Kartika memandang ke luar lewat gorden jendela kamar. Hujan turun sangat deras. Musim kemarau telah berlalu.
Gilang sampai hari ini belum memberi tahu di mana alamat adiknya. Dia sedikit tenang karena pemuda itu tidak mungkin membiarkan mereka menderita.
"Aku sudah katakan jangan datang ke apartemen kalau kamu belum berubah," kata Gilang dalam pertemuan terakhir mereka. "Kamu masih saja menggangguku."
"Aku sudah berubah," sahut Kartika. "Aku sudah menghentikan kegilaan itu. Bagaimana aku membuktikannya padamu?"
Entah Kartika bertekad ingin menghentikan hubungan terlarang itu atau Abah tidak pulang-pulang, mereka sudah sebulan lebih tidak berhubungan intim.
"Aku ingin tubuhmu," ujar Gilang tiba-tiba. "Kamu adalah ikan Yellowfin yang sungguh menggugah selera untuk disantap."
Kartika memandang tak percaya. "Kamu serius?"
"Kamu akan mendapatkan alamat adikmu kalau bersedia melayaniku."
"Se...ka...rang?" tanya Kartika terbat
Istri muda Abah bernama Surti, kira-kira seusia Nita. Lulus SMP langsung jadi istri muda bandar jeruk, bertahan 2 tahun. Kemudian jadi istri muda pamong desa, dua tahun juga. Nah, paling singkat dengan Abah, dua bulan. Sekalipun cuma dua bulan, sensasinya tidak kalah dengan dua tahun. Jika dilayani, Abah bisa sampai sepuluh kali dalam sehari. Kartika salut pada Ambu yang dapat bertahan puluhan tahun. Hari ini Surti datang dengan diantar ayahnya untuk menggugat cerai. Gadis semuda itu berumah tangga dengan Abah tidak trauma saja bagus. "Kedatangan aku ke sini untuk minta cerai," kata Surti menjelaskan maksudnya. "Aku ingin bertemu Abah." "Sebentar," tukas Kartika tidak mengerti. "Abah sudah dua bulan tidak pulang. Tinggal di rumah yang baru bersamamu. Mengapa tiba-tiba saja kau datang ke rumahku ingin bertemu Abah?" "Malam Abah pergi," sahut Surti. Kartika kaget. "Pergi kenapa?" Surti kelihatan serba salah. Dia menoleh ke ayahny
Rara membuka dasi dan kemeja suaminya. Sebuah pelayanan yang sudah menjadi janjinya sebagai istri. Gilang baru pulang kerja. Istrinya libur hari Sabtu dan Minggu. Dia pasti sibuk kalau suaminya nanti masuk kantor tiap hari. Dia harus pulang lebih awal agar bisa menyambut kedatangan suaminya. Gilang tidak pernah minta untuk mendapat pelayanan seperti pangeran. Dia tidak enak jika Rara sedang mencopot sepatu di beranda kepergok oleh mertuanya. Dia sudah menolak untuk diperlakukan begitu, istrinya malah marah dan menganggapnya menutup pintu untuk berbakti kepada suami. Perlakuan istimewa ini membuat Gilang mempunyai beban tanggung jawab untuk dapat mewujudkan setiap keinginan istrinya. Untung Rara tidak memiliki banyak keinginan. Dia hanya ingin dicintai untuk selamanya. Gilang jadi tidak tahu harus belanja apa setiap kali mereka pergi jalan-jalan ke mall. Gilang sungguh suami yang beruntung. Dia dianugerahi seorang istri yang demikian sempurna dengan sedikit pe
Rara ketar-ketir saat Gilang mengajak pulang kampung. Dia ingin suaminya saja mengantar Ambu pulang dan diturunkan di depan rumah. Mata-mata orang tua Gilang bertebaran di setiap sudut kampung untuk memonitor anaknya selama mereka pergi ke Tanah Suci. Dia tidak mau kepulangan mereka menghadirkan petaka baru. "Kita tidak mungkin bisa sembunyi selamanya," kata Gilang sambil menunggu istrinya selesai berdandan. "Hanya soal waktu pernikahan kita bocor ke warga." "Jangan kita yang menentukan menentukan," sanggah Rara. "Biarlah waktu itu sendiri yang menentukan." "Apa yang kamu takuti kalau orang tuaku tahu tentang pernikahan kita?" tanya Gilang. "Kamu takut suamimu jatuh miskin?" "Aku takut suamiku tidak dapat menerima kenyataan. Aku tahu kamu tidak kerasan tinggal di Jakarta, hanya karena cinta kamu rela tidur di kamarku. Sampai kapan itu bertahan?" "Selamanya," sahut Gilang yakin. "Aku sudah ingin belajar hidup seperti orang kebanyakan, kamu sugu
