Aku menatap Hanan. Wajahnya nampak sedikit muram setelah mendengar ucapan Mas Hilman. Dia tak lagi bersuara. Tapi berjalan cepat menuju pintu keluar. Sebelum benar-benar keluar rumah, Hanan sempat menoleh ke arahku sebentar. Namun, dia berbalik dan melanjutkan langkahnya keluar dari rumah ini. Apa yang Mas Hilman tadi katakan? Anak pungut? Siapa yang anak pungut? Hanan? Kepalaku dipenuhi pertanyaan yang tak kunjung ada jawabannya. Setelah melihat Hanan keluar rumah, Mas Hilman pun berjalan kasar. Langkahnya seperti menuju kamar. Gegas aku menyusulnya. Benar saja. Dia tengah mengganti kemejanya yang tadi sempat terkoyak. Dia juga merapikan kembali penampilannya dengan mematut diri di depan cermin. "Mas, kamu belum menjawab pertanyaanku!" Aku kembali membuka percakapan. Kali ini nada suaraku melunak agar hati Mas Hilman bisa sedikit saja luluh. "Pertanyaan yang mana?" Mas Hilman menoleh dengan kening berkerut."Mas pilih aku atau Anita?" jawabku tanpa embel-embel yang lain. Meski h
SUAMIKU BUKAN SUAMIMUBab 12Aku mencoba menguatkan diriku sendiri. Jangan sampai ada semburat kesedihan yang dipancarkan mataku yang dapat dibaca oleh Ilham. "Kan ayah kerja, Sayang. Nanti, kalau ayahnya sudah gak sibuk, pasti nyusul Ilham sambil jemput kita. Oke. Tos dulu dong!" Aku mengulurkan telapak tangan ke arahnya untuk melakukan tos. Ilham pun langsung membalasnya dengan antusias. "Yuk!" Satu tanganku menuntun tangan Ilham. Sementara tangan yang lainnya menyeret koper. Langkah demi langkah yang dipijak, bagaikan duri-duri t4jam yang menancap ke telapak kaki. Perih. Tak pernah kusangka sedikit pun, aku akan meninggalkan rumah yang sudah kurawat dengan sepenuh cinta. Baru saja tanganku terulur untuk membuka hendel pintu, tiba-tiba aku mendengar suara dering ponsel milikku. Aku mengedarkan pandangan. Mencari-cari keberadaan ponsel yang belum sempat disentuh sejak semalam. Saking kalutnya, aku bahkan hampir melupakan barang pribadi itu dan tak membawanya. "Ilham tunggu seben
"Bunda, nanti di rumah nenek, Ilham mau mancing ikan sama kakek, ya. Mau ngasih makan ayam. Mau ikut kakek juga ke kebun. Ilham mau nangkap capung sama kodok," tutur Ilham dengan mata berbinar. "Emang Ilham gak takut sama kodok?" tanyaku sambil tersenyum kecil. "Enggak dong. Tapi kodoknya yang kecil. Keciiil banget," jawab Ilham menggemaskan. "Itu sih anak kodok," balasku. "Tapi kata kakek, tetep saja kodok namanya," sahut Ilham tak mau kalah. "Iya, deh. Tapi Ilham harus janji. Ilham gak boleh main panas-panasan apalagi lari-lari. Nanti asma Ilham kambuh. Oke?" Aku mengulurkan jari kelingking ke hadapannya. "Siap, Bunda." Ilham mengaitkan jari kelingkingnya di jariku tanda berjanji. "Anak pintar. Sini peluk dulu!" Aku meraih tubuh Ilham dan memeluknya erat. Tak lupa kucium ubun-ubun kepalanya sambil melangitkan doa. Semoga saja Ilham tetap bahagia dan ceria seperti ini meskipun harus terpisah dengan ayahnya. "Anaknya, ya, Mbak?" tanya sopir dengan kepala sedikit menoleh ke bel
