Setiap malam aku selalu memikirkan Rani, adik ipar yang datang kesini demi mencapai masa depan indah dan juga melupakan masa lalu yang kelam. Tidak bisa berbuat banyak, aku hanya mengajarkan hidup ini penuh dengan orang-orang yang jahat di belakang kita.Apalagi setelah masalah Sari itu, wanita yang dulu pernah menaruh rasa terhadap Mas Bima. Dendam kepadaku seakan tambah besar sehingga dia ingin mencari gara-gara dengan keluarga ini.Tidak habis pikir jika Rani adalah istri dari Mas Bima, sebuah fitnah kejam karena tidak banyak yang tahu jika dia adalah adik kandung suamiku. Hatiku sangat geram dan ingin saja memakinya habis-habisan."Pokoknya cari tahu apa yang akan dilakukan Sari terhadap keluargaku, bisa-bisanya dia membuat ulah," geramku yang tak kalah kasar dari sikap Sari dahulu.Orang yang aku bayar untuk mencari info tentang Sari mengangguk dan pergi dari rumah ini kala semua perintah telah didengarnya.Pekerjaan di toko tak bisa ku lepas karena Mina, wanita yang selalu memba
"Kamu jangan sombong jadi orang, mentang-mentang sudah kaya lalu berlagak sok jago disini!" teriak Sari saat melihatku yang datang menghampirinya di sebuah warung bakso.Sejenak aku melihat di sekeliling kami, banyak mata yang memasang dan telinga yang siap untuk tahu apa perihal kami saling beradu mulut. Akan tetapi, aku tidaklah orang yang bi doh, masih mempunyai rasa malu andai semua kegaduhan ini terjadi di tempat keramaian."Kita cari tempat untuk menyelesaikan masalah ini, itupun kalau kamu mau. Aku nggak memaksa, asal kamu pikir saja dulu jika aku membalas dan mengatakan apa yang sudah kamu perbuat pada kami yang malu itu kamu!" gertakku dingin.Sepertinya Sari mengerti apa yang aku maksud, dia langsung celingukan dengan mata yang berputar bak bola yang menggelinding di lapangan. Aku menang selangkah lebih dari dia. Mau tidak mau dia memang harus menuruti dengan apa yang aku katakan.Di tempat parkiran deru napas Saat memburu hingga terdengar sampai di telinga ini. Andai dia ma
Badan ini sudah kembali sehat dan saatnya bekerja. Hampir tiga hari aku di rumah membuat tulang terasa kaku. Duduk, makan lalu tidur, seperti itulah kegiatan sehari-hari selama ini."Kamu mau kemana?" tanya Mas Bima saat melihat diriku yang sedang memanasi motor."Toko.""Yakin sudah baikan?" Kembali Mas Bima bertanya dengan pandangan menelisik."Mas, ada masalah apa dengan Sari? Kenapa jadi panjang seperti ini?" Mata tajam itu memicing.Hening, suasana mendadak mendung bak berkabut. Ada sesuatu apa yang disembunyikan Kakak lelakiku ini? Tampangnya menjadi pias seperti seseorang yang dilema. Apakah aku bersalah karena menanyakan hal yang tidak berhak kutahu?Pikiran ini berkecukupan, ada sisi kesalahan yang telah terlampau jauh dan aku merasa bersalah detik ini. "Lupakan!" ucapku sambil tersenyum lalu mencoba untuk tetap tenang. Padahal dalam hati tak karuan."Cintanya pernah kutolak." Akhirnya jawaban itu ku dengar sendiri dari si empunya masalah.Iya, aku rasa bukan diriku yang mas
"Kamu sudah kesini lagi? Aku kira nggak ada nyali untuk datang." Wajahnya yang sebenarnya cantik itu berubah seolah menjadi angkuh nan pongah.Sedang dua lelaki di sampingnya dengan badan penuh tato itu terlihat menyeramkan. Aku yang belum pernah sekalipun bertemu dengan seseorang seperti mereka mendadak panas dingin.Akan tetapi, di depan mereka aku harus tampil sempurna dan seolah tidak pernah takut akan apapun. Bukankah dalam hati ini sudah merencanakan untuk bisa melawan apapun badai yang menghantam?"Ini tempat usaha saya, lalu kenapa harus takut untuk datang? Selama saya benar kaki ini nggak akan pernah berhenti melangkah maju, sama seperti Mbak, siapa saya lupa," ujarku terkekeh."Mari silahkan masuk, kita duduk bersama. Nggak baik jika saling membenci tanpa tahu akar permasalahannya. Kita bukan domba, jadi nggak ada hasilnya jika di adu!"Aku berjalan menuju toko, berharap wanita itu pun turut serta masuk karena akan selalu begini jika tidak ada penyelesaian. Lagi pula kita bu
