Plak!
Satu tamparan mendarat keras di pipi gadis cantik berambut panjang yang berpakaian minim di sebuah kamar hotel berbintang.
Gadis itu mengusap pipinya yang hampir memerah karena tamparan keras dari wanita paruh baya yang tengah dilanda kemelut amarah.
"Siapa gadis ini, Pa?!" sentak wanita paruh baya itu pada pria tua yang bertelanjang dada di samping sang gadis.
Pria tua itu hanya menundukkan kepala, tak berani menjawab teriakan dari wanita paruh baya yang tak lain adalah istrinya.
"Pergi dari sini! Jika aku sampai melihatmu lagi di tempat yang sama dengan suamiku, aku tidak akan segan-segan menggilasmu dengan ban mobilku!" ancam wanita paruh baya itu.
Gadis malang bersama Berliana itu hanya menurut tanpa menanggapi omelan dari wanita tua itu. Gadis yang kerap disapa dengan nama Berlin itu segera mengemasi barangnya dan keluar dari kamar hotel dengan tangan kosong.
"Sial! Pelangganku hilang lagi!" gerutu Berlin kesal melihat satu persatu sugar daddy-nya menghilang.
Sebagai sugar baby yang hidup dari uang jajan Daddy, tentu saja kehilangan sugar daddy sama artinya dengan kehilangan sumber dana penghidupan.
Kini Berlin harus memutar otak kembali, memikirkan bagaimana caranya ia harus bertahan hingga dirinya berhasil menemukan tangkapan baru.
Ceklek!
Gadis itu membuka pintu apartemen kecil yang disewanya sebagai tempat tinggal. Berlin segera mencari cermin dan menatap luka memar di pipinya dengan seksama.
"Kapan bekas tamparan ini akan hilang?" rengek Berlin dengan air mata berlinang.
Mendapatkan tamparan dari istri sah bukanlah hal baru yang dirasakan oleh Berlin. Sebagai simpanan pria beristri, tentu saja sudah menjadi resiko bagi Berlin jika dirinya sampai ketahuan oleh istri si sugar daddy yang berkencan dengannya.
Walaupun telah dihajar puluhan kali, Berlin masih tetap setia menjalani pekerjaannya demi memenuhi kebutuhan finansial yang begitu membebaninya.
Tring, tring!
Berlin beralih dari cermin dan segera meraih ponselnya yang berdering kencang.
"Cih, Pak Tua ini lagi?" sinis Berlin seraya menatap layar ponsel.
"Halo?"
"Aku sudah mengirimkan uang kencan terakhir," ujar sugar daddy Berlin.
"Terima kasih, Tuan."
"Anggap saja sebagai pesangon. Aku akan menghubungimu lagi jika ada kesempatan," pungkas pria paruh baya itu dalam panggilan singkatnya bersama Berlin.
"Untung saja masih ada uang pesangon," gumam Berlin dengan kelegaan luar biasa.
Gadis itu kembali mengotak-atik ponsel dan bergegas menghubungi seseorang. "Halo, Nana?"
"Kakak!" sapa seorang gadis kecil melalui telepon.
"Kakak ada uang lebih, Na. Katakan pada Ibu untuk berobat ke dokter minggu ini," ujar Berlin pada gadis kecil bernama Nana, yang tak lain adalah gadis yang dirawat di panti asuhan bersama dirinya dulu.
Ya, Berlin adalah gadis yatim piatu yang dibesarkan di pantu asuhan sejak dirinya masih kecil. Setelah menginjak usia tujuh belas tahun, gadis itu terpaksa harus meninggalkan panti asuhan dan belajar hidup mandiri.
Meskipun tak lagi dirawat di panti asuhan, Berlin masih tetap berusaha untuk berbakti pada ibu panti yang sudah berbaik hati mengasuhnya sejak kecil.
Sang ibu panti yang sudah semakin berumur dan sakit-sakitan membuat panti mulai terbengkalai hingga anak-anak hampir terlantar. Ditambah lagi dana bantuan yang makin merosot, membuat Berlin terpaksa harus mengurus panti untuk sementara waktu sembari menunggu donatur baru.
