"Sialan!" Sagara dengan cepat menangkis serangan dari belakang tubuhnya. Dia membanting tuuh lawannya ke tanah, lalu menonjok wajahnya berkali-kali sampai lawannya tumbang. Raditya yang melihat salah satu anggotanya terkapar tak berdaya. Menarik tubuh Sagara lalu mendorongnya pada tiang halte. Memberi pukulan yang dapat ditangkis oleh Sagara.Raditya menatap penuh dendam pada Sagara. "Bajingan kaya lo nggak pantes dapet posisi raja jalanan, anjing!"Sagara mendorong kasar tubuh Raditya. Saat ini hanya tersisa Raditya yang masih bertahan, sedangkan 6 anggota lainnya sudah tumbang. "Gue dapet karena gue pantes. Sedangkan lo dan geng banci lo itu pantesnya main masak-masakan bukan motor di jalanan!" Sagara melempar hinaan pada Raditya. Sambil membanting tubuh lelaki itu di tanah dalam satu gerakan. Sagara menginjak dada Raditya yang kini berteriak kesakitan."Gue peringatin sama lo! Buat berhenti cari masalah sama geng gue! Karena sampai kapanpun kemenangan cuma milik geng Verdon!"
"Lebay banget, sih, lo, anjing! Tinggal naik aja apa susahnya?"Sagara begitu geram ada Viana yang begitu banyak tingkah. Ini sudah hampir jam 06.00 sore, bahkan langit saja mulai menggelap. Tapi, Viana malah memperhambat perjalanan mereka menuju apartement. "Nggak bisa, Gar! Gue nggak mau duduk di jok bekas cewek udik!" Viana tetap kekeh dengan pemikiran gilanya itu. Tidak memperdulikan Sagara yang wajahnya sudah memerah bersiap untuk mengamuk. "Anjing! Dasar cewek ribet banget!" Benar kata Danish, bahwa perempuan itu ribet dan banyak tingkah. Buktinya sudah ada di depan Sagara, dia baru saja percaya karena melihatnya sendiri. Sagaea menatap Viana penuh ancaman. "Viana, naik! Atau gue yang naikin!" Viana melotot kesal mendengar ucapan Sagara. "Mesum banget, sih lo!" Viana bergidik ngeri menatap Sagara. "Pokoknya gue nggak mau naik ke motor lo itu!" lanjut Viana sambil menghentakkan kakinya ke tanah yang becek.Sagara mengetatkan rahangnya, menghadapi Viana memang membutuhkan
"Lo bego atau gimana? Udah jelas dia nyakitin lo, tapi masih aja lo pertahanin?" Sagara tanpa sadar membentak Viana. Saking emosinya dengan Viana yang mudah sekali dibodohi oleh setan bernama cinta. Ini yang dia hindari dari cinta yang dapat mengendalikan diri kita keluar dari prinsip yang sudah kita tentukan. Cinta akan membuat kita bertindak seperti orang bodoh dan selalu merugi."Tapi, gue cinta sama dia, Gar! Mungkin Ravin cuma emosi aja makanya dia bilang kaya gitu sama gue!" Viana mencoba untuk berpikir positif. Berbeda dengan Sagara yang sudah tersulut emosi, entah kenapa dia harus marah mendengar Ravin menyakiti Viana lewat kata-katanya. Dia bisa saja cuek, tapi saat ini dia justru ingin sekali menemui Ravin dan menyeret lelaki itu untuk baku hantam. Sial! Sagara benar-benar tersulut emosinya, terlebih respon Viana yang begitu bodoh menganggap Ravin hanya emosi saat mengatakan itu. "Emosi? Harus banget ngerendahin lo kaya gitu? Mikir, Viana! Cinta boleh, goblok jangan!" A
"Buruan, Viana! Lo nggak usah kebanyakan dandan!" Sagara yang saat ini bersandar di daun pintu kamar Viana, menatap gadis itu dengan lelah. Pasalnya Viana sibuk menata rambutnya sejak 5 menit yang lalu tidak selesai-selesai. "Lo udah cantik, anjir! Ngapain coba lo poleson bedak lagi?" Sagara menatap Viana yang kini memoleskan bedak bayi pada wajah cantiknya. Dia juga memakaikan liptin pada bibirnya agar tidak pucat. Pernak-pernik Viana membuat Sagra berulang kali menarik napas lelah. Bersama Viana selama 2 bulan, Sagara banyak sekali mengalah dan bersabar. Entah apa yang membuat hati Sagara tergerak melakukan semua itu pada Viana. "Iih, bentar dulu, Gar! Gue nggak mau keliatan pucat!" Selain itu dia juga semalaman menangis membuat matanya bengkak. Jadi dia menutupinya menggunakan eyeliner. "Lam banget, anjir! Yang ada kita telat!" Sagara berdecak pelan sambil melipatkan kedua tangan di depan dada.Viana menoleh dengan cengiran, masih merapihkan rambutnya yang menurut Sagara su
