"Woi, lo kalo gak bisa main basket gak usah main, anjing!" Teriakan Sagara dengan wajah marahnya. Membuat siapapun takut melihatnya. Keadaan lapangan indoor mendadak hening. Semuanya syok kejadian beberapa saat yang lalu. Bola basket yang dilempar oleh Viana. Nyaris mengenai wajahnya jika saja dirinya tidak menangkapnya dengan sigap. Viana terlihat begitu panik dan merasa bersalah. Namun, gadis itu mencoba untuk menutupinya dengan raut angkuh. Serta tatapan sinis khas seorang Viana. "Sorry, gue gak sengaja!" kata Viana lempeng dengan wajah tanpa dosa. "Maaf doang?" sentak Sagara dengan urat-urat menonjol. "Ya terus gue harus apa? Lagian lo juga gak ada luka, kan? Bola basket ya tadi gak kena muka lo, kan?" cerocos Viana panjang lebar membuat Sagara kian kesal. Karena apa yang gadis itu katakan benar. Dirinya tidak terkena bola basket. Tapi, bukan berarti Viana tidak bersalah. Gadis itu hampir mencelakai orang lain. Tapi, cara minta maafnya terlihat tidak tulus. "Minta maaf sa
"Ck! Lo lagi! Lo lagi! Sejujurnya hari ini gue gak tertarik buat ngajak lo main!" Kanara berjalan menghampiri Alin. Yang wajahnya dicengkeram oleh Viana. "Tapi, karena lo dateng sendiri dengan sengaja dorong Viana! Kita gak mungkin diem aja biarin lo pergi!" lanjut Kanara dengan tatapan angkuh."Aku gak sengaja, kak!" Suara Alin susah payah saat cengkeraman Viana semakin kuat."Gak sengaja lo bilang? Tinggal ngaku aja kalo lo dendem sama gue apa susahnya, sih?" sentak Viana menancapkan kuku panjangnya pada dagu Alin. Rasa perih membuat Alin meringis. "Sakit, kak! Lepas!" rintih Alin begitu pelan."Lepas? Setelah yang lo lakuin ke gue! Gue bakal biarin lo lepas gitu aja?" Viana menghempas cengkeraman pada dagu Alin. Membuat wajah gadis itu terlempar ke samping. Alin hampir saja terjatuh jika saja dirinya tidak berpegangan pada meja. Dia mundur 2 langkah dengan kedua mata berkaca-kaca."Aku minta maaf, kak! Aku gak sengaja sumpah!" Alin menangkup kedua tangannya di dada. "Maaf lo b
"Lo pikir gue peduli sama ancaman lo?" sentak Viana dengan dagu terangkat naik. Menunjukan bahwa ancaman Sagara bukan apa-apa untuknya."Lo siapa? Sampe gue harus nurutin ucapan lo? Harus peduli sama ancaman lo?" Viana menatap Sagara remeh. Tanpa memperdulikan wajah lelaki itu yang semakin mengeras."Gue gak pernah peduli lo mau nindas siapa aja! Tapi, hari ini lo nindas Alin! Sama aja lo cari masalah sama gue!" Sagara membalas tatapan remeh Viana dengan dingin. "Apa urusannya sama lo? Kenapa lo harus belain dia?" Viana menunjuk Alin penuh kebencian. "Urusan dia sama gue! Seharusnya lo gak perlu ikut campur sialan!" "Selain gak punya hati lo gak punya telinga? Lo urusan sama Alin sama aja lo urusan sama gue!" tekan Sagara menahan kemarahan yang sudah berada di puncak. Siap meledak kapan saja.Keadaan kantin semakin mencekam. Perdebatan Viana dan Sagara semakin panas. Tidak ada yang berani mendekat untuk menghentikan keduanya. Sagara dan Viana sama-sama memiliki kekuatan. Yang membua