Aku tersenyum miring setelah mengatakan hal demikian pada Mas Hilman. Rasakan. Biar dia tahu sendiri, sepenting apa peran seorang istri dalam kehidupan suami dibandingkan seseorang yang katanya sahabat. Aku baru saja akan meletakkan ponselku saat benda pipih itu kembali berdering. Saat dilihat, ternyata Mas hari Hilman yang lagi-lagi mengubungi. Aku menarik napas dalam-dalam sebelum kembali mengangkat panggilan itu. "Ada apa lagi, Mas? Kurang jelas apa yang aku katakan tadi?" tanyaku sinis. "Kamu tahu sendiri, kan, hari ini aku akan keluar kota. Kamu belum siapin baju dan perlengkapan lainnya," jawab Mas Hilman terdengar kesal. "Mas bukan anak kecil. Siapin aja sendiri. Oh, iya. Kemejanya belum sempat aku setrika. Ada di keranjang setrikaan. Ambil saja. Dan ya, mulai hari ini, silakan biasakan untuk mengurus kebutuhan diri sendiri. Kecuali, mau minta tolong Anita buat nyiapin dan ngurus semuanya. Bye!" Aku mengakhiri panggilan itu tanpa menunggu jawaban darinya. Segera aku nonaktif
Namun, saat Anita kembali lagi ke sini, benar-benar merubah sikap Mas Hilman seutuhnya. Dia bukan lagi suami yang kukenal dulu. Panggilan sayang ataupun dek tak pernah lagi keluar dari mulutnya. Dia bahkan berubah menjadi sangat kasar dan temperamen. Bekas tamparan yang masih terasa panas di pipi, tak akan pernah aku lupakan sampai kapanpun."Eh ... ada cucu yang kakek ganteng!" Terdengar suara bapak dari arah depan. Aku meraup wajah pelan dengan kedua tangan untuk menghapus bayangan kelam yang berkelebatan di ingatan. Aku bangkit dari bibir ranjang, menghirup napas dalam-dalam lalu keluar dari kamar dengan wajah ceria dan senyum mengembang. "Bapak sudah pulang?" tanyaku sambil mengulurkan tangan dan mencium punggung tangannya. "Iya. Baru saja datang. Kamu sudah lama?" tanya bapak balik. "Belum begitu lama, sih, Pak," jawabku sambil duduk di dekat Ilham. "Bapak ganti baju dulu kalau gitu," lanjut bapak sambil berjalan menuju kamarnya. "Ilham ikut, Kek!" Ilham mengejar langkah ka
SUAMIKU BUKAN SUAMIMUBab 14Gawai yang masih berada dalam genggaman tanganku nyaris saja terlepas andai aku tak buru-buru terduduk di lantai. Jantungku berdegup dengan begitu kencangnya. Apa maksud Anita melakukan semua itu? Tak bisakah ia menghargai aku sedikit saja sebagai wanita yang masih berstatus istri Mas Hilman? Dan kini, lelaki yang masih bergelar suamiku itu diakuinya sebagai suami sendiri di hadapan umum. Atau mungkin, sudah sejauh itukah hubungan suamiku dengan Anita? Apa mungkin mereka telah menjalin hubungan yang lebih intens daripada persahabatan? Menikah diam-diam misalnya. Tanpa bisa dicegah, sepasang mataku langsung memanas dan mengeluarkan buliran bening yang membasahi kedua pipiku. Aku terisak sendirian di dalam kamar. Dengan kedua kaki di tekuk dan wajah yang ditenggelamkan di sela-selanya. Sakit. Hatiku perih bak diiris sembilu. Dadaku sesak luar biasa diikuti hawa panas yang menjalari seluruh tubuh. Meski sudah berusaha untuk selalu kuat, tetap saja aku menang
"Bapak gimana kabarnya? Sehat? Lama banget ya, kita gak ketemu." Hanan berganti menatap bapak. Dari dulu, Hanan memang terbiasa memanggil bapakku dengan panggilan bapak."Alhamdulillah sehat. Cuma ... makin tua," timpal bapak sambil terkekeh. "Nak Hanan kapan pulang? Betah banget kayaknya merantau.""Baru beberapa hari kemarin, Pak. Ini juga karena kangen kota kelahiran, makanya pulang," jawab Hanan. "Ilham, sini, Nak!" Hanan melambaikan tangannya pada Ilham. Seketika anak laki-laki berusia empat tahun itu berjalan menghampiri Om-nya. "Kita ngobrol-ngobrolnya di depan aja!" ajak bapak pada Hanan. "Ra, bikinin kopi buat Hanan," tambah bapak menoleh ke arahku. "Bapak lupa, ya. Aku, kan, gak suka kopi," timpal Hanan sambil tersenyum kecil. "Masih gak suka kopi? Kirain bapak sekarang sudah suka. Soalnya udah gagah gini. Sampai pangling lihatnya!" Bapak menepuk-nepuk pelan punggung Hanan yang lebar. Penampilan Hanan sekarang dan dulu memang jauh berbeda. Dulu tinggi dengan tubuh sediki
