“Maaf, Pak. Saya ketiduran lagi tadi setelah subuhan,” kataku ketika melihat Pak Andri menatapku yang masih mengenakan mukena. “Silahkan masuk, Pak. Maaf saya mandi dan ganti baju dulu.”“Aku tadi khawatir banget Rin kamu nggak buka pintu padahal aku sudah mengetuk pintunya berkali-kali.” Dia menatapku.“Jangan berlebihan, Pak. Aku tidak akan mengulangi kesalahan yang sama," jawabku, aku tau apa yang ada dipikirannya. Pak Andri pasti sedang memikirkan kejadian dulu saat aku melukai nadiku.“Alhamdulillah kalau begitu Rin, aku agak tenang mendengarnya.”“Aku cuma tidak bisa tidur tadi malam, Pak. Ada beberapa hal yang mengganggu pikiranku."“Apa aku termasuk salah satunya?”Aku tersentak, mukaku terasa panas. Kurasa Pak Andri melihat perubahan ekspresiku.“Mukamu merah, Rin. Itu artinya tebakanku benar. Jangan terlalu dipikirkan Rin, kita jalani saja seperti air mengalir. Akupun tidak bisa menjanjikan apa-apa padamu karena aku sendiripun tidak tau akan seperti apa kedepannya. Mintalah
“Iya, Dik. Sudah beberapa hari ini Mas nggak ke kantor jadi banyak perkerjaan yang harus segera diselesaikan.” Andri menjawab sambil memeluk pinggang Nuri sebentar. “Mas nanti sarapannya di kantor aja. Oiya, jam berapa ke sekolah Aldy?” lanjutnya.“Setelah ini mau langsung ke sana, Mas. Kalau kesiangan takutnya Nanda bangun dan minta ikut," jawab Nuri.“Ya sudah sampaikan salamku pada Aldy, ya. Katakan padanya Insya Allah Papanya yang akan menjemputnya nanti jika kegiatan mabitnya sudah selesai. Mas berangkat, ya.”Nuri mengangguk kemudian mencium punggung tangan suaminya.Selesai menyantap pancake buatannya, Nuri masuk ke kamar Nanda, putri kecilnya itu terlihat masih tertidur pulas. Nuri menciumnya sesaat kemudian berjalan kembali ke dapur. Terlihat Bi Ina lagi mencuci peralatan makan di wastafel.“Bi titip Nanda, ya. Kalau Bibi masih nggak enak badan nggak usah kerjain perkerjaan rumah dulu. Biar nanti saya yang kerjain. Saya mau ke sekolah Aldy dulu mengantar beberapa barang pesan
“Kok nggak bilang-bilang mau kesini, Ri?" Andin mengerutkan keningnya.“Kebetulan lewat sini, Din. Jadi sekalian mampir. Aku tadi dari sekolah Aldy nganterin barang-barangnya untuk keperluan mabit,” sahut Nuri.Andin menatap tajam pada Nuri, dia merasa ada yang aneh pada sahabatnya ini. Tidak biasanya Nuri tiba-tiba muncul di depan rumahnya, meskipun Nuri sudah memberi alasan. Terlebih Andin tau sahabatnya ini habis menangis, terlihat dari matanya yang masih sembab.“Jangan melotot gitu, Din. Kalo nggak suka langsung usir aja.”“Kamu kenapa? Aku tidak menerima jawaban ‘aku baik-baik’ saja. Aku tau kamu sedang berusaha menahan tangismu."Seketika air mata Nuri luruh, tangisnya tak bisa dibendungnya lagi. Andin segera memeluknya.“Menangislah jika kamu ingin menangis, Ri. Jangan dipendam itu tidak baik untuk jiwamu."Nuri pun semakin terisak, Andin membiarkannya, ia duduk di samping Nuri sambil mengusap-usap pundaknya. Setelah tangisannya mulai reda, Andin mengambil posisi duduk di kurs