Hujan turun sangat deras ketika mobil Gilang memasuki jalan perkampungan. Suasana sangat sunyi padahal baru jam delapan malam. Gilang melambatkan lari mobil karena jarak pandang terbatas. Dia menjalankan mobil agak ke tengah, menjaga agar ban tidak terpeleset ke tanah dan pasti merepotkan. Jalan ini belum memiliki trotoar. "Ketakutanmu terbukti tidak beralasan," kata Gilang. "Siapa yang tertarik melihat perut buncit di hujan lebat begini? Kodok saja enggan keluar lubang." "Aku tidak takut ketahuan perut buncit," sahut Rara. "Aku takut akibatnya yang menimpa kamu." "Aku sendiri tidak takut akibatnya. Kenapa kamu mesti takut?" Gilang sudah nekat. Dia tidak peduli dengan pandangan warga. Kenal saja tidak. Dia besar di kota. Sejak masuk SMP dia sudah meninggalkan kampung halaman. Dia pulang enam bulan sekali dan itu tidak cukup untuk mengenal perkembangan penduduk kampung. Kepala Gilang mumet karena memikirkan orang tua. Ayahnya tokoh terpandang d
Jantung Rara berdebar kencang. Dia tidak tahu apa maksud Gilang dengan membawa dirinya pulang ke rumah orang tuanya. Dia kuatir suaminya tersinggung dengan kata-kata Kartika sehingga merubah rencana semula. "Aku ingin menginap di rumah kakakku karena sudah lama tidak pulang," kata Rara cemas. "Kau rubah rencana secara mendadak. Aku terus terang tidak paham." "Kamu tidak ingin tidur di kamar paling mewah di kampung ini?" tanya Gilang santai. "Kesempatan yang mungkin datang hanya sekali untuk seumur hidup." "Aku takut, lebih baik kita pulang ke Jakarta." "Apa yang kamu takuti?" "Kamu membawaku ke rumah dengan perut besar begini, bagaimana aku bisa tenang?" Ada satu yang paling ditakuti Rara dengan kedatangan ke rumah orang tua suaminya. Mereka masuk ke dalam perangkap yang sudah disiapkan oleh orang rumah dan suaminya tidak menyadari hal itu. Orang tua Gilang mungkin saja sudah mendengar kabar tentang pernikahan diam-diam ini. Ke
Malam yang penuh kebahagiaan. Rara sangat tersanjung mendapat sambutan hangat dari orang rumah. Dia sendiri lupa kalau hari ini adalah hari ulang tahunnya. Mereka mengingatkan dengan kejutan yang sangat istimewa. Pesta ulang tahun yang sangat mewah dan mungkin tidak dialaminya lagi. Gilang mengajak istrinya masuk ke dalam kamar selesai menikmati hidangan makan malam. Koki menyiapkan masakan spesial dan semua memuji kelezatannya. Rara duduk di sofa beludru sambil melihat-lihat interior kamar. Sebuah kamar yang sangat besar dan mewah. Lebih besar dari rumah mereka di Jakarta. Perabotan sangat eksklusif dan memiliki nilai seni. Lukisan naturalisme ghotic yang terpampang di dinding berwarna cerah menambah kesan mewah dan menarik. Suaminya begitu dimanjakan kehidupan. Kemewahan adalah teman sehari-hari. Dia tidak perlu bermimpi karena semua sudah terwujud. Kekayaan semakin berlimpah apabila mewarisi harta opanya. Sebuah keadaan yang membuat Rara sangat khawa
