"Gue yang nyuruh Ajwng buat nindas cewek kesayangan lo!" Teriakan Viana yang datang bersama ketiga sahabatnya menarik perhatian banyak murid yang berkumpul di SMA Galaksi. Viana yang baru saja mendengar kabar bahwa Ajeng sedang diseret oleh Sagara, setelah menindas murid kelas sepuluh. Tidak perlu bertanya siapa murid kelas sepuluh yang ditindas oleh Ajeng. Viana sudah tahu jawabannya sehingga dia bergegas ke lapangan untuk menyelmatkan Ajeng. Karena, semua in atas perintahnya Viana yang berhak disalahkan bukan Ajeng. Sagara menoleh dengan tatapan yang dipenuhi oleh amarah. "Jadi, lo trouble makernya?" Dia sudah menduga hal ini sejak awal. Viana adalah akar permasalahannya yang membuat banyak orang dirugikan. Dia sangat membenci keangkuhan Viana yang selalu mengandalkan nama keluarga. Viana melirik Ajeng yang sudah bergetar ketakutan. Dia meminta bantuan pada Rachell dan juga Seyra untuk membawa Ajeng pergi. "Lo banci, hah? Lo cowok beraninya kok sama cewek!" Kanara berte
"Jadi, Vi, bisa tolong jelasin kejadian di lapangan itu?" tanya Kanara menuntut penjelasan pada Viana. "Nggak ada yang perlu dijelasin, Na!" Viana membalasnya dengan cepat."Sikap Sagara di kantin kemaren, sama ucapan lo dan pertanyaan Sagara di lapangan. Itu yang lo bilang nggak ada yang perlu dijelasin?" Kanara tak habis pikir dengan Viana. Tidak mungkin ada asap tapi tidak ada api. Masa hal seperti ini aja Viana tidak paham, dan menganggap orang lain bodoh dan bisa percaya saja. Sayangnya, Viana lupa dia memiliki ketiga sahabat yang tidak bisa dibohongi. "Lo tau sendiri kan buaya jaman sekarang kaya gimana? Dia gampang banget perlakuin cewek semanis mungkin. Ujung-ujungnya juga cuma nyakitin aja!" Viana memberikan alasan yang menurutnya logis karena sudah umum hal seperti yang Viana katakan. "Lo pikir kita percaya lagi? Sebuaya-buayanya cowok, ciri-ciri buaya gak ada sama Sagara!" Rachell menyahut sambil mengunyah kentang goreng miliknya. Saat ini mereka sedang berada di kanti
"Sekarang masih mau bilang kalo nggak punya hubungan apa-apa sama cowpk brengsek itu?" Ravin menatap Viana dengan tatapan berbeda. Tangan kekarnya mencengkeram erat stir sampai kubu jarinya memutih. Dia melampiaskan segala bentuk emosi dalam dirinya lewat cengkeraman itu.Viana terdiam seribu bahasa. Dia sudah tidak tahu lagi apa yang harus dia katakan pada Ravin tentang Sagara. Resikonya ketika berbohong, akan selalu ada kebohonganlagi untuk menutupi kebohongan-kebohongan lainnya. "Ravin, aku capek jelasin sama kamu kalo aku nggak punya hubungan apa-apa sama Sagara. Kalo untuk masalah tadi di lapangan, aku cuma kesel aja setiap kali dia belain Alin. Kamu tau sendiri kan, kalo aku nggak suka ada yang ganggu mainan aku!" Viana mengatakan itu begitu cepat tanpa ada jeda. Terdengar tidak begitu jelas suaranya, tapi Viana tidak peduli. Ravin menatap Viana marah, dia memegangi kedua bahu Viana dengan erat. Tidak memperdulikan ringisan Viana yang meminta untuk dilepaskan. "Udah jelas