Nuri sedang menemani Nanda bermain di ruang keluarga ketika mendengar suara mobil Andri memasuki garasi rumahnya.“Assalamualikum.” Andri melangkah masuk sambil mengucapkan salam.“Walaikumsalam," jawab Nuri tanpa menoleh.Andri membungkuk menghampiri Nanda kemudian mencium kepala Nanda sambil menggelitik gadis kecil itu. Nanda mengulurkan tangannya meminta Andri menggendongnya, Andri pun meraih tubuh gadis kecilnya itu dan menggendong nya mengelilingi ruangan. Nuri hanya diam melihatnya, biasanya saat suaminya pulang dia akan langsung menyambut dan mencium punggung tangan suaminya, namun kali ini Nuri bergeming. Kejadian tadi pagi masih terbayang di kepalanya. Sesaat kemudian Andri meletakkan Nanda kembali di samping Nuri. Andri mengusap kepala Nuri setelah meletakkan Nanda, Nuri tetap diam. Berbagai kalimat sudah tersusun rapi dalam hatinya, namun tak satupun kata yang keluar dari bibirnya.“Mas hanya ingin memberi sedikit perhatian padanya agar dia tidak merasa sendiri, Dik.” And
“Laki-laki macam apa kamu. Bapak tak pernah mengajarimu menyakiti wanita seperti ini. Kurang apa istrimu sehingga kau berani menikah lagi?”“Ceritanya panjang, Pak.”PLAKK!! Pak Maulana kembali melayangkan tamparannya ke wajah Andri.“Apa kamu sudah merasa jadi laki-laki hebat sehingga berani berpoligami hahh!”“Sudah, Pak ... sudah ... mari kita bicarakan baik-baik.” Bu Susi melerai suaminya sambil menangis.“Dia sudah mempermalukan kita, Bu. Kurang apa Nuri sebagai istri sehingga anak ini berani menikah lagi,” kata Pak Maulana sambil mengusap dadanya dan menghempaskan tubuhnya ke sofa.Mereka berempat terdiam beberapa saat, tenggelam dalam pikiran masing-masing. Hanya terdengar sesekali isak tangis Nuri dan Bu Susi.“Siapa perempuan itu?” suara tegas Pak Maulana kembali terdengar.“Namanya Rini, Pak. Dia sahabatnya Nuri,” jawab Andri pelan.Suara isak tangis Nuri semakin terdengar nyaring ketika Andri menyebut nama Rini. Bu Susi membelai dan menepuk-nepuk pundak Nuri berusaha menena
“Kau lihat, belum apa-apa kau sudah membuat anakmu harus menanggung akibat dari kebodohanmu.” Pak Maulana kembali menatap Andri. “Kau ceraikan perempuan itu sekarang juga, Bapak tidak mau melihat rumah tangga kalian hancur,” lanjutnya.“Tidak, Pak,” sergah Nuri“Nuri yang akan mundur, Pak. Mas Andri tidak boleh begitu saja menceraikan Rini. Dia harus bertanggung jawab dengan keputusannya menikahi Rini,” sambung Nuri tegas.Andri menatap sayu mata Nuri, terlihat luka yang sangat dalam di hatinya mendengar kalimat Nuri. Nuri pun menatap mata suaminya itu dengan tatapan sendu. Mereka berdua saling menatap dengan luka di hati masing-masing.“Mas, mungkin kita memang ditakdirkan hanya sampai di sini. Jagalah Rini sebagaimana amanah ibunya padamu. Jadikanlah dia istrimu satu-satunya, karena sejatinya tidak ada wanita yang mau dijadikan yang kedua, Mas.” Nuri berucap lembut menggenggam tangan Andri sambil berpindah memilih berlutut di depan Andri yang sedang duduk di sofa. Andri segera memb
“Ibu .…” Nuri kembali menumpahkan tangisnya ketika Bu Aisyah mendekapnya.Bu Aisyah hanya terdiam memeluk dan membelai rambut anaknya itu, sedangkan Pak Maulana dan Bu Susi hanya diam dan sesekali menyeka air matanya.“Maafkan kami yang sudah gagal mendidik putra kami Bu Asiyah,” kata pak Maulana.“Tidak perlu menyalahkan siapa-siapa, Pak. Mungkin memang seperti ini garis hidup yang harus dilalui oleh putri saya.” Bu Aisyah menjawab dengan suara pelan. “Bersedihlah secukupnya, Nak. Kemudian hadapilah semua suratan ini dengan tegar dan berpasrah pada-Nya. Jangan terlalu banyak menangis dan menyesali, yakinlah bahwa Allah tidak akan mengujimu diluar kemampuanmu. Allah tau kamu mampu, Allah tau kamu bisa melaluinya. Insya Allah akan ada hadiah yang indah dari-Nya jika kau menjalani semua ini dengan ikhlas,” sambung Bu Aisyah kemudian sambil terus membelai rambut Nuri.Kata-kata bu Aisyah sedikit membuat tangisan Nuri berangsur-angsur mereda. Dengan lembut Bu Aisyah kemudian mengajak Nuri
