Gilang dan Surya mengalami kesulitan mencari teman sekolah Abah. Ambu hanya memberi nama dan kampung dimana mereka tinggal tanpa tahu persis alamat rumahnya. Mereka terpaksa mesti bertanya ke kantor desa setempat, kemudian menelusuri alamat yang tercatat. Beberapa orang sudah pindah alamat. Entah ke mana pindahnya.
"Begini pentingnya jadi warga negara yang baik," gerutu Surya kesal. Mereka sudah pusing tujuh keliling mencari alamat, tidak tahunya sudah pindah. "Atau teman Abah kriminal semua, jadi pindah rumah tidak lapor."
Kebanyakan warga kampung tidak peduli untuk melaporkan data faktual ke kantor desa. Mereka baru mengurus domisili kalau ada keperluan. Data yang akurat sangat penting sehingga memudahkan pelayanan bila ada tamu butuh informasi. Mereka jadi kehilangan rejeki hari ini karena kelalaian sendiri. Gilang memberikan amplop kepada teman Abah yang dijumpai sekalipun tidak memberi informasi yang menggembirakan.
"Kau tidak kasih tahu keluarga besok akan menikah?" tanya Dennis sambil duduk di sofa ruang tamu. "Tidak, Om," sahut Kartika. "Mereka juga tidak kasih tahu aku waktu Rara menikah." "Kok dendaman sih? Rara menikah diam-diam karena takut beritanya menyebar di kampung." "Aku juga menikah diam-diam takut beritanya menyebar di kampung. Masa hari ini keluar surat cerai, besok sudah nikah lagi? Terima kasih ya, Om atas bantuannya." "Tidak usah sungkan-sungkan menghubungi aku. Kalau bisa bantu, aku pasti bantu." "Ya, Om." "Ambu lagi ada di rumah, kan?" "Ya, Om." "Tidak kamu kasih tahu juga?" "Tidak." "Benar-benar." "Ambu setujunya aku menikah dengan Dodi tunanganku dulu. Kalau dikasih tahu, ribet nanti." Kartika sudah terbiasa dengan hidup mewah. Tentu saja dia tidak ingin hidup menderita karena menikah dengan Dodi. Dennis sulit untuk menyalahkan keponakannya karena setiap orang berhak hidup baha
Surya bersama para penyelam melakukan penyisiran di sepanjang aliran sungai selama tiga hari dengan hasil nihil. Mereka berkeyakinan mayat Abah sudah terseret ke muara sehingga pencarian tidak mungkin dilanjutkan. Polisi menetapkan Abah dengan status orang hilang setelah melakukan berbagai upaya. Keputusan itu sudah final mengingat tidak ada bukti telah terjadi pembunuhan atau tewas karena faktor musibah. Rara sendiri sudah mengganggap Abah meninggal. Dia tidak mungkin dapat bertahan selama itu tanpa uang sepeser pun. Dia butuh minuman dan kehangatan wanita, sebuah kebiasaan yang tidak bisa ditinggalkan. Ambu mendukung keputusan polisi dengan harapan suatu saat suaminya akan pulang. Dia tidak percaya Abah hanyut terbawa arus sungai atau terbunuh karena mayatnya tidak ditemukan. Abah bisa saja pergi jauh bersama kawan lama dan belum berniat untuk kembali. Ambu seakan belum dapat menerima kepergian suaminya. Sebuah kenyataan yang membuat hati Rara sesak
Datuk itu bernama Baharuddin Fadillah. Dia terkenal dengan sebutan Datuk Meninggi karena perawakannya yang kurus tinggi seperti belalang sembah. Dia sempat jadi orang terkaya di kabupaten ini sebelum tergeser oleh orang tua Gilang. Datuk Meninggi memiliki istri tiga. Jadi ada satu lagi kuota yang belum terisi. Dia taat pada perintah agama hanya untuk perkara yang menyenangkan, perkara berat apalagi menyengsarakan sedapat mungkin dihindari. Maka itu dia sampai usia kepala enam ini belum pergi haji dengan alasan belum mendapat hidayah. Datuk Meninggi sebenarnya mengincar Rara, teman kuliah puterinya di fakultas kedokteran. Kesempurnaan perempuan itu membuat dia rela menceraikan ketiga istrinya. Namun gadis itu kelihatan tidak silau oleh kilauan harta, maka pilihan bergeser pada kakaknya. Kartika tidak kalah elok tubuhnya. Datuk Meninggi semakin tergila-gila ketika Kartika menjadi instruktur senam erotis di desanya. Dia bukan lelaki hebat yang mampu memandang go