Aku masih menunggu Hanan untuk buka suara, tapi dia malah mengulum senyum sambil melemparkan pandangan. Padahal aku sudah sangat penasaran dengan wanita yang berhasil mencuri hati teman baikku itu."Nanti juga kalau sudah waktunya, kamu tahu sendiri," jawab Hanan akhirnya tanpa kepastian. Sepertinya dia memang belum siap untuk memperkenalkan calonnya itu. Okelah, tak masalah. Aku juga tak ingin memaksanya. Tak elok rasanya, apalagi kami baru bertemu lagi. Mungkin saja calonnya itu rekan kerjanya atau wanita yang ia temui di perantauan."Ilham, katanya mau mancing? Solat dulu, yuk. Habis itu baru mancing." Hanan berganti menatap keponakannya itu. Aku melirik jam dinding. Ternyata memang sudah pukul tiga lebih tiga puluh menit. Sudah waktunya untuk solat asar. "Ra, aku ajak Ilham solat dulu, ya. Mesjid yang dulu masih ada, kan? Belum pindah?" Hanan sudah berdiri dari duduknya. Pun dengan Ilham yang sudah siap di sampingnya. "Masih, kok," jawabku singkat. "Ilham, kalau mau ikut sama O
Aku menoleh. Lalu mengerlingkan mata ke arahnya. "Coba lihat jam dinding. Sudah hampir pukul enam, Sayang. Mau pas lagi tanggung tiba-tiba ada yang gedor pintu?" Hanan pun langsung tertawa ngakak mendengarnya. Hari ini, kami minta ijin pada kedua orang tuaku untuk pindah ke toko kelontongan. Dengan senang hati, ibu bapak mengijinkan. Melihat Fara, aku semakin yakin untuk pindah dari rumah ini. Karena bukan tidak mungkin, jika aku dan Hanan tetap tinggal di sini, Fara akan tersakiti melihat kemesraan kami. Menjelang siang, aku dan Hanan berangkat ke toko tanpa membawa banyak barang. Hanya baju-baju milikku, Ilham dan Hanan yang dibawa. Karena menurut Hanan, di sana sudah ada barang-barang rumah tangga yang cukup komplit. Sampai di sana, keadaan toko masih tutup karena Hanan memang sengaja libur dari kemarin. Tokonya lumayan besar. Apalagi lokasinya tepat di jalan utama dekat dengan pasar induk. "Yuk, masuk!" ajaknya padaku dan Ilham saat kami turun dari mobil. Kami pun memasuki
"Bangun, Sayang. Mandi dulu." Hanan berbisik tepat di telingaku. Dia juga mengecup keningku lembut saat mata ini masih tertutup. Sejujurnya, aku sudah terbangun saat merasakan pergerakan ia yang turun dari ranjang. Hanya saja, aku ingin mengetahui bagaimana caranya dia membangunkan aku setelah apa yang terjadi semalam. Ternyata semanis ini. Aku pura-pura masih terlelap dan tak menanggapinya. Berkali-kali dia mencium pipi dan keningku bergantian. Andai aku tak menahannya, sudah dipastikan aku akan tersenyum tanpa henti karena sikap romantisnya. "Sayang ... bangun! Atau ... aku perlu mengulang apa yang sudah kita lakukan semalam?" Mendengar penuturannya, mataku langsung terbuka lebar. Lekas aku beringsut dan duduk sambil menatapnya. Hanan yang duduk di pinggir ranjang langsung tertawa kecil melihat reaksiku. "Bercanda. Sebentar lagi juga subuh," tukasnya dengan sisa tawa di bibirnya. Aku pun langsung mengerucutkan bibir sambil turun dari ranjang. "Air panasnya sudah aku tuang ke da
