“Kau jangan menakutiku!” sergah Ian. Ia tidak amat mengerti tapi jelas meragukan Ash bisa melakukan kriminalitas menjijikkan itu.“Apa kau mabuk? Atau wanitanya terlihat tua tapi belum cukup umur? Kau tertipu? Dia mengaku cukup umur?” Ian memberondong dengan pertanyaan yang sekiranya bisa sedikit menyelamatkan moral Ash.“Bukan itu! Dia…” Ash mendesah lalu menegakkan punggung, tapi tidak benar-benar tegak. Ia menyangga kepalanya dengan tangan, representasi kalau memang kepalanya sedang amat berat.“Dia apa? Katakan! Aku akan menjauh darimu mulai dari sekarang kalau memang kau busuk. Aku tidak mau kena masalah juga!” desak Ian.“Mulia sekali, dan terima kasih atas dukungannya.” Ash mendengus mendengar betapa sedikitnya niat Ian bertahan disisinya saat ada masalah. Tapi memang begitulah Ian. Ash betah bersamanya karena selalu blak-blakan.“Well, kau tidak perlu aku kalau punya masalah seberat itu. Ayahmu saja akan cukup menyelesaikan…”“SHUT YOUR MOUTH! Kau ingin aku makin mual?!” benta
“Dia akan murka, lihat saja!” Ian terdengar ikut marah pada keputusan Ash yang bodoh, tapi sebenarnya sedang amat panik. Membayangkan masa depan Ash yang mendadak suram.“Aku tidak akan mengumumkannya bukan? Aku tidak bodoh.” Ash mendesis lalu menunjuk kursi. Menyuruh Ian tenang dan kembali duduk. Ash bukan tidak tahu, karena itu ia membawa Mae ke Reading. Ia tidak ada di dekat sini.“Tt…tapi bukan berarti dia tidak akan tahu. Dia membuat puluhan anak kehilangan tempat tinggal hanya karena kau menemukannya dulu. Kau lupa? Kau pikir apa yang akan dilakukannya kalau sampai ia tahu lagi yang ini?!” Ian sudah kembali duduk, tapi tidak bisa berhenti panik. “Kau jangan membuat masalah, Ash. Nanti…”“Aku tidak mungkin meninggalkannya sendiri.” Ash menyela. Keputusannya liar tapi perlu.“Kau hanya ingin membantunya bukan? Kembalikan kemana kau menemukannya, bantu saja dari jauh. Kembalikan sebelum ayahmu tahu.” Ian menunjuk ke pintu, menyuruh Ash melakukannya sekarang juga. Terdengar sepert
Mae berlari dengan air mata turun deras di pipinya. Paru-parunya menjerit karena entah sudah berapa lama memaksakan diri berlari. Tapi Mae tahu ia akan mati kalau berhenti. Pria yang saat ini mengejar akan membunuhnya pasti, dan langkah kaki monster itu sangat dekat.“AGH!”Mae menjerit nyaring saat rambutnya tertarik, ia langsung terjerembab jatuh, dan tubuh besar menindih punggungnya. Napas Mae semakin sesak.“Lepas…”“Tidak akan pernah, Mary. Kau milikku.” Bisikan berat di depan telinganya, membuat Mae menggigil dan gemetar, belum lagi elusan tangan di pipinya.“Aku membayar mahal untuk memilikimu, Mary. Kita sudah menikah. Ini yang kau inginkan bukan?” Mae memejamkan mata, tidak mampu lagi menahan isakan saat lidah basah menyentuh telinganya. Menjijikkan, tidak lebih seperti lidah makhluk buas yang siap memangsa.“Kau bandel hari ini, mencoba lari. Apa kau sengaja? Kau menyukai hukuman itu?” bisikan lain yang membuat tangis Mae semakin keras. Hukuman itu adalah mimpi buruk, Mae t