Rara duduk santai di beranda menikmati cahaya purnama yang singgah di kolam hias. Malam terasa sunyi. Padahal baru jam delapan. Malam Minggu pula. Warga perumahan ini sebagian besar karyawan perusahaan. Beristirahat hanya di tanggal merah. Kadang Sabtu Minggu lembur. Ada beberapa pegawai negeri sipil. Malam Minggu biasanya mereka membawa keluarga jalan-jalan ke mall atau makan malam di luar. Memanfaatkan waktu libur sebaik-baiknya. Sebagian kecil saja yang berkumpul bersama keluarga sambil nonton acara televisi. Penjual makanan tidak pernah lewat. Pedagang sayur juga. Entah tidak laku atau bagaimana. Padahal security di depan mengijinkan, berbeda dengan perumahan cluster sebelah. Penutupan akses secara ketat malah memancing pergesekan dengan warga pribumi dan mengundang kriminalitas terselubung. Ada yang berpura-pura ijin bertamu padahal hendak merampok, bahkan jadi sarang pengedar dan kaum radikal, itu terjadi di cluster sebelah. Rara memilih tinggal
Tepat jam satu dini hari, Rara mendadak terjaga dari tidurnya. Perutnya terasa mulas sekali, melilit seperti diperas. Pikirannya langsung sadar gejala apa ini. Rara segera keluar dari dalam kamar. Dia tidak tega membangunkan Ambu atau Mimin untuk minta pertolongan ke tetangga. Mereka baru tidur satu jam lalu. Tentu sedang pulas-pulasnya. Mereka terlambat pulang karena jalan macet total akibat ada tawuran antar ormas. Rara terpaksa mencari pertolongan sendiri. Dia berusaha mencapai pintu rumah Pak Marto sambil menahan sakit yang semakin menjadi-jadi. Tangannya menggedor pintu rumah itu dengan tergesa sambil berteriak, "Pak! Pak Marto!" Lelaki separuh baya yang lagi lelap-lelapnya tidur itu terbangun dengan kaget. Siapa pula yang berani menggedor pintu tengah malam buta begini? Tidak mungkin rampok! Apa yang dicari di rumah ini? Perabotan butut mau digondol? Malas-malasan Pak Marto bangkit dari tempat tidur, kemudian berjalan ke pintu depan dan membuka
Berita itu datang tepat pada saat orang tua Gilang tiba di rumah. Udara pagi yang dingin mendadak panas membara. Merobek fajar menyingsing. Sungguh berita yang menggemparkan! Rara punya bayi! Bayi itu anak Gilang! Putera orang terpandang! Dan baru pulang menunaikan ibadah haji! Kapan mereka menikah? Gilang sendiri bagai dihantam petir di pagi buta! Bagaimana sampai Bradley datang memberi kabar? Dan dia yang menolong Rara! Apa yang terjadi dengan istrinya? Tapi semua sudah terlambat untuk bertanya! Dia harus menyaksikan kehebohan yang terjadi! Surya berusaha memadamkan api yang berkobar itu. "Mereka sudah menikah sepuluh bulan yang lalu. Aku tidak perlu menjelaskan kenapa mereka sampai berani menikah secara diam-diam. Yang jelas, lelaki yang datang tadi akan menikahi Rara kalau Gilang tidak segera mengambil jadi istrinya." "Jangan mentang-mentang teman terus kamu bela maksiatnya," tegur seorang bapak dalam kerumunan di sisi jalan. "Mereka nikah b
