“Aku tidak apa-apa, Pak. Aku hanya masih ingin di sini mengenang kebersamaanku dengan ibu di rumah ini. Pak Andri tidak usah mengkhawatirkanku.”“Tidak mungkin aku tidak mengkhawatirkanmu, Rin. Aku ... masih punya tanggungjawab padamu,” ujarku sambil menarik nafas.“Pulanglah, Pak. Mbak Nuri pasti sudah menunggu Bapak. Mbak Nuri pasti akan kepikiran jika Bapak masih di sini. Tolong beri aku waktu beberapa hari di rumah ini, Pak.”“Oke, kalau begitu bagaimana jika kamu kuberi waktu 2 malam di rumah ini. Aku sendiri akan menginap di rumah ibu, dan kita akan tetap pulang bersama kembali. Aku tak mungkin lepas tanggung jawab dengan meninggalkanmu disini. Aku yakin Nuri pasti akan mengerti."“Rini bisa pulang sendiri nanti, Pak. Tidak perlu menungguku, Bapak juga pasti punya banyak pekerjaan di kantor. Aku tidak mau menjadi beban, Pak.”“Tidak, Rin. Kamu harus tetap pulang bersamaku. Aku tetap pada pendirianku kuberi waktu 2 hari kamu di sini dan aku akan menginap di rumah ibu. Sudah janga
Kepergian ibu begitu membuatku terpukul, namun dibalik itu ada perasaan lain yang menelusup hatiku sesaat setelah kepergian ibu. Pelukan dan belaian pak Andri sewaktu menenangkanku tiba-tiba saja mengisi kekosongan dan kesedihan yang ditinggalkan ibu. Aku sendiri tidak mengerti persaaan apa yang tiba-tiba saja muncul di dalam hatiku, namun sungguh dekapannya membuatku merasa sangat nyaman. Bahkan pikiranku yang sangat kalut ketika dokter mengatakan ibu tak bisa diselamatkan bisa seketika menjadi tenang saat Pak Andri mendekapku.Lalu sekarang, Pak Andri bahkan rela menungguku di sini hanya agar aku bisa pulang kembali bersamanya, meskipun dia tidak menginap di rumah ibu. Namun ada perasaan sejuk menelusup di hatiku ketika dia terlihat peduli padaku. Lalu, aku harus bagaimana? Hubungan kami tidak sesederhana itu. Apa yang harus aku lakukan Ibu? Kepada siapa aku harus mengadu?***Hari ini, aku dan Pak Andri akan kembali pulang setelah Pak Andri memberiku waktu 2 hari berada di sini set
Tak pernah terlintas di pikiranku akan menikah dengan pria yang sudah beristri. Terlebih Pak Andri dan Mbak Nuri adalah orang yang paling kuhormati setelah kedua orang tuaku. Mbak Nuri adalah orang yang membelaku ketika beberapa orang mendatangi rumah ku dan ibu untuk menagih utang ayah, Mbak Nuri adalah orang yang menolongku dan kemudian membawaku kesini. Lewat mbak Nuri lah aku bisa bekerja di perusahaan pak Andri yang kemudian merubah hidupku menjadi lebih layak. Mbak Nuri sangat baik padaku, dia selalu berkata sudah menganggapku sebagai adiknya bahkan sahabatnya. Kami berdua adalah anak tunggal, itulah sebabnya aku menjadi cepat akrab dengan Mbak Nuri. Belakangan baru kuketahui bahwa Mbak Nuri mempunyai saudara laki-laki yang sedang menjalani hukuman penjara. Akupun tak mencari tau siapa dan mengapa kakak Mbak Nuri dipenjara. Mbak Nuri, kakak sekaligus sahabatku yang akhirnya kubuat menangis atas pernikahan tak terdugaku dengan suaminya, Pak Andri. Hatiku sangat sakit ketika dia m
“Saya buatkan minuman ya, Pak. Bapak mau minum apa?” tanyaku setelah kami berdua masuk ke dalam rumah.“Teh hangat aja Rin, gulanya dikit aja ya.”“Baik, Pak.”“Kamu mau ambil cuti berapa hari, Rin? Jangan terlalu lama ya. Tidak baik jika kamu di rumah aja melamun sendirian," katanya sambil menyeruput teh yang kubuatkan.“Iya, Pak. Senin depan Insya Allah aku sudah masuk kerja lagi .”Kami terdiam beberapa saat. Hanya terdengar suara air hujan yang turun dengan derasnya.“Aku pamit dulu ya, Rin. Kamu nggak apa-apa kan ditinggal sendiri. Jangan terlalu bersedih ya, jika kamu lagi mengingat ibumu lebih baik segera kirimkan doa padanya. Itu akan lebih berguna dari pada kamu terus menerus menangis atau bersedih.” Pak Andri berdiri dari duduknya.“Iya, Pak. Terima kasih sudah menemaniku sejauh ini. Aku tidak tau bagaimana jika nggak ada pak Andri,” jawabku. Entah mendapat keberanian dari mana tiba-tiba saja aku sudah memeluknya. Pak Andri pun balas memelukku serta menepuk-nepuk pundakku.