"Dasar cowok sialan! Gue yang istrinya nggak pernah tuh dianter balik sama dia. Si Alin malah dibiarin duduk di boncengan dia!" Cerocos Viana menatap langit yang kini menangia dengan deras. Langit seakan tahu bahwa kondisi Viana sedang sedih sampai ikut menangis."Gue di halte kejebak ujan, sedangkan Sagara malah nganterin cewek lain balik! Dasar suami durhaka! Lama-lama gue kutuk jadi katak dia!"Mulut Viana tidak berhenti mengocehi Sagara. Dia melupakan sejenak masalahnya dengan Ravin, menunda waktunya untuk menangis."Gue nggak mungkin nangis sendirian di halte sendirian lah! Yang ada ntar ada yang nemenin mbak kun!"Viana bergidik ngeri membayangkan kekasih Sagara yang suka nongkrong di atas pohon.Viana tidak bisa pulang semua orderannya pada grab di tolak karena hujan. Padahal biasanya tidak seperti ini, entahlah ini aneh sekali. Saat hujan mulai reda tersisa gerimis saja. Perasaan Viana mendadak tidak enak saat melihat segerombolan pengendara motor besar lengkap dengan jaket k
"Sialan!" Sagara dengan cepat menangkis serangan dari belakang tubuhnya. Dia membanting tuuh lawannya ke tanah, lalu menonjok wajahnya berkali-kali sampai lawannya tumbang. Raditya yang melihat salah satu anggotanya terkapar tak berdaya. Menarik tubuh Sagara lalu mendorongnya pada tiang halte. Memberi pukulan yang dapat ditangkis oleh Sagara.Raditya menatap penuh dendam pada Sagara. "Bajingan kaya lo nggak pantes dapet posisi raja jalanan, anjing!"Sagara mendorong kasar tubuh Raditya. Saat ini hanya tersisa Raditya yang masih bertahan, sedangkan 6 anggota lainnya sudah tumbang. "Gue dapet karena gue pantes. Sedangkan lo dan geng banci lo itu pantesnya main masak-masakan bukan motor di jalanan!" Sagara melempar hinaan pada Raditya. Sambil membanting tubuh lelaki itu di tanah dalam satu gerakan. Sagara menginjak dada Raditya yang kini berteriak kesakitan."Gue peringatin sama lo! Buat berhenti cari masalah sama geng gue! Karena sampai kapanpun kemenangan cuma milik geng Verdon!"
"Lebay banget, sih, lo, anjing! Tinggal naik aja apa susahnya?"Sagara begitu geram ada Viana yang begitu banyak tingkah. Ini sudah hampir jam 06.00 sore, bahkan langit saja mulai menggelap. Tapi, Viana malah memperhambat perjalanan mereka menuju apartement. "Nggak bisa, Gar! Gue nggak mau duduk di jok bekas cewek udik!" Viana tetap kekeh dengan pemikiran gilanya itu. Tidak memperdulikan Sagara yang wajahnya sudah memerah bersiap untuk mengamuk. "Anjing! Dasar cewek ribet banget!" Benar kata Danish, bahwa perempuan itu ribet dan banyak tingkah. Buktinya sudah ada di depan Sagara, dia baru saja percaya karena melihatnya sendiri. Sagaea menatap Viana penuh ancaman. "Viana, naik! Atau gue yang naikin!" Viana melotot kesal mendengar ucapan Sagara. "Mesum banget, sih lo!" Viana bergidik ngeri menatap Sagara. "Pokoknya gue nggak mau naik ke motor lo itu!" lanjut Viana sambil menghentakkan kakinya ke tanah yang becek.Sagara mengetatkan rahangnya, menghadapi Viana memang membutuhkan
"Lo bego atau gimana? Udah jelas dia nyakitin lo, tapi masih aja lo pertahanin?" Sagara tanpa sadar membentak Viana. Saking emosinya dengan Viana yang mudah sekali dibodohi oleh setan bernama cinta. Ini yang dia hindari dari cinta yang dapat mengendalikan diri kita keluar dari prinsip yang sudah kita tentukan. Cinta akan membuat kita bertindak seperti orang bodoh dan selalu merugi."Tapi, gue cinta sama dia, Gar! Mungkin Ravin cuma emosi aja makanya dia bilang kaya gitu sama gue!" Viana mencoba untuk berpikir positif. Berbeda dengan Sagara yang sudah tersulut emosi, entah kenapa dia harus marah mendengar Ravin menyakiti Viana lewat kata-katanya. Dia bisa saja cuek, tapi saat ini dia justru ingin sekali menemui Ravin dan menyeret lelaki itu untuk baku hantam. Sial! Sagara benar-benar tersulut emosinya, terlebih respon Viana yang begitu bodoh menganggap Ravin hanya emosi saat mengatakan itu. "Emosi? Harus banget ngerendahin lo kaya gitu? Mikir, Viana! Cinta boleh, goblok jangan!" A
