Sofia sudah selesai memanggang semua adonan brownis. Kali ini dia membuat cukup banyak untuk dibagi-bagikan sekaligus berkenalan dengan tetangga sekitar rumah. Brownis yang baru saja dikeluarkan dari oven, didiamkan agar dingin terlebih dahulu. Baru dikemas ke dalam kardus yang sudah dibeli di pasar tadi.
Sembari menunggu brownis dingin, Sofia membereskan peralatan kotor untuk dicuci. Ia memang selalu membersihkan langsung perkakas kotor yang baru saja digunakan untuk memasak karena tidak suka melihat barang-barang yang kotor dan berantakan. Jiwanya tergelitik untuk segera membersihkan dan membereskannya setiap kali melihat barang-barang yang berserakan atau tidak tersimpan pada tempatnya.
Selesai mencuci, Sofia memeriksa brownis apakah sudah dingin. Setelah dirasa cukup dingin, Sofia memasukkan brownis ke dalam kardus yang sudah disiapkan. Lalu dimasukkan dalam tas plastik agar lebih mudah saat membawa.
Sofia segera berganti baju dan memoles wajah dengan mekap tipis-tipis agar tidak terlihat pucat. Mengoleskan alas bedak tipis sesuai warna kulit wajah lalu mengoleskan bedak tabur bayi secara merata. Terakhir memulas lipstik berwarna merah di bibir, lalu meratakannya dengan menyatukan bibir atas dan bawah. Setelah merasa cukup, Sofia segera berangkat dengan membawa dua kantong plastik berisi brownis yang rencananya akan diberikan kepada Bu Lisa dan Bu Tari yang rumahnya paling dekat.
Sofia pergi ke rumah Bu Lisa terlebih dahulu, yang rumahnya terletak di sebelah kiri. Setelah itu baru ke rumah Bu Tari yang rumahnya tepat berada di depan rumah di seberang jalan. Sofia sudah bertemu dengan keduanya saat belanja sayur tadi pagi.
“Semoga saja mereka ada di rumah,” pikir Sofia dalam hati saat hendak berangkat tadi.
Sofia segera mengetuk pintu dan mengucapkan salam begitu sampai di rumah Bu Lisa. Terdengar jawaban dari dalam rumah diikuti langkah kaki yang mendekat. Saat pintu terbuka terlihat Bu Lisa mengenakan daster batik dengan rambut diikat. Seluruh wajahnya tertutup dengan masker sehingga hanya terlihat mata dan bibir saja.
“Eh, Mbak Sofia,” sapa Bu Lisa begitu membuka pintu dan melihat Sofia, “Mari masuk, ada Bu Tari juga loh di dalam. Silakan duduk.”
“Iya, Bu. Ini ada brownis, buatanku sendiri. Semoga Bu Lisa suka.” Sofia menyerahkan salah satu kantong plastik yang dibawa lalu duduk di sofa empuk berwarna coklat milik Bu Lisa.
“Aduh kok repot-repot Mbak Sofi, terima kasih loh. Oh ya kupanggilkan Bu Tari dulu sebentar biar sekalian gabung di sini.” Bu Lisa masuk ke dalam rumah dengan membawa brownis pemberian Sofia.
Sofia melihat-lihat sekeliling. Tampak foto keluarga Bu Lisa yang dipajang di dinding dan beberapa foto bersama keluarga dalam berbagai kegiatan. Saat putranya yang besar lulus kuliah dan beberapa kegiatan lainnya. Beberapa buku tampak tertata rapi dalam lemari kaca di pojok ruangan serta beberapa trofi tertata rapi di bawah deretan buku.
Terdengar langkah kaki mendekat dari dalam saat Sofia selesai memindai seisi ruang tamu. Bu Tari berjalan mendekat dengan wajah yang tampak basah seperti sehabis mencuci muka. Bu Tari langsung duduk di depan Sofia dan menyalami Sofia dengan tersenyum.
“Mbak Sofia, masih ingat aku kan? Kita ketemu tadi pagi saat belanja sayur,” sapa Bu Tari dengan ramah.
