“Iya, Dik. Sudah beberapa hari ini Mas nggak ke kantor jadi banyak perkerjaan yang harus segera diselesaikan.” Andri menjawab sambil memeluk pinggang Nuri sebentar. “Mas nanti sarapannya di kantor aja. Oiya, jam berapa ke sekolah Aldy?” lanjutnya.“Setelah ini mau langsung ke sana, Mas. Kalau kesiangan takutnya Nanda bangun dan minta ikut," jawab Nuri.“Ya sudah sampaikan salamku pada Aldy, ya. Katakan padanya Insya Allah Papanya yang akan menjemputnya nanti jika kegiatan mabitnya sudah selesai. Mas berangkat, ya.”Nuri mengangguk kemudian mencium punggung tangan suaminya.Selesai menyantap pancake buatannya, Nuri masuk ke kamar Nanda, putri kecilnya itu terlihat masih tertidur pulas. Nuri menciumnya sesaat kemudian berjalan kembali ke dapur. Terlihat Bi Ina lagi mencuci peralatan makan di wastafel.“Bi titip Nanda, ya. Kalau Bibi masih nggak enak badan nggak usah kerjain perkerjaan rumah dulu. Biar nanti saya yang kerjain. Saya mau ke sekolah Aldy dulu mengantar beberapa barang pesan
“Kok nggak bilang-bilang mau kesini, Ri?" Andin mengerutkan keningnya.“Kebetulan lewat sini, Din. Jadi sekalian mampir. Aku tadi dari sekolah Aldy nganterin barang-barangnya untuk keperluan mabit,” sahut Nuri.Andin menatap tajam pada Nuri, dia merasa ada yang aneh pada sahabatnya ini. Tidak biasanya Nuri tiba-tiba muncul di depan rumahnya, meskipun Nuri sudah memberi alasan. Terlebih Andin tau sahabatnya ini habis menangis, terlihat dari matanya yang masih sembab.“Jangan melotot gitu, Din. Kalo nggak suka langsung usir aja.”“Kamu kenapa? Aku tidak menerima jawaban ‘aku baik-baik’ saja. Aku tau kamu sedang berusaha menahan tangismu."Seketika air mata Nuri luruh, tangisnya tak bisa dibendungnya lagi. Andin segera memeluknya.“Menangislah jika kamu ingin menangis, Ri. Jangan dipendam itu tidak baik untuk jiwamu."Nuri pun semakin terisak, Andin membiarkannya, ia duduk di samping Nuri sambil mengusap-usap pundaknya. Setelah tangisannya mulai reda, Andin mengambil posisi duduk di kurs
Nuri sedang menemani Nanda bermain di ruang keluarga ketika mendengar suara mobil Andri memasuki garasi rumahnya.“Assalamualikum.” Andri melangkah masuk sambil mengucapkan salam.“Walaikumsalam," jawab Nuri tanpa menoleh.Andri membungkuk menghampiri Nanda kemudian mencium kepala Nanda sambil menggelitik gadis kecil itu. Nanda mengulurkan tangannya meminta Andri menggendongnya, Andri pun meraih tubuh gadis kecilnya itu dan menggendong nya mengelilingi ruangan. Nuri hanya diam melihatnya, biasanya saat suaminya pulang dia akan langsung menyambut dan mencium punggung tangan suaminya, namun kali ini Nuri bergeming. Kejadian tadi pagi masih terbayang di kepalanya. Sesaat kemudian Andri meletakkan Nanda kembali di samping Nuri. Andri mengusap kepala Nuri setelah meletakkan Nanda, Nuri tetap diam. Berbagai kalimat sudah tersusun rapi dalam hatinya, namun tak satupun kata yang keluar dari bibirnya.“Mas hanya ingin memberi sedikit perhatian padanya agar dia tidak merasa sendiri, Dik.” And
“Laki-laki macam apa kamu. Bapak tak pernah mengajarimu menyakiti wanita seperti ini. Kurang apa istrimu sehingga kau berani menikah lagi?”“Ceritanya panjang, Pak.”PLAKK!! Pak Maulana kembali melayangkan tamparannya ke wajah Andri.“Apa kamu sudah merasa jadi laki-laki hebat sehingga berani berpoligami hahh!”“Sudah, Pak ... sudah ... mari kita bicarakan baik-baik.” Bu Susi melerai suaminya sambil menangis.“Dia sudah mempermalukan kita, Bu. Kurang apa Nuri sebagai istri sehingga anak ini berani menikah lagi,” kata Pak Maulana sambil mengusap dadanya dan menghempaskan tubuhnya ke sofa.Mereka berempat terdiam beberapa saat, tenggelam dalam pikiran masing-masing. Hanya terdengar sesekali isak tangis Nuri dan Bu Susi.“Siapa perempuan itu?” suara tegas Pak Maulana kembali terdengar.“Namanya Rini, Pak. Dia sahabatnya Nuri,” jawab Andri pelan.Suara isak tangis Nuri semakin terdengar nyaring ketika Andri menyebut nama Rini. Bu Susi membelai dan menepuk-nepuk pundak Nuri berusaha menena