"Kalian berdua kenap telat? Hah?" Bu Ajeng menatap tajam pada kedua muridnya yang duduk di depannya.Viana menjawab dengan tenang. "Macet, Bu!" "Alesan aja kamu, Viana!"Bu Ajeng mengambil buku catatan murid yang sering kali membuat ulah. Dia mencatat nama Viana dan juga Sagara yang hari ini terlambat. Nama Viana dan Sagara hampir memenuhi buku catatan karena ulah mereka setiap harinya."Ibu, udah panggil Ravin ke sini buat hukum kalian berdua!" lanjut Bu Ajeng menutup bukunya dengan cepat. Viana seketika mendadak panik mendengar nama Ravin disebut oleh Bu Ajeng. Jangan sampai Ravin tahu jika dia berangkat bersama Sagara, dia saja sudah senang kita datang terlambat ke sekolah. Viana melirik Sagara yang masih terlihat santai pada posisinya. Susah Sagara tidak merasa terbebani dengan hubungan mereka. Berbeda dengan Viana yang memiliki banyak ketakutan kalau hubungannya dengan Sagara terungkap. "Selamat pagi, Bu!"Suara Ravin mengetuk pintu ruang BK. Dia masuk setelah dipersilahkan
"Jadi, Sagara itu selingkuhan lo? Terus gimana hubungan lo sama Ravin? Kalian putus?"Rachell yang baru saja datang bersama Kanara setelah memesan makanan. Melempar serentet pertanyaan pada Viana dalam satu kali tarikan napas. Viana berdehem pelan untuk mengurangi rasa gugup yang hinggap dalam dirinya sejak tadi. "Hubungan gue sama Ravin baik-baik aja, kok! Dan omongan lo yang bilang Sagara selingkuhan gue itu fitnah, ya!" Viana menyedot es coklat miliknya untuk mengalihkan perhatian Kanara yang menatapnya lekat. Tidak ada yang keluar dari mulut Kanara, mungkin sahabatnya itu masih marah padanya. "Gue nggak fitnah, Vi! Cuma liat sikap Sagara kemaren-kemaren sama lo! Dan liat lo berangkat bareng sama Sagara tadi buat gue yakin kalo lo punya hubungan sama Sagara!"Dengan lancarnya Rachell membalas ucapan Viana dengan cepat. Bakat Rachelk dalam soal debat tidak usah diragukan lagi, lawannya sudah pasti akan kalah telak. Sayangnya, Viana sudah menyiapkan jawaban untuk itu."Najis bang
"Bokap gue nggak setuju gue sama Ravin!" Viana menarik napas panjang kala mengingat hal itu. Dia mengaduk-aduk soto miliknya dengan malas. "Emang Ravin pernah ketemu Om Arthur?" Seyra tidak bisa menahan rasa terkejutnya. Pasalnya selama mereka berteman dengan Viana, jarang sekali melihat Arthur ada di rumah.Viana mengangguk pelan. "Pertama kali ketemu bokap gue udah nggak suka sama Ravin. Makanya pas itu Ravin disuir dari rumah, Papa juga ngomong nggak enak sama Ravin.""Vi? Kenapa lo nggak cerita sana kita?"Rachell mendekat kala melihat kesedihan yang tergamar pada wajah Viana. Kanara yang semula duduk di sebrang Viana, berpindah duduk di samping Viana. "Gue takut nambah beban sama kalian. Selama ini gue terlalu banyak ngeluh sama kalian, gue selalu ngerasa kalo gue yang cuma masalah hidup tanpa mikirin masalah kalian juga!"Viana menunduk lesu sambil mendorong mangkoknya agak mejauh darinya. Dia sudah tidak berselera makan, bahkan jika Sagara tidak memasakan Viana makan malam.