“Iya, masih Bu Tari. Syukurlah kita bertemu di sini. Sebenarnya tadi aku berencana ke rumah Bu Tari setelah dari sini. Ini ada brownis buatanku buat Bu Tari. Semoga Bu Tari suka.” Sofia menyerahkan kantong plastik satunya pada Bu Tari.
“Wah makasih ya, Mbak. Ngomong-ngomong ada urusan apa datang kesini?” tanya Bu Tari langsung. Seperti biasa, Bu Tari selalu berterus terang dengan ucapannya.
Belum sempat Sofia menjawab, Bu Lisa datang dengan nampan di tangan. Setelah menata minuman dan camilan yang dibawanya di atas meja, ia mempersilahkan Sofia dengan ramah.
“Mari ... Mbak Sofia diminum tehnya,” tawar Bu Lisa
Sofia segera mengambil cangkir di atas meja dan menyeruput sedikit teh yang ternyata masih terasa panas. Bu Lisa sudah duduk di samping Bu Tari sekarang. Lalu pembicaraan mengalir begitu saja antara mereka bertiga. Dari mereka berdua, Sofia jadi tahu beberapa kegiatan rutin yang diadakan di lingkungan. Seperti pengajian dan arisan yang rutin diadakan sebulan sekali di rumah anggota. Kebetulan pengajian bulan ini akan diadakan pada hari minggu besok di rumah Bu Tari.
“Besok minggu datang ya Mbak, di rumah Bu Tari. Acara dimulai jam sembilan pagi. Nanti pemenang akan ditentukan dengan dikocok. Nah pemenang arisan itu juga yang akan menjadi tuan rumah untuk arisan berikutnya. Nanti Mbak Sofia ikut saja agar bisa berkenalan dengan ibu-ibu warga sini,” jelas Bu Lisa dengan semangat.
“Iya, insyaallah aku nanti datang Bu,” jawab Sofia ramah.
“Oh iya. Sudah ke rumah Lidya belum?” tanya Bu Tari tiba-tiba.
“Belum, Bu. Rencananya setelah dari rumah Bu Tari baru ke rumah Mbak Lidya.”
“Hati-hati loh Mbak ke sana kalau pas ada suaminya. Tapi biasanya jam segini suaminya nggak ada di rumah sih. Biasanya habis magrib pulang, sampai rumah terus marah-marah dan bertengkar. Jadi ramailah rumah itu.”
“Memangnya kenapa kalau ada suaminya, Bu Tari?”
“Suaminya itu temperamental, suka marah. Kalau ada yang berkunjung ke rumah bawaannya curiga terus. Apalagi kalau tamunya laki-laki, langsung cemburu. Dituduh ada main alias selingkuh sama istrinya, aneh pokoknya. Makanya sekarang orang-orang malas berhubungan dengan keluarga itu.”
“Sekarang?” tanya Sofia heran.
“Iya. Awalnya semua baik-baik saja. Terus setahun terakhir ini kalau nggak salah, setelah Pak Pram tidak bekerja dan usahanya bangkrut semua jadi kacau di keluarga itu.”
“Pak Pram?” tanya Sofia dengan menaikkah sebelah alis.
“Iya, Pak Pram itu nama suaminya Lidya. Dulu keluarga itu harmonis dan bahagia. Bahkan tidak pernah kelihatan pernah bertengkar sama sekali. Pak Pram malah suka membantu pekerjaan rumah Lidya. Coupe Goals di lingkungan sini pokoknya, tapi selama beberapa bulan terakhir ini mereka jadi sering bertengkar. Pokoknya sudah bukan rahasia umum lagi kalau keluarga itu suka ribut.” Kali ini Bu Lisa yang menjelaskan dengan semangat.
“Lebih kasihan lagi anak-anaknya, Azzam dan Azizah. Ya kan, Bu?” sahut Bu Tari yang ditimpali Bu Lisa dengan anggukan setuju.
“Azzam dan Azizah. Bukankah itu nama dua anak yang kutemui di pasar tadi?” batin Sofia dalam hati.
“Siapa itu, Bu?” tanya Sofia.
