2. Panggung baru

Hari masih menunjukkan pukul lima pagi hari, namun Berlin sudah bersiap dengan buku-buku serta sepatu tuanya.

Gadis itu mengenakan kemeja seadanya dan menggendong tas kecil berisi buku-buku yang akan dibawanya berkelana ke tempatnya menimba ilmu.

Alasan utama Berlin berangkat begitu pagi ke kampus adalah demi sarapan gratis berupa satu bungkus roti serta satu kotak susu yang disediakan oleh kampusnya setiap pagi.

"Jangan sampai aku kehabisan roti lagi!" gumam Berlin dengan semangat membara berlari menuju kampusnya yang berjarak kurang lebih dua kilometer dari apartemen tempatnya tinggal.

Berbeda dengan penampilannya yang menor dan memakai make up tebal di malam hari, busana yang dikenakan Berlin menuju kampus benar-benar berbanding terbalik dengan tampilannya saat berkencan dengan sugar daddy.

Pakaian Berlin di kampus sangatlah sederhana dan jauh dari kata modis. Gadis itu hanya mengenakan kemeja, dipadukan dengan jeans kumal yang warnanya sudah hampir pudar.

Berlin juga hanya mengikat rambutnya asal dan menyemprotkan parfum seadanya.

Tidak akan ada yang menyangka jika kutu buku kampus itu adalah seorang sugar baby yang sudah berulang kali menjadi simpanan pria tua hidung belang yang haus belaian.

"Fiuh!" Berlin menyeka keringatnya yang bercucuran di dahi begitu ia tiba di bangunan kampus tercinta.

Gadis itu langsung menyambar satu bungkus roti serta satu kotak susu yang masih terpajang dengan jumlah banyak. Melihat makanan yang tersedia dengan jumlah melimpah tentu membuat jiwa curang Berlin meronta.

Makhluk serakah yang kelaparan itu tentu ingin mengambil makanan gratis lebih banyak.

"Mas, uangnya jatuh!" ujar Berlin pada pria yang tengah menunggu stand penuh makanan itu.

Dengan polosnya, pria itu langsung menunduk dan celingukan mencari uang yang dimaksud oleh Berlin. 

Gadis itu bergegas mengambil beberapa roti dan susu lagi, kemudian menyimpannya rapat-rapat ke dalam tas sebelum ketahuan.

“Akhirnya aku bisa makan roti sepuasnya sampai kenyang,” sorak Berlin dalam hati.

Berlin segera melarikan diri meninggalkan stand makanan begitu ia berhasil membawa kabur banyak roti dan susu.

"Cih, dasar!" gumam seorang pria yang melihat tingkah Berlin dari kejauhan. Pria itu melihat dengan jelas kejahilan Berlin demi mendapatkan roti dan susu gratis.

Berlin masuk ke dalam ruang kelasnya yang sepi, kemudian menyantap sarapan paginya dengan lahap.

"Halo?"

Sembari mengunyah roti, gadis itu mengotak-atik ponselnya dan menghubungi seorang teman yang juga seorang sugar baby, sama seperti dirinya.

"Bisakah kau tidak menggangguku pagi buta begini?" omel teman Berlin, Sarah.

"Pagi buta apanya? Buka tirai jendela kamarmu! Matahari sudah tinggi!" sanggah Berlin.

"Ada perlu apa? Kalau tidak penting, akan langsung kututup!" tukas Sarah.

"Sangat penting! Aku sudah dicampakkan oleh Pak Tua itu! Semalam istrinya memergokiku," ungkap Berlin pada Sarah.

"Benarkah? Apa yang dilakukan istrinya padamu? Kau tidak dilempar dengan gelas kaca lagi, kan?" tanya Sarah panik.

"Tidak!"

"Kau tidak dijambak sampai rambutmu rontok lagi, kan?"

"Tidak!"

"Kau tidak dihajar oleh atlit karate lagi, kan?"

"Aku sangat beruntung karena istri pria tua itu bukan atlit karate! Aku hanya ditampar dengan tangan. Hanya itu," terang Berlin.

"Syukurlah!"

"Syukurlah apanya? Aku ditampar sampai gigiku hampir rontok!" sentak Berlin kesal.

"Bekas di pipiku juga belum hilang! Dan aku hanya mendapatkan uang jajan beberapa juta! Aku terancam kelaparan bulan ini!" jelas Berlin mendramatisir nasib malang yang menimpanya.

"Jadi, kau menghubungiku untuk mencari Daddy baru?" sindir Sarah.

"Aku tidak ingin pria miskin lagi! Tolong carikan aku bos besar yang mau membayar mahal!" pinta Berlin memelas.

"Bos besar apanya? Kalau aku berhasil menemukan bos besar, tentu aku akan menggaetnya sendiri. Untuk apa aku memberikan durian runtuh pada orang lain?" seloroh Sarah.

"Aku harus mengurus biaya sekolah anak-anak di panti," ungkap Berlin berusaha mencari simpati Sarah.

 "Dasar drama queen! Kau pikir aku akan termakan cerita sedihmu itu?" sindir Sarah.

