Malam yang penuh kebahagiaan. Rara sangat tersanjung mendapat sambutan hangat dari orang rumah. Dia sendiri lupa kalau hari ini adalah hari ulang tahunnya. Mereka mengingatkan dengan kejutan yang sangat istimewa. Pesta ulang tahun yang sangat mewah dan mungkin tidak dialaminya lagi.
Gilang mengajak istrinya masuk ke dalam kamar selesai menikmati hidangan makan malam. Koki menyiapkan masakan spesial dan semua memuji kelezatannya.
Rara duduk di sofa beludru sambil melihat-lihat interior kamar. Sebuah kamar yang sangat besar dan mewah. Lebih besar dari rumah mereka di Jakarta. Perabotan sangat eksklusif dan memiliki nilai seni. Lukisan naturalisme ghotic yang terpampang di dinding berwarna cerah menambah kesan mewah dan menarik.
Suaminya begitu dimanjakan kehidupan. Kemewahan adalah teman sehari-hari. Dia tidak perlu bermimpi karena semua sudah terwujud. Kekayaan semakin berlimpah apabila mewarisi harta opanya. Sebuah keadaan yang membuat Rara sangat khawa
Rara bangun dengan badan pegal-pegal. Dia melihat suaminya tidak ada di tempat tidur. Matanya melirik jam besar berbentuk lemari dengan ukiran unik yang terdapat di sudut ruangan. Pukul delapan. Suaminya tentu sudah berada di tempat kerja. Dia berangkat pagi-pagi sekali. Rara mengambil handphone di meja kecil. Ada notifikasi chat dari suaminya. Dia buka. "Aku tidak membangunkan kamu karena kelihatan pulas sekali," bunyi chat itu. "Orang rumah hari Minggu biasa breakfast jam 8.00. Kamu pasti bangun telat. Hubungi saja manajer rumah tangga untuk menyiapkan sarapan saat kamu bangun. Nomornya ada di telepon rumah." Rara mengirim chat memberi kabar. "Aku bangun jam delapan tepat. Aku mesti pergi ke rumah Kartika karena tidak membawa baju salinan." Kemudian muncul chat balasan. "Wisnu sudah membelikan beberapa setel pakaian dan seperangkat alat kecantikan sebagai hadiah ulang tahun. Hadiah itu aku simp
Rara melewati hari-hari di rumah suaminya dengan bahagia. Dia merasa jadi ratu di rumah itu. Setiap kata-katanya adalah perintah, tak ada yang berani membangkang, padahal bukan menantu resmi. Dia akan pergi sebelum orang tua suaminya pulang dari Tanah Suci. Siang itu Rara menemukan Pak Kumis sudah mencukur bersih kumisnya. Malam itu dia sebenarnya bercanda tapi didengar serius oleh security separuh baya itu. Dia tidak takut melihat pria berkumis, hanya geli. Itu juga untuk Gilang, bukan untuk orang lain. Dia merasa terganggu apabila mereka berciuman. Rara menghabiskan waktu di dalam rumah. Dia tidak merasa bosan karena rumah ini sangat besar dan terdapat banyak ruangan. Dia kadang jalan santai di taman ditemani Silvana dengan CCTV dikondisikan oleh Wisnu. Anak itu sangat berpengaruh di rumah ini sehingga tidak ada satu pegawai pun yang berani berkhianat. Kemudian Rara tenggelam berjam-jam di perpustakaan melalap habis novel klasik yang menarik perhatiannya. K
Abah sering pergi berhari-hari membawa uang banyak dan muncul di depan pintu dengan wajah berdosa. Malam itu dia pergi tidak membawa apa-apa dari rumah istri muda dan tidak pulang-pulang. Keanehan ini membuat Ambu jadi gelisah. Dia duduk menunggu di ruang tamu setiap malam. Lelaki yang diharapkan tidak muncul dan berdiri di muka pintu setiap kali dia mengintip lewat gorden depan. Suaminya selama ini sudah melakukan perbuatan yang melampaui batas, manakala tidak pulang-pulang, tak urung jadi beban pikiran. "Aku itu heran sama Ambu," kata Kartika. "Harusnya senang Abah tidak pulang-pulang, berarti rumah ini aman dan damai. Tidak ada minuman keras, tidak ada keributan, tidak ada kekerasan, dan tidak ada perbuatan keji yang membuat Ambu meninggalkan rumah ini." "Dia ayahmu." "Aku tidak tahu dia ayahku atau suamiku," sahut Kartika enteng. "Aku malah curiga dia setan gentayangan yang kabur dari neraka." "Kamu menikmati apa yang terjadi," sindir Ambu