Ash sangat bisa menahan atau mungkin mendorong tubuh Mae agar ciuman itu tidak terus terjadi, tapi sekali lagi akal sehat yang tadi diniatkan untuk tetap ada, luluh berkeping-keping seketika. Ash tidak menginginkannya, tapi bukan tidak punya nafsu yang siap sedia. Apalagi sudah beberapa bulan ini ia tidak menjalin hubungan serius.Bibir yang menyapu dengan liar tentu menyalakan api dengan mudah, menelan umpatan terkejut yang tadi hampir terucap, menggantinya dengan desah yang menyerukan nikmat. Hembusan napas Mae menggelitik, memacu desiran detak jantung, membutakan rasa bersalah Ash, menutupi emosi penyesalan yang tadi siang begitu mengganggu.Tapi saat tangannya merengkuh, dinginnya tubuh Mae, kembali dengan mudah mengembalikan semua itu. Mae mungkin merasa bisa menipu kalau mencium Ash dengan lebih liar, tapi kenyataannya tidak semudah itu.Ash mengambil pergelangan tangan Mae, lalu menggeleng dan mundur menjauh.“Apa lagi? Apa yang salah?!” Mae marah pastinya, dan mengibaskan tang
Ash mengangguk, tapi dengan mata memandang ke segala arah. Memikirkan jawaban terbaik.“Aku tidak mencari itu.” Ash menegaskan.“Lalu?”“Aku… sendirian di sini. Aku tidak ingin sendirian.” Ash menunjuk sekitar. Alasan yang bahkan tidak meyakinkan dirinya sendiri, tapi lumayan karena bisa membuat kecurigaan Mae mereda. Kerutan di keningnya mengendur.“Kau… tidak ingin kesepian? Begitu maksudmu?” Mae mencerna.“Ya.”“Kesepian tapi tidak ingin tidur bersama?” Mae masih menemukan titik janggal, dan jantung Ash hampir tidak bisa menanggung. “Bukan tidak ingin! Tapi tidak ingin kalau kau tidak menginginkannya juga!” Ash mendesiskan jawaban, karena pembicaraan tentang tidur berulang kali bukan tidak menimbulkan akibat apapun. Akal sehatnya akan semakin tipis kalau hal itu terus disebut oleh Mae yang sedang memakai baju seksi. Bayangan tubuh telanjang Mae yang sudah terlanjur dilihatnya kemarin, saat ini menari dengan bebas dalam benaknya.“Lalu apa? Kau menyuruhku seperti apa? Kau ingin ak
Mae tersedak teh yang baru saja diminumnya, saat tiba-tiba Ash muncul dari pintu belakang dan masuk ke dapur.“Aku pikir kau beruang atau sebangsanya!” seru Mae sambil mengusap wajah dan lehernya yang basah. Penampakan Ash mirip beruang memang.Ash memakai hoodie coklat menutupi kepala—juga celana dengan warna yang sama. Tubuhnya juga cukup besar. Mae yang baru saja terbangun kurang dari setengah jam lalu, hanya mampu mencerna sosok itu sebagai beruang yang menerobos masuk.“Rumah ini mungkin di desa, tapi kita ada di Reading. Tidak ada beruang di sini,” kata Ash, sambil menurunkan hoodie. Mereka cukup dekat dengan kota dan hutan di sekitar situ tipis. Ash bahkan tidak yakin apakah ada beruang liar di seluruh negara.“Apa kau berlari mengelilingi Inggris?” Mae sedang mengomentari keringat Ash.Dari penampilan, jelas Ash baru saja berjogging. Tapi sedikit berlebihan. Rambutnya bukan hanya basah, tapi seperti ada orang yang menyiram seember air padanya. Hoodie yang dipakainya sama, basa
Ash menjelaskan beberapa hal yang akan dilakukannya nanti, termasuk mengganti sofa dan memperbaiki beberapa jendela yang memang sudah lapuk. “Akan sedikit lama, tapi…” Mae menghentikan penjelasan itu, dengan menempelkan telunjuk ke bibir Ash. “Berhenti dulu, bernapas dulu.” Mae lalu mencubit pipi Ash. “Aw?” Ash tidak merasa amat sakit, hanya heran, dan mengelus pipinya yang tidak bersalah tapi mendapat serangan. “Untuk apa itu?” tanya Ash. “Memastikan bukan mimpi,” kata Mae lalu kembali menopang kepalanya. “Kau memastikan mimpi atau bukan dengan mencubit pipiku? Biasanya memastikan mimpi atau bukan dengan mencubit diri sendiri, bukan orang lain.” Ash masih mengusap pipinya dengan heran. “Apa rasanya sakit?” tanya Mae. “Tentu.” “Well, kalau begitu ini bukan mimpi. Kau bisa merasakan sakit. Sama saja bukan? Tidak perlu aku yang sakit.” “Logika macam apa itu?” Ash antara ingin jengkel, tapi ingin tertawa juga, tapi memutuskan kalau membahas logika Mae akan menjadi panjang. Ia
