Mutia mengangguk. Tapi selanjutnya dia sadar kalau ibunya tidak bisa melihat anggukan kepala nya. "Iya, ibu benar.""Lalu pekerjaan kamu sebagai asisten rumah tangga gimana? Apa kamu masih bisa hidup di kota? Kalau kamu dipecat majikanmu, kamu kembali ke desa saja. Kita kerja apa adanya di sini. Nggak apa-apa, Nduk. Dan kenapa kok kamu bisa kirim uang banyak kemarin untuk biaya ujian adik kamu?" tanya Ibunya beruntun. Mutia lalu menceritakan pekerjaan barunya sekarang yang menjadi penyanyi kafe dan rencananya kuliah. "Alhamdulillah kalau ada yang membantu kamu kuliah. Kamu memang pinter dan cerdas dari kecil, Nduk. Maaf ibu tidak bisa membantu membiayai mu. Justru membuatmu terbebani. Kalau almarhum bapakmu masih hidup dan tahu anak perempuan sulungnya begitu kuat, dia pasti bahagia," sahut Ibu Mutia dengan mata berkaca-kaca."Ibu, sudahlah. Kondisinya kan mengharuskan Mutia yang jadi tulang punggung. Mutia tidak keberatan kok. Mutia hanya meminta agar ibu selalu percaya pada Mutia
Larasati melongo. "Ja-jadi untuk asetnya, saya nggak dapat apa-apa dari mas Herman?" tanyanya tercengang. Herman mengangguk. "Tentu saja. Dan oh ya satu lagi peraturan dari saya."Belum habis rasa keterkejutan Larasati karena syarat pertama dari Herman, lelaki berusia lebih dari setengah abad itu sudah mengajukan aturan lain sebelum menikah. "Kalau saya ketahuan selingkuh, saya bersedia menyerahkan rumah ini dan beberapa mobil untuk mu. Tapi bila kamu yang ketahuan selingkuh, kamu harus mengembalikan uang nafkah yang pernah kuberikan padamu. Bagaimana? Apa kamu masih mau meneruskan rencana pernikahan kita? Kalau kamu tidak mau, kamu bisa mundur dan saya akan mencari pengganti calon istri. Tapi bila kamu bersedia menuruti syarat tadi, maka ayo kita menikah dengan menandatangani surat perjanjian pra nikah lebih dulu," ujar Herman membuat Larasati termangu. 'Astaga, dasar tua bangka pelit! Dia perhitungan sekali masalah uang dan harta! Padahal dia sudah bau tanah, masih aja memikirk
Mutia yang saat itu sedang memakai dres sebetis dengan lengan pendek, menyesal tidak membawa baju ganti saat berangkat kerja. Sopir grab itu terus menerus melirik Mutia dari kaca spion lalu berdehem. "Baru pulang kerja, Mbak?" tanya sopir grab itu pada Mutia. "Iya pak."Dada Mutia berdegup kencang saat melihat tangan sopir grab itu terulur ke arahnya. Seolah akan meraih lutut nya. "Pak, apa yang akan bapak lakukan?" tegur Mutia.Sopir grab itu menoleh ke belakang, ke arah Mutia sekilas. "Mau ngambil permen yang ada di saku jok belakang kursi, Mbak," sahut sopir grab itu tersenyum. Tapi bagi Mutia senyuman serupa seringaian. Tangan sopir grab itu mengarah ke saku belakang kursi di hadapan Mutia. Namun setelah memasukkan tangan nya ke dalam saku belakang kursi, sopir grab itu menarik kembali tangannya dan tak ada satupun permen yang didapat nya. "Wah, ternyata saya lupa nyimpen permennya," tukas sopir itu sambil tersenyum lagi. Mutia dengan gemetar meraih ponselnya. [Pak Aksa,