"Obat Ibu masih cukup sampai besok, kan?" tanya Berlin.
"Masih, Kak. Tapi sebentar lagi semester baru, Kak. Anak-anak butuh buku baru juga seragam baru," ungkap Nana merasa tak enak hati terus menuntut dana dari Berlin.
Berlin termenung sejenak begitu mendengar permintaan dari adik yang diasuhnya. Uang bulanan yang diterima oleh Berlin tidak terlalu besar. Statusnya yang masih mahasiswi membuat dirinya hanya dibayar murah oleh para sugar daddy yang memakainya.
Berlin sendiri belum pernah mendapatkan sugar daddy seorang bos besar. Mungkin jika dirinya berhasil menemukan tangkapan besar, dompet Berlin bisa terisi lebih tebal.
"Kakak tahu. Sabar ya, Na. Kakak akan segera belikan buku dan seragam baru," ujar Berlin dengan seulas senyum keibuan pada adik kecil yang tengah berbincang di telepon dengannya.
Gadis kecil itu pun bersorak riang mendengar jawaban Berlin. Hanya dengan seragam dan buku, dirinya sudah mampu membuat adik-adik kecil yang dirawatnya itu kegirangan.
"Kakak, Ibu ingin bicara," ujar Nana menyerahkan ponsel pada Bu Wanda.
"Halo, Berlin?" sapa Bu Wanda, ibu panti yang pernah merawat Berlin.
"Bagaimana kabar Ibu? Berlin sudah mengirim uang. Ibu bisa menebus obat lagi minggu ini,"
"Terima kasih banyak. Tapi untuk ke depannya, kau tidak perlu lagi mengirim uang untuk Ibu dan anak-anak," tukas Bu Wanda.
"Kenapa aku tidak boleh mengirim uang untuk Ibu?"
"Kebutuhanmu pasti banyak, kan? Pakailah sendiri untuk keperluanmu, Nak. Kau masih kuliah dan butuh banyak biaya. Ibu tidak bisa membantumu, jadi Ibu tidak ingin semakin menyulitkanmu."
"Menyulitkan apa? Aku tidak kesulitan sama sekali. Lagipula aku mendapatkan beasiswa, Bu! Aku juga memiliki pekerjaan paruh waktu. Aku mempunyai cukup uang untuk merawat Ibu," sergah Berlin.
"Jangan hamburkan uangmu untuk hal yang tidak perlu! Biarlah anak-anak panti menjadi urusan Ibu. Kau fokus saja pada pendidikanmu," ujar Bu Wanda.
"Apa Ibu sudah mendapatkan donatur baru?"
"Berlin, Ibu—"
"Aku tanya, apa Ibu sudah mendapatkan donatur baru?" tanya Berlin dengan nada tinggi.
Bu Wanda hanya diam tak menjawab pertanyaan Berlin. Rasa bersalah dan malu mulai tercampur aduk dalam hati sanubari wanita paruh baya itu.
Bu Wanda tak ingin terus-terusan menyusahkan Berlin dengan biaya keperluan panti, namun beliau juga belum memiliki solusi untuk menyelesaikan masalah kekurangan dana operasional panti.
"Terima saja bantuanku! Ibu tidak pernah memaksaku! Aku melakukan hal ini atas kesadaranku sendiri!"
Tut!
Berlin memutuskan sambungan telepon, kemudian melempar ponselnya ke ranjang dengan kesal.
Gadis itu membuka pintu kamar mandi kecilnya dengan kasar hingga ia tak menyadari kayu rapuh itu mulai terlepas dan pintu kamar mandi pun ambrol, jatuh ke lantai.
Brak!
Gadis itu hanya bisa menghela nafas pasrah saat melihat pintu usangnya terjun bebas dari dinding.
"Sial! Aku lupa membenarkan pintu," umpat Berlin kesal.
Tak hanya pintu yang copot, Gadis itu kembali dipusingkan dengan kamar mandi kecil yang banjir tergenang air karena keran yang bocor.
"Astaga, cobaan apa lagi ini?!" rengek Berlin dengan mata berkaca-kaca.
Gadis itu menyumpal keran bocor dengan alat seadanya sembari menangis sesenggukan.