“Oh Azzam dan Azizah itu nama anaknya Mbak Lidya dan Pak Pram. Semenjak Pak Pram tidak bekerja sekarang jadi pengangguran. Terus sekarang kerja sebagai tukang ojek, biasanya sambil menunggu pesanan suka nongkrong nggak jelas gitu. Nah si Azzam dan Azizah ini harusnya kan masih sekolah, tapi malah disuruh mencari uang oleh ayahnya,” terang Bu Tari.
Deg.
Jantung Sofia berdebar kencang teringat dengan kedua anak yang ditemuinya di pasar tadi pagi.
“Benarkan kedua anak tadi adalah orang yang sama?” pikir Sofia dalam hati.
“Mencari uang, Bu?” tanya Sofia tak percaya.
“Iya. Mencari uang di jalanan, Mbak. Aku pernah ketemu mereka berdua berjualan minuman botol di sekitar pasar Waru, kadang juga meminta-minta dengan membawa gelas kosong. Kasihan sekali pokoknya. Anak sekecil itu harusnya itu bermain-main dengan teman seusianya,” jawab Bu Tari lagi.
“Bener, Bu Lisa. Kasihan sekali ya Azzam dan Azizah. Harusnya mereka sekolah sama teman-temannya. Eh malah dimanfaatkan sama orang tuanya buat mencari uang. Bukankah itu harusnya jadi tanggung jawab Pak Pram. Huuhh ... Gemas aku.” Bu Tari tampak kesal mengepalkan tangan kuat-kuat.
“Memangnya berapa usia kedua anak itu, Bu?” tanya Sofia lirih. Berharap dugaannya keliru.
“Berapa ya ... Kalau Azzam kayaknya sudah masuk SD, jadi ya sekitar enam atau tujuh tahunan. Nah kalau adiknya Azizah kayaknya masih umur tiga atau empat tahunan. Iya kan, Bu?” Bu Lisa menoleh pada Bu Tari meminta pendapatnya.
“Iya, sekitar umur segitu kayaknya.” Bu Tari menyetujui jawaban Bu Lisa.
Sofia terlihat melamun. Mengingat kedua anak yang ditemuinya di pasar waru tadi. Benarkah kedua anak itu adalah anak Lidya, yang tinggal di sebelahnya. Pantas saja, suara lelaki tadi terasa tidak asing di telinganya. Berarti dugaan yang sempat ditepisnya tadi benar.
Sebenarnya Sofia masih ingin bertanya lebih lanjut. Namun, dia mengurungkannya. Mengingat dia masih baru di sini dan belum mengenal Bu Lisa dan Bu Tari sepenuhnya. Dia takut bila salah berucap. Jadi dia menyimpan lagi semua pertanyaan yang terlintas dalam benaknya ke dalam hati.
“Biarlah, akan kucari tahu sendiri nanti,” pikir Sofia.
“Lah kok malah melamun, Mbak. Ayo, diminum lagi tehnya,” tegur Bu Lisa saat melihat Sofia melamun.
“Eh, iya, Bu. Aku baru ingat tadi rumahku belum dikunci. Kelupaan karena terburu-buru kesini tadi. Aku pamit dulu ya, Bu Tari, Bu Lisa. Kepikiran sama kunci rumah.” Sofia pamit dan segera berdiri setelah menghabiskan tehnya.
Bu Lisa dan Bu Tari hanya mengangguk saat Sofia berpamitan.
Setelah di luar rumah, Sofia segera mempercepat langkah agar cepat sampai di rumah. Diambilnya dua kantong brownis yang akan diberikan kepada Ranti dan Lidya. Setelah memastikan pintu dikunci Sofia segera berangkat, mengingat hari sudah cukup sore. Tak terasa sudah hampir dua jam dia di rumah Bu Lisa, mengobrol ngalor-ngidul tak ada ujungnya. Dia harus sudah pulang ke rumah sebelum magrib. Sebelum, Fuad suaminya pulang dari kantor.