Gilang dan Surya mengalami kesulitan mencari teman sekolah Abah. Ambu hanya memberi nama dan kampung dimana mereka tinggal tanpa tahu persis alamat rumahnya. Mereka terpaksa mesti bertanya ke kantor desa setempat, kemudian menelusuri alamat yang tercatat. Beberapa orang sudah pindah alamat. Entah ke mana pindahnya. "Begini pentingnya jadi warga negara yang baik," gerutu Surya kesal. Mereka sudah pusing tujuh keliling mencari alamat, tidak tahunya sudah pindah. "Atau teman Abah kriminal semua, jadi pindah rumah tidak lapor." Kebanyakan warga kampung tidak peduli untuk melaporkan data faktual ke kantor desa. Mereka baru mengurus domisili kalau ada keperluan. Data yang akurat sangat penting sehingga memudahkan pelayanan bila ada tamu butuh informasi. Mereka jadi kehilangan rejeki hari ini karena kelalaian sendiri. Gilang memberikan amplop kepada teman Abah yang dijumpai sekalipun tidak memberi informasi yang menggembirakan.
"Kau tidak kasih tahu keluarga besok akan menikah?" tanya Dennis sambil duduk di sofa ruang tamu. "Tidak, Om," sahut Kartika. "Mereka juga tidak kasih tahu aku waktu Rara menikah." "Kok dendaman sih? Rara menikah diam-diam karena takut beritanya menyebar di kampung." "Aku juga menikah diam-diam takut beritanya menyebar di kampung. Masa hari ini keluar surat cerai, besok sudah nikah lagi? Terima kasih ya, Om atas bantuannya." "Tidak usah sungkan-sungkan menghubungi aku. Kalau bisa bantu, aku pasti bantu." "Ya, Om." "Ambu lagi ada di rumah, kan?" "Ya, Om." "Tidak kamu kasih tahu juga?" "Tidak." "Benar-benar." "Ambu setujunya aku menikah dengan Dodi tunanganku dulu. Kalau dikasih tahu, ribet nanti." Kartika sudah terbiasa dengan hidup mewah. Tentu saja dia tidak ingin hidup menderita karena menikah dengan Dodi. Dennis sulit untuk menyalahkan keponakannya karena setiap orang berhak hidup baha
Surya bersama para penyelam melakukan penyisiran di sepanjang aliran sungai selama tiga hari dengan hasil nihil. Mereka berkeyakinan mayat Abah sudah terseret ke muara sehingga pencarian tidak mungkin dilanjutkan. Polisi menetapkan Abah dengan status orang hilang setelah melakukan berbagai upaya. Keputusan itu sudah final mengingat tidak ada bukti telah terjadi pembunuhan atau tewas karena faktor musibah. Rara sendiri sudah mengganggap Abah meninggal. Dia tidak mungkin dapat bertahan selama itu tanpa uang sepeser pun. Dia butuh minuman dan kehangatan wanita, sebuah kebiasaan yang tidak bisa ditinggalkan. Ambu mendukung keputusan polisi dengan harapan suatu saat suaminya akan pulang. Dia tidak percaya Abah hanyut terbawa arus sungai atau terbunuh karena mayatnya tidak ditemukan. Abah bisa saja pergi jauh bersama kawan lama dan belum berniat untuk kembali. Ambu seakan belum dapat menerima kepergian suaminya. Sebuah kenyataan yang membuat hati Rara sesak