“Ini! Aku menemukannya di sini! Terlihat jelas!”Dex dengan tergesa membawa laptopnya kepada Evelyn. Menunjukkan foto yang ditemukannya. Evelyn juga melakukan hal yang sama tapi Dex yang lebih dulu menemukannya. Foto pria yang menyerang Dex.Mereka sudah melapor ke polisi, tapi tentu sulit untuk membuat tuntutan karena tidak tahu identitas dari siapa yang melukai Dex.“Ini yang paling jelas.” Evelyn setuju. Iya tadi menemukan beberapa foto, tapi hanya tampak samping dan belakang. Foto yang ditemukan Dex itu lebih jelas. Pria itu berdiri sambil menatap ke depan, berjajar bersama tamu lain.“Dia bukan sedang menatap Dad, tapi jalang itu!” desis Evelyn dengan jijik, saat menyadari arah pandangan mata dalam foto itu. Mae masih ada di dekat peti mati ayahnya.“Sepertinya dia pria Mae.” Dex kini yakin.“Memang akan jalang sampai kapanpun. Berani sekali betina itu membawa pria saat pemakaman suaminya?! Lebih dari menjijikan!” Evelyn mencela sambil menggelengkan kepala. Tidak habis pikir.“La
“Di sini saja, lebih teduh.” Rowena menunjuk kursi di sebelahnya. Dean juga mengangguk setuju.Seluruh plot kursi taman itu sebenarnya ada di bawah pohon paling besar yang ada di taman rumah, tapi karena posisi matahari, ada bagian yang masih tersiram cahaya.Mae sebenarnya tidak keberatan mendapat siraman matahari setelah beberapa hari berada di rumah sakit, tapi ia masih ingat bagaimana nasib orang yang kali terakhir berdebat dengan Rowena—diusir, karenanya sekarang Mae memilih menurut dan duduk dengan manis di sampingnya.“Kau sudah tidak sakit?” tanya Amy yang sudah duduk dan kini menyerahkan satu cookies dari meja. Bukan buatan Mae tapi. Ia belum boleh mendekati dapur—atau melakukan apapun.“Tentu saja. Dokter tidak mungkin mengizinkan aku pulang kalau belum.” Mae melirik Ash yang juga sudah duduk di sampingnya. Orang yang tidak mungkin mengizinkan Mae pulang sebelum dokter memastikan tidak ada yang salah dari tubuhnya.Untung saja Mae kemarin berhasil membuat dokter itu merahasia
“Mae? Ada apa?”Jeritan itu tentu saja menarik perhatian Rowena, dan juga beberapa orang tamu yang bersamanya. “Mae, hentikan!” Rowena menyambar kran wastafel dan mematikannya. Ia lalu menyambar tisu dapur dan mengulurkannya untuk wanita yang kini tersedak dan terbatuk itu.“Lady Jane? Apa Anda baik-baik saja?” tanya Rowena, sambil membantu mengusap air dari wajahnya.Mae yang masih berdiri di situ sedikit menjauh. Mengeluh saat mendengar Rowena memanggilnya lady. Itu berarti Jane ini berasal dari kalangan bangsawan yang sama dengan Rowena. Ia menyombong karena tahu kedudukannya kurang lebih sama dengan Rowena.“Tidak! Wanita ini menyerangku!” Jane menuding ke arah Mae, segera begitu batuknya terhenti.“Mae? Apa—”“Pelayan ini kurang ajar. Kau harus memberinya pelajaran etika!” Jane mengadu tanpa memberi kesempatan Rowena untuk bertanya pada Mae.“Siapa? Pelayan yang mana?” Rowena bingung memandang sekitar, mengira ada orang lain yang terlibat.“Ini!” Jane menuding Mae dengan lebih je