Berlin keluar dari kamar mandi, kemudian mengambil satu bungkus mie instan dan memotongnya menjadi tiga bagian.
Masih dengan air mata berlinang, gadis itu duduk di depan TV kecil buram yang ada di apartemennya seraya menyantap satu mangkok mini berisi satu potong mie instan yang telah ia masak.
"Anggap saja diet," gumam Berlin memandangi mie instan porsi kecil yang menjadi santapan makan malamnya.
"Tidak apa-apa, Berlin. Hari ini kau hanya bisa memakan dua suap mie instan. Tapi setelah mendapatkan tangkapan besar nanti, kau pasti bisa memakan daging!" oceh Berlin berusaha menyemangati dirinya sendiri.
***
Hari masih menunjukkan pukul lima pagi hari, namun Berlin sudah bersiap dengan buku-buku serta sepatu tuanya.Gadis itu mengenakan kemeja seadanya dan menggendong tas kecil berisi buku-buku yang akan dibawanya berkelana ke tempatnya menimba ilmu.Alasan utama Berlin berangkat begitu pagi ke kampus adalah demi sarapan gratis berupa satu bungkus roti serta satu kotak susu yang disediakan oleh kampusnya setiap pagi."Jangan sampai aku kehabisan roti lagi!" gumam Berlin dengan semangat membara berlari menuju kampusnya yang berjarak kurang lebih dua kilometer dari apartemen tempatnya tinggal.Berbeda dengan penampilannya yang menor dan memakai make up tebal di malam hari, busana yang dikenakan Berlin menuju kampus benar-benar berbanding terbalik dengan tampilannya saat berkencan dengan sugar daddy.Pakaian Berlin di kampus sangatlah sederhana dan jauh dari kata modis. Gadis itu hanya mengenakan kemeja, dipadukan dengan jeans k
"Berlin, kan?" tanya pria itu lagi.Berlin hanya mengangguk tanpa bersuara. Gadis itu menundukkan kepala dalam-dalam dan berusaha menyembunyikan wajahnya dari Devandra."Ayo, masuk!" ujar pria berusia dua puluh delapan tahun itu.Berlin nampak bingung bagaimana ia harus bersikap di depan Devan.Tentu gadis itu tak ingin identitasnya sebagai sugar baby diketahui oleh orang lain, terutama oleh orang yang ia temui di kampus.Devan bisa menjadi ancaman besar bagi Berlin jika pria itu sampai mengenalinya dan menyebarkan cerita yang tidak-tidak ke seluruh kampus mengenai dirinya yang menjadi sugar baby pria kaya."Ayo!" ajak Devan memberanikan diri menarik tangan halus Berlin untuk masuk ke dalam mobilnya.“Orang ini tidak akan mengenaliku, kan? Penampilanku saat ini sangat berbeda dengan tampilanku saat di kampus. Tidak mungkin dia bisa mengenaliku. Dia hanya sempat melihat wajahku sekilas sore tadi. Sehar
"Berlin!" panggil Sarah sembari berjalan menghampiri sang teman."..."Tak ada sahutan apapun dari gadis cantik yang tengah didatangi oleh Sarah itu. Berlin diam mematung dan sibuk menatap Devan yang sudah berjalan semakin jauh darinya."Berlin!" panggil Sarah lagi dengan teriakan agak kencang.Sudah hilang kesabaran karena tak kunjung mendapat jawaban, Sarah pun menjitak kepala Berlin dengan kesal hingga lamunan gadis itu pun buyar seketika."Aww!" pekik Berlin sembari memegangi kepalanya yang menjadi korban keganasan Sarah."Kau ini kenapa?" omel Berlin pada Sarah."Kau yang kenapa? Pelangganmu sudah menunggu!" omel Sarah balik sembari menarik tangan sang teman menuju tempat sugar daddy baru Berlin."Bagaimana? Lumayan, kan? Bukan pria tua dan kau bisa mendapatkan banyak uang," bisik Sarah.Mood Berlin sudah terlanjur berantakan setelah ia mendengar perkataan Devan. Rasa cemas dan gelisah yang mulai b
Berlin duduk termenung di pelataran rumah sakit di malam yang dingin. Waktu baru menunjukkan pukul tiga dini hari. Namun gadis itu tak dapat mengistirahatkan tubuh penatnya setelah beraktivitas seharian penuh.Bola matanya terus tertuju pada lembar kertas yang ada di genggaman tangannya. Dilihatnya angka-angka yang tertera pada kertas itu dengan seksama."Satu miliar? Dari mana aku bisa mendapatkan uang sebanyak itu? Kenapa bunganya bisa mengembang sampai sebanyak ini?" oceh Berlin mengomel seorang diri bersama kertas-kertas bertuliskan nominal uang yang belum pernah dilihatnya."Haruskah aku pergi ke dukun? Ikut pesugihan? Jaga lilin?" gerutu Berlin.Gadis itu menendangi kerikil yang berserakan di kakinya dengan kesal. Berlin mulai dibuat pusing dengan hutang yang seharusnya bukan menjadi tanggungjawabnya. Namun jika ia tidak melakukan sesuatu, Bu Wanda dan adik-adik asuhnya terpaksa harus meninggalkan panti karena penyitaan dari pihak pemberi pinjaman.
