapa penginapan tradisional yang ukuran nya lebih kecil, ada banyak pula kedai-kedai makanan tradisional yang masih buka, terlihat juga beberapa tamu yang lalu lalang dengan menggunakan yukata dari masing-masing ryokan.Meski di luar cukup dingin mereka terlihat antusias untuk menjelajahi sekitaran tempat itu sambil bercengkerama mengenai topik-topik ringan. Ini quality time yang tak bisa dibiarkan begitu saja pikir keduanya. Minggu depan Aquila akan sidang untuk gelar kuliahnya dan Altair akan disibukkan dengan pekerjaannya.“Kau lelah?” tanya Altair yang merasa langkah kekasihnya semakin pelan.“Sedikit.. aku tidak terbiasa