“Aku saja yang membawa.” Mae mengambil alih piring besar berisi potongan kue yang sudah diatur rapi olehnya dari tangan pelayan. Ini karena memang jumlah orang yang membawa kurang. Mae membantu agar pekerjaan mereka cepat selesaiAcara makan sudah dimulai sejak dua jam lalu, dan kini saatnya dessert yang dihidangkan. Semua tamu ribut bicara dan menertawakan entah apa. Mereka sudah tidak lagi duduk, tapi berdiri berkelompok masing-masing. Beberapa mengerumuni Rowena sebagai tuan rumah untuk berterima kasih.“Mae.” Rowena menghentikan langkah Mae dengan meraih lengannya saat ia lewat untuk kembali ke dapur.“Kau tidak perlu bekerja lagi.” Kalimat Rowena itu terdengar seperti kalimat pemecatan, tapi Mae sudah menghapal kalau tujuan Rowena bukan itu. “Kau tidak terlihat baik-baik saja.”Kalimat Rowena yang menyusul berikut menjelaskan niatnya dengan lebih baik. Rowena sedang mengkhawatirkan keadaan Mae.“Ya, setelah ini aku akan beristirahat.” Mae tersenyum menenangkan, lalu meneruskan l
“Karena itu kalian bisa melapor pada—Oh? Sir.” Louis mengangguk saat melihat Ash mendekat.Tapi ia paham kenapa dan langsung bergeser, memperlihatkan sosok yang berdiri di sampingnya, lalu melanjutkan briefing. Tidak berkomentar saat Ash menarik kerah jas Ian, yang tentu saja sedang tersenyum lebar.“What the fuck are you doing here?” geram Ash, setelah mereka sampai di taman yang sepi, tidak termasuk area yang dipakai untuk menjamu tamu.“Tolonglah jangan banyak mengumpat. Untung saja tidak ada toples di sini—Oh, apa aku perlu menghitung berapa umpatan yang kau ucapkan? Jadi bisa membayar nanti?” Ian menepuk bahu Ash perlahan, menangkan sekaligus menikmati reaksinya. Ian memang sengaja tidak mengatakan apapun agar bisa menikmati reaksi itu.“Apa yang kau lakukan di sini?!” Ash mendesis sambil menatap Ian dari atas sampai ke bawah. Jas itu sangat baru, juga pin yang tersemat di dadanya—menandakan ia anggota RaSp.“Apa kau menyamar? Ada pekerjaan yang membuatmu harus menyamar di sini?
“Itu cara berpamitan yang unik.”Mae menggelengkan kepala dan tertawa. Sejenak meninggalkan spuit yang dipakainya untuk menghias cupcake untuk menatap Ash.Ia baru saja menceritakan keributan yang terjadi malam kemarin saat ayah Serena datang menjemput. Ash baru bisa menceritakannya sekarang, karena kesibukan Mae memang hampir tanpa henti. Tamu yang dimaksud Rowena tidak hanya berlangsung sehari, tapi datang bergilir selama dua hari ini. Ia menjamu para istri dari orang-orang berpengaruh yang kemarin mendukung dan berkontribusi pada kemenangan Dean. Sedikit membalas budi.Karenanya Mae juga memperlakukan pekerjaan itu dengan lebih serius. Ia tidak boleh mengacau.“Unik, tapi yang pasti aku bersyukur dia sudah kembali. Aku lelah dengan drama gila mereka.” Ash menghela napas sambil mengulurkan tangan—berusaha mencolek krim berwarna hijau yang disiapkan Mae.Tentu saja Mae mencekal lengan itu. Mae tidak mungkin mengizinkan ada yang menyentuh adonannya dengan tangan yang tidak jelas keber
“Serena?”Ian menggoyangkan bahu Serena, cukup keras, dan masih tidak bergerak. Ian berencana memakai ponsel untuk menyuarakan alarm, tapi sepertinya percuma.Suara bentakan yang dikeluarkan Val tadi kerasnya melebihi alarm dan tidak mengganggu Serena. “Tuan Putri!”Ian akhirnya berseru agak keras dan mengguncang kedua bahu Serena. Baru setelahnya mendapat respon.“Lima menit lagi, Mom.” Gumaman yang kurang lebih menjelaskan kalau ia masih bermimpi.“I'm not your Mom, so please wake up. She's waiting for you.” (Aku bukan ibumu, jadi bangunlah. Dia menunggumu)Ian berbisik di telinganya, hampir tidak bisa menahan tawa saat melihat bagaimana mata Serena membuka lebar dengan tiba-tiba. Ia langsung berbalik mencari siapa yang berbicara padanya, dan menemukan Ian berbaring di sampingnya sambil menopang kepala menahan tawa.“Bangun tidur pun kau tampak mempesona, Tuan Putri. Hamba puas melihatnya,” kata Ian.“Just cut the crap! Apa maksudmu Ibuku menunggu?” Informasi itu masih diingat ole