Pak Maulana dan Bu Susi memang tinggal di Medan. Pak Maulana merupakan pensiunan TNI dan sudah lama bertugas di sana. Mereka memilih tetap tinggal di Medan setelah pensiun karena sudah merasa cocok dengan lingkungan di sana. Selepas pensiun, beliau menjalankan usaha perkebunan sawit di sana dan usaha itu masih berjalan hingga sekarang.“Insya Allah, Pak. Nuri tidak akan memutuskan tali silaturahmi.”“Mas, hari Kamis nanti kegiatan mabit Aldy selesai. Tolong mas jemput Aldy di sekolahnya ya. Sebelum berangkat nanti aku juga akan mampir sebentar kesana dan mengabarinya jika kami akan berada di kampung ibu untuk beberapa hari.”“Iya, Dik. Mas mau bicara denganmu sebentar. Boleh?”“Tunggulah di ruang depan mas, nanti Nuri menyusul,” jawab Nuri“Dik, mengenai Aldy, biar Mas yang memberi tau padanya tentang kondisi kita sekarang.” Andri berkata lirih sambil menatap mata Nuri saat mereka berdua sudah di ruang depan.“Iya, Mas. Begitu lebih baik. Aldy adalah gambaran dirimu dan selama ini Ma
“Bang, pulang yuk! Kita nggak dianggap di sini. Dunia serasa milik mereka berdua tuh.” Andin menyebikkan bibirnya sambil menoleh pada Rizal.“Jangan pulang dulu dong, Ndin. Aku boleh minta sesuatu nggak?” tanya Nuri.“Apaan? Asal jangan meminta bayi dalam kandunganku. Kamu kan udah dapat bonus bayi dari Mas Andri.”“Sayang!” Rizal menegur lembut istrinya sambil menggelengkan kepalanya. Dia takut Andri tersinggung dengan ucapan istrinya.“Nggak apa-apa. Aku sangat terhibur dengan kalian berdua,” ucap Andri yang mengerti maksud Rizal.“Jadi minta apa, Ri?” tanya Andin.“Untuk beberapa hari kedepan bisa nggak kalian menginap di sini dulu menemani Ibu dan anak – anak.”“Maksud kamu, Ri?”“Aku dan Mas Andri berencana untuk berlibur keluar kota beberapa hari.”“Jadi kamu setuju, Dik?” tanya Andri dengan tatapan berbinar –binar.“Iya, Mas. Semoga anak-anak juga mengizinkan, ya.”“Wuihhh, aku cemburu pada kalian berdua. Yang pengantin baru siapa yang bulan madu siapa!” Andin kembali mengerucu
“Tapi kita bukan pasangan pengantin baru, Mas.” Protes Nuri. Wajahnya sedikit bersemu merah menerima tatapan menggoda dari suaminya.“Bagiku kita adalah pengantin baru, Sayang. Dan akan selalu begitu. Kita akan menjalani hari-hari kedepan seperti pengantin baru setiap harinya. Kamu mau kan?” Andri menarik mengencangkan pelukannya di bahu Nuri yang membuat tubuh wanita itu masuk kedalam dekapannya. Andri mencium pucuk kepala Nuri. “Boleh minta lagi nggak?” tanyanya mengedipkan mata.“Aku ke sini buat manggil sarapan, Mas. Ayo, sepertinya yang lain sudah menunggu kita.” Nuri menjauhkan tubuhnya. Dia pun sebenarnya susah payah menahan hasratnya untuk tetap berada dalam dekapan hangat suaminya.“Ah, padahal aku ingin sarapan yang lain.” Andri masih menggodanya.“Udah ah, Mas!”“Makanya kamu ambil cuti ya, Dik. Kita liburan berdua.”“Kita bicarakan nanti ya, Mas. Yuk, sarapan dulu.” “Morning kiss dulu, dong,” pinta Andri memajukan bibirnya.Cup! Nuri mengecupnya sekilas. Mata Andri berbin
