Di atas tempat tidur, badanku meringkuk terbungkus selimut tebal. Buliran bening masih sesekali menetes dari sudut mata. Rasa sesak pun masih menggelayut hebat dalam dada. Kepergian Mas Hilman tanpa meminta persetujuan dariku, membuatku merasa menjadi istri yang tak ada artinya sama sekali di matanya. Aku bagaikan seorang istri yang tak dianggap.Detakan jarum jam terdengar begitu jelas dalam keheningan malam. Sudah hampir pukul sebelas malam, tapi Mas Hilman belum juga kembali. Aku memilih turun dari tempat tidur, lalu mengintip ke arah luar melalui tirai jendela. Nihil. Tak ada tanda-tanda Mas Hilman akan segera pulang. Aku hanya bisa terus mondar-mandir di dalam kamar dengan hati yang semakin gelisah. Aku pun mengambil ponsel yang tergeletak di atas nakas. Kemudian menekan kontak bernama suamiku. Namun, hanya suara operator yang terdengar menandakan bahwa nomor Mas Hilman tidak aktif.Lagi-lagi aku hanya bisa menghela napas pelan saat hatiku kembali terasa dit1kam dengan begitu ku
Mumpung hari masih siang, aku pun memutuskan untuk langsung ke rumah Anita dan menitipkan Ilham di rumah Rima. Beruntung aku mengetahui alamat rumah sahabat suamiku itu karena dulu Mas Hilman sempat mengajakku ke rumahnya. Berbekal motor matik milik Rima, aku melaju menembus jalanan di siang hari yang panasnya terasa begitu menyengat dan membakar kulit. Sepanjang perjalanan hatiku tak karuan memikirkan reaksi apa yang akan ditampilkannya padaku. Ah b0do amat. Mas Hilman kan memang suamiku, bukan suaminya. Jadi aku yang lebih berhak menentukan siapa saja yang boleh bergaul dekat dengan suamiku itu.Setelah setengah jam perjalanan, akhirnya motor yang aku kendarai sampai di halaman rumah yang kini nampak jauh berbeda dari rumahnya dulu. Bangunannya kini lebih besar dan luas dengan terlihat megah. Tak heran, karena Anita sebelumnya mempunyai seorang suami yang sukses dan mapan. Entah hal apa yang menyebabkan mereka memutuskan untuk bercerai padahal sudah ada putri kecil yang sangat cant
Aku langsung terkejut mendengar pertanyaan Mas Hilman. Entah darimana dia mengetahui kalau aku habis dari rumah Anita. Atau jangan-jangan, wanita itu mengadu pada Mas Hilman. "Lebih baik kita masuk dulu, Mas. Gak enak dilihatin tetangga." Tanpa menjawab pertanyaan Mas Hilman, aku melenggang melewati tubuhnya yang masih mematung di teras. Gegas aku membuka kunci rumah lalu masuk ke dalam."Ilham, ayo, masuk, Nak!" Aku memanggil Ilham yang masih berdiri di samping ayahnya. "Ayah, masuk, yuk!" Ilham menarik tangan Mas Hilman dan mengajaknya masuk bersama-sama. "Dek, jawab dulu. Mas nanya sama kamu!" Setelah ada di dalam rumah, Mas Hilman kembali melontarkan pertanyaan yang belum sempat aku jawab. Aku yang baru saja mau masuk ke dalam kamar untuk membuka jilbab dan berganti pakaian langsung menghentikan langkah. Aku berbalik lalu menatap Mas Hilman. "Iya. Aku memang dari rumah Anita," jawabku tenang. Setelahnya aku kembali berbalik dan melanjutkan langkahku memasuki kamar. Kubuka j