Tangan itu mengepal, ada seseorang yang disembunyikan. Sejenak kami pun saling diam, tapi bukan denganku. Minuman ini aku nikmati dengan senang hati. Tidak ada yang nggak mungkin jika memang semua bisa dilakukan dengan hati.Orang benar akan selalu mendapatkan jalan baik, tidak memfitnah, memperburuk keadaan ataupun menghina seseorang demi kebaikan dirinya sendiri. Itu bukan sifatku."Lalu siapa yang mencoba meracuni otakku?" gumamnya nyaris tak terdengar."Siapa yang mengatakan jika aku bermain api dengan suamimu?" tanyaku penuh harap.Mata yang tajam dengan hiasan eyeshadow berwarna hitam itu terlihat sedikit menyeramkan. Menandakan si empunya seorang yang garang dan tidak mau mengalah dalam hal apapun.Aku harus lebih sabar untuk mengetahui siapa dalang di balik ini semua. Bukankah dia yang berani mengadu kami seharusnya mendapatkan kejutan kecil yang tidak akan pernah dilupakannya seumur hidup?"Ada apa?" Suara berat dari belakang membuat aku mengalihkan pandangan.Lelaki dengan p
Semua sudah selesai, harapanku. Semoga saja benar adanya dan tidak akan ada lagi kesalahpahaman yang membuat otak ini berpikir keras demi menyelesaikan masalah yang tengah terjadi. Kini aku kembali disibukkan dengan segala aktivitas harian, pelanggan semakin banyak.Pesanan pun berjibun hingga terkadang untuk makan siang saja mengulur waktu demi kepuasan pembeli. Namun, lagi-lagi Mas Bima selalu setia mengingatkan jika kesehatan adalah hal utama. Jadi tidak ada yang namanya kerja keras lalu lupa segalanya."Mbak Rani, besok saya mau cuti sehari karena ada hal penting, boleh?" tanya Rosa saat kami sedang duduk santai."Boleh, bilang saja jika kamu perlu sesuatu. Jangan sungkan, ya," balasku mengulum senyum.Aku tak ingin yang bekerja bersama diriku menjadi takut atau tertekan karena sesuatu itu. Jadi aku menjadi teman kerja, saudara bahkan pemimpin mereka disini. Meskipun tidak ada jarak, aku berharap mereka masih menghargai aku sebagai sesama manusia."Mau tunangan?" celetuk Lusi.Ros
"Rosa, jika ada sesuatu yang mengganjal katakan saja pada kami. Bukankah kami semua adalah keluarga?" ujarku yang membuat dia justru memandang tanpa kedip."Baik, Mbak." Suara itu terdengar berat. Namun, ah, mungkin saja aku terlalu sayang sama dia dan enggan ditinggalkan seperti ini. Kedekatan kami baru saja terjadi sekitar beberapa Minggu dan kini harus ada sebuah kisah tentang dirinya bersama calon pasangan."Mbak Lilik tumben kesini, ada apa gerangan?" tanyaku pada kakak ipar yang selalu menebar senyum itu mengalihkan pembicaraan.Semua berpamitan untuk kembali membersihkan toko karena jam dinding sudah menunjukkan ke arah lima sore. Memang di waktu seperti ini sudah selesai tugas kami, aku tidak mempekerjakan sampai malam. Ada waktu untuk istirahat juga supaya badan tidak terlalu lelah. Karena kesehatan adalah hal yang utama. Sehingga seringkali aku menanyakan kabar mereka berdua jika kami saling bertemu di toko. Kalau mereka bahagia dan senang maka saat melayani pelanggan pun
Mentari pagi mulai menghangat dan menyapa tatkala burung-burung berkicau riang di dahan pepohonan. Suasana sejuk pun seolah membawa ke alam indah yang penuh bunga-bunga bermekaran dan pelangi berwarna-warni. Sungguh sempurna.Seperti tak ada celah, kini semua berjalan baik dan lancar. Mbak Lilik dan Mas Bima pun bahagia dengan segala pencapaian yang telah dihasilkannya. Anak-anak juga menikmati dunianya di pondok pesantren.Empat tahun berlalu di sini aku mencapai puncak keberhasilan dengan dukungan dari kedua orang yang kucintai di tempat baru ini. Sepeda motor baru telah kudapatkan dari hasil jerih payah sendiri dan rencananya tahun depan aku ingin membeli hunian.Untuk hati, biarkan saja aku menikmati kesendirian ini dengan bekerja demi masa depan. Cita-cita yang telah aku ukir buat Ibu Fatimah dan Ayah semoga saja terkabul, meskipun itu ada campur tangan Mas Bima. Karena dia juga mau berbakti kepada Ayah begitu jawabannya saat sedikit demi sedikit rezeki aku kumpulkan."Aku juga a