Gelenyar itu masih saja terasa sampai Jihye membuka mata. Silir angin yang merangsek masuk ke bukaan kecil jendela yang sengaja dia dorong ke luar tadi malam memberikan sensasi cukup dingin pada tubuh bagian atasnya yang polos. Tunggu dulu ... polos? Maksudnya polos yang bagaimana?
Seperti mendapatkan gelombang kejut yang membuat kesadaran Jihye terbangun seratus persen, gadis itu terduduk, menyingkap selimut yang menutupi tubuhnya lantas menatap nanar Yunki yang masih mengatupkan mata dengan selimut menutupi tubuh sampai leher.
Bisa tolong Jihye tidak? Saat ini degup jantungnya bertalu sangat cepat, bahkan terlalu cepat. Dengan getaran-getaran kecil yang kini mendominasi setiap inci tubuhnya. Jihye membenamkan diri di balik selimut mencoba mencari tahu, apa pria yang tertidur di sebelahnya itu sama polos bagian atas seperti dia.
Tengkuknya meremang, getaran-getaran itu berubah menjadi rasa merinding yang membuat sirkuit otaknya terasa macet, te
Akhir pekan berlalu dengan tingkat ke-uwu-an naik drastis di antara sepasang suami istri tersebut. Yunki dapat dengan mudah melingkarkan tangannya di pinggang Jihye, menghilangkan guling yang menjadi pembatas tidur mereka kendati Jihye selalu membahas penalti yang akan Yunki dapatkan dan pria itu hanya menjawab, "Ya, ya berikanlah penalti sebanyak yang kau mau, dengan senang hati aku akan menerimanya." Jihye sampai kehabisan kata-kata menanggapinya.Jihye sebenarnya sangat penasaran bagaimana cara takdir membawa hubungan mereka sampai ke tahap ini. Gelenyar merah muda yang sering kali hinggap memenuhi relungnya kini kian intens. Rasanya cukup asing karena di sini dia merasa mulai terikat, terikat secara emosional dengan sang Kucing Salju.Bongkahan es besar yang biasanya menjulang tinggi di antara mereka perlahan mencair. Apakah Jihye akhirnya menyerah dengan ketakutannya dan jatuh cinta?Jihye tidak mengerti apa yang dia rasakan, terlalu takut untuk ja
Segala kelesah yang bercampur aduk dalam tempurung kepala, seolah hilang saat penghidunya dihadapkan pada raksi seseorang yang selalu berhasil menenangkan hati. Kalau boleh, Jihye tidak ingin bangun terlebih ungkapan cinta samar-samar yang dia dengar tadi malam berhasil menumbuhkan jutaan bunga pada taman hatinya. Mari kita tunggu jutaan kupu-kupu hinggap di sana.Bias pertama sang fajar kini telah muncul, memaksa bintang-bintang untuk kembali ke peraduan. Jihye membuka mata saat merasakan seseorang mengusap lembut pipi seraya mengaitkan anak rambutnya ke belakang telinga. Mata besarnya menatap wajah Yunki yang saat ini tersenyum teduh."Maaf jadi membangunkanmu," ucapnya lembut.Jihye mengerjap lantas menelentangkan tubuhnya menatap langit-langit, luasan kamar Yunki yang selalu terasa dingin, kali ini tampak beribu-ribu lebih hangat. "Kenapa aku ada di kamarmu?""Kamar kita," ucap Yunki mengoreksi, "seharusnya kamarmu memang di sini, 'kan?""Apa J
Rasanya sirkuit otak Jihye mendadak macet oleh benang-benang kusut, jika dia harus kembali memikirkan bagaimana dirinya berakhir sibuk mengimbangi pagutan yang diberikan sang suami di atas ranjang.Pemanasan sebelum berkembang biakyang sesungguhnya,itu yang selalu Yunki katakan dalam seringai nakalnya. Sepertinya kesibukan kantor yang nyaris menghabiskan energi itu tidak serta-merta membuat si pria kucing itu kehabisan energi jika menyangkut romansa.Jihye terus tersenyum membayangkan bisikkan sang suami pagi tadi. "Kita makan malam di luar nanti, aku sudah menyiapkan pakaian cantik untukmu." Ah, tentu saja Jihye tidak akan menyia-nyiakan ajakan tersebut, dia bahkan bertanya-tanyadresssecantik apa yang Yunki siapkan untuknya.Dominasi Yuri padanya hari ini bahkan tidak terlalu berdampak buruk pada nasib jadwal kencannya itu karena Jeongguk berhasil menjauhkan Jihye dari Yuri sesaat sebelum jam kerja berakhir. Keta