"Viana! Lo keterlaluan anjing!" Sagara berteriak sambil berlari mendekat pada tubuh Alin yang sudah tak berdaya. Alin sudah tak sadarkan diri di pangkuan Sagara. Viana menggeleng dengan ekspresi panik. Tubuhnya secara reflek bergetar ketakutan, dia terus menerus menggelengkan kepalanya. "Bu-bukan gue!" Viana semakin panik saat seluruh pasang mata menatap Viana penuh penghakiman. Dia menggeleng semakin panik, saat semua krang menuduh dia lah yang mendorong Alin. Kenyataannya tidak seperti itu, Viana merasa jiak dia menjelaskan yang sebenarnya terjadi itu percuma. Apalagi ketika di posisinya berdiri tidak ada CCTV yang bisa membuktikan hal yang sebenarnya terjadi."Nggak usah ngelak, bangsat! Kalo sampe terjadi apa-apa sama Alin! Lo yang bakal gue pegang, Viana!" Setelah mengatakan itu, Sagara mengangkat tubuh Alin. Dia membawa tubuh Alin menuju mobil Pak Darwis yang salah satu staff TU SMA Galaksi. Mereka akan membawa Alin pada rumah sakit terdekat. Darah Alin terus mengalir memb
"Jadi, Papa nikah sama Tante Alisha di belakang aku selama ini. Pantes aja Papa jarang pulang ke rumah dan lebih milih buat netap tinggal di kota Luton dengan alasan pekerjaan." Tangan Sagara terus mengusap bahu Viana yang berada dalam rangkulannya dengan lembut. Telinganya dia pasang untuk mendengarkan cerita Viana. Saat ini dirinya dan Viana masih berada di kamar gadis itu. Atas permintaan Viana sendiri yang meminta pada dirinya untuk menemani Viana di dalam kamar. Selama pernikahan mereka ini pertama kalinya untuk Sagara dan juga Viana berada di dalam satu kamar yang sama. Apalagi ini kamar utama milik Viana, gadis itu yang melarang keras dirinya untuk tidak memasuki kamarnya sembarang. Ruangan itu tidak begitu luas, tapi tertata rapi dan nyaman. Dindingnya didominasi warna putih bersih, dihiasi dengan beberapa lukisan abstrak bernuansa pastel. Sebuah tempat tidur queen size dengan sprei katun halus berwarna biru muda berada di tengah ruangan, dihiasi dua bantal empuk dan sebuah
"Gara, aku minta maaf atas ucapan Papa."Viana menatap Sagara yang duduk membelakangi jendela besar apartemen mereka. Cahay yang berasal dari lampu jalanan kota malam dari kejauhan menerobos masuk, menciptakan siluet suram dari sosok suaminya yang masih membisu. Sejak kepergian Arthur, ruangan apartemen mewah namun berkonsep minimalis itu seakan kehilangan kehangatannya. Dinding putih bersih dan pencahayaan hangat tak mampu meredam hawa dingin yang menyelimuti keduanya.Sagara masih membeku di tempatnya, kedua tangannya mengepal di pangkuan. Hatinya masih terasa nyeri. Penyesalan Arthur menikahkan dirinya dengan Viana, ditambah ucapan Arthur yang membandingkan dirinya dengan Ravin. Semua itu masih terngiang di telinga Sagara. Dia memang sudah menyadari ini sejak awal. Ayah mertuanya itu sekana tidak mempercayakan Viana sepenuhnya padanya. Ya, itu wajar sih karena dia dan Viaja sebelumnya tidak saling mengenal. Terus juga Arthur seorang Ayah tidak mudah menyerahkan anak gadisnya pada