Kami duduk saling berhadapan sambil menunggu pesanan tiba. Tidak dipungkiri, ada rasa grogi saat kembali bertemu dengannya. Apalagi saat dia terus menatapku tanpa berkedip. Rasanya pipiku sudah memerah dan memanas. "Kamu kenapa ngeliatin gitu?" tanyaku salah tingkah. Dia malah menyangga dagunya dengan tangan tanpa mengalihkan pandangan dariku. "Sebulan loh, Ra, kita gak ketemu. Aku kan udah bilang berkali-kali kalau aku kangen banget sama kamu. Apalagi, makin hari kamu makin cantik. Bagaimana mungkin aku bisa melewatkan kesempatan sebagus ini.""Ish ... udah pintar ngegombal ternyata." Aku sedikit mendelik sambil tersipu malu. "Bukan menggombal. Tapi ini kenyataan," timpalnya. "Oh, iya. Besok aku ke rumah kamu buat lamaran. Kamu juga libur, kan?" tanyanya. Aku mengangguk. Mendengar kata lamaran, jantungku kembali berlompatan. Aku serasa melayang di langit paling tinggi saking bahagianya. Hingga akhirnya pesanan bakso sampai dan kami menikmati bakso itu sambil berbincang ringan. M
Aku menangis. Meremas seprai kuat-kuat untuk menyalurkan rasa sakit yang tak tertahankan. Tiba-tiba saja aku merasa tubuhku diguncang seseorang. "Ra, bangun! Kamu kenapa?" Aku membuka mata. Memperhatikan sekeliling. Hanya ada ibu yang berdiri di pinggir ranjang dengan tatapan heran. "Kamu kenapa nangis nangis jam segini?" Ibu mengulang pertanyaannya. Aku melirik jam dinding. Ternyata baru menunjuk ke angka empat dini hari. Lekas aku mengusap wajah sambil mengucap Alhamdulillah karena semua itu hanya mimpi. "Zara gak apa-apa, Bu. Cuma mimpi buruk," jawabku tersipu malu. "Walah, kamu ini. Makanya, sebelum tidur itu baca doa, biar gak mimpi buruk kayak gitu," timpal ibu sambil berbalik dan pergi meninggalkan kamarku. Saking bahagianya, semalam aku memang lupa tidak berdoa sebelum tidur. Mungkin itulah sebabnya aku bisa mimpi mengerikan seperti itu.Untuk menenangkan debaran jantung yang masih belum beraturan, aku pun turun dari ranjang lalu mengambil air wudu. Setelahnya, aku meng
Tidak terlalu banyak percakapan di antara kami. Karena otakku juga sibuk memutar ulang momen yang baru saja terjadi. Momen bahagia yang membuatku berbunga-bunga dan tersipu tanpa sadar. Bahkan, saat kembali melanjutkan pekerjaan pun, bayang-bayang itu tak kunjung hilang dari ingatan. Membuatku sudah merindukan Hanan padahal baru berpisah beberapa jam yang lalu. Sore menjelang. Waktu pulang pun sudah tiba. Sebelum bersiap, aku mengecek ponsel untuk melihat pesan yang masuk. Karena dari tadi aku sudah gelisah menunggu kabar dari Hanan yang tak kunjung muncul. Aku menghela napas pelan saat mengetahui kalau Hanan tak mengirim pesan sama sekali. Rasa kecewa membuat dadaku tiba-tiba sesak. Namun, baru saja aku akan kembali memasukkan ponsel ke dalam tas, getarannya membuatku urung. Saat dilihat, mataku langsung berbinar melihat siapa yang mengirim pesan.[ Maaf baru ngabarin. Tadi ponselku lowbat dan mati. Alhamdulillah aku sudah sampai dengan selamat. Kamu sudah pulang belum?][ Alhamdu
Laju air mata mengalir semakin deras setelah mendengar penuturan Hanan. Kakiku rasanya lemas tak bertulang hingga hampir ambruk andai tak ada kursi yang langsung menopang tubuhku. Aku terduduk di kursi itu dengan perasaan campur aduk. "Ra ...!" Mas Ryan mendekat. Tangannya hampir memegang pundakku andai tanganku tak langsung memberi kode agar ia jangan melakukan hal itu. "Tapi kenapa, Han? Bukannya kamu sendiri pernah bilang, kalau kamu gak akan pernah pergi jika aku mengatakan perasaan yang sebenarnya." Aku kembali menatap Hanan yang masih berdiri di tempatnya. "Maaf, Ra. Aku sudah janji ke perusahaan akan segera kembali untuk mengurus semuanya," jawab Hanan."Maksudnya? Mengurus apa? Lalu aku dan Ilham?" Aku semakin terisak. Perih sekali rasanya mengetahui Hanan tetap akan pergi dan tak akan mengurungkan niatnya."Justru karena hal itulah aku terpaksa harus pergi. Pihak perusahaan memintaku untuk tetap stay di sana. Jika aku menolak, aku diminta untuk mengundurkan diri. Dan aku,