"Buruan, Viana! Lo nggak usah kebanyakan dandan!" Sagara yang saat ini bersandar di daun pintu kamar Viana, menatap gadis itu dengan lelah. Pasalnya Viana sibuk menata rambutnya sejak 5 menit yang lalu tidak selesai-selesai. "Lo udah cantik, anjir! Ngapain coba lo poleson bedak lagi?" Sagara menatap Viana yang kini memoleskan bedak bayi pada wajah cantiknya. Dia juga memakaikan liptin pada bibirnya agar tidak pucat. Pernak-pernik Viana membuat Sagra berulang kali menarik napas lelah. Bersama Viana selama 2 bulan, Sagara banyak sekali mengalah dan bersabar. Entah apa yang membuat hati Sagara tergerak melakukan semua itu pada Viana. "Iih, bentar dulu, Gar! Gue nggak mau keliatan pucat!" Selain itu dia juga semalaman menangis membuat matanya bengkak. Jadi dia menutupinya menggunakan eyeliner. "Lam banget, anjir! Yang ada kita telat!" Sagara berdecak pelan sambil melipatkan kedua tangan di depan dada.Viana menoleh dengan cengiran, masih merapihkan rambutnya yang menurut Sagara su
"Gara, aku minta maaf atas ucapan Papa."Viana menatap Sagara yang duduk membelakangi jendela besar apartemen mereka. Cahay yang berasal dari lampu jalanan kota malam dari kejauhan menerobos masuk, menciptakan siluet suram dari sosok suaminya yang masih membisu. Sejak kepergian Arthur, ruangan apartemen mewah namun berkonsep minimalis itu seakan kehilangan kehangatannya. Dinding putih bersih dan pencahayaan hangat tak mampu meredam hawa dingin yang menyelimuti keduanya.Sagara masih membeku di tempatnya, kedua tangannya mengepal di pangkuan. Hatinya masih terasa nyeri. Penyesalan Arthur menikahkan dirinya dengan Viana, ditambah ucapan Arthur yang membandingkan dirinya dengan Ravin. Semua itu masih terngiang di telinga Sagara. Dia memang sudah menyadari ini sejak awal. Ayah mertuanya itu sekana tidak mempercayakan Viana sepenuhnya padanya. Ya, itu wajar sih karena dia dan Viaja sebelumnya tidak saling mengenal. Terus juga Arthur seorang Ayah tidak mudah menyerahkan anak gadisnya pada
"Arthur, sekarang kita pulang aja, ya." Alisha mendekat pada sang suami. Dia mengusap bahunya yang bergetar menahan emosi dengan lembut. Berusaha untuk menenangkan pria itu, dia tidak ingin kemarahan Arthur menambah kebencian Viana padanya. Lebih baik dirinya dan Arthur pergi sekarang juga. Situasinya sudah tidak bisa dikondisikan lagi. Ucapan Arthur sudah benar-benar ngawur. Hal yang di luar dari permasalahannya dengan Viana dibawa-bawa. Seperti penyesalannya menikahkan Sagara dengan Viana. Seharusnya Arthur tidak berbicara seperti itu di depan Sagara secara langsung. Itu keputusan Arthur sendiri menikahkan Sagara dengan Viana. Tidak seharusnya Arthur menyesal atas keputusannya sendiri. Bahkan membandingkan Sagara dengan Ravin— kekasih Viana sebelumnya. Itu tidak baik, Sagara pasti akan sakit hati dengan perkataannya. "Viana butuh waktu. Jangan buat permasalahan ini semakin panjang." Alisha segera menarik Arthur keluar dari apartement Viana dan juga Sagara. Suaminya itu han