Sofia berencana pergi ke rumah Ranti terlebih dulu sebelum ke rumah Lidya yang lebih dekat dengan rumahnya. Dia berjalan cukup cepat agar segera sampai tempat tujuan. Saat sampai di warung Ranti, terlihat beberapa pembeli yang antre untuk dilayani. Melihat Ranti yang sedang sibuk, ia akhirnya langsung menyerahkan brownis pada Ranti yang saat itu sedang melayani salah satu pembeli tanpa mampir atau singgah terlebih dulu.“Biarlah, mengobrolnya kapan-kapan saja. Lagi pula aku juga sedang terburu-buru saat ini,” pikir Sofia sembari berpamitan pada Ranti setelah menyerahkan brownis yang ia janjikan tadi pagi.“Wah, beneran dikasih ternyata. Terima kasih ya, Mbak Sofia,” sambut Ranti dengan sukacita saat menerima brownis dari Sofia. Senyum yang lebar mengembang di wajahnya yang terlihat semringah.Setelah Sofia pergi Ranti kembali melayani pembeli satunya dengan cekatan. Meskipun terlihat kecil dari luar, tapi warung milik Ranti
Teriakan-teriakan itu masih berlangsung saat Sofia sampai di rumahnya. Kali ini diikuti beberapa barang yang tampak di banting. Sofia hanya mondar-mandir di ruang tamunya. Sesekali dia mengintip keluar untuk melihat apakah suaminya, Fuad sudah sampai.Sofia tidak bisa duduk di kursi dengan tenang dan memilih berjalan keluar untuk menunggu Fuad di halaman. Dari luar rumah suara teriakan dan keributan di rumah sebelah terdengar lebih jelas. Terdengar tangisan Azalea disela teriakan Lidya dan Pram. Bayi kecil itu sepertinya merasa ketakutan melihat kedua orang tuanya bertengkar hebat.Pintu rumah Lidya terbuka, Azzam dan Azizah berlari keluar dengan terburu-buru. Azizah sampai terjatuh karena kakinya menyandung batu. Azzam segera menolong adiknya untuk berdiri.Sofia melihat kedua anak itu dengan rasa iba. Keduanya membuka pintu pagar dan berlari kecil di jalan. Saat melewati depan rumah Sofia, wanita itu memanggil keduanya dengan melambaikan tangannya.&ldq
“Mas, suara inilah yang kuceritakan padamu kemarin. Aku mendengarnya saat kamu pergi ke rumah pak RT,” jelas Sofia pada Fuad begitu keduanya tiba di kamar.Sofia merasa tidak enak bila harus membahas hal ini di depan Azzam dan Azizah. Mengingat pembicaraan ini berkaitan dengan kedua orang tua mereka. Setelah menaruh tas kerja Fuad pada tempatnya ia mulai menceritakan semua hal yang diketahui setelah mengumpulkan informasi sepotong-sepotong dari tetangga yang ditemui hari ini. Ia rangkai semua dan menceritakan kesimpulannya kepada Fuad.Fuad mendengarkan secara saksama tanpa memotong atau bertanya sebelum Sofia selesai bercerita. Ia tampak kaget setelah mendengar keseluruhan cerita yang disampaikan istrinya.“Astagfirullah ... jadi maksudmu kedua anak itu disiksa oleh orang tuanya dan dimanfaatkan untuk mencari uang?” tanya Fuad dengan gusar. Ia mengusap wajah dengan kedua tangan setelah mengembuskan nafas kasar.“Aku masih be
