"Jadi, Sagara yang tawuran?" tanya Viana entah pada siapa. Saat ini dirinya sudah berada di apartement. Tepat pada pukul 07.00 malam kota Swinden. Ravin sudah mengantar dirinya pulang. Tapi, bukan ke apartement melainkan ke rumah dirinya dulu. Setelah mobil Ravin menjauh, Viana memesan sebuah grab untuk mengantarkan dirinya ke apartement. Dia berat hati meninggalkan kediaman Rajendra yang begitu megah. Dia ingin tetap tinggal dan menginap satu malam di kamar kesayangannya. Namun, para pekerja rumahnya pasti akan melaporkan semua ini pada Arthur. Viana saja tadi berharap kehadirannya di depan gerbang megah yang menjulang tinggi. Tidak tertangkap oleh CCTV. "Gue gak tau, sih, apa yang bakal terjadi kalo semisal gue kerekam CCTV!" kata Viana sedikit ragu mengingat dirinya berdiri epat di depan gerbang. Beruntung saat itu Pak Satpam di rumahnya tidak ada di depan gerbang. Jika ada, sudah pasti pria tua itu akan berbicara panjang lebar dan mengadukan semuanya pada Arthur. "Bodo amatla
"Papa, udah bilang berapa kali? Bubarin geng sampah itu!" Suara Daniel menggelegar di ruang tamu kediaman Giantara.Sagara, lelaki yang masih menggunakan seragam sekolah. Yang tampak berantakan dan kotor. Hanya bisa menatap Daniel tak acuh. Tidak ada ketakutan sedikitpun dari tatapan Sagara. Sudah dari 15 menit yang lalu Daniel memarahi dirinya."Sagara! Kelakuan kamu buat nama keluarga buruk di depan banyak orang!" Daniel kembali berbicara saat lagi-lagi Sagara tidak merespon. "Papa malu punya anak yang suka tawuran kaya kamu!" "Terus aku harus apa? Nurutin semua keinginan Papa kaya sebelum-sebelumnya gitu?" Sagara mengeluarkan suara pada akhirnya. "Kalo Papa ngarepin aku bakal bubarin geng Verdon. Sampai kapanpun itu gak bakal terjadi.""Kamu mau sampai kapan jadi anak pembangkang?" sentak Daniel dengan rahang mengetat.Pria paruh baya yang menggunakan kemeja hitam. Yang kedua lengannya digulung sampai siku. Daniel memijat pelipisnya yang terasa pening. "Pembangkang?" Sagara terta
"Mau ditaruh di mana muka gue?" Viana memukul bantal sofa dengan kesal. Dia sangat menyesali mengirimkan pesan pada Sagara. Seharusnya Viana bisa menahan diri. Bukan malah menuruti rasa penasarannya terhadap Sagara. Bersikap tidak peduli seperti biasanya saja. Lagi pula kalaupun Sagara sekarat karena tawuran. Tidak ada urusan dengannya. "Nyesel, kan, lo, Vi!" maki Viana pada dirinya sendiri.Dia bangkit dari posisi duduknya. Berjalan mondar-mandir seperti setrikaan. Semua hanya karena dirinya yang mengirim pesan pada Sagara. Tapi, seperti dia melakukan sesuatu yang sangat memalukan. Sejujurnya dia hanya takut Sagara akan mengejek dirinya setelah ini."Tinggal lo cuek aja, Vi! Gak usah lo peduliin si preman pasar!" kata Viana berbicara sendiri."Tapi, gak segampang itu, anjir! Gue pasti gak bakal bisa diem aja!" Viana menggeleng cepat."Oh, Viana! Kenapa perkara chat aja lo seheboh ini, sih!" Viana menjatuhkan kembali tubuhnya di sofa panjang.Dengan posisi tengkurap. Dia sibuk memik