Datuk itu bernama Baharuddin Fadillah. Dia terkenal dengan sebutan Datuk Meninggi karena perawakannya yang kurus tinggi seperti belalang sembah. Dia sempat jadi orang terkaya di kabupaten ini sebelum tergeser oleh orang tua Gilang. Datuk Meninggi memiliki istri tiga. Jadi ada satu lagi kuota yang belum terisi. Dia taat pada perintah agama hanya untuk perkara yang menyenangkan, perkara berat apalagi menyengsarakan sedapat mungkin dihindari. Maka itu dia sampai usia kepala enam ini belum pergi haji dengan alasan belum mendapat hidayah. Datuk Meninggi sebenarnya mengincar Rara, teman kuliah puterinya di fakultas kedokteran. Kesempurnaan perempuan itu membuat dia rela menceraikan ketiga istrinya. Namun gadis itu kelihatan tidak silau oleh kilauan harta, maka pilihan bergeser pada kakaknya. Kartika tidak kalah elok tubuhnya. Datuk Meninggi semakin tergila-gila ketika Kartika menjadi instruktur senam erotis di desanya. Dia bukan lelaki hebat yang mampu memandang go
Rara duduk santai di beranda menikmati cahaya purnama yang singgah di kolam hias. Malam terasa sunyi. Padahal baru jam delapan. Malam Minggu pula. Warga perumahan ini sebagian besar karyawan perusahaan. Beristirahat hanya di tanggal merah. Kadang Sabtu Minggu lembur. Ada beberapa pegawai negeri sipil. Malam Minggu biasanya mereka membawa keluarga jalan-jalan ke mall atau makan malam di luar. Memanfaatkan waktu libur sebaik-baiknya. Sebagian kecil saja yang berkumpul bersama keluarga sambil nonton acara televisi. Penjual makanan tidak pernah lewat. Pedagang sayur juga. Entah tidak laku atau bagaimana. Padahal security di depan mengijinkan, berbeda dengan perumahan cluster sebelah. Penutupan akses secara ketat malah memancing pergesekan dengan warga pribumi dan mengundang kriminalitas terselubung. Ada yang berpura-pura ijin bertamu padahal hendak merampok, bahkan jadi sarang pengedar dan kaum radikal, itu terjadi di cluster sebelah. Rara memilih tinggal
Bulan-bulan pertama orang tua Gilang sulit melupakan kesalahan anaknya. Mereka benci pada anaknya yang durhaka itu. Tak peduli seandainya pergi ke dasar neraka sekalipun.Lebih-lebih Umi. Setiap kali mendengar gunjingan tetangga setiap kali pula kemarahannya berkobar. Kehormatan keluarga yang dibangun susah payah hancur berkeping-keping karena kedunguan anaknya.Karena tidak tahu ke mana harus menumpahkan kemarahan, Wisnulah yang jadi sasaran. Hampir tiap hari kena damprat. Apa-apa yang dilakukan seolah tidak ada yang benar. Semua salah. Kupingnya sampai bising.Pergaulan Wisnu pun dibatasi. Tidak boleh keluar malam. Apalagi nongkrong di mall pulang sekolah. Selesai sekolah selesai pula kebebasan yang dimilikinya. Kembali ke sangkar emas.Satu-satunya yang diperbolehkan adalah bepergian dengan Karlina. Selain itu, hanya boleh bergaul dengan Andini. Gadis itu masih memiliki secercah harapan untuk bersanding dengan pujaan hatinya. Umi memberi lampu hijau ke
Idyla berhasil diselamatkan. Dia terhindar dari cengkeraman maut yang hampir merenggutnya. Semua penderitaan berakhir di meja operasi. Tapi ketika tim dokter hendak melakukan operasi kedua, Bradley menolaknya. Padahal operasi itu adalah operasi yang paling penting untuk masa depan Idyla. Tentu saja Rara marah. "Kenapa?" tatapnya sengit. "Kamu tak mampu bayar?" "Satu-satunya yang tidak mampu kubayar adalah kamu," senyum Bradley tanpa mengalihkan pandangannya dari Idyla yang berbaring di kamar perawatan. "Aku ingin membawa anakmu ke Tokyo." "Kau yakin dokter Tokyo lebih baik?" "Aku tak mengatakan dokter Tokyo lebih baik. Mereka sudah biasa melakukan hal itu." "Biasa? Kau mau bawa anakku dalam keadaan seperti ini karena biasa? Kau dengar kata dokter Hengky tadi, kan? Dia bisa mengganti kuping anakku!" "Yang kuinginkan bukan sekedar bisa. Aku ingin memberikan yang terbaik buat anakmu karena dia pantas mendapatkannya." Rara