Rara bangun dengan badan pegal-pegal. Dia melihat suaminya tidak ada di tempat tidur. Matanya melirik jam besar berbentuk lemari dengan ukiran unik yang terdapat di sudut ruangan. Pukul delapan. Suaminya tentu sudah berada di tempat kerja. Dia berangkat pagi-pagi sekali. Rara mengambil handphone di meja kecil. Ada notifikasi chat dari suaminya. Dia buka. "Aku tidak membangunkan kamu karena kelihatan pulas sekali," bunyi chat itu. "Orang rumah hari Minggu biasa breakfast jam 8.00. Kamu pasti bangun telat. Hubungi saja manajer rumah tangga untuk menyiapkan sarapan saat kamu bangun. Nomornya ada di telepon rumah." Rara mengirim chat memberi kabar. "Aku bangun jam delapan tepat. Aku mesti pergi ke rumah Kartika karena tidak membawa baju salinan." Kemudian muncul chat balasan. "Wisnu sudah membelikan beberapa setel pakaian dan seperangkat alat kecantikan sebagai hadiah ulang tahun. Hadiah itu aku simp
Rara melewati hari-hari di rumah suaminya dengan bahagia. Dia merasa jadi ratu di rumah itu. Setiap kata-katanya adalah perintah, tak ada yang berani membangkang, padahal bukan menantu resmi. Dia akan pergi sebelum orang tua suaminya pulang dari Tanah Suci. Siang itu Rara menemukan Pak Kumis sudah mencukur bersih kumisnya. Malam itu dia sebenarnya bercanda tapi didengar serius oleh security separuh baya itu. Dia tidak takut melihat pria berkumis, hanya geli. Itu juga untuk Gilang, bukan untuk orang lain. Dia merasa terganggu apabila mereka berciuman. Rara menghabiskan waktu di dalam rumah. Dia tidak merasa bosan karena rumah ini sangat besar dan terdapat banyak ruangan. Dia kadang jalan santai di taman ditemani Silvana dengan CCTV dikondisikan oleh Wisnu. Anak itu sangat berpengaruh di rumah ini sehingga tidak ada satu pegawai pun yang berani berkhianat. Kemudian Rara tenggelam berjam-jam di perpustakaan melalap habis novel klasik yang menarik perhatiannya. K
Bulan-bulan pertama orang tua Gilang sulit melupakan kesalahan anaknya. Mereka benci pada anaknya yang durhaka itu. Tak peduli seandainya pergi ke dasar neraka sekalipun.Lebih-lebih Umi. Setiap kali mendengar gunjingan tetangga setiap kali pula kemarahannya berkobar. Kehormatan keluarga yang dibangun susah payah hancur berkeping-keping karena kedunguan anaknya.Karena tidak tahu ke mana harus menumpahkan kemarahan, Wisnulah yang jadi sasaran. Hampir tiap hari kena damprat. Apa-apa yang dilakukan seolah tidak ada yang benar. Semua salah. Kupingnya sampai bising.Pergaulan Wisnu pun dibatasi. Tidak boleh keluar malam. Apalagi nongkrong di mall pulang sekolah. Selesai sekolah selesai pula kebebasan yang dimilikinya. Kembali ke sangkar emas.Satu-satunya yang diperbolehkan adalah bepergian dengan Karlina. Selain itu, hanya boleh bergaul dengan Andini. Gadis itu masih memiliki secercah harapan untuk bersanding dengan pujaan hatinya. Umi memberi lampu hijau ke
Idyla berhasil diselamatkan. Dia terhindar dari cengkeraman maut yang hampir merenggutnya. Semua penderitaan berakhir di meja operasi. Tapi ketika tim dokter hendak melakukan operasi kedua, Bradley menolaknya. Padahal operasi itu adalah operasi yang paling penting untuk masa depan Idyla. Tentu saja Rara marah. "Kenapa?" tatapnya sengit. "Kamu tak mampu bayar?" "Satu-satunya yang tidak mampu kubayar adalah kamu," senyum Bradley tanpa mengalihkan pandangannya dari Idyla yang berbaring di kamar perawatan. "Aku ingin membawa anakmu ke Tokyo." "Kau yakin dokter Tokyo lebih baik?" "Aku tak mengatakan dokter Tokyo lebih baik. Mereka sudah biasa melakukan hal itu." "Biasa? Kau mau bawa anakku dalam keadaan seperti ini karena biasa? Kau dengar kata dokter Hengky tadi, kan? Dia bisa mengganti kuping anakku!" "Yang kuinginkan bukan sekedar bisa. Aku ingin memberikan yang terbaik buat anakmu karena dia pantas mendapatkannya." Rara