Sofia dan Fuad kini duduk berhadapan dengan Lidya yang sedang memangku Lea di ruang tamu. Wajahnya kini dibiarkan terbuka, tidak ditutup lagi. Ia pikir percuma menutupinya lagi, toh mereka berdua sudah melihat tadi.Lidya tampak kikuk, memilih untuk menunduk dalam-dalam karena diperhatikan oleh Fuad dan Sofia dengan saksama. Fuad bahkan tidak berkedip selama beberapa saat sampai tepukan lembut Sofia di bahunya menyadarkannya.“Bagaimana kabarmu sekarang?” tanya Fuad memecah keheningan.“Seperti yang kamu lihat, Mas. Kondisiku sangat buruk. Mungkin aku sedang di hukum oleh tuhan atas perbuatanku padamu dan keluargaku dulu.” Lidya menunduk lagi setelah menatap Fuad sejenak.Terlihat raut wajah menyesal yang tak bisa diungkapkan lewat kata hanya tampak lewat tatapan mata dan perilakunya saja. Lidya merasa sangat malu, bahkan untuk memandang Fuad pun tak mampu sehingga memilih menunduk lagi.Sebelum menikah dengan Sofia, Lidya a
“Sebenarnya ini baru terjadi beberapa bulan terakhir, Mas. Awalnya dia baik, sangat baik. Bahkan tidak segan membantuku mengerjakan pekerjaan rumah. Namun semua berubah setelah aku melahirkan Lea. Anakku yang ketiga.” Lidya mulai bercerita setelah tangisnya reda.“Saat melahirkan Lea, aku terkena preeklampsi dan harus dirawat di rumah sakit selama dua bulan. Selama dirawat di rumah sakit Mas Pram selalu sabar menunggu dan merawatku. Bahkan dia mengabaikan semua pekerjaan dan menyerahkan tempat usaha kami untuk dikelola oleh orang kepercayaannya. Namun, ia dikhianati. Beberapa tempat usaha kami mulai mengalami kerugian sampai akhirnya bangkrut dan usaha terpaksa ditutup.” Lidya menarik nafas panjang, mengusap ujung hidungnya dan menatap Fuad tanpa berkedip.“Hanya tinggal satu tempat yang tersisa setelah dipertahankan Mas Pram dengan usaha semaksimal mungkin. Namun, tempat itu akhirnya terpaksa harus ditutup juga karena modal kami yang tida
Sofia dan Fuad pulang berjalan kaki dalam diam. Sibuk dengan pikiran masing-masing. Beberapa kali Sofia melirik Fuad yang berjalan di sampingnya. Tampaknya ia sedang memikirkan sesuatu dengan serius. Terlihat kerutan di keningnya saat ia berpikir serius.Sofia hafal dengan watak suaminya yang memilih diam saat sedang berpikir. Ia tidak mau mengganggu, ingin memberikan waktu pada Fuad yang masih terlihat kaget melihat calon istrinya dulu menjadi tetangga sebelah rumahnya. Ditambah lagi kondisinya cukup mengenaskan, dengan wajah penuh luka dan lebam akibat kekerasan yang dilakukan suaminya.Sesampainya di rumah Fuad masih terdiam selama beberapa saat. Namun, Sofia menunggu dengan sabar di sebelahnya sambil berpura-pura memainkan ponsel. Ia menunggu Fuad membahas tentang kejadian barusan.“Dek ...,” panggil Fuad pelan.“Iya. Ada apa, Mas?” Sofia meletakkan ponsel di atas meja.“Aku ingin bertanya padamu mengenai Lidya. Se
Pagi itu Lidya terbangun kesiangan karena tidak bisa tidur semalam. Saat terbangun, Pram sudah tidak ada di sebelahnya. Ia langsung berdiri dan keluar kamar setelah melihat Lea masih tidur pulas di atas kasur. Jam di dinding menunjuk pukul 06.30 pagi.Azzam dan Azizah sudah siap untuk berangkat ke sekolah dengan memakai seragam sekolah dan membawa tas masing-masing. Pram juga sudah terlihat rapi, bersiap untuk mengantar mereka berdua sekolah sebelum pergi mengojek.“Sayang ... maaf aku bangun kesiangan. Bagaimana dengan sarapannya?” ucap Lidya saat melihat Pram memakai jaket.“Nggak papa. Aku dan anak-anak akan membeli sarapan di jalan nanti. Tidurlah lagi kalau kamu masih mengantuk.” Pram sudah selesai bersiap-siap, “Azzam, Azizah. Ayo berangkat. Pamit dulu sama Mama.”Azzam dan Azizah berpamitan pada Lidya dengan mencium tangannya. Lalu berjalan keluar rumah mengikuti Pram yang akan mengantarkan mereka berangkat