Gilang terkejut mendengar kabar itu. Kartika bercerai. Dan perceraian itu menimbulkan bencana bagi dirinya. Sejak awal Gilang sudah menduga Datuk Meninggi dan Sastro bukan orang baik-baik, seorang bandot tua yang berjiwa kambing muda. Sisa umurnya digunakan untuk menikmati perempuan. Mereka punya peluang buat melalap daun muda dengan ancaman nistanya itu. "Kenapa Kartika tidak menempuh jalur hukum?" tatap Gilang kelu. "Kartika tidak memiliki bukti surat apapun." "Surat gampang dibikin, sekarang banyak mafia tanah." "Satu-satunya orang yang dapat membuktikan surat itu asli atau palsu adalah Abah, dan dia tidak ketahuan di mana rimbanya." Atau boleh jadi Kartika sudah membunuh Abah, pikir Gilang kelu. Dia tahu surat itu palsu, tapi tidak berani mengadukan ke polisi karena akan membuatnya terjerat kasus hukum. Kartika sudah dihantui perasaan bersalahnya. Dia bisa saja menuntut mereka untuk membuktikan keabsahan surat itu dengan me
Wajah Rara masih kelihatan buram meski berada di tengah keramaian pusat perbelanjaan. Kalau kebutuhan anaknya tidak habis, dia sebetulnya malas keluar rumah, kecuali pergi kerja saja. Mimin tidak bisa belanja. Dia sibuk membantu di toko. Bu Marto lagi kurang enak badan. Hiruk pikuk orang-orang di sekeliling seakan tak mampu menghalau kabut yang sejak beberapa waktu lalu hinggap di matanya. Dia hanya tersenyum pedih setiap kali mendengar celotehan Idyla yang berjalan dalam bimbingannya. Tidak lama lagi dia bukan cuma kehilangan celotehan Idyla, seluruh kehidupan puterinya akan berlalu dari sisinya! Rara sampai tak sadar saat berjalan menuju ke kasir ada seseorang yang berdiri terpukau melihatnya. Dia baru tersentak ketika sebuah seruan melecut telinganya: "Rara!" Seruan itu bukan hanya mengejutkan Rara, juga menghembuskan getaran yang entah sejak kapan sirna di hatinya. Lama tidak mendengar suara itu dan dia masih ingat baik-baik siapa pemilikn
Kartika menjalankan mobil lambat-lambat memasuki halaman rumah. Matanya yang bercahaya meredup dan menguncup. Senyum kepuasan yang menggantung sepanjang perjalanan langsung jatuh terpecah. Cerita mesra yang bersemayam indah di kepala terbang berhamburan. Datuk Meninggi dengan dua pengawal setianya berdiri menunggu kedatangannya. Kartika turun dari mobil dengan bertanya-tanya, wajahnya diselimuti rasa penasaran menggunung, kemudian menuangkan rasa ingin tahunya dalam sebentuk kalimat, "Ada apa ini?" "Dari mana kamu?" tanya Datuk Meninggi dengan sinar mata tajam dan dingin. "Latihan senam," sahut Kartika santai. "Di desa tetangga." "Habis senam?" "Shopping." "Habis shopping?" "Aku tidak perlu menjelaskan acara hari ini secara detail. Aku cape." Datuk Meninggi memandang jijik. "Dasar perempuan murahan!" Lelaki itu mengangkat tangan hendak menampar wajah Kartika, seorang pengawal segera memegang tangannya dan mencob