Yunki nyaris tidak mempunyai waktu untuk istirahat. Setibanya di hotel, Pak Ong langsung membacakan serangkaian jadwal hingga waktu makan siang nanti. Yunki mengangguk-angguk tanda mengerti seiring tungkai yang melangkah ke arah ruang rapat di hotel tersebut. Lelah? Tentu saja. Namun, kini dia memiliki seseorang untuk diperjuangkan yang dapat dipastikan akan menjadi ibu dari mini-mininya.Astaga, mini-mini. Yunki bahkan mengulum senyum saat membayangkannya--lebih tepatnya, membayangkan proses perkembangbiakan mini-mini. Ya Tuhan, tolong sadarkan Yunki, saat ini bahkan masih terlalu pagi untuk berfantasi."Sajangnim, apa Anda mendengarkan?" tanya Pak Ong dengan satu alis terangkat, jelas sedikit kesal karena pertanyaannya sejak tadi tidak digubris atasannya itu.Masih dengan senyum yang terkulum diam-diam Yunki mendongak. "Apa?" Lalu berdeham tatkala dilihatnya alis Pak Ong tampak mengkerut semakin dalam."Apa Anda akan makan siang di hotel ini at
Selama ini Jimmy berpikir bahwa sang ibu memang berambisi untuk merebut Shin Geum Corp dari tangan Yunki. Namun, hal itu tentu saja selalu gagal karena Yunki selalu bertindak dan mengambil keputusan untuk perusahaan sebijak mungkin dan Jimmy selalu takjub akan kinerja kakaknya tersebut.Tidak terbesit sedikit pun di dalam sirkuit otaknya untuk kembali menorehkan luka pada Keluarga Shin dan hari ini seolah segala usahanya gagal, tatkala Jimmy menatap sang ibu dengan berapi-api menunjukkan bukti bahwa pernikahan yang Yunki jalani dengan Jihye adalah pernikahan di atas sebuah perjanjian.Jimmy jelas kaget dengan kenyataan yang ibunya sampaikan dan mau tidak mau wajah Jihye terpeta jelas dalam bayangannya. Bagaimana bisa gadis sebaik Jihye terlibat dalam hal seperti ini?"Jadi, bagaimana mungkin orang seperti Shin Yunki bisa memimpin perusahaan besar seperti Shin Geum Corp, pernikahan saja dia anggap main-main, apa kalian tidak takut uang kalian akan hancur? Aku har
Pernah tidak kalian berada di suatu posisi senang sekaligus khawatir secara bersamaan? Hal ini tengah dirasakan Jihye manakala mengingat kembali roman-roman patah hati para wanita yang terang-terangan menjadi jajaran pemuja sang suami. Lagi pula siapa yang mampu menolak pesona si Kucing Salju itu, sih? Jihye saja yang awalnya menolak berakhir terbawa perasaan dan merona setiap saat oleh perlakuannya.Jihye bergidik membayangkan situasi macam apa yang tengah menunggunya esok hari, terlebih Gaeun yang tadi berteriak dan langsung pingsan di tempat. Gadis itu nyaris dapat menimang bagaimanashock-nya Gaeun atas kenyataan pahit yang dia terima. Jangan