Merasa risih dengan tatapannya, aku buru-buru berbalik lalu pura-pura mengambil beberapa cangkir untuk membuat kopi dan teh manis. "Mau dibuatin kopi atau teh?" Aku bertanya pada Hanan untuk mengalihkan pertanyaannya. "Gak perlu. Aku bisa bikin sendiri," jawabnya sambil kembali mengambil potongan brownies. "Kenapa pertanyaan yang tadi gak dijawab? Abangku memperlakukanmu dengan baik, kan? Kamu bahagia nikah sama dia?" Ah, ternyata dia masih saja menanyakannya. "Tentu saja Mas Hilman memperlakukan aku dengan baik. Dia sayang banget sama aku." Aku menjawab sembari mengaduk kopi hitam di hadapanku. Tak sedikitpun berani menatap mata Hanan yang masih berdiri di belakang. Entah kenapa dia selalu saja tau jika aku sedang berbohong. "Syukurlah. Tak sia-sia aku melepas—. Eh, aku ke depan dulu, ya. Belum nemuin Mas Hilman nih!" Tiba-tiba saja dia bersikap seolah menghindari mengatakan sesuatu. "Oh, oke. Aku juga udah selesai, kok!" timpalku meski masih penasaran dengan apa yang ingin dik
Aku duduk berjongkok di depan pembakaran dengan mata menerawang. Teringat perkataan Hanan beberapa tahun yang lalu. Saat itu, di sore hari yang sedang hujan dengan cukup deras, dia datang ke rumah dengan mengendarai motornya. Beruntung dia mengenakan jas hujan hingga tak basah kuyup meski sebagian tubuhnya tetap saja ada yang kebasahan. "Hanan!" Aku menatapnya dengan kening berkerut saat membuka pintu. Dia berdiri dengan tubuh sedikit menggigil karena kedinginan. "Buruan masuk!" lanjutku sambil berbalik. Hanan pun masuk ke dalam rumah mengikuti langkahku. "Tunggu bentar, ya. Aku bikinin teh panas dulu!" Aku berjalan cepat menuju dapur. Kasian melihat tubuhnya yang gemetar.Setelahnya, aku kembali lagi ke ruang depan menghampiri Hanan dan menyerahkan teh panas itu ke tangannya. Hanan menggenggam cangkir berisi teh panas itu seolah mencari kehangatan. Beberapa saat kemudian dia menyeruputnya dan keadaannya mulai terlihat membaik. Tak gemetaran seperti tadi."Kamu ngapain ke sini? Hu
Mendengar ucapan pedas ibu mertua, rasanya aku tak sanggup sekedar untuk menelan makanan yang terlanjur masuk ke dalam mulutku. Gegas aku mengambil gelas berisi air putih, lalu meneguknya hingga tandas untuk mendorong nasi yang belum sempat aku kunyah. Saat melewati tenggorokan, nasi itu terasa bagai butiran pasir yang begitu menusuk. Ditegur langsung di depan Mas Hilman dan Anita seperti ini, rasanya seperti sedang dikuliti sedalam-dalamnya. Perih, hingga begitu menusuk ulu hati. Sepasang mataku rasanya memanas dan langsung mengabur tertutup kabut air mata yang mulai menggenang. "Bener apa yang dikatakan ibu, Ra. Kamu gak perlu cemburu berlebihan apalagi sampai berpikir yang tidak-tidak." Mas Hilman menimpali. Dia pasti merasa senang karena mendapat dukungan dari ibunya sendiri. "Astaghfirullah, Bang. Harusnya Abang tuh mengerti perasaan istri sendiri. Kalau bukan Abang, siapa lagi yang akan ngertiin Zara." Tiba-tiba saja Hanan sudah berdiri di ambang pintu. "Ibu juga. Bukannya me
Aku hampir saja melemp4r ponsel saking kesalnya. Apalagi saat melihat Ilham yang semakin kesusahan bernapas. Tiba-tiba saja aku teringat perkataan Hanan siang tadi. "Aku akan selalu ada untukmu." Gegas aku mencari kontaknya yang baru tadi siang aku simpan. Setelah ketemu, aku langsung meneleponnya. Panggilan pertama tak diangkatnya. Padahal jantungku sudah berlompatan saking ketakutan dengan kondisi Ilham. Beruntung saat aku menelponnya lagi, Hanan mengangkatnya. "Halo, Ra, kenapa?" tanya Hanan di sebrang sana."Tolong aku, Han. Sesak napas Ilham kambuh. Obatnya juga habis. Mas Hilman gak ada di rumah," jawabku dengan bibir bergetar saking paniknya. "Astaghfirullah. Aku langsung ke sana sekarang. Kamu siap-siap dan tunggu di depan," timpal Hanan dengan nada suara yang juga terdengar panik. Belum sempat aku menjawab, sambungan telepon sudah terputus. Aku langsung meletakkan ponsel sembarang. Lalu mengusap-usap punggung Ilham yang ada dalam pangkuanku. "Sabar, ya, Sayang. Sebentar