Dua bulir air mata jatuh membelah wajah Rara. Sia-sia dia menanti kedatangan Gilang. Lelaki itu tidak muncul sampai jam besuk berakhir, atau mungkin tidak akan pernah datang. Ambu yang menungguinya sudah tertidur di sofa, sementara Mimin pulang. Dia tidak ingin mereka jatuh sakit karena kurang tidur semalaman. Lebih baik gantian menemani. Rara menyesal tidak mendengarkan omongan suaminya. Jika Gilang tidak pulang, ketidakhadiran dalam penyambutan orang tuanya dari Tanah Suci beritanya pasti tidak sedahsyat kelahiran bayi ini! Tapi semua sudah terjadi! "Aku betul-betul heran," kata Bradley siang tadi. "Baru kali ini kulihat seorang ibu pingsan mendengar menantunya melahirkan. Ada apa, Ra? Mereka tidak merestui pernikahan kalian?" Rara yakin apa yang dilihat Bradley cuma sebagian kecil dari peristiwa yang terjadi. Dia heran rumahnya kosong saat pemuda itu datang. Entah pergi ke mana Kartika. Barangkali pergi bulan madu. Tapi bagus. Jika ada, dia pasti langsung
Datuk Meninggi adalah pemegang rekor istri terbanyak di kabupaten ini. Tapi dia tidak melanggar kuota yang ada, empat istri. Kalau bosan, cerai dan ganti yang baru. Kecuali istri pertama, biar jemu dipertahankan. Dia memegang teguh paham ortodoks, jika mencapai puncak kejayaan bersama istri pertama, maka pantang bercerai kalau tidak ingin mengalami kebangkrutan. Benar tidaknya paham itu masih perlu dipertanyakan. Selama hidupnya Datuk Meninggi tidak pernah jajan sembarangan. Kalau menginginkan seorang perempuan, langsung dia nikahi. Maka itu dia menolak untuk selingkuh dengan Kartika, dan bersabar menunggu sampai bercerai dengan suaminya. Dari seratus lebih mantan istri, Kartika adalah perempuan yang sanggup melayani kebuasan cintanya. Dia menggeber kuda pacu baru itu sampai menjelang dini hari, dan begitu bersemangat menunggangi karena kuda ini sangat liar. "Kamu sungguh luar biasa," kata Datuk Meninggi setelah pacuan kelima berakhir, terkapar kepayahan di s
Bulan-bulan pertama orang tua Gilang sulit melupakan kesalahan anaknya. Mereka benci pada anaknya yang durhaka itu. Tak peduli seandainya pergi ke dasar neraka sekalipun.Lebih-lebih Umi. Setiap kali mendengar gunjingan tetangga setiap kali pula kemarahannya berkobar. Kehormatan keluarga yang dibangun susah payah hancur berkeping-keping karena kedunguan anaknya.Karena tidak tahu ke mana harus menumpahkan kemarahan, Wisnulah yang jadi sasaran. Hampir tiap hari kena damprat. Apa-apa yang dilakukan seolah tidak ada yang benar. Semua salah. Kupingnya sampai bising.Pergaulan Wisnu pun dibatasi. Tidak boleh keluar malam. Apalagi nongkrong di mall pulang sekolah. Selesai sekolah selesai pula kebebasan yang dimilikinya. Kembali ke sangkar emas.Satu-satunya yang diperbolehkan adalah bepergian dengan Karlina. Selain itu, hanya boleh bergaul dengan Andini. Gadis itu masih memiliki secercah harapan untuk bersanding dengan pujaan hatinya. Umi memberi lampu hijau ke
Idyla berhasil diselamatkan. Dia terhindar dari cengkeraman maut yang hampir merenggutnya. Semua penderitaan berakhir di meja operasi. Tapi ketika tim dokter hendak melakukan operasi kedua, Bradley menolaknya. Padahal operasi itu adalah operasi yang paling penting untuk masa depan Idyla. Tentu saja Rara marah. "Kenapa?" tatapnya sengit. "Kamu tak mampu bayar?" "Satu-satunya yang tidak mampu kubayar adalah kamu," senyum Bradley tanpa mengalihkan pandangannya dari Idyla yang berbaring di kamar perawatan. "Aku ingin membawa anakmu ke Tokyo." "Kau yakin dokter Tokyo lebih baik?" "Aku tak mengatakan dokter Tokyo lebih baik. Mereka sudah biasa melakukan hal itu." "Biasa? Kau mau bawa anakku dalam keadaan seperti ini karena biasa? Kau dengar kata dokter Hengky tadi, kan? Dia bisa mengganti kuping anakku!" "Yang kuinginkan bukan sekedar bisa. Aku ingin memberikan yang terbaik buat anakmu karena dia pantas mendapatkannya." Rara