“Aku harus menemui Lidya sekarang juga. Apakah ia tahu tentang masalah ini? Bisa saja ia dibohongi oleh suaminya selama ini. Apa yang akan dilakukannya setelah tahu nanti? Atau jangan-jangan ia sudah tahu sejak awal dan memang menyetujuinya. Kalau memang begitu berarti aku tidak bisa melakukan apa-apa lagi. Yang penting aku sudah berusaha,” pikir Sofia sepanjang perjalanan.Begitu tiba, Sofia memarkir motor di depan pagar rumah Lidya. Ia segera berjalan masuk dan mengetuk pintu sembari mengucapkan salam cukup keras begitu di depan pintu. Setelah dua kali ketukan terdengar jawaban dari dalam rumah.“Mbak Sofia,” sapa Lidya begitu membuka pintu, “Mari masuk. Ada apa?”“Maaf Mbak, kalau aku mengganggu. Ada hal penting yang ingin kutanyakan,” ucap Sofia buru-buru. Rasanya sudah tidak sabar mengutarakan segala macam pertanyaan yang terus berputar dalam kepalanya sejak tadi.“Mari masuk dulu, Mbak. Kita bica
“Dek ... Kok malah bengong? Kenapa pertanyaanku nggak dijawab? Bagaimana kalau Lidya marah saat tahu kamu membuka-buka ponselnya?” tanya Fuad tidak sabar saat melihat Sofia yang malah melamun dan tidak menjawab pertanyaannya.“Eh ... Anu. Itu karena Mbak Lidya yang menyuruhku, Mas. Dia tadi menitipkan ponselnya padaku untuk berjaga-jaga kalau ada pesan dari pelanggan yang memesan kue atau brownis mendadak. Jadi dia memintaku untuk membalas pesan yang masuk atau mengangkat telepon yang masuk ke ponselnya,” terang Sofia sambil mengarang alasan yang serealistis mungkin agar Fuad tidak curiga dan bertanya lebih jauh lagi.“Oh begitu ... Kenapa tidak bilang dari tadi? Ayo kita duduk dulu,” ajak Fuad sambil menggandeng tangan Sofia berjalan menuju deretan kursi yang ada di depan ruang operasi.Sofia hanya mengangguk pasrah saat Fuad mengajaknya duduk di kursi panjang yang tersedia di depan ruang operasi. Ia merasa lega karena Fuad langsung mempercayai penjelasannya dan tidak bertanya lebih
Lidya menarik nafas panjang lalu mengambil ponsel yang tergeletak di atas nakas. Diangsurkannya ponsel tersebut pada Sofia sambil tersenyum tipis.“Saat aku dioperasi nanti, tolong simpan ponselku Mbak. Siapa tahu nanti ada telepon penting yang masuk angkatlah. Atau mungkin ada pesan masuk yang penting dan membutuhkan balasan segera, tolong balaslah. Berpura-pura saja menjadi diriku saat kamu membalasnya, jangan katakan kalau aku sedang operasi,” pinta Lidya sambil memandang Sofia tanpa berkedip.“Iya, Mbak.” Sofia mengambil ponsel yang diangsurkan Lidya padanya. Lalu menyimpan ponsel tersebut dalam tas selempang yang dikenakannya walaupun ia masih tidak mengerti kenapa Lidya memintanya untuk melakukan hal tersebut.“Sebenarnya aku ada permintaan lain, Mbak ....”Sofia yang sedang menutup tas segera menghentikan gerakan tangannya dan menatap Lidya. Menunggunya mengungkapkan permintaan lain yang disebutkannya tadi. Namun, wanita berpipi dekik itu malah diam dan tidak mengucapkan se