Suasana pagi ini berubah panas padahal cuaca di luar masih begitu sejuk. Kepalaku bahkan terasa sudah berasap saking kesal dengan sikap Mas Hilman. Sepasang mataku masih menatapnya nyalang menunggu jawaban apa yang akan keluar dari mulutnya. Di ruangan depan rumah ini, tinggal aku berdua dengan Mas Hilman. Sementara Hanan aku suruh untuk menemani Ilham di kamarnya. Aku harus segera menyelesaikan masalah ini agar tak berlarut-larut."Kenapa diam, Mas? Jawab aku! Pilih aku dan Ilham, atau Anita?" Aku kembali bertanya karena Mas Hilman tak kunjung menjawab."Ra, kamu ini ngomong apa? Emangnya kalian barang sampai harus dipilih segala," jawab Mas Hilman tanpa memberi kepastian."Justru karena aku bukan barang, makanya aku bertanya. Aku punya hati, Mas. Aku tidak bisa diabaikan terus seperti ini," timpalku. Aku masih berharap Mas Hilman segera menjawab pertanyaan dariku. "Udah, deh, kamu gak usah ngomong yang macam-macam. Aku itu gak mungkin memilih. Kamu itu istriku. Sementara Anita ada
Aku menoleh. Lalu mengerlingkan mata ke arahnya. "Coba lihat jam dinding. Sudah hampir pukul enam, Sayang. Mau pas lagi tanggung tiba-tiba ada yang gedor pintu?" Hanan pun langsung tertawa ngakak mendengarnya. Hari ini, kami minta ijin pada kedua orang tuaku untuk pindah ke toko kelontongan. Dengan senang hati, ibu bapak mengijinkan. Melihat Fara, aku semakin yakin untuk pindah dari rumah ini. Karena bukan tidak mungkin, jika aku dan Hanan tetap tinggal di sini, Fara akan tersakiti melihat kemesraan kami. Menjelang siang, aku dan Hanan berangkat ke toko tanpa membawa banyak barang. Hanya baju-baju milikku, Ilham dan Hanan yang dibawa. Karena menurut Hanan, di sana sudah ada barang-barang rumah tangga yang cukup komplit. Sampai di sana, keadaan toko masih tutup karena Hanan memang sengaja libur dari kemarin. Tokonya lumayan besar. Apalagi lokasinya tepat di jalan utama dekat dengan pasar induk. "Yuk, masuk!" ajaknya padaku dan Ilham saat kami turun dari mobil. Kami pun memasuki
"Bangun, Sayang. Mandi dulu." Hanan berbisik tepat di telingaku. Dia juga mengecup keningku lembut saat mata ini masih tertutup. Sejujurnya, aku sudah terbangun saat merasakan pergerakan ia yang turun dari ranjang. Hanya saja, aku ingin mengetahui bagaimana caranya dia membangunkan aku setelah apa yang terjadi semalam. Ternyata semanis ini. Aku pura-pura masih terlelap dan tak menanggapinya. Berkali-kali dia mencium pipi dan keningku bergantian. Andai aku tak menahannya, sudah dipastikan aku akan tersenyum tanpa henti karena sikap romantisnya. "Sayang ... bangun! Atau ... aku perlu mengulang apa yang sudah kita lakukan semalam?" Mendengar penuturannya, mataku langsung terbuka lebar. Lekas aku beringsut dan duduk sambil menatapnya. Hanan yang duduk di pinggir ranjang langsung tertawa kecil melihat reaksiku. "Bercanda. Sebentar lagi juga subuh," tukasnya dengan sisa tawa di bibirnya. Aku pun langsung mengerucutkan bibir sambil turun dari ranjang. "Air panasnya sudah aku tuang ke da