"Gue beneran gak punya pacar, Viana!" Sagara lelah menghadapi Viana yang terus mendesak dirinya. Menganggap jika ucapan dirinya hanya kebohongan belaka.Untuk apa Sagara berbohong untuk hal tidak penting seperti itu? Lagi pula apa yang aneh kalau tidak memiliki pacar? Dan apa untungnya juga menjalin hubungan asmara dengan perempuan? Sagara tidak tertarik berdekatan dengan lawan jenis. Apalagi menjalin hubungan dengan mereka? Perempuan itu ribet dan banyak tingkah. Sagara yang memiliki kesabaran setipis tisu tidak sanggup menghadapi makhluk hidup bernama perempuan. Mereka itu selalu ingin dimengerti. Dan dari pengalaman teman-teman Sagara. Terutama Kenzo si buaya darat. Menjalin hubungan dengan perempuan membuat hanya buang-buang waktu saja. "Gue gak percaya, sih! Gimana, ya, Gar? Muka lo emang kaya preman pasar tapi masa gak ada satu cewek yang nyantol sama lo!" Viana tentu gengsi mengatakan jika Sagara tampan. Yang ada Sagara akan terbang tinggi sampai ke langit ke-7. "Bukan gak a
"Ya ampun gue makin cantik aja kalo pake seragam olahraga!" Seyra menatap postur tubuh rampingnya di depan cermin kamar mandi. Tubuh moleknya dilapisi kaos olahraga yang ketat. Sehingga mempertontonkan lekuk tubuhnya. Seyra berpose dengan gaya centil di depan cermin. "Bisa gak, sih, tiap hari make olahraga aja?" Seyra mengoceh sejak tadi. Tidak dipedulikan oleh ketiga sahabatnya. Yang sibuk merias diri sebelum pelajaran olahraga di mulai. Saat ini ke empat gadis itu sedang berada di ruang ganti. Yang letaknya tepat di samping kamar mandi perempuan. Hanya ada mereka berempat. Karena, mereka menggunakan kamar mandi yang berada di gedung belakang sekolah. Tempat favorite mereka yang kemaren mereka gunakan untuk menindas Alin. "Bacot lo! Telinga gue sakit dengerin suara lo!" sentak Rachell sambil mengikat rambut panjangnya tinggi. Sehingga mempertontonkan leher jenjangnya. "Dasar sirik!" Seyra mendelik tak terima. Rachel menoleh pada Seyra. Sambil berkacak pinggang. "G
"Kita pemanasan dulu, guys!" teriak Rangga selaku ketua kelas XII I. Dia memasuki lapangan indoor bersama Farell sambil membawa bola basket. Rangga meletakan peralatan olahraga yang akan digunakan oleh XII I pada tribun. Dia menyuruh teman-teman sekelasnya untuk berbaris rapi. "Sebelumnya sambil nunggu Pak Aris datang. Gue yang bakal mimpin pemanasan kali ini!" Intrupsi dari Rangga membuat satu kelas mengikuti gerakan siswa itu memulai pemanasan. Barisan siswa dan siswi dipisah. Diberi jarak sekitar setengah meter. Barisan siswi berada di sebelah kanan. Sedangkan barisan siswa berada di sebelah kiri. Barisan tersebut terbagi menjadi tiga baris. Viana berada di posisi barisan pertama dari sebelah kiri. Di mana dirinya berada di dekat barisan siswa. Semua ini berkat Seyra yang memaksa dirinya untuk baris di dekat barisan siswa. Alasannya apa lagi selain Seyra ingin menarik perhatian Sagara. Lihatlah saat ini Seyra bahkan sudah melirik Sagara secara terang-terangan. "Woi, Sey
"Woi, lo kalo gak bisa main basket gak usah main, anjing!" Teriakan Sagara dengan wajah marahnya. Membuat siapapun takut melihatnya. Keadaan lapangan indoor mendadak hening. Semuanya syok kejadian beberapa saat yang lalu. Bola basket yang dilempar oleh Viana. Nyaris mengenai wajahnya jika saja dirinya tidak menangkapnya dengan sigap. Viana terlihat begitu panik dan merasa bersalah. Namun, gadis itu mencoba untuk menutupinya dengan raut angkuh. Serta tatapan sinis khas seorang Viana. "Sorry, gue gak sengaja!" kata Viana lempeng dengan wajah tanpa dosa. "Maaf doang?" sentak Sagara dengan urat-urat menonjol. "Ya terus gue harus apa? Lagian lo juga gak ada luka, kan? Bola basket ya tadi gak kena muka lo, kan?" cerocos Viana panjang lebar membuat Sagara kian kesal. Karena apa yang gadis itu katakan benar. Dirinya tidak terkena bola basket. Tapi, bukan berarti Viana tidak bersalah. Gadis itu hampir mencelakai orang lain. Tapi, cara minta maafnya terlihat tidak tulus. "Minta maaf sa