Setelah menerima surat dari Pram, hati Lidya terasa resah. Tiada hari yang dilalui tanpa merasa cemas. Ia bahkan tidak bisa tidur dengan nyenyak saat malam hari dan kerap terbangun karena mimpi buruk yang selalu menemani dalam setiap tidurnya.Akibatnya tubuhnya terasa semakin lelah karena kualitas tidur yang buruk. Juga pikiran yang tegang. Nafsu makannya juga semakin berkurang karena perutnya terasa begah jika ia makan banyak. Pun ia tidak memiliki nafsu makan karena memikirkan berbagai kemungkinan yang akan terjadi jika Pram kembali sebelum ia melahirkan. Lidya tidak berani menceritakan mengenai hal tersebut dan menyimpan semua pemikirannya sendirian. Ia terus berpikir bagaimana caranya agar Pram tidak pulang sebelum ia melahirkan. Ia sangat takut membayangkan jika Pram mengetahui tentang perjanjian pernikahan yang sudah dibuat dengan Sofia dan Fuad. Lelaki itu pasti akan sangat marah dan pergi meninggalkannya.Setiap hari Lidya terus berdoa agar Pram tidak pulang sebelum bayi dal
Lidya baru saja selesai menata baju dan beberapa barang perlengkapan untuk bayi yang sudah dibeli oleh Sofia dan Fuad. Rencananya untuk berbelanja perlengkapan bayi bersama Sofia terpaksa dibatalkan karena Fuad melarangnya. Lelaki itu memintanya untuk istirahat di rumah saja, mengingat kondisi Lidya yang belum pulih sepenuhnya serta anjuran dari dokter yang menyarankan agar ia tidak boleh beraktivitas yang berlebihan sehingga membuatnya kelelahan.Lidya terpaksa menurut karena tidak ingin merepotkan orang di sekitarnya lagi. Ia baru saja keluar dari rumah sakit dan tidak ingin dirawat lagi padahal baru saja pulang ke rumah. Ia akhirnya menyerahkan urusan belanja perlengkapan bayi pada Sofia dan Fuad semua. Sofia sempat menyarankan agar berbelanja online saja agar bisa memilih bersama-sama. Namun Lidya menolaknya karena takut barang yang dibeli tidak sesuai harapan. Ia meminta pada Sofia untuk berbelanja langsung di toko saja agar lebih leluasa memilih karena bisa melihat barang yang
Setelah dirawat selama seminggu di rumah sakit, Lidya akhirnya sudah bisa pulang ke rumah. Kondisinya semakin hari semakin membaik setelah perbincangan terakhir dengan Sofia. Hubungan mereka berdua juga semakin membaik dari hari ke hari. Tidak terlihat canggung lagi. Bahkan hampir setiap hari Sofia terlihat menemani Lidya di rumah sakit selama ditinggal Fuad bekerja. Urusan toko untuk sementara mereka serahkan pada Rani dulu. Sementara anak-anak dalam pengasuhan Mbok Rum. Beruntung, Mbok Rum sudah tidak memiliki tanggungan di rumah. Jadi bisa menginap di rumah Lidya tanpa harus pulang ke rumah seperti biasanya.Lidya tidak pernah membahas masalah Fuad lagi. Sepertinya ia benar-benar melupakan keinginannya untuk menguasai lelaki itu sepenuhnya untuk dirinya sendiri. Ia juga tidak pernah membicarakan tentang Pram sekalipun. Hanya membicarakan tentang janin dalam perutnya yang semakin hari semakin aktif.Sebelum pulang, Dokter berpesan pada Lidya agar mengurangi aktivitas yang berat me
Dada Sofia berdebar kencang mendengar permintaan Lidya yang menurutnya sangat lancang. Ia ingin marah, berteriak dan mengutuk wanita yang sedang terbaring lemah di hadapannya. Namun, hati nuraninya masih mencegahnya untuk melakukan hal tersebut.Tangan Sofia terkepal erat sampai ujung jarinya memutih. Titik-titik keringat mulai bermunculan memenuhi telapak tangannya yang terkepal hingga terasa basah. Dadanya terasa panas karena menahan amarah yang menggelegak dalam dada. Bersiap untuk dilampiaskan pada wanita berpipi dekik yang sedang memandangnya, menunggu jawabannya. Ditarik nafas panjang lalu dikeluarkan pelan sambil memejamkan mata. Sofia mencoba mengingat hal-hal menyenangkan yang pernah dilaluinya bersama Lidya untuk mengurangi amarah yang bersiap untuk meledak. Seperti bom waktu yang siap untuk meledak kapan pun.“Mbak, bagaimana? Bisakah kamu menyerahkan Mas Fuad untuk kumiliki sepenuhnya? Kamu masih muda dan masih cantik ... Jadi tidak sulit bagimu untuk menemukan lelaki lai