Kami duduk saling berhadapan sambil menunggu pesanan tiba. Tidak dipungkiri, ada rasa grogi saat kembali bertemu dengannya. Apalagi saat dia terus menatapku tanpa berkedip. Rasanya pipiku sudah memerah dan memanas. "Kamu kenapa ngeliatin gitu?" tanyaku salah tingkah. Dia malah menyangga dagunya dengan tangan tanpa mengalihkan pandangan dariku. "Sebulan loh, Ra, kita gak ketemu. Aku kan udah bilang berkali-kali kalau aku kangen banget sama kamu. Apalagi, makin hari kamu makin cantik. Bagaimana mungkin aku bisa melewatkan kesempatan sebagus ini.""Ish ... udah pintar ngegombal ternyata." Aku sedikit mendelik sambil tersipu malu. "Bukan menggombal. Tapi ini kenyataan," timpalnya. "Oh, iya. Besok aku ke rumah kamu buat lamaran. Kamu juga libur, kan?" tanyanya. Aku mengangguk. Mendengar kata lamaran, jantungku kembali berlompatan. Aku serasa melayang di langit paling tinggi saking bahagianya. Hingga akhirnya pesanan bakso sampai dan kami menikmati bakso itu sambil berbincang ringan. M
Aku menangis. Meremas seprai kuat-kuat untuk menyalurkan rasa sakit yang tak tertahankan. Tiba-tiba saja aku merasa tubuhku diguncang seseorang. "Ra, bangun! Kamu kenapa?" Aku membuka mata. Memperhatikan sekeliling. Hanya ada ibu yang berdiri di pinggir ranjang dengan tatapan heran. "Kamu kenapa nangis nangis jam segini?" Ibu mengulang pertanyaannya. Aku melirik jam dinding. Ternyata baru menunjuk ke angka empat dini hari. Lekas aku mengusap wajah sambil mengucap Alhamdulillah karena semua itu hanya mimpi. "Zara gak apa-apa, Bu. Cuma mimpi buruk," jawabku tersipu malu. "Walah, kamu ini. Makanya, sebelum tidur itu baca doa, biar gak mimpi buruk kayak gitu," timpal ibu sambil berbalik dan pergi meninggalkan kamarku. Saking bahagianya, semalam aku memang lupa tidak berdoa sebelum tidur. Mungkin itulah sebabnya aku bisa mimpi mengerikan seperti itu.Untuk menenangkan debaran jantung yang masih belum beraturan, aku pun turun dari ranjang lalu mengambil air wudu. Setelahnya, aku meng
Tidak terlalu banyak percakapan di antara kami. Karena otakku juga sibuk memutar ulang momen yang baru saja terjadi. Momen bahagia yang membuatku berbunga-bunga dan tersipu tanpa sadar. Bahkan, saat kembali melanjutkan pekerjaan pun, bayang-bayang itu tak kunjung hilang dari ingatan. Membuatku sudah merindukan Hanan padahal baru berpisah beberapa jam yang lalu. Sore menjelang. Waktu pulang pun sudah tiba. Sebelum bersiap, aku mengecek ponsel untuk melihat pesan yang masuk. Karena dari tadi aku sudah gelisah menunggu kabar dari Hanan yang tak kunjung muncul. Aku menghela napas pelan saat mengetahui kalau Hanan tak mengirim pesan sama sekali. Rasa kecewa membuat dadaku tiba-tiba sesak. Namun, baru saja aku akan kembali memasukkan ponsel ke dalam tas, getarannya membuatku urung. Saat dilihat, mataku langsung berbinar melihat siapa yang mengirim pesan.[ Maaf baru ngabarin. Tadi ponselku lowbat dan mati. Alhamdulillah aku sudah sampai dengan selamat. Kamu sudah pulang belum?][ Alhamdu
Laju air mata mengalir semakin deras setelah mendengar penuturan Hanan. Kakiku rasanya lemas tak bertulang hingga hampir ambruk andai tak ada kursi yang langsung menopang tubuhku. Aku terduduk di kursi itu dengan perasaan campur aduk. "Ra ...!" Mas Ryan mendekat. Tangannya hampir memegang pundakku andai tanganku tak langsung memberi kode agar ia jangan melakukan hal itu. "Tapi kenapa, Han? Bukannya kamu sendiri pernah bilang, kalau kamu gak akan pernah pergi jika aku mengatakan perasaan yang sebenarnya." Aku kembali menatap Hanan yang masih berdiri di tempatnya. "Maaf, Ra. Aku sudah janji ke perusahaan akan segera kembali untuk mengurus semuanya," jawab Hanan."Maksudnya? Mengurus apa? Lalu aku dan Ilham?" Aku semakin terisak. Perih sekali rasanya mengetahui Hanan tetap akan pergi dan tak akan mengurungkan niatnya."Justru karena hal itulah aku terpaksa harus pergi. Pihak perusahaan memintaku untuk tetap stay di sana. Jika aku menolak, aku diminta untuk mengundurkan diri. Dan aku,