"Ck! Lo lagi! Lo lagi! Sejujurnya hari ini gue gak tertarik buat ngajak lo main!" Kanara berjalan menghampiri Alin. Yang wajahnya dicengkeram oleh Viana. "Tapi, karena lo dateng sendiri dengan sengaja dorong Viana! Kita gak mungkin diem aja biarin lo pergi!" lanjut Kanara dengan tatapan angkuh."Aku gak sengaja, kak!" Suara Alin susah payah saat cengkeraman Viana semakin kuat."Gak sengaja lo bilang? Tinggal ngaku aja kalo lo dendem sama gue apa susahnya, sih?" sentak Viana menancapkan kuku panjangnya pada dagu Alin. Rasa perih membuat Alin meringis. "Sakit, kak! Lepas!" rintih Alin begitu pelan."Lepas? Setelah yang lo lakuin ke gue! Gue bakal biarin lo lepas gitu aja?" Viana menghempas cengkeraman pada dagu Alin. Membuat wajah gadis itu terlempar ke samping. Alin hampir saja terjatuh jika saja dirinya tidak berpegangan pada meja. Dia mundur 2 langkah dengan kedua mata berkaca-kaca."Aku minta maaf, kak! Aku gak sengaja sumpah!" Alin menangkup kedua tangannya di dada. "Maaf lo b
"Arthur, sekarang kita pulang aja, ya." Alisha mendekat pada sang suami. Dia mengusap bahunya yang bergetar menahan emosi dengan lembut. Berusaha untuk menenangkan pria itu, dia tidak ingin kemarahan Arthur menambah kebencian Viana padanya. Lebih baik dirinya dan Arthur pergi sekarang juga. Situasinya sudah tidak bisa dikondisikan lagi. Ucapan Arthur sudah benar-benar ngawur. Hal yang di luar dari permasalahannya dengan Viana dibawa-bawa. Seperti penyesalannya menikahkan Sagara dengan Viana. Seharusnya Arthur tidak berbicara seperti itu di depan Sagara secara langsung. Itu keputusan Arthur sendiri menikahkan Sagara dengan Viana. Tidak seharusnya Arthur menyesal atas keputusannya sendiri. Bahkan membandingkan Sagara dengan Ravin— kekasih Viana sebelumnya. Itu tidak baik, Sagara pasti akan sakit hati dengan perkataannya. "Viana butuh waktu. Jangan buat permasalahan ini semakin panjang." Alisha segera menarik Arthur keluar dari apartement Viana dan juga Sagara. Suaminya itu han
"Arthur, sekarang kita pulang dulu. Biarin Viana tenang!" Alisha menyadari situasi yang semakin menegangkan. Ditambah gelagat Arthur yang mulai menatap Sagara dengan pandangan berbeda dari biasanya. Dia tahu arti dari tatapan Arthur sudah jelas suaminya itu akan menyalahkan Sagara. Arthur seolah tuli. Dia tidak menggubris ucapan Alisha, dia berjalan mendekat pada Sagara yang bergeming di tempatnya. Tatapan menantunya itu penuh tanya padanya. "Udah berapa kali kamu buat putri saya terluka, Sagara?" Arthur menatap Sagara dengan tajam. Dia tahu apa yang terjadi pada Viana beberapa Minggu terakhir. Dia tahu bahwa Viana diculik oleh musuh Sagara, dan hari ini Viana kembali diculik oleh Agatha. Arthur tahu siapa Agatha, perempuan yang menjadi mantan sahabat putrinya. Dia tidak tahu alasan apa yang membuat Agatha melakukan hal buruk pada Viana. Dia akan mencari tahu itu nantinya. Tujuan dirinya menikahkan Viana dengan Sagara. Selain karena bisnis, dia juga ingin putrinya ada yang men