"Tolong carikan aku uang baru secepatnya. Aku harus membawa ibu panti ke rumah sakit," tukas Berlin.

Sarah memijat kepalanya yang pening, mendengar ocehan Berlin yang sering mengungkapkan cerita sedih padanya.

"Berdandanlah yang cantik malam ini! Pakai gaun yang lebih bagus dan riasan yang lebih cantik!" ujar Sarah.

"Tentu! Aku tidak akan mengecewakanmu!" sambut Berlin bersemangat.

"Akhirnya dompetku akan terisi lagi," gumam Berlin mengharu biru menatap dompetnya yang sudah kosong karena ia sudah mengirimkan seluruh uang yang didapatkannya ke panti asuhan.

***

Warna jingga mulai menghiasi langit sore yang hendak merangkak menuju malam.

Berlin bergegas mengemasi bukunya dan bersiap untuk keluar ruangan usai kelas berakhir. Namun begitu ia sampai di pintu, tiba-tiba seorang pria bertubuh jangkung sengaja berdiri menghalangi jalan.

"Permisi," ucap Berlin sesopan mungkin.

Tapi bukannya menyingkir, pria itu justru mengikuti langkah Berlin dan sengaja menahan gadis itu.

"Ada yang bisa kubantu?" tanya Berlin masih berusaha bersikap sopan meskipun sebenarnya dia sudah jengkel.

Pria itu menarik tas Berlin dengan paksa dan membuka wadah mungil itu.

"Hei, apa yang kau lakukan?" sentak Berlin tak terima mendapatkan perlakuan kurang pantas dari pria yang tak dikenalnya itu.

"Rotinya sudah habis?" tanya pria itu.

Manik mata Berlin membulat lebar begitu ia mendengar kata "roti".

“Roti apa? Apa pria ini tahu kalau aku mengambil banyak roti tadi pagi?” jerit Berlin dalam hati.

"Pak Devandra," panggil seorang dosen pada pria yang berdiri di hadapan Berlin itu.

Berlin segera menjauh dari pria bernama Devandra itu dan berlari kabur melalui pintu lain.

Tubuhnya sudah berkeringat dingin bak pencuri yang tertangkap basah hanya karena roti dan satu kotak susu.

"Aku tidak akan masuk penjara hanya karena roti, kan?" gumam Berlin panik.

"Berliana Soraya! Jangan mencuri roti dan susu lagi! Ambil saja satu, bocah nakal!" pekik Devandra pada Berlin yang sudah berlari menjauh.

"Astaga, memalukan sekali!" gerutu Berlin sembari menutup wajah malunya dengan kedua telapak tangan.

Hanya dalam waktu kurang dari sepuluh menit, gadis itu sudah kembali dengan selamat ke apartemen miliknya.

"Lupakan saja pria tadi! Pria itu tidak mungkin memenjarakanku hanya karena roti, kan?" gumam Berlin masih terus gelisah memikirkan pria yang memergokinya mengambil banyak roti dan susu gratis.

"Lupakan saja, Berlin! Lebih baik sekarang aku segera bersiap menjemput dompet baruku!"

Hari sudah mulai gelap. Berlin lekas bersiap dengan pakaian minim serta make up tebal untuk mencari mangsa baru.

Gadis itu mengenakan gaun termahal yang ia miliki serta riasan natural yang tidak terlihat menor namun tetap menawan.

"Tidak terlalu menor, kan?" gumam Berlin memandangi cermin yang memantulkan rupa ayunya dengan riasan wajah tipis.

Dilengkapi dengan sepatu hak tinggi yang menunjang kaki jenjangnya, Berlin berjalan dengan percaya diri menuju tempatnya membuat janji dengan Sarah.

"Kau dimana?" tanya Berlin pada Sarah melalui telepon.

"Aku ada di bar pusat kota. Aku akan menjemputmu," ujar Sarah.

"Menjemput dengan taksi?" ledek Berlin.

"Lihat saja nanti!"

Berlin menunggu di pinggir jalan bersama nyamuk yang terus berlalu lalang mencoba untuk hinggap di kulit putih gadis cantik itu. 

Gadis muda itu terus celingukan di jalanan yang sepi hingga akhirnya sebuah ferrari california berwarna hitam melaju perlahan menuju ke arahnya.

Berlin menatap mobil mewah itu dengan mata melotot dan mulut menganga. Begitu pintu kendaraan terbuka, seorang pria bertubuh tegap dan berparas tampan keluar dari kendaraan mahal itu.

Pria itu melempar senyum tipis pada gadis cantik yang menatapnya tanpa berkedip.

"Berlin?" tanya pria itu.

Berlin menatap wajah pria itu dengan seksama. “Kenapa wajahnya familiar sekali?” batin Berlin.

"Seharusnya temanku yang menjemput kemari. Tapi karena aku berada di sekitar sini, jadi aku menawarkan diri untuk menjemputmu," ujar pria itu dengan sopan.

“Bukankah dia ... pria yang memergokiku mencuri roti tadi?” jerit Berlin dalam hati.

***