Mutia memeluk Aksara dengan tubuh gemetar. "Nangis saja sepuasnya, Mbak. Aku disini. Yang penting bahaya sudah lewat," ucap Aksara dengan mengelus rambut Mutia. "Makasih Pak. Sudah repot-repot nyariin dan nyelametin saya," sahut Mutia diantara isak tangisnya. Aksara memeluk nya kian erat. Jujur saja beberapa malam ini Mutia sering mampir dalam mimpinya dan hal itu memunculkan gelenyar aneh dalam hatinya. Setelah sekian lama memeluk Mutia, Aksara menggerak-gerakkan kakinya yang kesemutan."Mbak, maaf nih ya sebelum nya. Tapi kaki saya kesemutan nih. Uhm, emangnya kaki mbak Mutia nggak kesemutan?" tanya Aksara lirih. Merasa canggung jika harus menyuruh Mutia untuk melepaskan pelukannya secara langsung. Mutia terdiam dari sedu sedannya dan disusul gelak tawa yang tertahan di bahu Aksara, membuat lelaki itu terheran-heran. "Mbak Mut, kok ketawa sih? Emang ada yang lucu?" tanya Aksara bingung."Pak Aksa, maaf sebelumnya. Tapi jas putih pak Aksa kena ingus saya," ucap Mutia lirih. "Sa
Mutia duduk di kamar kosnya setelah mencuci muka, menggosok gigi dan mengganti baju. Dia menyenderkan punggungnya di sandaran besi kos.Pikiran nya melayang pada pengalaman yang baru saja dialaminya. Masih terasa gemetar di tubuhnya tatkala dia mengingat apa yang dilakukan oleh supir gocar tadi. "Ah, lebih baik aku beri bintang satu aja. Sekalian saja akunnya biar di-suspend atau dia dipecat saja. Enak saja dia hendak melecehkanku!" gumam Mutia kesal. Mutia lalu meraih ponselnya dan melihat aplikasi ojek online yang tadi dipesan nya. Dengan segera Mutia memberikan satu bintang dan ulasan tentang sopir gocar yang hendak melecehkannya. |Menyesal sekali naik gocar bapak ini. Saya hampir saja mengalami pelec*han seks*al. Untuk semua calon penumpang harus hati-hati. Jangan sampai naik mobil dengan sopir ini. Dan bila ada korban selain saya yang pernah mengalami kasus serupa dengan orang yang sama, silakan speak up. Jangan takut. Kita ada di negara hukum.|Send. Mutia menarik nafas leg
"Selamat malam mantan suami, aku datang untuk mengembalikan mobil mamimu!"Andi terperanjat saat melihat mobil yang terparkir di halaman rumah mereka melewati bahu Larasati. "Siapa yang datang, Ndi?" tanya Maminya dari belakang tubuh Andi. Andi menoleh ke belakang dan memiringkan tubuhnya sehingga maminya bisa melihat Larasati yang sedang berdiri di hadapan anaknya. "Kamu?! Ngapain kamu kesini? Dasar perempuan ular! Ndi, panggil polisi! Perempuan ini harus ditangkap! Dia sudah mencuri mobil mami!" seru maminya dengan geram. Kedua tangan maminya terkepal. "Wah, ada Mak lampir nih! Tenang saja, tidak usah emosi. Aku tidak akan membuat kerusuhan di sini. Tidak usah pula memanggil polisi. Semua aman terkendali. Aku hanya ingin mengembalikan mobil mu.""Apa kamu bilang? Saya Mak Lampir? Dasar kamu sundel bolong!"Tangan Ambar terangkat dan perempuan itu menghambur ke arah Larasati. Hampir saja meraih dan menjambak rambut Larasati. Andi segera menangkap tangan dan menenangkan maminya.