"Boss, gawat markas dikepung sama geng Onryx!" teriak Kenzo berjalan tergopoh-gopoh. Menghampiri para sahabatnya yang sedang duduk di warung belakang sekolah.Bel pulang sekolah sudah berbunyi sejak tadi. Mereka tidak langsung pulang ke rumah melainkan nongkrong terlebih dahulu. Di warung Pak Iding yang terletak di belakang sekolah. Kenzo yang baru saja kembali setelah mengambil motornya di parkiran sekolah. Membawa berita mengejutkan untuk para sahabatnya.Satya menghentikan sesi makannya. Mie kuah yang dipenuhi oleh cabe rawit itu mendadak tidak berselera lagi. Mendengar ucapan Kenzo beberapa saat yang lalu. Begitupun dengan Danish yang sedang menyeruput kopi panas di atas meja."Brengsek! Kerjaannya cari gara-gara terus mereka!" Satya bangkit dari duduknya. "Boss, kita gak bisa diem aja diginiin!" Danish menyambar jaket kulit miliknya.Sagara yang sejak tadi diam saja sambil mengemil kacang di piring kecil. Dia mulai bersuara sambil mengunyah kacang di dalam mulutnya."Cabut! Kita
"Obatin luka kalian dulu!" Sagara berjalan menuju sofa. Dan mendudukan diri di sana. Keadaan markas begitu berantakan. Membuat Sagara dan anggota geng Verdon lainnya. Berdecak kesal karena mereka harus gotong royong. Membersihkan kekacauan yang dibuat oleh geng Onryx. Pertarungan tadi geng Verdon yang memenangkannya. Geng Onryx kembali dengan kekalahannya. Banyak anggota geng Onryx banyak yang tumbang. Nyatanya kekuatan geng Verdon lebih tinggi dibandingkan geng Onryx. Dalam setiap pertarungan geng Verdon selalu menang. "Mau si Radit apa, sih? Kerjaannya buat rusuh aja!" decak Danish yang mulai mengobati lukanya secara mandiri. "Mereka pengen kita bubar. Tapi, ya mau dia ngacau parah juga gue gak sudi nururtin keinginan dia." Kenzo yanga baru saja kembali dari dapur. Menganbil es batu untuk mengompres. "Bahkan kalo ada perang pertumpahan darah juga geng Verdon gak bakal bubar!" sahut Satya tidak main-main. "Sehidup Semati Bersama Kami" Itu semboyan geng Verdon. Mereka tid
"Gue gak nyangka, sih, kalo selera cewek lo yang kaya gitu!" ucap Viana dengan tatapan meremehkan.Sagara yang baru saja memasuki apartement. Tampak mengabaikan Viana yang bersiap mengajak ribut. Dia melangkah menuju kamarnya. Namun, Viana mencegahnya dengan menghalangi langkah Sagara."Muka lo kenapa?" tanya Viana dengan nada tak acuh. "Bukan urusan lo!" balas Sagara dingin. Dia menggeser tubuhnya dan berjalan melewati Viana. Tapi, lagi dan lagi gadis itu mengahalanginya. "Lo bilang gak ada pacar, Gar!" sentak Viana dengan ekspresi kesal. "Terus kenapa lo malah belain Alin, sialan?!" lanjut Viana dengan tatapan marah.Sagara terkejut saat melihat Viana yang tiba-tiba emosi. Padahal gadis itu tadi terlihat baik-baik saja. Saat bertanya padanya saja Viana hanya menggunakan nada sinis. Tidak ada emosi seperti ini."Lo kenapa, sih?" Sagara pun tak kalah membentak. Dia masih kesal dengan kejadian di kantin siang tadi. Di mana Viana menindas Alin Nazila. "Gue yang harusnya tanya kaya g
"Kalo lagi ada masalah coba dibicarain baik-baik, Non," kata Mira sambil memotong daging sapi yang baru diambil dari kulkas. "Kamu sekarang udah nikah, ya meskipun saya tau kalo pernikahan ini bukan keinginan kamu," lanjut Mira menoleh pada Viana yang senantiasa diam aejak tadi. "Tapi, kamu juga harus nerima pernikahan ini, Non! Umur kamu masih remaja, tapi status kamu udah jadi istri orang. Ubah pola pikir kamu, belajar bersikap dewasa karena kamu punya tanggung jawab sebagai seorang istri." Mira menghampiri Viana. Menyentuh kedua bahu gadis itu yang masih membisu. "Saya tau kamu gak suka sama pernikahan ini, tapi kamu coba kamu mikirnya gini. Setiap keputusan yang kamu ambil, setiap hal yang kamu pilih meskipun itu atas dasar paksaan pasti ada hikmahnya. Ke depan kita gak tau kalo nanti kamu sama Tuan muda Sagara bakal jadi pasangan yang bahagia!" Mira masih terus berbicara panjang lebar. Memberi nasihat pada Viana yang dalam satu bulan ini jauh darinya. Menjalani kehidupan bar