Apa mungkin dia bisa mengacungkan jari tengah pada takdir memuakkan ini? Bahkan tidak pernah terbesit pada tempurung otaknya jika hal ini akan terjadi padanya. Rasanya sungguh tidak terpeta, seolah kalah dalam suatu permainan yang nyaris dia menangkan.Seo Jihye bahkan menjadi wanita dalam urutan terakhir untuk dijadikan rival utama. Lihatlah, dari segi penampilan saja Yuri jelas lebih unggul. Bagaimana mungkin Yunki bisa memilih Jihye sebagai istri? Apa mungkin dia tahu bahwa Jihye adalah adik kandungnya? Apa dia menaruh dendam? Bagaimana mungkin Jihye tega menikungnya setajam ini? Apa dia marah karena ditinggalkan?Pertanyaan-pertanyaan tersebut terus-menerus bermunculan seiring hati yang terasa panas bak gasolin yang dilemparkan ke dalam api. Yuri teramat marah, terutama saat manik sang adik menatapnya penuh kemenangan di atas panggung. Jantungnya seolah terjun bebas ke dasar lambung dengan hati mencelus sempurna tatkala Shin Yunki--sang mantan kekasih--yang kembali
Seperti apa yang dibayangkan Jihye tadi malam, salah satu hal yang menjadi kelesahnya adalah Yuri. Senyum yang Jihye dapatkan dari reaksi menggelikan Gaeun seakan hilang begitu saja tatkala presensi wanita itu hadir di ruangan tersebut.Yuri terlihat berjalan santai dengan wajah angkuh melirik Jihye sekilas lantas menyunggingkan senyum miring meremehkan. "Nona Se--ah maafSamonim, bisakah kita berbicara di ruanganku?" ajaknya."Tentu," jawab Jihye tersenyum, mengundang belalakan mata dari Gaeun yang duduk di sebelahnya tampak ngeri membayangkan hal apa yang akan terjadi di antara mereka."Hye, hati-hati," bisik Gaeun."Tentu." Jihye tidak tahu kenapa dia harus menjawabtentupada Gaeun seolah dia akan menghadapi amukan badai.Sampai di ruangan, Yuri masih mempertahankan sikap angkuhnya, membalikkan badan, bersedekap dengan manik memindai penampilan Jihye dari atas ke bawah. "Apa aku harus memberikan tepuk tangan yan
Ini mungkin bisa dikatakan gila! Rencana masa depan yang sudah tersusun rapi dalamdiarydi kamarnya, satu per satu menjadi kenyataan. Haruskah Jihye berkata WOW? Setelah menyelesaikan kuliah dengan gemilang, dia malah terjebak dalam sebuah pernikahan settingan yang membuahkan seorang anak menggemaskan bernama Jiyoon. Terkadang hidup memang seironi itu. Atas banyaknya air mata yang tercurah bagai rebas-rebas hujan yang tak berkesudahan. Atas pedihnya luka hati bagai disayat ribuan silet. Well, Jihye tidak akan memandang hidupnya selebay itu. Kelembutan hati yang dimilikinya membuka satu kesempatan, dengan harapan apa yang menjadi kesempatan itu turut menyembuhkan apa yang menjadi kesakitannya selama ini. Jihye berdiri di depan bentangan karpet putih di sebuah altar yang menghadap kaldera di Santorini, degup jantungnya bertalu gila. Silir angin sejuk yang menyapa lembut epidermisnya, serta riuh tepuk tangan orang-or
“Ke-kenapa kita ke sini?" Itu adalah sebuah pertanyaan sekaligus konversasi pertama yang mengudara di dalam mobil.Jihye melihat sekeliling, mengamati basemen tempat Yunki menghentikan mobilnya. Dia terlampau hafal dengan tempat ini. Tempat yang begitu banyak menghadirkan kenangan. Basemen dari sebuah apartemen tempatnya dan Yunki menghabiskan masa pernikahan dulu."Hye, maaf kalau kau tidak keberatan kita istirahat dulu di sini, sepertinya Jiyoon memerlukan tempat tidiur yang nyaman."Menatap sang putra yang kini tertidur pulas karena kenyang menyusu, Jihye menggerakkan kepala setuju. Yunki pun mengangguk, mengulas senyum tipis yang Jihye tahu benar senyuman itu tidak sampai matanya.Pria itu keluar dari mobil dan membuka pintu untuk sang wanita seraya mengambil alih Jiyoon. Di balik wajah yang kembali datar itu Jihye tetap bisa menerima kehangatan karena satu tangannya yang terbebas dari menahan tubuh Jiyoon, menggenggam tangan Jihye begitu erat w