Kembali Andri dan Nuri tak sanggup menahan keharuan ketika mereka bersujud dalam salat, sajadah keduanya basah dengan air mata penuh rasa syukur atas semua yang sudah mereka lalui.“Aku mencintaimu, Nuri-ku. Perasaanku tidak pernah berkurang meski takdir memisahkanku darimu,” ucap Andri lembut dan memberi kecupan pada kening Nuri setelah mereka melewati malam panjang berdua.“Aku juga mencintaimu, Mas,” jawab Nuri manja sambil menyandarkan kepalanya di dada lelaki yang tak pernah pergi dari hatinya itu.“Sarapan apa pagi ini, Bi?” tanya Nuri pada Bi Ina yang sedang sibuk di dapur.“Ini lagi bikin nasi goreng, pancake dan roti bakar, Bu.”“Ooh, ada yang pesan nasi goreng, Bi? Nggak biasanya sarapan nasi goreng.”“Nggak ada yang pesan, Bu. Bibi hanya membuat nasi goreng kesukaan Pak Andri.”Nuri tersenyum. Beruntung sekali dia dulu menerima Bi Ina ketika seorang keluarga jauhnya merekomendasikan Bi Ina saat Nuri sedang mencari tenaga ART. Bi Ina orang yang jujur, baik dan sangat menyaya
Andri mengetuk pintu kamar Nuri kemudian membukanya perlahan. Nuri yang sedang merapikan beberapa barang diatas meja riasnya menoleh ke arah pintu dan tersenyum melihat kehadiran Andri di sana.“Silakan masuk, Mas. Maaf aku masih merapikan beberapa barang yang tadi berantakan di sini,” ucapnya.“Mau kubantu, Dik?” tanya Andri.“Nggak usah, Mas. Sebentar lagi beres kok. Oiya, ibu masih nginap di sini?”“Ibu sudah pulang ke rumah, Dik. Katanya nggak bawa baju ganti jadi tadi minta antar pulang. Maaf nggak sempatin pamit, tadi ibu nyari kamu untuk berpamitan tapi sepertinya kamu sedang mandi tadi.”“Oh, nggak apa-apa, Mas. Insya Allah besok kita jemput ibu lagi ke sana. Kasian beliau sendirian di sana.”“Iya, Dik. Besok aku ada janji dengan perawat Bilqis juga dan ibu juga ingin ikut menengok Bilqis.”Nuri mengangguk tersenyum. “Besok kita ke sana bersama-sama ya, Mas.”“Teririma kasih, Sayang,” ucap Andri dengan suara serak. Nuri tersipu malu mendengar kata ‘sayang’ bibir lelaki itu. P
Rizal tersenyum bahagia melihat kebahagiaan yang terpancar di wajah Nuri. 'Aku akan menebus kesalahanku padamu dengan menjaga Nuri, Ayah. Aku melihat senyummu di balik senyumannya,' batin Rizal. Setelah tamu satu persatau mulai meninggalkan rumah Nuri, Andri dan Nuri yang sedang duduk bersantai di ruang tengah terkejut dengan kemunculan Bi Ina dengan deraian air mata di sana.Bi Ina sedari tadi tidak kelihatan diantara para tamu karena sibuk di belakang. Dengan deraian air matanya, Bi Ina memberi selamat pada kedua majikan yang begitu dihormatinya itu.“Bi Ina kok nangis gitu? Nggak suka saya balik ke rumah ini lagi?” tanya Andri sengaja bercanda. Dia tau Bi Ina dari dulu sangat berharap dia kembali ke rumah ini. Bi Ina bahkan beberapa kali menangis memohon padanya agar majikannya itu kembali bersama seperti dulu lagi.“Tidak, Pak. Justru sebaliknya saya sangat bahagia. Saya bahagia melihat keluarga Pak Andri dan Bu Nuri kembali bersatu. Ini adalah impian saya selama ini. Saya hanya
Andri dan Nuri serta Aldy dan Nanda masih berkeliling menyapa semua keluarga mereka yang hadir di rumah Nuri. Bu Susi yang dari tadi hanya diam menyaksikan semua yang terjadi di sana memeluk Nuri dengan erat ketika Nuri dan Andri serta kedua anak mereka menghampirinya.Tak ada kata yang keluar dari bibir wanita tua itu, hanya terdengar tangisan lirih membungkus keharuan yang dirasakannya. Nuri pun kembali menitikkan air mata harunya dalam dekapan ibu mertuanya itu.“Ibu tak bisa berkata apa-apa, Nak. Kebahagiaan yang ibu rasakan tak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Pemandangan ini membuat perasaan ibu sesak dengan rasa bahagia. Sayang sekali Bapak dan adikmu Nindya tak bisa menyaksikan ini,” ucap Bu Susi sambil menyeka air matanya.“Iya, Bu. Kita akan mengabari Bapak dan Nindya nanti,” sahut Nuri lembut.“Terima kasih, Bu. Andri yakin ini semua juga tak lepas dari doa – doa ibu selama ini. Terima kasih untuk selalu meminta kebahagiaan anakmu ini dalam setiap doamu Ibu,” ucap Andri d