Berlin duduk termenung di toilet umum sembari menatap kartu nama Devan dengan gelisah. Gadis itu masih dilanda kegalauan untuk memutuskan akan menghubungi Devan atau tidak."Apa tidak aneh jika aku tiba-tiba menghubunginya?" gumam Berlin bimbang.Gadis itu melirik ke arah arloji kecil yang melingkar di pergelangan tangannya. Waktu sudah menunjukkan pukul tiga sore hari. Berlin harus segera mendapatkan uang untuk biaya rumah sakit serta mengurus panti asuhan yang akan segera digusur.Gadis itu tak lagi memiliki banyak pilihan selain merampok pria kaya dengan cara halus."Coba saja dulu! Ayolah, Berlin! Tidak ada waktu lagi! Kalau ini tidak berhasil, aku akan menjual ginjal saja!" gumam Berlin menggebu-gebu.Berlin mulai sibuk memainkan ponselnya dan bersiap untuk menghubungi Devan. Dengan jantung berdegup kencang, gadis itu memberanikan diri menghubungi pria asing yang memberikan kartu nama padanya secara cuma-cuma."Halo?"&ldq
Tepat pukul lima sore, Berlin sudah berdiri di depan hotel yang akan menjadi tempat untuk kencan pertamanya bersama Devan.Gadis itu terus celingukan kesana-kemari dengan gelisah dan berusaha mencari sosok Devan yang tak kunjung muncul untuk menjemput dirinya."Pria itu tidak akan menipuku, kan? Hanya dia satu-satunya harapanku sekarang," gumam Berlin makin bertambah gelisah menanti kedatangan Devan.Sudah satu jam lamanya Berlin menunggu, namun pria yang dinanti-nantinya tak juga muncul menyapa dirinya."Riasanku sudah hampir luntur!" gerutu Berlin jengkel.Sementara di tempat lain, Devan terlihat duduk dengan santai sembari menyeruput secangkir kopi yang ada di tangannya. Manik mata pria itu tampak fokus menatap monitor yang menyuguhkan wajah Berlin sebagai bintang di la
Devan masih termenung menatap tanda lahir Berlin dan mencoba mengingat-ingat kapanserta di mana ia sempat melihat tanda yang nampak familiar itu.Dengan posisi sudah menindih tubuh Berlin di atas ranjang, Devan justru tak kunjung melanjutkan malam panasnya bersama gadis cantik yang sudah siap ia terkam.“Kenapa dia diam saja? Apa aku memang tidak menarik baginya?” batin Berlin bingung."Tuan!" panggil Berlin dengan nada manja pada Devan."Sampai kapan Tuan akan terus menatapku?" tanya Berlin kemudian.Lamunan Devan langsung buyar begitu ia mendengar suara Berlin. Pria itu mengusap wajahnya dengan kasar, sebelum ia memulai kembali aksinya untuk menerkam gadis manis yang sudah terjebak dalam kungkungannya.