"Arthur, sekarang kita pulang aja, ya." Alisha mendekat pada sang suami. Dia mengusap bahunya yang bergetar menahan emosi dengan lembut. Berusaha untuk menenangkan pria itu, dia tidak ingin kemarahan Arthur menambah kebencian Viana padanya. Lebih baik dirinya dan Arthur pergi sekarang juga. Situasinya sudah tidak bisa dikondisikan lagi. Ucapan Arthur sudah benar-benar ngawur. Hal yang di luar dari permasalahannya dengan Viana dibawa-bawa. Seperti penyesalannya menikahkan Sagara dengan Viana. Seharusnya Arthur tidak berbicara seperti itu di depan Sagara secara langsung. Itu keputusan Arthur sendiri menikahkan Sagara dengan Viana. Tidak seharusnya Arthur menyesal atas keputusannya sendiri. Bahkan membandingkan Sagara dengan Ravin— kekasih Viana sebelumnya. Itu tidak baik, Sagara pasti akan sakit hati dengan perkataannya. "Viana butuh waktu. Jangan buat permasalahan ini semakin panjang." Alisha segera menarik Arthur keluar dari apartement Viana dan juga Sagara. Suaminya itu han
"Arthur, sekarang kita pulang dulu. Biarin Viana tenang!" Alisha menyadari situasi yang semakin menegangkan. Ditambah gelagat Arthur yang mulai menatap Sagara dengan pandangan berbeda dari biasanya. Dia tahu arti dari tatapan Arthur sudah jelas suaminya itu akan menyalahkan Sagara. Arthur seolah tuli. Dia tidak menggubris ucapan Alisha, dia berjalan mendekat pada Sagara yang bergeming di tempatnya. Tatapan menantunya itu penuh tanya padanya. "Udah berapa kali kamu buat putri saya terluka, Sagara?" Arthur menatap Sagara dengan tajam. Dia tahu apa yang terjadi pada Viana beberapa Minggu terakhir. Dia tahu bahwa Viana diculik oleh musuh Sagara, dan hari ini Viana kembali diculik oleh Agatha. Arthur tahu siapa Agatha, perempuan yang menjadi mantan sahabat putrinya. Dia tidak tahu alasan apa yang membuat Agatha melakukan hal buruk pada Viana. Dia akan mencari tahu itu nantinya. Tujuan dirinya menikahkan Viana dengan Sagara. Selain karena bisnis, dia juga ingin putrinya ada yang men
"Nggak ada orang tua yang tega nelantarin anaknya kaya gini. Bertahun-tahun aku hidup cuma sama Bi Mira, Papa nggak pernah tau apa yang terjadi sama aku. Papa nggak pernah tanya kabar aku kaya gimana di rumah, Papa nggak pernah tanya sekolah aku kaya gimana. Nggak, Pa! Nggak!" Viana bangkit dengan kedua mata berkaca-kaca. Kedua tangannya mengepal dengan sempurna. Menahan gejolak emosi yang siap meledak kapan saja. "Papa, nggak pernah peduli sama aku. Papa berubah semenjak Mama nggak ada," lanjut Viana menutup wajahnya menggunakan kedua tangannya. Isak tangis Viana mulai terdengar. Membuat ruang tamu apartemen itu semakin menegangkan. Hanya ada isak tangis yang tercdengar di ruangan dengan ukuran sedang. "Viana, tolong dengerin penjelasan Papa dulu. Dengan kamu marah-marah sambil nangis kaya gini yang ada masalah nggak selesai-selesai." Arthur mendekat pada Viana, tapi suara putrinya itu kembali terdengar. "Penjelasan apa lagi? Penjelasan kalo Papa sama Tante Alisha nikah diam-di
"Gara, apa yang terjadi sama Viana?" Saat pertama kali Sagara membuka pintu apartemennya. Dikejutkan oleh kehadiran Arthur dan juga Alisha yang bangkit dari sofa. Tidak perlu bertanya bagaimana keduanya bisa masuk ke dalam apartemen dirinya dan juga Viana. Viana yang berada di gendongan Sagara memberontak pelan. Gadis itu mengeratkan pelukannya pada leher Sagara. Dia menyembunyikan wajahnya pada dada bidang Sagara. "Viana, diculik oleh Agatha, Pa." Sagara melangkah semakin dalam memasuki apartemen. Dia menurunkan Viana yang dalam gendongannya pada sofa panjang. Sagara menatap wajah Viana yang mendusel pada dada bidangnya, gadis itu tampak menolak untuk turun dari gendongannya. Terlalu nyaman atau karena apa? "Turun dulu, Vi. Aku mau ambil minum buat kamu." Sagara berbisik lembut pada telinga sang istri. Dia menurunkan Viana dari gendongannya pada sofa di depannya. Kali ini, sang gadis menurut turun dari gendongannya. Namun, wajahnya justru menghadap ke arah lain dengan