"Nggak ada orang tua yang tega nelantarin anaknya kaya gini. Bertahun-tahun aku hidup cuma sama Bi Mira, Papa nggak pernah tau apa yang terjadi sama aku. Papa nggak pernah tanya kabar aku kaya gimana di rumah, Papa nggak pernah tanya sekolah aku kaya gimana. Nggak, Pa! Nggak!" Viana bangkit dengan kedua mata berkaca-kaca. Kedua tangannya mengepal dengan sempurna. Menahan gejolak emosi yang siap meledak kapan saja. "Papa, nggak pernah peduli sama aku. Papa berubah semenjak Mama nggak ada," lanjut Viana menutup wajahnya menggunakan kedua tangannya. Isak tangis Viana mulai terdengar. Membuat ruang tamu apartemen itu semakin menegangkan. Hanya ada isak tangis yang tercdengar di ruangan dengan ukuran sedang. "Viana, tolong dengerin penjelasan Papa dulu. Dengan kamu marah-marah sambil nangis kaya gini yang ada masalah nggak selesai-selesai." Arthur mendekat pada Viana, tapi suara putrinya itu kembali terdengar. "Penjelasan apa lagi? Penjelasan kalo Papa sama Tante Alisha nikah diam-di
"Gara, apa yang terjadi sama Viana?" Saat pertama kali Sagara membuka pintu apartemennya. Dikejutkan oleh kehadiran Arthur dan juga Alisha yang bangkit dari sofa. Tidak perlu bertanya bagaimana keduanya bisa masuk ke dalam apartemen dirinya dan juga Viana. Viana yang berada di gendongan Sagara memberontak pelan. Gadis itu mengeratkan pelukannya pada leher Sagara. Dia menyembunyikan wajahnya pada dada bidang Sagara. "Viana, diculik oleh Agatha, Pa." Sagara melangkah semakin dalam memasuki apartemen. Dia menurunkan Viana yang dalam gendongannya pada sofa panjang. Sagara menatap wajah Viana yang mendusel pada dada bidangnya, gadis itu tampak menolak untuk turun dari gendongannya. Terlalu nyaman atau karena apa? "Turun dulu, Vi. Aku mau ambil minum buat kamu." Sagara berbisik lembut pada telinga sang istri. Dia menurunkan Viana dari gendongannya pada sofa di depannya. Kali ini, sang gadis menurut turun dari gendongannya. Namun, wajahnya justru menghadap ke arah lain dengan
"Viana!" Viana mengangkat wajahnya yang sejak tadi saat mendengar teriakan Sagara dari luar. Dia mencoba untuk bangkit dari posisinya, Viana ingin segera menemui Sagara— suaminya. "Gara, aku di sini!" Suara Viana terdengar serak, dia berjalan tertatih melangkah keluar menemui Sagara. Viana tidak melirik sama sekali pada Ravin yang berada di dekatnya. Ravin terdiam saat melihat Viana berjalan melewatinya begitu saja. Dia menolehkan wajahnya menatap pada pintu kayu yang sudah berayap di mana kini Sagara muncul. "Viana!" Sagara berlari mendekati Viana dengan wajah yang dipenuhi kekhawatiran. Lelaki itu segera menarik sang gadis ke dalam dekapan hangatnya. Dia memeluk Viana dengan erat, dia lagi dan lagi gagal menjaga Viana. Dia tidak menyangka akan terjadi hal buruk pada Viana, bukannya tadi gadis itu berada di kediaman keluarga Rajendra? Itu yang membuat Sagara bersikap tenang saat menemui Kinan tadi di apartemennya. Dia mengira Viana aman-aman saja bersama Arthur. Sayangnya,
"Pergi, brengsek! Gue nggak butuh lo!"Viana berteriak mengusir Ravin agar pergi dari hadapannya. Dia menolak saat pria itu ingin menenangkan dirinya yang tengah menangis. Kondisi perempuan itu begitu kacau, rambutnya yang berantakan, serta wajahnya yang memerah dipenuhi oleh air mata, serta seragamnya yang sudah keluar tidak rapi lagi. Penampilan Viana sangat mengenaskan saat ini. "Viana, tolong jangan keras kepala dulu! Aku tau kamu marah sama aku, tapi tolong biarin aku anterin kamu pulang!"Ravin kembali mendekat dengan jaket miliknya yang ingin dia kenakan pada Viana. Ravin rela melepaskan jaket pada tubuhnya dan menyerahkan pada Viana. Tapi, gadis yang kini bukan lagi kekasihnya itu menolak niat baiknya dengan kasar. Padahal apa yang Ravin lakukan saat ini begitu tulus. Viana mengangkat wajahnya yang kini dipenuhi oleh air mata yang terus mengalir dari pipinya. Dia mengusapnya dengan kasar air mata yang tak kunjung berhenti itu. "Nggak usah sok baik, brengsek. Sikap lo yang p