"Nana, bagaimana keadaan Ibu?" tanya Berlin pada adik kecilnya melalui telepon."Ibu sudah membaik, Kak. Kata dokter, Ibu sudah boleh pulang besok pagi," terang Nana."Kapan Kakak akan kemari?" tanya Nana penuh harap.Berlin nampak bingung harus memberikan jawaban apa pada adik kecilnya. Tubuhnya saat ini masih pegal dan sakit karena ulah Devan semalam. Belum lagi malam nanti pria itu akan kembali padanya untuk meminta "jatah"."Kakak akan berkunjung besok. Nanti Kakak akan mengirimkan uang untuk biaya rumah sakit Ibu. Katakan pada Kak Mei untuk mengurusnya, ya? Besok Kakak akan menjenguk Ibu. Hari ini Kakak masih ada banyak kelas di kampus," ujar Berlin mengarang cerita."Baiklah, aku akan menyampaikannya pada Kak Mei.""Titip pesan juga pada Ibu, besok Ibu bisa pulang ke panti dengan tenang. Katakan pada Ibu untuk banyak-banyak istirahat. Kakak sudah mengurus semuanya," pesan Berlin."Tentu. Akan kusampaikan pada Ibu," pungkas Nana, kemudian memati
"Kenapa kau terus saja melamun selama beberapa hari ini? Kau sedang tidak enak badan?" tegur Devan pada Berlin.Berlin yang tengah menatap jendela dengan tatapan kosong, segera menyadarkan diri dari lamunan dan melirik Devan yang sudah duduk di sampingnya. "Tidak. Aku tidak melamun," cetus Berlin."Kau gugup?" tanya Devan lagi.Tentu saja Berlin sangat gugup menyambut hari bahagianya yang akan datang esok hari. Ya, besok dirinya akan menikah dengan Devan. Berlin akan menjadi pengantin.Devan sudah menyiapkan sebuah pesta kecil untuk Berlin, sebelum keluarga besar mereka membuatkan pesta untuk mereka. Devan sengaja ingin membuat acara sendiri yang sesuai dengan keinginannya. Meskipun pada akhirnya nanti, Devan harus menuruti keinginan kedua orang tuanya, tapi setidaknya ia juga ingin memiliki kesempatan untuk merancang acaranya sendiri. "Aku hanya menyiapkan pesta kecil yang akan dihadiri oleh keluarga inti saja. Tidak apa-apa, kan? Setelah itu, masih akan ada acara yang dibuat oleh
“Ayah, ayo cepat!” Nyonya Sella menarik tangan sang suami dan hendak mengajak Tuan Wildan untuk mengunjungi keluarga Berlin, yaitu Nyonya Firda dan Tuan Mahesa. Apalagi alasan Nyonya Sella mengunjungi Nyonya Firda dan keluarga jika bukan untuk membahas tentang pernikahan Berlin serta Devan.“Kita tidak akan mengajak Devan? Ada baiknya, kita lamar dulu Berlin untuk Devan sebelum membahas tentang pernikahan seperti ini,” tukas Tuan Wildan ingin membantu sang putra melewati tahapan yang benar sebelum meresmikan hubungan dengan Berlin.Nyonya Sella tentu tidak akan melibatkan Devan. Wanita paruh baya itu tahu jika Devan hanya akan mengomel padanya jika Nyonya Sella ikut campur. Daripada mendengar penolakan Devan dan omelan putranya, lebih Nyonya Sella bertindak seorang diri dan langsung menembak orang tua Berlin.“Abaikan saja Devan! Ibu tidak ingin mendengar suara cerewet Devan,” cetus Nyonya Sella.Tuan Wildan sendiri juga hanya akan memancing keributan, jika dirinya berbicara dengan pu