Setelah selesai solat dan tadarus sebentar, aku mengecek ponsel. Mungkin saja Hanan mengirimkan pesan padaku. Nihil. Hanya ada beberapa pesan grup yang masuk. Aku pun memandangi layar ponsel cukup lama. Berpikir untuk mengirim pesan padanya lebih dulu. Setelah menimbang-nimbang, aku pun menyingkirkan sedikit egoku untuk mengirim pesan padanya lebih dulu. [Han, kenapa belum pulang? Semuanya baik-baik saja kan?] Aku pun mengirimkannya dengan jantung berdebar. Cukup lama pesan itu hanya centang satu. Menandakan nomornya sedang tidak aktif. Aku pun semakin dilanda gelisah dan kekhawatiran. Takut terjadi sesuatu yang buruk padanya. Hingga setelah melaksanakan solat isya, barulah layar ponsel itu memendarkan cahaya. Aku langsung mengambilnya. Mataku berbinar saat tahu itu adalah balasan dari Hanan. Gegas aku pun membukanya dengan tergesa. [ Aku di rumah ibu, Ra. Sepertinya aku akan menginap di sini. Semuanya baik-baik saja kok. Gimana kabar kamu sama Ilham hari ini? Sepi banget rasanya
Aku sempat tertegun sesaat setelah mendengar penuturannya. Hingga kemudian aku tersadar bahwa Fara memang benar-benar telah mengucapkan hal demikian saat menatap wajahnya yang memang terlihat serius tanpa candaan seperti biasanya. Aku memaksakan senyum meski kecil. "Kamu ngomong apa, sih, Far?" "Aku serius, Mbak. Aku sudah tau kalau sebenarnya Mbak sama Kak Hanan itu saling mencintai. Waktu Mbak dan Kak Hanan bicara berdua sore itu, aku sebenarnya mendengar perbincangan kalian di balik pintu rumah. Aku juga sudah tanyakan langsung hal ini pada Mbak Rima. Tadi siang aku ke rumahnya. Dan Mbak Rima membenarkan hal itu," jawab Fara dengan wajah yang masih nampak sedikit sendu. "Awalnya aku sempat marah, kecewa, juga sedih. Tapi akhirnya aku sadar, akulah yang berada di tengah-tengah antara Mbak Zara dan Kak Hanan. Kalian saling mencintai satu sama lain. Apalagi Kak Hanan, dia mencintai Mbak sejak lama. Mana mungkin aku bisa memaksakan seseorang yang sama sekali tidak mencintaiku. Ayola
Pagi ini aku harus kembali bekerja. Meski pikiran masih sedikit kacau karena semua yang terjadi, namun, hidup harus tetap dijalani dengan penuh semangat. Ada orang-orang yang harus aku bahagiakan. Di sebrang sana, Mas Ryan pun nampak sudah siap. Sepertinya dia juga hendak berangkat kerja karena sudah rapi dengan kemeja yang melekat di tubuh atletisnya. Penasaran dengan nasib Nisya, aku pun menghampirinya."Pagi, Mas," sapaku ramah. "Hai. Pagi." Mas Ryan berbinar melihatku. "Nisya gimana? Di mana dia sekarang?" tanyaku. "Tadi pagi udah aku anterin ke sekolahnya. Aku titipkan ke gurunya. Nanti sore aku jemput lagi," jawabnya. "Alhamdulillah kalau gitu, Mas. Jadi gak terlalu khawatir," timpalku sambil tersenyum. "Kalau ... Mbak Anita?" "Mungkin nanti istirahat aku akan melihat keadaan dia. Mau ikut?" tawarnya. "Oh, enggak sepertinya, Mas," tolakku. "Ya sudah kalau gitu. Aku juga mau berangkat soalnya." Aku buru-buru berbalik dan kembali ke halaman rumahku. Saat sampai di teras u