"Bagus! Lo cewek tapi jam segini baru balik!" Sagara menyambut kedatangan Viana dengan tatapan tajam. Lelaki itu menunjukan sebuah ponsel. Memberitahu bahwa saat ini pukul 09.25 malam kota Swinden."Terus apa urusannya sama lo?" balas Viana memasuki apartement. Dengan tangan yang memegang sebuah paper bag berisi rendang.Mira memaksa Viana membawakan rendang untuk Sagara. Karena, Mira bilang Sagara pasti belum makan. Viana sejujurnya tidak peduli dengan lelaki yang berstatus sebagai suaminya. Tapi, Viana hanya menuruti Mira saja. Tidak ada maksud apa-apa pada Sagara."Lo tanya kaya gitu? Otak lo ada di mana sih anjing?" sentak Sagara mulai terpancing emosi.Dia sebagai suami tidak pernah merasa dihargai oleh Viana. Sagara merasa Viana hanya mementingkan diri sendiri. Sagara tidak menyukai sikap Viana yang egois itu. "Gue males ribut sama lo!" Viana meletakan kasar paper bag di tangannya. "Ini makanan buat lo!" Setelah menyerahkan rendang titipan Mira pada Sagara. Lalu, dia melangka
"Arthur, sekarang kita pulang aja, ya." Alisha mendekat pada sang suami. Dia mengusap bahunya yang bergetar menahan emosi dengan lembut. Berusaha untuk menenangkan pria itu, dia tidak ingin kemarahan Arthur menambah kebencian Viana padanya. Lebih baik dirinya dan Arthur pergi sekarang juga. Situasinya sudah tidak bisa dikondisikan lagi. Ucapan Arthur sudah benar-benar ngawur. Hal yang di luar dari permasalahannya dengan Viana dibawa-bawa. Seperti penyesalannya menikahkan Sagara dengan Viana. Seharusnya Arthur tidak berbicara seperti itu di depan Sagara secara langsung. Itu keputusan Arthur sendiri menikahkan Sagara dengan Viana. Tidak seharusnya Arthur menyesal atas keputusannya sendiri. Bahkan membandingkan Sagara dengan Ravin— kekasih Viana sebelumnya. Itu tidak baik, Sagara pasti akan sakit hati dengan perkataannya. "Viana butuh waktu. Jangan buat permasalahan ini semakin panjang." Alisha segera menarik Arthur keluar dari apartement Viana dan juga Sagara. Suaminya itu han
"Arthur, sekarang kita pulang dulu. Biarin Viana tenang!" Alisha menyadari situasi yang semakin menegangkan. Ditambah gelagat Arthur yang mulai menatap Sagara dengan pandangan berbeda dari biasanya. Dia tahu arti dari tatapan Arthur sudah jelas suaminya itu akan menyalahkan Sagara. Arthur seolah tuli. Dia tidak menggubris ucapan Alisha, dia berjalan mendekat pada Sagara yang bergeming di tempatnya. Tatapan menantunya itu penuh tanya padanya. "Udah berapa kali kamu buat putri saya terluka, Sagara?" Arthur menatap Sagara dengan tajam. Dia tahu apa yang terjadi pada Viana beberapa Minggu terakhir. Dia tahu bahwa Viana diculik oleh musuh Sagara, dan hari ini Viana kembali diculik oleh Agatha. Arthur tahu siapa Agatha, perempuan yang menjadi mantan sahabat putrinya. Dia tidak tahu alasan apa yang membuat Agatha melakukan hal buruk pada Viana. Dia akan mencari tahu itu nantinya. Tujuan dirinya menikahkan Viana dengan Sagara. Selain karena bisnis, dia juga ingin putrinya ada yang men