Sementara itu di rumah sakit, Fuad tidak bisa tidur karena merasa bingung memikirkan hari esok. Ia harus pergi ke kantor besok karena jatah cutinya sudah habis. Namun, ia tidak tega jika harus meninggalkan Lidya sendirian tanpa ada yang menemani. Kondisi Lidya yang masih lemah membuatnya membutuhkan bantuan untuk memenuhi segala keperluannya. Sebenarnya Fuad ingin meminta bantuan pada Mbok Rum agar menunggu Lidya. Namun mengingat dia harus menjaga anak-anak di rumah hal itu urung dilakukannya. Saat sedang memikirkan jalan keluar masalah tersebut, tiba-tiba Sofia meneleponnya.“Halo, Dek,” jawab Fuad setelah mengangkat telepon.“Waalaikumsalam, Mas,” ucap Sofia dengan penuh penekanan.“Eh iya ... Assalamualaikum, sayang,” sahut Fuad dengan cengengesan. Ia memang sering lupa mengucapkan salam saat menjawab telepon. Namun Sofia tidak pernah lelah selalu mengingatkannya lagi dan lagi.“Bagaimana kondisi Mbak Lidya, Mas? Apa kata dokter?”“Besok pagi Lidya akan diperiksa lab untuk mengeta
“Siapa yang pingsan, Mas?” bisik Sofia sambil menjawil lengan Fuad. Fuad segera melambaikan tangan sebagai isyarat agar Sofia diam dan bersabar menunggu terlebih dulu. Sementara itu ia meneruskan pembicaraan dengan Mbok Rum di telepon.“Pingsan bagaimana maksudnya Mbok? Kapan?” tanya Fuad dengan tenang. “Sudah dua jam lalu, Pak. Barusan sudah sadar tapi katanya masih pusing. Mau saya antarkan periksa ke dokter tapi saya bingung, bagaimana dengan anak-anak kalau ditinggal?” jelas Mbok Rum panik.“Baiklah ... Mbok Rum tenang dulu, jangan panik. Aku sampai rumah paling cepat besok pagi, jadi sementara menungguku tolong jaga Lidya baik-baik. Penuhi semua kebutuhan dan permintaannya, kalau ada apa-apa segera hubungi aku,” perintah Fuad dengan tenang.Sofia langsung mencubit perut Fuad saat mendengarnya mengatakan mereka akan sampai besok pagi. Padahal selambat-lambatnya perjalanan pulang paling lama pukul sepuluh malam mereka sudah sampai di rumah. Fuad hanya mengedipkan sebelah mat
“Beneran nggak mau kemana-mana? Mumpung kita di sini, Mas,” tanya Sofia sekali lagi saat Fuad menolak untuk diajak pergi keluar.“Iya. Aku mau istirahat di rumah saja sama kamu. Kita mengobrol dan menghabiskan waktu yang berkualitas di rumah saja sudah lama kita tidak melakukannya. Atau kamu mau packing barang-barang sekarang? Aku bantu biar cepat,” tolak Fuad tegas.“Baiklah kalau begitu. Kita di rumah saja seharian nanti.”Sofia menutup kembali lemari pakaian dengan keras. Sebenarnya ia sudah bersemangat sejak tadi pagi ingin mengajak Fuad bepergian berwisata kuliner. Memberitahukan makanan enak yang sudah dimakannya kemarin. Namun, karena Fuad menolak ia tidak bisa berbuat apa pun lagi. Berjalan ke pojok kamar, Sofia mengambil koper kecil yang dibawa untuk mengangkut beberapa pakaian yang dibawanya kesini dulu. Lalu mulai menata baju dan kerudung ke dalam koper dengan tenang. “Ada yang bisa kubantu?” tawar Fuad saat melihat Sofia mulai berkemas. “Tidak ada, Mas. Tidurlah s