“Maaf, Pak. Saya ketiduran lagi tadi setelah subuhan,” kataku ketika melihat Pak Andri menatapku yang masih mengenakan mukena. “Silahkan masuk, Pak. Maaf saya mandi dan ganti baju dulu.”“Aku tadi khawatir banget Rin kamu nggak buka pintu padahal aku sudah mengetuk pintunya berkali-kali.” Dia menatapku.“Jangan berlebihan, Pak. Aku tidak akan mengulangi kesalahan yang sama," jawabku, aku tau apa yang ada dipikirannya. Pak Andri pasti sedang memikirkan kejadian dulu saat aku melukai nadiku.“Alhamdulillah kalau begitu Rin, aku agak tenang mendengarnya.”“Aku cuma tidak bisa tidur tadi malam, Pak. Ada beberapa hal yang mengganggu pikiranku."“Apa aku termasuk salah satunya?”Aku tersentak, mukaku terasa panas. Kurasa Pak Andri melihat perubahan ekspresiku.“Mukamu merah, Rin. Itu artinya tebakanku benar. Jangan terlalu dipikirkan Rin, kita jalani saja seperti air mengalir. Akupun tidak bisa menjanjikan apa-apa padamu karena aku sendiripun tidak tau akan seperti apa kedepannya. Mintalah
“Iya, Dik. Sudah beberapa hari ini Mas nggak ke kantor jadi banyak perkerjaan yang harus segera diselesaikan.” Andri menjawab sambil memeluk pinggang Nuri sebentar. “Mas nanti sarapannya di kantor aja. Oiya, jam berapa ke sekolah Aldy?” lanjutnya.“Setelah ini mau langsung ke sana, Mas. Kalau kesiangan takutnya Nanda bangun dan minta ikut," jawab Nuri.“Ya sudah sampaikan salamku pada Aldy, ya. Katakan padanya Insya Allah Papanya yang akan menjemputnya nanti jika kegiatan mabitnya sudah selesai. Mas berangkat, ya.”Nuri mengangguk kemudian mencium punggung tangan suaminya.Selesai menyantap pancake buatannya, Nuri masuk ke kamar Nanda, putri kecilnya itu terlihat masih tertidur pulas. Nuri menciumnya sesaat kemudian berjalan kembali ke dapur. Terlihat Bi Ina lagi mencuci peralatan makan di wastafel.“Bi titip Nanda, ya. Kalau Bibi masih nggak enak badan nggak usah kerjain perkerjaan rumah dulu. Biar nanti saya yang kerjain. Saya mau ke sekolah Aldy dulu mengantar beberapa barang pesan
“Kok nggak bilang-bilang mau kesini, Ri?" Andin mengerutkan keningnya.“Kebetulan lewat sini, Din. Jadi sekalian mampir. Aku tadi dari sekolah Aldy nganterin barang-barangnya untuk keperluan mabit,” sahut Nuri.Andin menatap tajam pada Nuri, dia merasa ada yang aneh pada sahabatnya ini. Tidak biasanya Nuri tiba-tiba muncul di depan rumahnya, meskipun Nuri sudah memberi alasan. Terlebih Andin tau sahabatnya ini habis menangis, terlihat dari matanya yang masih sembab.“Jangan melotot gitu, Din. Kalo nggak suka langsung usir aja.”“Kamu kenapa? Aku tidak menerima jawaban ‘aku baik-baik’ saja. Aku tau kamu sedang berusaha menahan tangismu."Seketika air mata Nuri luruh, tangisnya tak bisa dibendungnya lagi. Andin segera memeluknya.“Menangislah jika kamu ingin menangis, Ri. Jangan dipendam itu tidak baik untuk jiwamu."Nuri pun semakin terisak, Andin membiarkannya, ia duduk di samping Nuri sambil mengusap-usap pundaknya. Setelah tangisannya mulai reda, Andin mengambil posisi duduk di kurs
Nuri sedang menemani Nanda bermain di ruang keluarga ketika mendengar suara mobil Andri memasuki garasi rumahnya.“Assalamualikum.” Andri melangkah masuk sambil mengucapkan salam.“Walaikumsalam," jawab Nuri tanpa menoleh.Andri membungkuk menghampiri Nanda kemudian mencium kepala Nanda sambil menggelitik gadis kecil itu. Nanda mengulurkan tangannya meminta Andri menggendongnya, Andri pun meraih tubuh gadis kecilnya itu dan menggendong nya mengelilingi ruangan. Nuri hanya diam melihatnya, biasanya saat suaminya pulang dia akan langsung menyambut dan mencium punggung tangan suaminya, namun kali ini Nuri bergeming. Kejadian tadi pagi masih terbayang di kepalanya. Sesaat kemudian Andri meletakkan Nanda kembali di samping Nuri. Andri mengusap kepala Nuri setelah meletakkan Nanda, Nuri tetap diam. Berbagai kalimat sudah tersusun rapi dalam hatinya, namun tak satupun kata yang keluar dari bibirnya.“Mas hanya ingin memberi sedikit perhatian padanya agar dia tidak merasa sendiri, Dik.” And