Devan dan Vernon mengamati Sheena dan Berlin dari kejauhan tanpa berani mendekat. Kedua pria itu terus melirik ke arah Berlin yang mencoba mengajak Sheena berbicara baik-baik.Kedua wanita itu duduk di meja yang terdapat di pojokan cafe, sementara Devan dan Vernon duduk di bangku yang cukup jauh dari meja Berlin. "Menurutmu apa yang akan dibahas oleh Berlin dengan Sheena?" tanya Devan pada Vernon meminta pendapat."Hm? Entahlah! Mereka anak kandung dan anak angkat dari Nyonya Firda, kan? Kedua wanita itu juga memperebutkan pria yang sama, bukan? Pasti ada banyak hal yang bisa dibahas oleh Berlin dan juga Sheena," tukas Vernon."Meskipun tidak mengenal secara langsung, tapi mungkin kalau hanya sekedar nama saja, kau pasti tahu, kan? Aku Berlin. Kau Sheena, kan?" Berlin mulai membuka perbincangan ringan dengan anak angkat dari orang tua kandungnya itu.Sheena hanya diam dan menatap sinis ke arah Berlin. Pertama kali Sheena melihat Berlin adalah saat Sheena dirawat di rumah sakit, bersam
"Sheena!" Lamunan Sheena pun buyar begitu suara Vernon menggema di telinganya. "Hm?" Sheena langsung mengalihkan pandangannya dari Berlin dan Devan yang berdiri tak jauh di seberang sana.Vernon melirik ke arah tempat yang dilihat oleh Sheena, dan melihat dengan jelas sosok Devan dan Berlin. "Kau ingin menyapa mantan kekasihmu dan juga saudaramu?" cibir Vernon menggoda Sheena."Cih, saudara apanya? Aku tidak kenal!" sergah Sheena tak memiliki niat sedikit pun mengenal akrab Berlin, apalagi setelah wanita itu mendapat omelan dari sang ibu.Saat ini Vernon dan Sheena tengah berkeliling di pusat perbelanjaan untuk membeli barang-barang baru bagi Sheena. Sheena kembali meninggalkan rumah dan tak jadi mengambil barangnya di rumah sang ibu, usai ia terlibat pertengkaran kecil dengan Nyonya Firda.Dengan menggunakan uang simpanan Vernon, Vernon pun berbaik hati membelikan barang kebutuhan Sheena dan akan mengajak Sheena untuk tinggal bersama dengannya."Kita pergi saja! Melihat orang-orang
Berlin, Arkan, dan Sarah pun memasuki sebuah cafe yang ada di pusat perbelanjaan. Dosen dari dua mahasiswi cantik itu menikmati es krim bersama dengan dua gadis yang bersedia menemaninya melahap makanan manis.Berlin terlihat tidak nyaman saat Arkan terus mencuri pandang ke arahnya. Gadis itu terus mengalihkan pandangan dan berharap acara makan es krim mereka segera usai. "Berlin, kudengar kau mengajukan cuti? Bukankah kau akan kembali? Kenapa kau tiba-tiba mengajukan cuti?" tanya Arkan membuka perbincangan.Berlin berhenti mengaduk mangkok es krimnya dan melirik Sarah yang terlihat tak peduli dengan suara Arkan. "Em, ada hal mendesak yang harus aku lakukan dan tidak bisa ditinggal. Jadi, aku memutuskan untuk cuti daripada kuliahku nanti terganggu," terang Berlin."Hal mendesak? Hal mendesak apa?" tanya Arkan begitu senang mencampuri urusan Berlin dan membuat Berlin risih."Em, itu ... aku ada urusan pribadi," jawab Berlin singkat tanpa memberikan penjelasan apa pun.Arkan mulia mene
"Berlin, kenapa kau tiba-tiba mengambil cuti lagi? Apa terjadi sesuatu padamu?" Sarah nampak cemas saat menghubungi sang teman yang baru saja hendak kembali ke kampus, tapi mendadak Berlin justru mengajukan cuti dan menunda melanjutkan pendidikannya sampai waktu yang tidak ditentukan."Aku ... ada kepentingan mendadak. Jadi, aku ingin mengambil cuti saja," jawab Berlin tak ingin membahas tentang kehamilannya yang hampir menginjak dua bulan.Saat ini kekasih Devan itu tengah duduk di dalam kamarnya dengan bosan sembari mengangkat telepon dari sang teman. Devan sudah berangkat ke kantor, dan Berlin berada di rumah bersama dengan pelayan yang menjaganya."Benar kau baik-baik saja? Kau tidak mengalami kecelakaan atau semacamnya, kan?" tanya Sarah membuat Berlin berkeringat dingin seketika.Memang kecelakaan yang dimaksud oleh Sarah, berbeda dengan "kecelakaan" yang dialami oleh Berlin. Namun, tetap saja wanita itu memang mengalami "kecelakaan" yang membuatnya harus menunda keinginan untuk