Sinar mentari sudah merangsek masuk ke sela-sela tirai kamar beberapa jam lalu, pun dengan cicit burung pengantar hari baru bahkan sudah tidak terdengar.Jihye merasa baru saja mengatupkan pelupuk saat ranjangnya memantul diikuti teriakan gemas Jiyoon yang kini sibuk mendaratkan ciuman basah penuh salivanya ke wajah sang ibu.Pantulan lirih di sisi ranjang yang lain memperlihatkan presensi Yunki yang tampak malu-malu dengan wajah tidak enak karena membangunkannya. Tadi malam Jihye nyaris terjaga semalaman karena Yunki meminta Jiyoon untuk tidur bersama di unit miliknya.Kalau ibunya tidak mau ikut, ya sudah Jiyoon saja.Hasilnya Jihye lebih banyak terjaga karena khawatir Jiyoon akan menangis malam-malam mencari dirinya."Jam berapa sekarang?" tanya Jihye menggeliat malas mencoba mengumpulkan fragmen-fragmen nyawa yang masih berserak, "Jiyoonie sudah mandi, ya? Harum sekali," imbuhnya mengendus leher sang putra diikuti beberapa cecapan gema
Jihye cukup kerepotan mengusir Yunki tadi malam karena tanpa diduga Jiyoon terbangun dan berakhir bermanja-manja ria dengan sang ayah sampai pukul dua dini hari. Hasilnya Jihye harus mengumpat tatkala lingkaran mata panda tersemat begitu apik di wajahnya kini.“Astaga Jiyoon kenapa dekat sekali dengan pria itu, sih? Wajah eomma jadi kusut begini karena ikut bergadang,” monolog Jihye sembari menatap Jiyoon yang masih tertidur lelap. Bagaimanapun menatap wajah sang buah hati yang tertidur lelap seperti itu menghangatkan relungnya.Pukul 07.30 Jihye sudah bersiap untuk kerja, menyahut tas setelah melontarkan beberapa pesan pada Bu Kim mengenai ASI yang sedang dia hangatkan jika Jiyoon terbangun dan ingin menyusu. Sungguh menjadi seorang ibu pekerja itu kadang melelahkan juga terlebih saat kau harus berpisah dengan anak yang sedang melalui masa emasnya.Jihye menutup pintunya dan tanpa sadar menatap bilah kayu dengan besi kromium bertuliskan 506
Setelah mengatakan bahwa Yunki akan menetap di Gwangju, sekelumit ruang di sudut hati Jihye sempat bersorak dengan debaran yang sukses menggelitik perut. Namun, sosok imajiner Jihye yang mengulas kurva senyum itu kini pudar berganti sosok berawai yang kembali menggenggam sendu. Bagaimana tidak? Sudah satu minggu berlalu setelah Yunki mengatakan akan menetap di sana, pria itu tidak lagi menampakkan batang hidungnya. Kecemasan Jihye semakin menjadi tatkala Jiyoon kembali rewel mencari sang ayah.Bagaimana mungkin Jihye harus merendahkan diri untuk menghubungi pria yang bahkan hanya memberikan harapan semu bagi dirinya dan Jiyoon? Jihye tidak akan membiarkan mereka kembali menyesap pahit, getir dan jatuh pada kubangan lara yang diakibatkan orang yang sama. Bukankah sejak awal Jihye sudah menolak sedemikian rupa?Jihye menarik sudut bibirnya miris, menatap sendu Jiyoon yang baru saja tertidur pulas setelah lama berkutat dengan rewelnya. “Sabar ya, Sayang. Lebih baik