Gilang terkejut mendengar kabar itu. Kartika bercerai. Dan perceraian itu menimbulkan bencana bagi dirinya. Sejak awal Gilang sudah menduga Datuk Meninggi dan Sastro bukan orang baik-baik, seorang bandot tua yang berjiwa kambing muda. Sisa umurnya digunakan untuk menikmati perempuan. Mereka punya peluang buat melalap daun muda dengan ancaman nistanya itu. "Kenapa Kartika tidak menempuh jalur hukum?" tatap Gilang kelu. "Kartika tidak memiliki bukti surat apapun." "Surat gampang dibikin, sekarang banyak mafia tanah." "Satu-satunya orang yang dapat membuktikan surat itu asli atau palsu adalah Abah, dan dia tidak ketahuan di mana rimbanya." Atau boleh jadi Kartika sudah membunuh Abah, pikir Gilang kelu. Dia tahu surat itu palsu, tapi tidak berani mengadukan ke polisi karena akan membuatnya terjerat kasus hukum. Kartika sudah dihantui perasaan bersalahnya. Dia bisa saja menuntut mereka untuk membuktikan keabsahan surat itu dengan me
Wajah Rara masih kelihatan buram meski berada di tengah keramaian pusat perbelanjaan. Kalau kebutuhan anaknya tidak habis, dia sebetulnya malas keluar rumah, kecuali pergi kerja saja. Mimin tidak bisa belanja. Dia sibuk membantu di toko. Bu Marto lagi kurang enak badan. Hiruk pikuk orang-orang di sekeliling seakan tak mampu menghalau kabut yang sejak beberapa waktu lalu hinggap di matanya. Dia hanya tersenyum pedih setiap kali mendengar celotehan Idyla yang berjalan dalam bimbingannya. Tidak lama lagi dia bukan cuma kehilangan celotehan Idyla, seluruh kehidupan puterinya akan berlalu dari sisinya! Rara sampai tak sadar saat berjalan menuju ke kasir ada seseorang yang berdiri terpukau melihatnya. Dia baru tersentak ketika sebuah seruan melecut telinganya: "Rara!" Seruan itu bukan hanya mengejutkan Rara, juga menghembuskan getaran yang entah sejak kapan sirna di hatinya. Lama tidak mendengar suara itu dan dia masih ingat baik-baik siapa pemilikn
Kartika menjalankan mobil lambat-lambat memasuki halaman rumah. Matanya yang bercahaya meredup dan menguncup. Senyum kepuasan yang menggantung sepanjang perjalanan langsung jatuh terpecah. Cerita mesra yang bersemayam indah di kepala terbang berhamburan. Datuk Meninggi dengan dua pengawal setianya berdiri menunggu kedatangannya. Kartika turun dari mobil dengan bertanya-tanya, wajahnya diselimuti rasa penasaran menggunung, kemudian menuangkan rasa ingin tahunya dalam sebentuk kalimat, "Ada apa ini?" "Dari mana kamu?" tanya Datuk Meninggi dengan sinar mata tajam dan dingin. "Latihan senam," sahut Kartika santai. "Di desa tetangga." "Habis senam?" "Shopping." "Habis shopping?" "Aku tidak perlu menjelaskan acara hari ini secara detail. Aku cape." Datuk Meninggi memandang jijik. "Dasar perempuan murahan!" Lelaki itu mengangkat tangan hendak menampar wajah Kartika, seorang pengawal segera memegang tangannya dan mencob