"Nah, gitu dong. Jangan memikirkan hal-hal yang tidak penting, Ras. Yang pasti-pasti saja. Contoh nya bagaimana kalau kita ke hotel dulu sebelum ke rumah orang tua kamu?" tawar Herman dengan wajah yang me sum. Larasati balas menatap Herman dengan menggigit bibir bawahnya. "Oke Mas. Tapi aku punya permintaan.""Apa pun permintaan kamu, aku akan menuruti nya, Sayang.""Hm, benar kah? Kalau begitu bukan perkara sulit kan kalau kamu memecat mas Andi?""Andi? Apa maksudmu adalah Andi mantan suami mu?" tanya Herman. "Iya. Dia lah. Siapa lagi memang kalau bukan dia. Aku ingin dia dipecat, sehingga tidak bisa mempengaruhi rumah tangga kita," rajuk Larasati. Herman terdiam sejenak. "Agak susah. Dia punya hutang ke perusahaan lebih dari 500 juta. Lalu dia juga sudah begitu lama mengabdi di perusahaan ku. Nggak enak kalau mendadak mengeluarkannya dari kantor, Ras.""Duh, bagaimana kalau mas Andi masih dendam karena aku lebih memilih mas Herman? Terus mas Andi akan melakukan sesuatu yang bur
Mata orang tua Larasati membola melihat sembako yang ditawarkan oleh Herman, apalagi mendengar tawaran yang ditawarkan oleh Herman. "Hm, baiklah. Saya sebagai saudara laki-laki mendukung penuh keinginan mbak Larasati untuk menikah dengan pak Herman. Apalagi orang tua saya, ya kan Pak, Bu?" tanya Adik lelaki Larasati menatap ke arah orang tuanya untuk mencari dukungan.Wajah Larasati memucat. Memang uang yang ditawarkan oleh Herman jauh lebih banyak daripada uang yang dulu diberikan oleh Andi padanya. Bahkan setelah dibagi dua dengan keluarga nya pun masih lebih banyak uang jatah dari Herman daripada Andi. Tapi Larasati menghela nafas berat. Rasanya dia tidak sanggup jika harus disiksa dulu sebelum mendapatkan uang itu. Tapi ancaman dari Herman semalam membuatnya berpikiran dia tidak mungkin selamat dari lelaki itu. Kedua orang tua Larasati pun menatap anaknya. Tak munafik juga jika kedua orang tuanya tergiur dengan tawaran dari Herman mengingat mereka memang membutuhkan uang untuk
Aksara tampak tampan mengenakan kemeja lengan panjang keemasan dan celana hitam dari bahan drill. Di samping nya tampak Mutia yang berdandan natural dengan gaun selutut warna gold dari bahan perpaduan sifon dan kain tile.Di tempat duduk depan, tampak Riska sedang duduk manis mengenakan gaun dari satin setumit dengan ditemani oleh seorang laki-laki berkebangsaan Australia. Lelaki berambut pirang dan berwajah bule itu terlihat sangat mencintai Riska. Bule itu menggenggam erat tangan Riska lalu menciumnya dengan lembut. "Acara selanjutnya adalah acara yang pasti dinanti-nantikan oleh para undangan, yaitu melempar kan buket bunga kepada para undangan. Diharap semua tamu yang ingin mendapatkan lemparan bunga segera berkumpul di depan pelaminan."Suara pembawa acara membahana dan membuat aula hotel menjadi riuh. Beberapa tamu perempuan dengan bersemangat berkumpul di depan pelaminan dengan wajah harap-harap cemas. Aksara menyenggol Mutia dan memberikan kode pada kekasih nya untuk ikut b
Novela berjalan perlahan memasuki kafe Gardenia. Hatinya berdebar kencang saat melihat laki-laki yang sangat dirindukannya. Sudah beberapa kali Novela mencoba membuka hati dan berkenalan dengan laki-laki lain di selama lebih dari enam bulan ini. Tapi entah kenapa tidak ada yang spesial seperti Ridho. Dan walaupun sudah lama sekali tidak bertemu dengan lelaki itu, Novela tetap masih hafal potongan rambut dan bentuk kepalanya sekalipun dari arah belakang. Novela menghentikan langkahnya sejenak lalu menghela nafas sebelum akhirnya dia maju lagi mendekat ke arah Ridho. "Mas Ridho."Ridho menoleh dan melihat ke arah Novela. Dua pasang mata saling menatap dengan penuh rindu. Dalam diam, tanpa kata, hanya hening di sekitarnya sudah cukup membuat sepasang anak manusia itu tahu bahwa mereka saling mencintai dan saling merindukan. "Kamu sudah datang dari tadi, Mas?" tanya Novela pelan. "Barusan kok. Oh ya, duduk Nov. Aku sudah memesan kan makanan favorit mu. Kwetiau kuah dengan jus jeruk d