Gilang terkejut mendengar kabar itu. Kartika bercerai. Dan perceraian itu menimbulkan bencana bagi dirinya. Sejak awal Gilang sudah menduga Datuk Meninggi dan Sastro bukan orang baik-baik, seorang bandot tua yang berjiwa kambing muda. Sisa umurnya digunakan untuk menikmati perempuan. Mereka punya peluang buat melalap daun muda dengan ancaman nistanya itu. "Kenapa Kartika tidak menempuh jalur hukum?" tatap Gilang kelu. "Kartika tidak memiliki bukti surat apapun." "Surat gampang dibikin, sekarang banyak mafia tanah." "Satu-satunya orang yang dapat membuktikan surat itu asli atau palsu adalah Abah, dan dia tidak ketahuan di mana rimbanya." Atau boleh jadi Kartika sudah membunuh Abah, pikir Gilang kelu. Dia tahu surat itu palsu, tapi tidak berani mengadukan ke polisi karena akan membuatnya terjerat kasus hukum. Kartika sudah dihantui perasaan bersalahnya. Dia bisa saja menuntut mereka untuk membuktikan keabsahan surat itu dengan me
Wajah Rara masih kelihatan buram meski berada di tengah keramaian pusat perbelanjaan. Kalau kebutuhan anaknya tidak habis, dia sebetulnya malas keluar rumah, kecuali pergi kerja saja. Mimin tidak bisa belanja. Dia sibuk membantu di toko. Bu Marto lagi kurang enak badan. Hiruk pikuk orang-orang di sekeliling seakan tak mampu menghalau kabut yang sejak beberapa waktu lalu hinggap di matanya. Dia hanya tersenyum pedih setiap kali mendengar celotehan Idyla yang berjalan dalam bimbingannya. Tidak lama lagi dia bukan cuma kehilangan celotehan Idyla, seluruh kehidupan puterinya akan berlalu dari sisinya! Rara sampai tak sadar saat berjalan menuju ke kasir ada seseorang yang berdiri terpukau melihatnya. Dia baru tersentak ketika sebuah seruan melecut telinganya: "Rara!" Seruan itu bukan hanya mengejutkan Rara, juga menghembuskan getaran yang entah sejak kapan sirna di hatinya. Lama tidak mendengar suara itu dan dia masih ingat baik-baik siapa pemilikn
Kartika menjalankan mobil lambat-lambat memasuki halaman rumah. Matanya yang bercahaya meredup dan menguncup. Senyum kepuasan yang menggantung sepanjang perjalanan langsung jatuh terpecah. Cerita mesra yang bersemayam indah di kepala terbang berhamburan. Datuk Meninggi dengan dua pengawal setianya berdiri menunggu kedatangannya. Kartika turun dari mobil dengan bertanya-tanya, wajahnya diselimuti rasa penasaran menggunung, kemudian menuangkan rasa ingin tahunya dalam sebentuk kalimat, "Ada apa ini?" "Dari mana kamu?" tanya Datuk Meninggi dengan sinar mata tajam dan dingin. "Latihan senam," sahut Kartika santai. "Di desa tetangga." "Habis senam?" "Shopping." "Habis shopping?" "Aku tidak perlu menjelaskan acara hari ini secara detail. Aku cape." Datuk Meninggi memandang jijik. "Dasar perempuan murahan!" Lelaki itu mengangkat tangan hendak menampar wajah Kartika, seorang pengawal segera memegang tangannya dan mencob