Melihat wajah dokter Patologi Anatomi itu, Gilang sudah tahu bagaimana hasil biopsi Idyla. Air muka dokter itu bercerita dengan sendirinya. Ya Tuhan! Akhirnya petaka itu datang juga! "Puteri Anda kena kanker jenis langka," ujar dokter sambil menaruh berkas hasil penelitian di atas meja. "Berbahaya kalau tidak dioperasi secepatnya." "Kanker?!" cetus Rara histeris. Matanya mengawasi Idyla yang berada di pangkuan suaminya dengan nanar. Tidak! Tidak! Oh, Tuhan! Mengapa Kau limpahkan azab ini pada anakku? Aku yang berbuat dosa! Aku yang membuat dia ada! Mengapa bukan nyawaku yang Kau ambil? "Paru-parunya masih bersih," kata dokter. "Belum ada gambaran coin lesion. Masih besar harapan untuk dapat tertolong." Seluruh tubuh Gilang terasa dingin. Wajahnya pucat tak berdarah. Dia sudah bisa membaca ke mana arah pembicaraan dokter. Bukan sekedar operasi biasa, tapi opersi...ya Tuhan! Dia tak sanggup membayangkannya! "Dokter," desis Gilang bergetar. "Kala
Mula-mula Rara mengira benjolan kecil di daun telinga puterinya cuma benjolan biasa, akibat digigit serangga atau terkena sesuatu. Maklum Idyla sudah pandai berjalan. Sedang lucu-lucunya. Sedang nakal-nakalnya pula. "Aduh, kenapa, Sayang?" hibur Rara ketika Idyla menangis keras-keras seperti kesakitan. "Kupingnya kok dipegangi terus? Coba Mama lihat. Ah, tidak apa-apa. Masa anak Mama segitu saja nangis?" Bermacam cara Rara mencoba membujuknya. Usahanya berhasil. Idyla sudah bisa tertawa-tawa lagi dan kembali bermain. "Bantu aku periksa rumah, Min," kata Ambu. "Cucuku kayaknya digigit binatang kecil." Seharian mereka mencari sarang serangga dengan hasil nihil. Rumah ini sangat bersih, tidak ada barang berdebu. Lalat pun malu untuk bertamu. Malam harinya Idyla menangis lagi dengan masalah serupa. Dua hari kemudian pun begitu. Muncul rasa sakitnya tidak tentu. "Minggu ini anak kita sering sekali menangis," kata Gilang yang terbangun mende
Penghasilan Gilang sehari-hari sebenarnya cukup lumayan. Banyak orang yang tertarik dengan jasanya. Malah ada ibu-ibu berlangganan antar jemput puteranya ke sekolah, bayar bulanan. Anak orang kaya aneh-aneh. Dia merasa lebih keren naik Moge daripada diantar sedan mewah dengan sopir tua. Tidak seru katanya. Kalau bercerita, pasti tentang Jakarta tempo dulu, asal-usul tugu peringatan. Bosan. Asal-usul papinya saja, mereka tidak ingin tahu. Apalagi tampang Gilang tidak seperti berandalan, ramah, sopan, simpatik, dan satu lagi, sangat tampan. Tak heran pelanggan kebanyakan perempuan berumur dua puluh lima ke bawah. Kalau belanja, tidak kelihatan seperti pembantu dan tukang ojek. Gadis-gadis seksi itu merasa bagaikan pasangan romantis di film Bollywood. Lagi pula, motor bisa menyelinap dengan lincah di keramaian lalu lintas, lebih cepat sampai tujuan. Tapi hidup di kota besar sungguh mahal. Baru dapat penghasilan sedikit lebih besar, harga-harga membumbung naik, seolah in
Mata Rara tak dapat terpejam. Sudah jam sembilan malam Gilang belum pulang, padahal tak pernah pulang telat. Dia takut terjadi apa-apa dengan suaminya. Tidak mungkin masih mencari pekerjaan. Kantor tentu telah tutup. Sekalipun buka, bukan untuk urusan tenaga kerja. Handphone suaminya dihubungi tidak aktif. Mungkin lowbat. Untuk menyapu keresahan, Rara merubah posisi tidurnya. Matanya tertumpu ke sosok mungil yang berbaring di sampingnya. Idyla tampak terlelap. Pulas sekali. Tak sadar Rara tersenyum. Hatinya selalu terhibur melihat wajah yang polos itu. Idyla sudah mengerti bahasa isyarat. Sudah bisa diajak bercanda. Cuma Rara belum sempat mencarikan baby sitter untuknya. Belum ada waktu yang tepat buat mendiskusikan dengan suaminya. Dia cukup repot untuk bolak-balik ke tempat penitipan bayi, mendingan diurus dan dirawat oleh tenaga tersendiri. Gilang masih disibukkan dengan masalah pekerjaan. Dia masih terus mencari dan mencari. Entah kapan ditemukan. Mendapa