"Nggak ada orang tua yang tega nelantarin anaknya kaya gini. Bertahun-tahun aku hidup cuma sama Bi Mira, Papa nggak pernah tau apa yang terjadi sama aku. Papa nggak pernah tanya kabar aku kaya gimana di rumah, Papa nggak pernah tanya sekolah aku kaya gimana. Nggak, Pa! Nggak!" Viana bangkit dengan kedua mata berkaca-kaca. Kedua tangannya mengepal dengan sempurna. Menahan gejolak emosi yang siap meledak kapan saja. "Papa, nggak pernah peduli sama aku. Papa berubah semenjak Mama nggak ada," lanjut Viana menutup wajahnya menggunakan kedua tangannya. Isak tangis Viana mulai terdengar. Membuat ruang tamu apartemen itu semakin menegangkan. Hanya ada isak tangis yang tercdengar di ruangan dengan ukuran sedang. "Viana, tolong dengerin penjelasan Papa dulu. Dengan kamu marah-marah sambil nangis kaya gini yang ada masalah nggak selesai-selesai." Arthur mendekat pada Viana, tapi suara putrinya itu kembali terdengar. "Penjelasan apa lagi? Penjelasan kalo Papa sama Tante Alisha nikah diam-di
"Gara, apa yang terjadi sama Viana?" Saat pertama kali Sagara membuka pintu apartemennya. Dikejutkan oleh kehadiran Arthur dan juga Alisha yang bangkit dari sofa. Tidak perlu bertanya bagaimana keduanya bisa masuk ke dalam apartemen dirinya dan juga Viana. Viana yang berada di gendongan Sagara memberontak pelan. Gadis itu mengeratkan pelukannya pada leher Sagara. Dia menyembunyikan wajahnya pada dada bidang Sagara. "Viana, diculik oleh Agatha, Pa." Sagara melangkah semakin dalam memasuki apartemen. Dia menurunkan Viana yang dalam gendongannya pada sofa panjang. Sagara menatap wajah Viana yang mendusel pada dada bidangnya, gadis itu tampak menolak untuk turun dari gendongannya. Terlalu nyaman atau karena apa? "Turun dulu, Vi. Aku mau ambil minum buat kamu." Sagara berbisik lembut pada telinga sang istri. Dia menurunkan Viana dari gendongannya pada sofa di depannya. Kali ini, sang gadis menurut turun dari gendongannya. Namun, wajahnya justru menghadap ke arah lain dengan
"Viana!" Viana mengangkat wajahnya yang sejak tadi saat mendengar teriakan Sagara dari luar. Dia mencoba untuk bangkit dari posisinya, Viana ingin segera menemui Sagara— suaminya. "Gara, aku di sini!" Suara Viana terdengar serak, dia berjalan tertatih melangkah keluar menemui Sagara. Viana tidak melirik sama sekali pada Ravin yang berada di dekatnya. Ravin terdiam saat melihat Viana berjalan melewatinya begitu saja. Dia menolehkan wajahnya menatap pada pintu kayu yang sudah berayap di mana kini Sagara muncul. "Viana!" Sagara berlari mendekati Viana dengan wajah yang dipenuhi kekhawatiran. Lelaki itu segera menarik sang gadis ke dalam dekapan hangatnya. Dia memeluk Viana dengan erat, dia lagi dan lagi gagal menjaga Viana. Dia tidak menyangka akan terjadi hal buruk pada Viana, bukannya tadi gadis itu berada di kediaman keluarga Rajendra? Itu yang membuat Sagara bersikap tenang saat menemui Kinan tadi di apartemennya. Dia mengira Viana aman-aman saja bersama Arthur. Sayangnya,
"Pergi, brengsek! Gue nggak butuh lo!"Viana berteriak mengusir Ravin agar pergi dari hadapannya. Dia menolak saat pria itu ingin menenangkan dirinya yang tengah menangis. Kondisi perempuan itu begitu kacau, rambutnya yang berantakan, serta wajahnya yang memerah dipenuhi oleh air mata, serta seragamnya yang sudah keluar tidak rapi lagi. Penampilan Viana sangat mengenaskan saat ini. "Viana, tolong jangan keras kepala dulu! Aku tau kamu marah sama aku, tapi tolong biarin aku anterin kamu pulang!"Ravin kembali mendekat dengan jaket miliknya yang ingin dia kenakan pada Viana. Ravin rela melepaskan jaket pada tubuhnya dan menyerahkan pada Viana. Tapi, gadis yang kini bukan lagi kekasihnya itu menolak niat baiknya dengan kasar. Padahal apa yang Ravin lakukan saat ini begitu tulus. Viana mengangkat wajahnya yang kini dipenuhi oleh air mata yang terus mengalir dari pipinya. Dia mengusapnya dengan kasar air mata yang tak kunjung berhenti itu. "Nggak usah sok baik, brengsek. Sikap lo yang p