"Arthur, sekarang kita pulang dulu. Biarin Viana tenang!" Alisha menyadari situasi yang semakin menegangkan. Ditambah gelagat Arthur yang mulai menatap Sagara dengan pandangan berbeda dari biasanya. Dia tahu arti dari tatapan Arthur sudah jelas suaminya itu akan menyalahkan Sagara. Arthur seolah tuli. Dia tidak menggubris ucapan Alisha, dia berjalan mendekat pada Sagara yang bergeming di tempatnya. Tatapan menantunya itu penuh tanya padanya. "Udah berapa kali kamu buat putri saya terluka, Sagara?" Arthur menatap Sagara dengan tajam. Dia tahu apa yang terjadi pada Viana beberapa Minggu terakhir. Dia tahu bahwa Viana diculik oleh musuh Sagara, dan hari ini Viana kembali diculik oleh Agatha. Arthur tahu siapa Agatha, perempuan yang menjadi mantan sahabat putrinya. Dia tidak tahu alasan apa yang membuat Agatha melakukan hal buruk pada Viana. Dia akan mencari tahu itu nantinya. Tujuan dirinya menikahkan Viana dengan Sagara. Selain karena bisnis, dia juga ingin putrinya ada yang men
"Nggak ada orang tua yang tega nelantarin anaknya kaya gini. Bertahun-tahun aku hidup cuma sama Bi Mira, Papa nggak pernah tau apa yang terjadi sama aku. Papa nggak pernah tanya kabar aku kaya gimana di rumah, Papa nggak pernah tanya sekolah aku kaya gimana. Nggak, Pa! Nggak!" Viana bangkit dengan kedua mata berkaca-kaca. Kedua tangannya mengepal dengan sempurna. Menahan gejolak emosi yang siap meledak kapan saja. "Papa, nggak pernah peduli sama aku. Papa berubah semenjak Mama nggak ada," lanjut Viana menutup wajahnya menggunakan kedua tangannya. Isak tangis Viana mulai terdengar. Membuat ruang tamu apartemen itu semakin menegangkan. Hanya ada isak tangis yang tercdengar di ruangan dengan ukuran sedang. "Viana, tolong dengerin penjelasan Papa dulu. Dengan kamu marah-marah sambil nangis kaya gini yang ada masalah nggak selesai-selesai." Arthur mendekat pada Viana, tapi suara putrinya itu kembali terdengar. "Penjelasan apa lagi? Penjelasan kalo Papa sama Tante Alisha nikah diam-di
"Gara, apa yang terjadi sama Viana?" Saat pertama kali Sagara membuka pintu apartemennya. Dikejutkan oleh kehadiran Arthur dan juga Alisha yang bangkit dari sofa. Tidak perlu bertanya bagaimana keduanya bisa masuk ke dalam apartemen dirinya dan juga Viana. Viana yang berada di gendongan Sagara memberontak pelan. Gadis itu mengeratkan pelukannya pada leher Sagara. Dia menyembunyikan wajahnya pada dada bidang Sagara. "Viana, diculik oleh Agatha, Pa." Sagara melangkah semakin dalam memasuki apartemen. Dia menurunkan Viana yang dalam gendongannya pada sofa panjang. Sagara menatap wajah Viana yang mendusel pada dada bidangnya, gadis itu tampak menolak untuk turun dari gendongannya. Terlalu nyaman atau karena apa? "Turun dulu, Vi. Aku mau ambil minum buat kamu." Sagara berbisik lembut pada telinga sang istri. Dia menurunkan Viana dari gendongannya pada sofa di depannya. Kali ini, sang gadis menurut turun dari gendongannya. Namun, wajahnya justru menghadap ke arah lain dengan
"Viana!" Viana mengangkat wajahnya yang sejak tadi saat mendengar teriakan Sagara dari luar. Dia mencoba untuk bangkit dari posisinya, Viana ingin segera menemui Sagara— suaminya. "Gara, aku di sini!" Suara Viana terdengar serak, dia berjalan tertatih melangkah keluar menemui Sagara. Viana tidak melirik sama sekali pada Ravin yang berada di dekatnya. Ravin terdiam saat melihat Viana berjalan melewatinya begitu saja. Dia menolehkan wajahnya menatap pada pintu kayu yang sudah berayap di mana kini Sagara muncul. "Viana!" Sagara berlari mendekati Viana dengan wajah yang dipenuhi kekhawatiran. Lelaki itu segera menarik sang gadis ke dalam dekapan hangatnya. Dia memeluk Viana dengan erat, dia lagi dan lagi gagal menjaga Viana. Dia tidak menyangka akan terjadi hal buruk pada Viana, bukannya tadi gadis itu berada di kediaman keluarga Rajendra? Itu yang membuat Sagara bersikap tenang saat menemui Kinan tadi di apartemennya. Dia mengira Viana aman-aman saja bersama Arthur. Sayangnya,