"Agatha!" Suara yang tampak familiar di telinga Agatha terdengar marah. Wanita yang tengah mengandung itu terkejut dan membalikan tubuhnya. Kedua matanya terbelalak saat melihat sosok Ravin berdiri menjulang dengan jarak dekat. "Ravin?" Agatha tidak bisa menyembunyikan keterkejutanya. Wanita itu sampai menutup mulutnya saking syoknya dengan kehadiran Ravin di sini. Dua detik setelahnya keterkejutan Agatha berubah kepanikan. "Apa yang lo lakuin sama pacar gue, Agatha?!" Ravin menatap Agatha begitu tajam. Membuat wanita itu bergetar ketakutan. "Pacar? Bukannya Viana sama kamu udah putus?" Meskipun takut Agatha tetap membalas pertanyaan Ravij dengan pertanyaan lain. "Inget, ya, Vin. Bayi yang ada di dalam perut aku itu anak kamu, seharusnya kamu sekarang tanggung jawab atas perbuatan kamu ke aku. Bukan malah mikirin perempuan murahan itu!" Mendengar ucapan Agatha yang mengatakan Viana perempuan murahan. Membuat Ravin naik pitam, wajahnya seketika mengeras. "Tutup mulut lo, b
"Lo iblis, Agatha! Gue salah apa sama lo?" Viana memegangi kepalanya yang terasa pening. Pandangan dia sedikit memburam, tapi Viana berusaha keras untuk mempertahankan kesadarannya. "Lo yang buat Ravin nggak mau tanggung jawab sama gue!" Agatha menatap penuh dendam pada Viana. Itu alasan dirinya yang mengajak Viana untuk bertemu agar rencana yang dia susun dilakukan lebih mudah. Agatha sangat menginginkan kehancuran Viana, dia ingin Viana merasakan apa yang terjadi padanya saat ini. Masa depannya hancur karena dia hamil di luar nikah, dia harus menjadi Ibu muda di saat perempuan seumuran dengannya masih menikmati masa-masa SMA. Hal yang memperparah keadaannya saat ini, Ravin menolak bertanggung jawab setelah membuat dirinya hamil. "Lo nyalahin gue?" Viana menatap tak percaya pada Agatha. "Gue nggak ada urusan sama Ravin dan lo, Agatha! Kenapa Lo jadi nyalahin gue?" "Jelas salah lo, Viana! Kalo lo nggak pernah muncul di kehidupan Ravin, mungkin dari dulu gue udah bahagia
"Mau Ravin tanggung jawab sama lo atau nggak itu bukan urusan gue!" Viana melipatkan kedua tangannya di depan dada. Gadis itu justru tersenyum lebar seakan memuas pada Agatha yang kini mencak-mencak di depannya. Viana tahu bahwa dirinya jahat saat bahagia mendengar Ravin yang tidak ingin bertanggung jawab atas perbuatannya pada Agatha. Mengakibatkan perempuan itu hamil di usianya yang masih sangat muda. Namun, rasa sakit hati dan kebenciannya yang kini tersemat pada dadanya pada Agatha dan juga mantan kekasihnya itu membuat Viana merasa bahagia di atas penderitaan Agatha. Viana menyalahkan Agatha yang menjadi penyebab utama hubungannya dengan Ravin kandas. Pasalnya, Viana sangat yakin apabila Agatha tidak menggoda Ravin terlebih dahulu mereka tidak akan menjalin sebuah hubungan perselingkuhan di belakang Viana. Namun, bukan karena dia menyalahkan Agatha, Ravin tidak salah sama sekali, ya. Ravin juga salah, karena pria itu yang dengan mudahnya terpancing oleh godaan perempuan muraha