“Miss, ada tamu untuk Anda.” Louis dengan sopan mengetuk pintu kamar Serena.“Lebih keras lagi. Dia tidak akan terbangun kalau kau mengetuk selembut itu.” Val menyarankan karena tahu kebiasaan Serena. Biasanya hanya gempa yang bisa membangunkannyaLouis mengangguk dan mengetuk lebih keras lagi. “Miss?” Pintu itu terbuka, tapi yang muncul adalah Ian. “Kau mau apa?” Ian separuh membentak dengan wajah jengkel.Tapi hanya bertahan satu detik, karena wajah itu terhantam oleh kepalan tangan Val setelahnya. Ian tidak mungkin menghindar dan nyaris terpelanting.Dengan gerakan yang terlatih, Ian langsung menegakkan tubuh dan melayangkan tendangan balasan pada siapapun yang menyerangnya. Tapi kakinya berhasil ditepis dan saat itu Ian akhirnya melihat mata amat biru yang sekarang menjadi mimpi buruknya.“Oh, shit!” makinya, sambil menurunkan tangan—membatalkan serangan, tapi tetap waspada dan bergerak menghindar saat Val menggembor marah dan melayangkan pukulan lain.“Dasar setan!” Val berseru d
“Aku bilang jangan berpikir ke arah sana!” sergah Serena, sambil mengibaskan rambut dan tengkuknya kembali tertutup.“Oh…” Ian tentu saja kecewa, tapi tidak bisa lama. Saat Serena mengangkat sepuluh jarinya, ia langsung paham masalahnya apa. “Kau tidak bisa membukanya.” Serena berbalik sambil mengangguk. Masih ada sisa pink di wajahnya tapi tidak lagi amat merah. “Aku tidak bisa memaksa membuka ini. Aku perlu sembuh cepat. Harus latihan.” Serena menunjukkan perbannya lagi. Ia bisa memaksakan untuk membuka perban itu, tapi khawatir akan memperburuk lukanya. Serena membutuhkan tangan itu untuk berlatih sebentar lagi.“Seharusnya kau mengatakannya sejak tadi. Aku akan membantu. Ini mudah.” Ian memutar tangannya. Isyarat agar Serena kembali berbalik memunggunginya.“Aku akan meminta bantuan Mae kalau dia tidak sibuk!” cetus Serena. Masih ingin menegaskan kalau Ian adalah pilihan terakhir.“Itu tidak akan seru. Seharusnya kau langsung datang padaku. Masalahnya akan cepat selesai.” Ian te
“Kenapa susah sekali!” Serena mengeluh karena jarinya tidak bisa menyentuh zipper yang sebenarnya mudah.Kalau bisa melepaskan kuncian, Serena bisa mendorong turun, tapi gerakan sederhana itu sangat membutuhkan jari. Serena menghela napas. Menyerah, ia memerlukan bantuan.Serena bisa saja melewatkan mandi, tapi tetap ingin mengganti baju. Ia sudah memakainya seharian berkeliling.Serena keluar dari kamar—mencari Mae, tapi belum sampai di kamarnya, Serena sudah melihat Mae berlari kecil ke arah dapur. Serena mengintip, dan terlihat Mae—dibantu beberapa orang pelayan yang memang bekerja di rumah itu sedang sibuk menyiapkan kue.Mae tadi hanya keluar sebentar, kini melanjutkan pekerjaannya menggiling adonan croissant berwarna merah yang harus dilipat berulang kali. Bukan saat yang tepat untuk meminta bantuan, karena Serena perlu membawa Mae ke kamar. Tidak mungkin ia membuka bajunya di dapur.“Ian ada di sana—belum pulang. Menerima panggilan.”Ash yang berusaha membantu Mae—dengan menga