"Agatha!" Suara yang tampak familiar di telinga Agatha terdengar marah. Wanita yang tengah mengandung itu terkejut dan membalikan tubuhnya. Kedua matanya terbelalak saat melihat sosok Ravin berdiri menjulang dengan jarak dekat. "Ravin?" Agatha tidak bisa menyembunyikan keterkejutanya. Wanita itu sampai menutup mulutnya saking syoknya dengan kehadiran Ravin di sini. Dua detik setelahnya keterkejutan Agatha berubah kepanikan. "Apa yang lo lakuin sama pacar gue, Agatha?!" Ravin menatap Agatha begitu tajam. Membuat wanita itu bergetar ketakutan. "Pacar? Bukannya Viana sama kamu udah putus?" Meskipun takut Agatha tetap membalas pertanyaan Ravij dengan pertanyaan lain. "Inget, ya, Vin. Bayi yang ada di dalam perut aku itu anak kamu, seharusnya kamu sekarang tanggung jawab atas perbuatan kamu ke aku. Bukan malah mikirin perempuan murahan itu!" Mendengar ucapan Agatha yang mengatakan Viana perempuan murahan. Membuat Ravin naik pitam, wajahnya seketika mengeras. "Tutup mulut lo, b
"Lo iblis, Agatha! Gue salah apa sama lo?" Viana memegangi kepalanya yang terasa pening. Pandangan dia sedikit memburam, tapi Viana berusaha keras untuk mempertahankan kesadarannya. "Lo yang buat Ravin nggak mau tanggung jawab sama gue!" Agatha menatap penuh dendam pada Viana. Itu alasan dirinya yang mengajak Viana untuk bertemu agar rencana yang dia susun dilakukan lebih mudah. Agatha sangat menginginkan kehancuran Viana, dia ingin Viana merasakan apa yang terjadi padanya saat ini. Masa depannya hancur karena dia hamil di luar nikah, dia harus menjadi Ibu muda di saat perempuan seumuran dengannya masih menikmati masa-masa SMA. Hal yang memperparah keadaannya saat ini, Ravin menolak bertanggung jawab setelah membuat dirinya hamil. "Lo nyalahin gue?" Viana menatap tak percaya pada Agatha. "Gue nggak ada urusan sama Ravin dan lo, Agatha! Kenapa Lo jadi nyalahin gue?" "Jelas salah lo, Viana! Kalo lo nggak pernah muncul di kehidupan Ravin, mungkin dari dulu gue udah bahagia
"Mau Ravin tanggung jawab sama lo atau nggak itu bukan urusan gue!" Viana melipatkan kedua tangannya di depan dada. Gadis itu justru tersenyum lebar seakan memuas pada Agatha yang kini mencak-mencak di depannya. Viana tahu bahwa dirinya jahat saat bahagia mendengar Ravin yang tidak ingin bertanggung jawab atas perbuatannya pada Agatha. Mengakibatkan perempuan itu hamil di usianya yang masih sangat muda. Namun, rasa sakit hati dan kebenciannya yang kini tersemat pada dadanya pada Agatha dan juga mantan kekasihnya itu membuat Viana merasa bahagia di atas penderitaan Agatha. Viana menyalahkan Agatha yang menjadi penyebab utama hubungannya dengan Ravin kandas. Pasalnya, Viana sangat yakin apabila Agatha tidak menggoda Ravin terlebih dahulu mereka tidak akan menjalin sebuah hubungan perselingkuhan di belakang Viana. Namun, bukan karena dia menyalahkan Agatha, Ravin tidak salah sama sekali, ya. Ravin juga salah, karena pria itu yang dengan mudahnya terpancing oleh godaan perempuan muraha