"Viana!" Viana mengangkat wajahnya yang sejak tadi saat mendengar teriakan Sagara dari luar. Dia mencoba untuk bangkit dari posisinya, Viana ingin segera menemui Sagara— suaminya. "Gara, aku di sini!" Suara Viana terdengar serak, dia berjalan tertatih melangkah keluar menemui Sagara. Viana tidak melirik sama sekali pada Ravin yang berada di dekatnya. Ravin terdiam saat melihat Viana berjalan melewatinya begitu saja. Dia menolehkan wajahnya menatap pada pintu kayu yang sudah berayap di mana kini Sagara muncul. "Viana!" Sagara berlari mendekati Viana dengan wajah yang dipenuhi kekhawatiran. Lelaki itu segera menarik sang gadis ke dalam dekapan hangatnya. Dia memeluk Viana dengan erat, dia lagi dan lagi gagal menjaga Viana. Dia tidak menyangka akan terjadi hal buruk pada Viana, bukannya tadi gadis itu berada di kediaman keluarga Rajendra? Itu yang membuat Sagara bersikap tenang saat menemui Kinan tadi di apartemennya. Dia mengira Viana aman-aman saja bersama Arthur. Sayangnya,
"Pergi, brengsek! Gue nggak butuh lo!"Viana berteriak mengusir Ravin agar pergi dari hadapannya. Dia menolak saat pria itu ingin menenangkan dirinya yang tengah menangis. Kondisi perempuan itu begitu kacau, rambutnya yang berantakan, serta wajahnya yang memerah dipenuhi oleh air mata, serta seragamnya yang sudah keluar tidak rapi lagi. Penampilan Viana sangat mengenaskan saat ini. "Viana, tolong jangan keras kepala dulu! Aku tau kamu marah sama aku, tapi tolong biarin aku anterin kamu pulang!"Ravin kembali mendekat dengan jaket miliknya yang ingin dia kenakan pada Viana. Ravin rela melepaskan jaket pada tubuhnya dan menyerahkan pada Viana. Tapi, gadis yang kini bukan lagi kekasihnya itu menolak niat baiknya dengan kasar. Padahal apa yang Ravin lakukan saat ini begitu tulus. Viana mengangkat wajahnya yang kini dipenuhi oleh air mata yang terus mengalir dari pipinya. Dia mengusapnya dengan kasar air mata yang tak kunjung berhenti itu. "Nggak usah sok baik, brengsek. Sikap lo yang p
"Agatha!" Suara yang tampak familiar di telinga Agatha terdengar marah. Wanita yang tengah mengandung itu terkejut dan membalikan tubuhnya. Kedua matanya terbelalak saat melihat sosok Ravin berdiri menjulang dengan jarak dekat. "Ravin?" Agatha tidak bisa menyembunyikan keterkejutanya. Wanita itu sampai menutup mulutnya saking syoknya dengan kehadiran Ravin di sini. Dua detik setelahnya keterkejutan Agatha berubah kepanikan. "Apa yang lo lakuin sama pacar gue, Agatha?!" Ravin menatap Agatha begitu tajam. Membuat wanita itu bergetar ketakutan. "Pacar? Bukannya Viana sama kamu udah putus?" Meskipun takut Agatha tetap membalas pertanyaan Ravij dengan pertanyaan lain. "Inget, ya, Vin. Bayi yang ada di dalam perut aku itu anak kamu, seharusnya kamu sekarang tanggung jawab atas perbuatan kamu ke aku. Bukan malah mikirin perempuan murahan itu!" Mendengar ucapan Agatha yang mengatakan Viana perempuan murahan. Membuat Ravin naik pitam, wajahnya seketika mengeras. "Tutup mulut lo, b