Sebuah ikatan darah, seberapa kuat dia menggenggam keyakinan bahwa Jiyoon tidak membutuhkan sosok Yunki, kenyataan yang ada menampar Jihye begitu kuat dan apa yang dikatakan Hobi benar adanya.Wanita itu menapak pada permukaan lantai keramik putih di sepanjang koridor rumah sakit, berkali-kali tatapannya ia layangkan pada dua entitas di depannya yang tentu saja menumbuhkan sensasi ganjil pada relungnya. Lega, kesal, gemas, marah atau apa pun itu yang pasti rasa cemburu yang sejak kemarin bercokol di hatinya terasa kian berat.Bagaimana tidak, itu mini-mini yang bernama Jiyoon sampai saat ini menempel bak perangko pada sang ayah. Bahkan saat Jihye akan mengambil alih kala Yunki mengurusi biaya administrasi rumah sakit, makhluk mungil yang sejak tadi tertidur itu tiba-tiba terbangun dengan rengekan tidak mau berpisah.Akhirnya Jihye memutuskan untuk mengerucutkan bibir, berjalan malas di belakang mereka dengan otak berdesing memikirkan berbagai macam ide unt
Pelukan itu berlangsung lama dan Jihye tidak segan-segan membenamkan tubuhnya pada dekapan Hobi yang senyaman rumah, mencoba membaurkan kelesah dengan afeksi yang selalu tercurah dari pria menyenangkan itu."Nyonya Janda, sepertinya ada yang sedang memperhatian kita,” bisi Hobi.“Siapa?” tanya Jihye mendongakkan kepalanya,“Mantan suamimu dari tadi melihat kita. Mau bersenang-senang sedikit?" bisik Hobi yang sudah menangkap presensi Yunki dengan visusnya di depan sana.Jihye tertawa samar lantas menjawab, "Seru sepertinya."Maka, seperti itulah. Saudara persepupuan ini saling mencubit pucuk hidung yang diiringi bentangan senyum dan tatapan sendu penuh afeksi. Siapa pun akan menyangka mereka adalah pasangan romantis yang sedang beradegan mesra, dan pria di ujung sana terlihat stagnan dengan kepalan tangan dan rahang mengerat sempurna. Astaga, cemburu menguras hati tampaknya.Ah, tentu saja Yunki tidak akan membiarkan p
Barang kali, Jihye dapat melabeli dirinya sendiri dengan kata tidak professional. Sikap jual mahal yang mati-matian dipertahankannya kini luluh lantak jika menyangkut sang buah hati. Demamnya sangat tinggi, mencapai angka 40 derajat dan sempat mengalami kejang.Dalam sengguk pilunya wanita itu dapat mendengar sang pria mengalunkan kalimat penenang dalam silabel begitu lembut. Jihye terbuai, rasa sakitnya seolah luntur tatkala digempur afeksi yang memang sangat dia rindukan selama ini, terlebih dekapan Yunki tetaplah terasa nyaman."Aku takut kehilangannya, aku bukan ibu yang baik. Dia terus memanggilmu dan a-aku--" Jihye tidak mampu melanjutkan perkataannya dan malah menangis semakin kencang. Seandainya Yunki tidak datang, barang kali dirinya hanya akan berusaha tegar dan membenamkan diri dalam rasa bersalah tatkala melihat sang buat hati yang masih saja mengucapkan katappa ppadalam igaunya."Aku ada di sini, kau tidak perlu khaw
Jihye sempat stagnan tatkala mendengar pertanyaan yang terlontar dari bilah Yunki sementara tangan mungil Jiyoon terus saja menggapai-gapai udara dengan badan yang terus dicondongkan seolah ingin di pangku sang ayah. Kalau sudah begini, Jihye yang dibuat pening. Seharusnya pertanyaan itu bersifat retoris saja. Apa Yunki tidak bisa melihat kalau anak itu sangat mirip dengannya? Apa dia ingin mendengar kalau Jiyoon adalah anak Hobi? Gila, Yunki sudah gila."Sayang, mau ke mana, sih? Tidak boleh sok akrab dengan orang asing," ucap Jihye memilih mengabaikan pertanyaan Yunki dan berusaha menjauhkan sang anak dari ayahnya.Netranya melirik Hobi meminta pertolongan, mungkin saatnya berlakon bak keluarga kecil nan bahagia kali ini,sedangkan diam-diam Yunki menatap pria itu tajam seolah membangun benteng permusuhan. Ah, Yunki tetaplah Yunki, seorang pribadi impulsif yang masih harus belajar mengendalikan diri dari sikap meledak-ledaknya."Jung Hobi," ucap Hobi meng