Lalu kedua anggota Intel itu melompat dan membekap mulut dan memukul leher belakang anak buah Damar. "Hmmmph! Hhmphhh!"Kedua anak buah Damar yang sedang berjaga di luar pintu depan lainnya berpandangan. Mereka langsung memahami jika telah terjadi sesuatu yang mencurigakan. Kedua anak buah Damar langsung mencabut pistol dari pinggang mereka dan langsung menuju ke arah semak-semak tempat kedua teman mereka menghilang. Namun baru berjalan beberapa langkah, dua anggota polisi melompat dari arah belakang. Dorrr! Dorrr! Namun sayang sekali kedua anggota polisi yang terakhir hendak melakukan penyergapan, tertembak karena rupanya anak buah Damar lebih dulu menarik pelatuk nya. Kedua anggota polisi itu langsung roboh di atas rerumputan. Kedua anak buah Damar mendelik lalu menodongkan pistol ke arah kepala anggota polisi. "Jangan bergerak! Katakan siapa yang menyuruh kalian!" seru salah seorang anak buah Damar.Salah seorang anak buah Damar lalu menunduk mendekat ke arah salah seorang
Beberapa saat yang lalu,"Aksa, lokasi mobil pak Damar sudah ditemukan. Dua mobil ada di kota ini. Dan satu mobil di luar kota. Saat ini sedang dikejar oleh Ragil dan anak buahnya."Aksara yang sedang duduk di mobil di samping Ridho yang sedang mengemudikan mobilnya, sontak menoleh ke arah Ridho. "Mas, minta para polisi itu untuk share loct posisi nya sekarang! Ayo kita ikuti mobil polisi itu dan menuju ke tempat Mutia!""Tapi bahaya, Aksa! Biar polisi saja yang mengurus dan menyelamatkan Mutia!""Nggak bisa, Mas! Aku tidak akan bisa makan dan minum dengan tenang kalau belum memastikan Mutia baik-baik saja."Ridho tampak berpikir sejenak. "Tapi mereka bersenjata, apa kamu tidak takut terjadi sesuatu pada diri kamu?" "Aku juga punya senjata, Mas."Aksara menengok jok tengah mobilnya dan berdiri lalu menjulurkan badannya ke belakang untuk mengambil tas olahraga dari dalam nya.Mata Ridho membeliak saat melihat isi tas milik Aksara. Sepasang senjata api lars pendek, pelurunya, stunt g
"Jangan menyentuhku dengan tangan kotormu itu, Mas! Kamu sudah melakukan banyak hal yang membuat orang lain menderita. Kamu bukan lagi mas Damar yang aku kenal dulu!" seru Mutia tegas. Damar tertawa. "Hahaha, kamu benar sekali, Mutia. Aku memang bukan Damar yang miskin dulu. Damar yang dulu kan nggak punya apa-apa. Tapi lihatlah aku sekarang! Aku punya semuanya! Kamu bisa bahagia kalau menikah dengan ku!"Mutia terdiam sejenak. "Kalau kamu memang kaya, kenapa kamu malah ingin kembali padaku? Kamu kan bisa memilih perempuan lain yang masih gadis, ataupun janda lain yang lebih cantik dan seksi dariku kan banyak? Kenapa harus kembali padaku?! Atau kamu kan bisa kembali pada Larasati?" tanya Mutia. Damar tertawa menyeringai. "Karena aku mencintaimu, Mut!""Jangan bohong, Mas. Kalau kamua mencintaiku, kamu nggak akan selingkuh dengan Larasati! Jadi katakan saja apa alasan dan rencana kamu menculikku sampai melukai teman kosku?""Hm, nggak ada alasan khusus sih. Aku cuma merasa kalau ka
Aksara dan Ridho sampai di polres dan langsung bertemu dengan Ragil, intel polisi yang juga merupakan teman Ridho. Ragil mendengarkan penuturan Aksara dan Ridho secara sungguh-sungguh. "Baiklah ini harus diselidiki lebih lanjut. Karena masalahnya begitu kompleks, aku tidak bisa menyelesaikan hal ini sendirian. Perlu bantuan dari teman-teman ku yang lain, Dho," seru Ragil. Aksara menangkup kedua tangan Ridho. "Saya mohon tolong temukan Mutia secepatnya. Saya bersedia membayar berapapun agar Mutia ditemukan," sahut Aksara dengan sungguh-sungguh. Ragil menatap ke arah Aksara. "Saya akan melakukan upaya semaksimal mungkin untuk menemukan Bu Mutia. Bapak tenang dulu untuk menjawab beberapa pertanyaan yang akan saya ajukan," sahut Ragil. Lalu tak kemudian Ragil meraih ponsel dan menghubungi seseorang, lalu menjauh dari Aksara dan Ridho. "Halo, Elang darat satu. Cari semua Informasi tentang lelaki bernama Damar Wiryawan dan semua aset dan alamatnya. Saya membutuhkan jawaban secepatnya."