Andri terpaku mendengar ucapan Nuri, ucapan Nuri membuatnya merasa terbang ke awan – awan. Hatinya yang tadinya sesak dengan kepedihan kini berganti sesak dengan kebahagiaan.Begitu mudahnya Allah membolak – balikkan keadaan dan hati seseorang, maka sesungguhnya kita hanya perlu berpasrah pada ketentuan-Nya. Kun Fayakun, tidak ada satu hal pun yang mustahil bagi Allah jika Dia menghendakinya.Setelah semuanya setuju, Andri duduk dengan gagahnya menggantikan posisi yang tadinya diisi Adit. Kemeja kuning pucat hadiah dari Nuri yang dikenakannya tampak serasi dengan kebaya putih kombinasi kuning gading yang digunakan Nuri.Jika dilihat sekilas, tidak akan ada yang menyangka jika posisi Andri ada di sana untuk menggantikan Adit. Semua tampak serasi, seperti telah direncanakan dengan sempurna. Ya, semua rencana Allah. Itulah yang membuat semua terlihat sempurna.“Andri Firmansyah, saya nikahkan dan kawinkan engkau dengan adik kandung saya yang bernama Nuri Wulandari binti Muhammad Rasyid d
Ayah Andin, yang merupakan pemuka agama khusus datang dari Kalimantan memenuhi undangan anak dan menantunya untuk memberi khutbah dan wejangan pada calon pengantin. Jantung Adit berdegup kencang ketika tiba saatnya Rizal menatap tajam padanya dan menggenggam erat tangannya, sedangkan Nuri hanya duduk tertunduk di sampingnya sambil sesekali menghela napas pelan.“Danis Raditya, saya nikahkan dan kawinkan engkau dengan adik kandung saya yang bernama Nuri Wulandari binti Muhammad Rasyid dengan maskawinnya berupa uang sebesar Lima Ratus Ribu Rupiah dan seperangkat alat sholat dibayar TUNAI!”Hening. Tidak ada jawaban dari Adit. Ujung mata pria itu melirik pada sesosok pria di sudut ruangan yang tertunduk dengan bahu terguncang naik turun sambil memangku gadis kecil yang terlihat heran melihat pria itu menangis. Bola mata Adit menatap tajam pada Rizal kemudian kembali melirik ke sudut ruangan lalu melirik Nuri yang hanya menunduk dan menunggunya mengucapkan ijab kabul.Rizal menyipitkan m
Andri membuka lemari pakaiannya dan memilih kemeja berwarna kuning pucat yang merupakan kemeja favoritnya. Kemeja itu menjadi hadiah ulang tahun terakhir yang dihadiahkan Nuri padanya sebelum akhirnya takdir memisahkan mereka. Bu Aisyah, Aldy dan beberapa kerabat Nuri menyambut kehadiran Bu Susi dan Andri ketika mereka ibu dan anak itu tiba di sana. Bu Aisyah tampak ramah seperti biasanya mengajak Bu Susi mengobrol membicarakan beberapa hal. Sementara perhatian beberapa orang yang ada disana terpusat pada Andri ketika pria itu datang. Nuri hanya mengundang beberapa keluarga dekatnya, dan mereka semua yang ada disana mengetahui siapa Andri. Aldy yang menyambut kedatangan papanya mengajak Andri masuk kedalam rumah dan memilih menemani papanya itu duduk di pojok ruangan. Beberapa orang terlihat hilir mudik mempersiapkan keperluan acara. Rizal menghampiri Andri ketika melihat lelaki itu duduk di pojok ruangan ditemani Aldy. Rizal dan Andri terlibat perbincangan ringan beberapa saat sebe