"Ayah, Ibu ingin berbicara sebentar!" Nyonya Sella menghampiri sang suami yang saat ini tengah sibuk membaca surat kabar sembari menyeruput kopi manis yang masih panas di tangannya.Tuan Wildan masih fokus pada surat kabarnya saat sang istri mendekat dan mengajak dirinya berbincang. "Apa? Katakan saja!" tukas Tuan Wildan.Nyonya Sella nampak tak sabar memberikan berita gembira pada sang suami mengenai kehamilan Berlin dan status mereka yang akan berubah menjadi kakek dan nenek. "Devan tidak lama lagi akan menjadi ayah!" ungkap Nyonya Sella dengan senyum sumringah.Tuan Wildan langsung menyemburkan kopinya begitu ia mendengar berita mengejutkan dari sang istri mengenai putra mereka. "Apa? Ibu tidak salah bicara, kan? Menjadi ayah apanya?" tanya Tuan Wildan dengan alis terangkat tinggi."Ayah tidak salah dengar! Memang benar kalau sebentar lagi Devan akan menjadi ayah. Pacarnya sedang hamil," jelas Nyonya Sella.Tuan Wildan memang tak mengetahui apa pun mengenai kegiatan sang putra, apa
Tok, tok! Pagi-pagi sekali, kediaman Tuan Mahesa sudah kedatangan tamu tak terduga yang berkunjung. Nyonya Firda terkejut bukan main saat ia melihat sesosok gadis yang muncul di depan pintu rumahnya. “SHEENA!” pekik Nyonya Firda kegirangan begitu ia melihat sosok sang putri yang mendadak kembali ke rumah mereka.Nyonya Firda memeluk Sheena dengan erat dan tanpa sadar, manik mata wanita paruh baya itu mulai berkaca-kaca. “Kenapa kau tidak menghubungi Ibu sama sekali? Ayah dan Ibu mencarimu ke mana-mana,” omel Nyonya Firda pada sang putri angkat.Sheena hanya diam tanpa banyak bicara. Vernon yang mengantarkan Sheena, melihat dari kejauhan saat gadis itu dipeluk erat oleh sang ibu. “Dugaan Sheena salah. Orang tua Berlin benar-benar menyayangi Sheena,” gumam Vernon. “Sheena sangat beruntung.”Nyonya Firda langsung menarik tangan Sheena untuk masuk ke dalam rumah dan memasak banyak makanan untuk sang putri. Sheena celingukan di dalam rumah, mencari sosok putri asli dari keluarga Mahesa. ‘K
Devan kini tengah menemani Berlin duduk di dalam kamar, usai Nyonya Firda berpamitan untuk pulang. Devan mengambilkan minuman hangat untuk Berlin dan mencoba menghibur wanita yang baru saja bertengkar dengan ibunya itu.Berita kehamilan Berlin ternyata semakin memperburuk keadaan dan memperumit hubungan antara Berlin dan Nyonya Firda. Devan nampak bingung bagaimana ia harus menghibur sang kekasih hati, sementara dirinya sendiri juga tak cukup akur dengan sang ibu.“Minum dulu, Berlin! Kau terlalu banyak berteriak,” ujar Devan menenangkan Berlin dengan cara yang basi.Berlin meraih cangkir minuman yang ada di tangan Devan dan menyeruput minuman hangat yang kekurangan gula itu. “Kau ini membenciku, ya? Kenapa minumannya tidak terasa manis?” protes Berlin pada Devan.“Benarkah?” Devan merebut cangkir yang ada di tangan berlin, kemudian mencicipi minuman dalam gelas tersebut. “Rasanya enak. Cukup manis,” sergah Devan.“Manis apanya? Rasanya seperti teh tawar. Hambar tidak berasa,” omel Be