“Kau lihat, belum apa-apa kau sudah membuat anakmu harus menanggung akibat dari kebodohanmu.” Pak Maulana kembali menatap Andri. “Kau ceraikan perempuan itu sekarang juga, Bapak tidak mau melihat rumah tangga kalian hancur,” lanjutnya.“Tidak, Pak,” sergah Nuri“Nuri yang akan mundur, Pak. Mas Andri tidak boleh begitu saja menceraikan Rini. Dia harus bertanggung jawab dengan keputusannya menikahi Rini,” sambung Nuri tegas.Andri menatap sayu mata Nuri, terlihat luka yang sangat dalam di hatinya mendengar kalimat Nuri. Nuri pun menatap mata suaminya itu dengan tatapan sendu. Mereka berdua saling menatap dengan luka di hati masing-masing.“Mas, mungkin kita memang ditakdirkan hanya sampai di sini. Jagalah Rini sebagaimana amanah ibunya padamu. Jadikanlah dia istrimu satu-satunya, karena sejatinya tidak ada wanita yang mau dijadikan yang kedua, Mas.” Nuri berucap lembut menggenggam tangan Andri sambil berpindah memilih berlutut di depan Andri yang sedang duduk di sofa. Andri segera memb
“Ibu .…” Nuri kembali menumpahkan tangisnya ketika Bu Aisyah mendekapnya.Bu Aisyah hanya terdiam memeluk dan membelai rambut anaknya itu, sedangkan Pak Maulana dan Bu Susi hanya diam dan sesekali menyeka air matanya.“Maafkan kami yang sudah gagal mendidik putra kami Bu Asiyah,” kata pak Maulana.“Tidak perlu menyalahkan siapa-siapa, Pak. Mungkin memang seperti ini garis hidup yang harus dilalui oleh putri saya.” Bu Aisyah menjawab dengan suara pelan. “Bersedihlah secukupnya, Nak. Kemudian hadapilah semua suratan ini dengan tegar dan berpasrah pada-Nya. Jangan terlalu banyak menangis dan menyesali, yakinlah bahwa Allah tidak akan mengujimu diluar kemampuanmu. Allah tau kamu mampu, Allah tau kamu bisa melaluinya. Insya Allah akan ada hadiah yang indah dari-Nya jika kau menjalani semua ini dengan ikhlas,” sambung Bu Aisyah kemudian sambil terus membelai rambut Nuri.Kata-kata bu Aisyah sedikit membuat tangisan Nuri berangsur-angsur mereda. Dengan lembut Bu Aisyah kemudian mengajak Nuri
Pak Maulana dan Bu Susi memang tinggal di Medan. Pak Maulana merupakan pensiunan TNI dan sudah lama bertugas di sana. Mereka memilih tetap tinggal di Medan setelah pensiun karena sudah merasa cocok dengan lingkungan di sana. Selepas pensiun, beliau menjalankan usaha perkebunan sawit di sana dan usaha itu masih berjalan hingga sekarang.“Insya Allah, Pak. Nuri tidak akan memutuskan tali silaturahmi.”“Mas, hari Kamis nanti kegiatan mabit Aldy selesai. Tolong mas jemput Aldy di sekolahnya ya. Sebelum berangkat nanti aku juga akan mampir sebentar kesana dan mengabarinya jika kami akan berada di kampung ibu untuk beberapa hari.”“Iya, Dik. Mas mau bicara denganmu sebentar. Boleh?”“Tunggulah di ruang depan mas, nanti Nuri menyusul,” jawab Nuri“Dik, mengenai Aldy, biar Mas yang memberi tau padanya tentang kondisi kita sekarang.” Andri berkata lirih sambil menatap mata Nuri saat mereka berdua sudah di ruang depan.“Iya, Mas. Begitu lebih baik. Aldy adalah gambaran dirimu dan selama ini Ma
“Saya tadi pagi kedatangan tamu bulanan Bi, jadi nggak sholat. Biar saya yang jagain Nanda.”“Baik, Bu,” kata bi Ina kemudian membuka pintu mobil menyusul Bu Aisyah yang sudah terlebih dahulu berjalan menuju mesjid.Nuri termenung sendiri di dalam mobilnya, ia menoleh kebelakang melihat putrinya yang tengah tertidur pulas, Nuri membetulkan letak selimut Nanda dan menatap sayu wajah putrinya. Melihat wajah putrinya yang tengah tertidur membuat hatinya kembali merasa nyeri.“Maafkan Mama tidak bisa memberikan keluarga yang sempurna bagimu, Nak,” batin Nuri.Air matanya kembali mengalir ketika dari tape mobilnya mengalun indah lagu “Kamu dan Kenangan” lewat lantunan suara merdu Maudy Ayunda. Lirik lagunya yang sangat dalam membuat Nuri kembali menagis terisak seorang diri.Walau masih bisa senyumNamun tak selepas duluKini aku kesepian…Kamu dan segala kenanganMenyatu dalam waktu yang berjalanDan aku kini sendirianMenatap dirimu hanya bayanganTak ada yang lebih pedihDaripada kehila