Melihat wajah dokter Patologi Anatomi itu, Gilang sudah tahu bagaimana hasil biopsi Idyla. Air muka dokter itu bercerita dengan sendirinya. Ya Tuhan! Akhirnya petaka itu datang juga! "Puteri Anda kena kanker jenis langka," ujar dokter sambil menaruh berkas hasil penelitian di atas meja. "Berbahaya kalau tidak dioperasi secepatnya." "Kanker?!" cetus Rara histeris. Matanya mengawasi Idyla yang berada di pangkuan suaminya dengan nanar. Tidak! Tidak! Oh, Tuhan! Mengapa Kau limpahkan azab ini pada anakku? Aku yang berbuat dosa! Aku yang membuat dia ada! Mengapa bukan nyawaku yang Kau ambil? "Paru-parunya masih bersih," kata dokter. "Belum ada gambaran coin lesion. Masih besar harapan untuk dapat tertolong." Seluruh tubuh Gilang terasa dingin. Wajahnya pucat tak berdarah. Dia sudah bisa membaca ke mana arah pembicaraan dokter. Bukan sekedar operasi biasa, tapi opersi...ya Tuhan! Dia tak sanggup membayangkannya! "Dokter," desis Gilang bergetar. "Kala
Mula-mula Rara mengira benjolan kecil di daun telinga puterinya cuma benjolan biasa, akibat digigit serangga atau terkena sesuatu. Maklum Idyla sudah pandai berjalan. Sedang lucu-lucunya. Sedang nakal-nakalnya pula. "Aduh, kenapa, Sayang?" hibur Rara ketika Idyla menangis keras-keras seperti kesakitan. "Kupingnya kok dipegangi terus? Coba Mama lihat. Ah, tidak apa-apa. Masa anak Mama segitu saja nangis?" Bermacam cara Rara mencoba membujuknya. Usahanya berhasil. Idyla sudah bisa tertawa-tawa lagi dan kembali bermain. "Bantu aku periksa rumah, Min," kata Ambu. "Cucuku kayaknya digigit binatang kecil." Seharian mereka mencari sarang serangga dengan hasil nihil. Rumah ini sangat bersih, tidak ada barang berdebu. Lalat pun malu untuk bertamu. Malam harinya Idyla menangis lagi dengan masalah serupa. Dua hari kemudian pun begitu. Muncul rasa sakitnya tidak tentu. "Minggu ini anak kita sering sekali menangis," kata Gilang yang terbangun mende
Penghasilan Gilang sehari-hari sebenarnya cukup lumayan. Banyak orang yang tertarik dengan jasanya. Malah ada ibu-ibu berlangganan antar jemput puteranya ke sekolah, bayar bulanan. Anak orang kaya aneh-aneh. Dia merasa lebih keren naik Moge daripada diantar sedan mewah dengan sopir tua. Tidak seru katanya. Kalau bercerita, pasti tentang Jakarta tempo dulu, asal-usul tugu peringatan. Bosan. Asal-usul papinya saja, mereka tidak ingin tahu. Apalagi tampang Gilang tidak seperti berandalan, ramah, sopan, simpatik, dan satu lagi, sangat tampan. Tak heran pelanggan kebanyakan perempuan berumur dua puluh lima ke bawah. Kalau belanja, tidak kelihatan seperti pembantu dan tukang ojek. Gadis-gadis seksi itu merasa bagaikan pasangan romantis di film Bollywood. Lagi pula, motor bisa menyelinap dengan lincah di keramaian lalu lintas, lebih cepat sampai tujuan. Tapi hidup di kota besar sungguh mahal. Baru dapat penghasilan sedikit lebih besar, harga-harga membumbung naik, seolah in
Mata Rara tak dapat terpejam. Sudah jam sembilan malam Gilang belum pulang, padahal tak pernah pulang telat. Dia takut terjadi apa-apa dengan suaminya. Tidak mungkin masih mencari pekerjaan. Kantor tentu telah tutup. Sekalipun buka, bukan untuk urusan tenaga kerja. Handphone suaminya dihubungi tidak aktif. Mungkin lowbat. Untuk menyapu keresahan, Rara merubah posisi tidurnya. Matanya tertumpu ke sosok mungil yang berbaring di sampingnya. Idyla tampak terlelap. Pulas sekali. Tak sadar Rara tersenyum. Hatinya selalu terhibur melihat wajah yang polos itu. Idyla sudah mengerti bahasa isyarat. Sudah bisa diajak bercanda. Cuma Rara belum sempat mencarikan baby sitter untuknya. Belum ada waktu yang tepat buat mendiskusikan dengan suaminya. Dia cukup repot untuk bolak-balik ke tempat penitipan bayi, mendingan diurus dan dirawat oleh tenaga tersendiri. Gilang masih disibukkan dengan masalah pekerjaan. Dia masih terus mencari dan mencari. Entah kapan ditemukan. Mendapa