"Pergi, brengsek! Gue nggak butuh lo!"Viana berteriak mengusir Ravin agar pergi dari hadapannya. Dia menolak saat pria itu ingin menenangkan dirinya yang tengah menangis. Kondisi perempuan itu begitu kacau, rambutnya yang berantakan, serta wajahnya yang memerah dipenuhi oleh air mata, serta seragamnya yang sudah keluar tidak rapi lagi. Penampilan Viana sangat mengenaskan saat ini. "Viana, tolong jangan keras kepala dulu! Aku tau kamu marah sama aku, tapi tolong biarin aku anterin kamu pulang!"Ravin kembali mendekat dengan jaket miliknya yang ingin dia kenakan pada Viana. Ravin rela melepaskan jaket pada tubuhnya dan menyerahkan pada Viana. Tapi, gadis yang kini bukan lagi kekasihnya itu menolak niat baiknya dengan kasar. Padahal apa yang Ravin lakukan saat ini begitu tulus. Viana mengangkat wajahnya yang kini dipenuhi oleh air mata yang terus mengalir dari pipinya. Dia mengusapnya dengan kasar air mata yang tak kunjung berhenti itu. "Nggak usah sok baik, brengsek. Sikap lo yang p
"Agatha!" Suara yang tampak familiar di telinga Agatha terdengar marah. Wanita yang tengah mengandung itu terkejut dan membalikan tubuhnya. Kedua matanya terbelalak saat melihat sosok Ravin berdiri menjulang dengan jarak dekat. "Ravin?" Agatha tidak bisa menyembunyikan keterkejutanya. Wanita itu sampai menutup mulutnya saking syoknya dengan kehadiran Ravin di sini. Dua detik setelahnya keterkejutan Agatha berubah kepanikan. "Apa yang lo lakuin sama pacar gue, Agatha?!" Ravin menatap Agatha begitu tajam. Membuat wanita itu bergetar ketakutan. "Pacar? Bukannya Viana sama kamu udah putus?" Meskipun takut Agatha tetap membalas pertanyaan Ravij dengan pertanyaan lain. "Inget, ya, Vin. Bayi yang ada di dalam perut aku itu anak kamu, seharusnya kamu sekarang tanggung jawab atas perbuatan kamu ke aku. Bukan malah mikirin perempuan murahan itu!" Mendengar ucapan Agatha yang mengatakan Viana perempuan murahan. Membuat Ravin naik pitam, wajahnya seketika mengeras. "Tutup mulut lo, b
"Lo iblis, Agatha! Gue salah apa sama lo?" Viana memegangi kepalanya yang terasa pening. Pandangan dia sedikit memburam, tapi Viana berusaha keras untuk mempertahankan kesadarannya. "Lo yang buat Ravin nggak mau tanggung jawab sama gue!" Agatha menatap penuh dendam pada Viana. Itu alasan dirinya yang mengajak Viana untuk bertemu agar rencana yang dia susun dilakukan lebih mudah. Agatha sangat menginginkan kehancuran Viana, dia ingin Viana merasakan apa yang terjadi padanya saat ini. Masa depannya hancur karena dia hamil di luar nikah, dia harus menjadi Ibu muda di saat perempuan seumuran dengannya masih menikmati masa-masa SMA. Hal yang memperparah keadaannya saat ini, Ravin menolak bertanggung jawab setelah membuat dirinya hamil. "Lo nyalahin gue?" Viana menatap tak percaya pada Agatha. "Gue nggak ada urusan sama Ravin dan lo, Agatha! Kenapa Lo jadi nyalahin gue?" "Jelas salah lo, Viana! Kalo lo nggak pernah muncul di kehidupan Ravin, mungkin dari dulu gue udah bahagia