Melihat wajah dokter Patologi Anatomi itu, Gilang sudah tahu bagaimana hasil biopsi Idyla. Air muka dokter itu bercerita dengan sendirinya. Ya Tuhan! Akhirnya petaka itu datang juga! "Puteri Anda kena kanker jenis langka," ujar dokter sambil menaruh berkas hasil penelitian di atas meja. "Berbahaya kalau tidak dioperasi secepatnya." "Kanker?!" cetus Rara histeris. Matanya mengawasi Idyla yang berada di pangkuan suaminya dengan nanar. Tidak! Tidak! Oh, Tuhan! Mengapa Kau limpahkan azab ini pada anakku? Aku yang berbuat dosa! Aku yang membuat dia ada! Mengapa bukan nyawaku yang Kau ambil? "Paru-parunya masih bersih," kata dokter. "Belum ada gambaran coin lesion. Masih besar harapan untuk dapat tertolong." Seluruh tubuh Gilang terasa dingin. Wajahnya pucat tak berdarah. Dia sudah bisa membaca ke mana arah pembicaraan dokter. Bukan sekedar operasi biasa, tapi opersi...ya Tuhan! Dia tak sanggup membayangkannya! "Dokter," desis Gilang bergetar. "Kala
Mula-mula Rara mengira benjolan kecil di daun telinga puterinya cuma benjolan biasa, akibat digigit serangga atau terkena sesuatu. Maklum Idyla sudah pandai berjalan. Sedang lucu-lucunya. Sedang nakal-nakalnya pula. "Aduh, kenapa, Sayang?" hibur Rara ketika Idyla menangis keras-keras seperti kesakitan. "Kupingnya kok dipegangi terus? Coba Mama lihat. Ah, tidak apa-apa. Masa anak Mama segitu saja nangis?" Bermacam cara Rara mencoba membujuknya. Usahanya berhasil. Idyla sudah bisa tertawa-tawa lagi dan kembali bermain. "Bantu aku periksa rumah, Min," kata Ambu. "Cucuku kayaknya digigit binatang kecil." Seharian mereka mencari sarang serangga dengan hasil nihil. Rumah ini sangat bersih, tidak ada barang berdebu. Lalat pun malu untuk bertamu. Malam harinya Idyla menangis lagi dengan masalah serupa. Dua hari kemudian pun begitu. Muncul rasa sakitnya tidak tentu. "Minggu ini anak kita sering sekali menangis," kata Gilang yang terbangun mende
Penghasilan Gilang sehari-hari sebenarnya cukup lumayan. Banyak orang yang tertarik dengan jasanya. Malah ada ibu-ibu berlangganan antar jemput puteranya ke sekolah, bayar bulanan. Anak orang kaya aneh-aneh. Dia merasa lebih keren naik Moge daripada diantar sedan mewah dengan sopir tua. Tidak seru katanya. Kalau bercerita, pasti tentang Jakarta tempo dulu, asal-usul tugu peringatan. Bosan. Asal-usul papinya saja, mereka tidak ingin tahu. Apalagi tampang Gilang tidak seperti berandalan, ramah, sopan, simpatik, dan satu lagi, sangat tampan. Tak heran pelanggan kebanyakan perempuan berumur dua puluh lima ke bawah. Kalau belanja, tidak kelihatan seperti pembantu dan tukang ojek. Gadis-gadis seksi itu merasa bagaikan pasangan romantis di film Bollywood. Lagi pula, motor bisa menyelinap dengan lincah di keramaian lalu lintas, lebih cepat sampai tujuan. Tapi hidup di kota besar sungguh mahal. Baru dapat penghasilan sedikit lebih besar, harga-harga membumbung naik, seolah in
Mata Rara tak dapat terpejam. Sudah jam sembilan malam Gilang belum pulang, padahal tak pernah pulang telat. Dia takut terjadi apa-apa dengan suaminya. Tidak mungkin masih mencari pekerjaan. Kantor tentu telah tutup. Sekalipun buka, bukan untuk urusan tenaga kerja. Handphone suaminya dihubungi tidak aktif. Mungkin lowbat. Untuk menyapu keresahan, Rara merubah posisi tidurnya. Matanya tertumpu ke sosok mungil yang berbaring di sampingnya. Idyla tampak terlelap. Pulas sekali. Tak sadar Rara tersenyum. Hatinya selalu terhibur melihat wajah yang polos itu. Idyla sudah mengerti bahasa isyarat. Sudah bisa diajak bercanda. Cuma Rara belum sempat mencarikan baby sitter untuknya. Belum ada waktu yang tepat buat mendiskusikan dengan suaminya. Dia cukup repot untuk bolak-balik ke tempat penitipan bayi, mendingan diurus dan dirawat oleh tenaga tersendiri. Gilang masih disibukkan dengan masalah pekerjaan. Dia masih terus mencari dan mencari. Entah kapan ditemukan. Mendapa