Damar tersenyum menyeringai. Lalu segera meraih pistol yang memang telah disiapkan nya di pinggang nya lalu mengarahkan nya ke arah para penghuni kos. "Awas, kalian! Berani berteriak atau memanggil polisi, kalian akan kutembak!"Mutia dan warga kos lainnya terhenyak dan terkejut melihat perbuatan Damar. Damar segera melihat ke arah gelas berisi teh dan obat tidur di dekatnya. Lelaki itu dengan cepat mencengkeram bahu Mutia dan menodongkan pistol ke kepala Mutia. "Minum teh itu sampai habis sekarang! Atau kuledakkan kepala kamu!"Mutia terdiam. Sampai matipun dia tidak akan pernah mau minum teh dengan obat tidur itu. Mutia juga berusaha untuk mengulur waktu agar Aksara bisa membujuk Ridho untuk lapor polisi dan membuka kembali kasus adik dan ayahnya. "Heh, kenapa kamu diam, Hah! Kamu tuli, Mut? Minum tehnya atau aku tembak teman kamu ini!"Mutia terkesiap. Dalam hati bertanya-tanya apakah Damar tega menembak beneran. Tapi dia yang menduga Damar melakukan pembunu han terhadap Herman,
Beberapa saat sebelumnya, firasat Mutia yang mengatakan bahwa ada yang aneh dalam diri Damar, membuatnya mempunyai sebuah ide. Mulai dari pertemuan mereka hingga cerita Damar tentang orang yang memberikan kepercayaan pada Damar untuk mengelola tiga bentuk usahanya membuat Mutia sangat meragukan keterangan mantan suaminya itu. Maka dari itu dia meminta Damar untuk mampir ke apotik terdekat dengan alasan membeli obat merah dan plester untuk Damar padahal Mutia juga membeli obat tidur. Untung saja Damar tidak ikut masuk ke dalam apotik, dan bersedia menunggu di mobil. Sesampainya di kos miliknya Mutia segera turun dari mobil Damar dan menuju ke kamarnya. Mutia yang beralasan mengisi ulang ponselnya ternyata menelepon Aksara. "Halo, apa kamu sibuk, Mas?" tanya Mutia terdengar panik. "Baru saja jalan ke klinik. Mau praktek di klinik. Kenapa, Mut?""Aku bertemu dengan mas Damar.""Astaga, Damar mantan suami kamu itu?""Iya. Dan kejadian nya sangat aneh, Mas. Apa kamu ada waktu untuk me
Mutia tercengang mendengar kata-kata Damar. Setahu Mutia, saat dia terakhir bertemu dengan Damar, Damar dan ibunya sedang mengemis di jalan. Mendadak sebuah ide melintas di kepala Mutia. Diam-diam dia ingin menyelidiki apakah ada hubungan motor nya yang terkena paku dengan kedatangan Damar, ataukah hanya murni sebuah kebetulan saja. Sekaligus Mutia ingin tahu bagaimana mungkin Damar bisa menjadi kaya dalam waktu singkat. "Ya sudah. Ayo, Mas."Mutia berjalan mengikuti langkah Damar memasuki mobilnya dengan waspada. Begitu masuk ke dalam mobil, langsung tercium aroma wangi yang menyergap hidung Mutia. Damar menyalakan mesin dan AC mobil nya. Keheningan menyergap sesaat. "Apa kabarmu, Mutia? Aku tidak sengaja lewat daerah sini saat bermaksud menengok kost-an ku di timur jalanan ini," ujar Damar tanpa diminta. "Alhamdulillah, baik. Sekali lagi aku mengucap kan terimakasih padamu karena telah menolong ku, Mas," sahut Mutia tersenyum. "Yah, sudah kewajiban ku kan menolong kamu, Mut.""O