Setelah selesai solat dan tadarus sebentar, aku mengecek ponsel. Mungkin saja Hanan mengirimkan pesan padaku. Nihil. Hanya ada beberapa pesan grup yang masuk. Aku pun memandangi layar ponsel cukup lama. Berpikir untuk mengirim pesan padanya lebih dulu. Setelah menimbang-nimbang, aku pun menyingkirkan sedikit egoku untuk mengirim pesan padanya lebih dulu. [Han, kenapa belum pulang? Semuanya baik-baik saja kan?] Aku pun mengirimkannya dengan jantung berdebar. Cukup lama pesan itu hanya centang satu. Menandakan nomornya sedang tidak aktif. Aku pun semakin dilanda gelisah dan kekhawatiran. Takut terjadi sesuatu yang buruk padanya. Hingga setelah melaksanakan solat isya, barulah layar ponsel itu memendarkan cahaya. Aku langsung mengambilnya. Mataku berbinar saat tahu itu adalah balasan dari Hanan. Gegas aku pun membukanya dengan tergesa. [ Aku di rumah ibu, Ra. Sepertinya aku akan menginap di sini. Semuanya baik-baik saja kok. Gimana kabar kamu sama Ilham hari ini? Sepi banget rasanya
Aku sempat tertegun sesaat setelah mendengar penuturannya. Hingga kemudian aku tersadar bahwa Fara memang benar-benar telah mengucapkan hal demikian saat menatap wajahnya yang memang terlihat serius tanpa candaan seperti biasanya. Aku memaksakan senyum meski kecil. "Kamu ngomong apa, sih, Far?" "Aku serius, Mbak. Aku sudah tau kalau sebenarnya Mbak sama Kak Hanan itu saling mencintai. Waktu Mbak dan Kak Hanan bicara berdua sore itu, aku sebenarnya mendengar perbincangan kalian di balik pintu rumah. Aku juga sudah tanyakan langsung hal ini pada Mbak Rima. Tadi siang aku ke rumahnya. Dan Mbak Rima membenarkan hal itu," jawab Fara dengan wajah yang masih nampak sedikit sendu. "Awalnya aku sempat marah, kecewa, juga sedih. Tapi akhirnya aku sadar, akulah yang berada di tengah-tengah antara Mbak Zara dan Kak Hanan. Kalian saling mencintai satu sama lain. Apalagi Kak Hanan, dia mencintai Mbak sejak lama. Mana mungkin aku bisa memaksakan seseorang yang sama sekali tidak mencintaiku. Ayola
Pagi ini aku harus kembali bekerja. Meski pikiran masih sedikit kacau karena semua yang terjadi, namun, hidup harus tetap dijalani dengan penuh semangat. Ada orang-orang yang harus aku bahagiakan. Di sebrang sana, Mas Ryan pun nampak sudah siap. Sepertinya dia juga hendak berangkat kerja karena sudah rapi dengan kemeja yang melekat di tubuh atletisnya. Penasaran dengan nasib Nisya, aku pun menghampirinya."Pagi, Mas," sapaku ramah. "Hai. Pagi." Mas Ryan berbinar melihatku. "Nisya gimana? Di mana dia sekarang?" tanyaku. "Tadi pagi udah aku anterin ke sekolahnya. Aku titipkan ke gurunya. Nanti sore aku jemput lagi," jawabnya. "Alhamdulillah kalau gitu, Mas. Jadi gak terlalu khawatir," timpalku sambil tersenyum. "Kalau ... Mbak Anita?" "Mungkin nanti istirahat aku akan melihat keadaan dia. Mau ikut?" tawarnya. "Oh, enggak sepertinya, Mas," tolakku. "Ya sudah kalau gitu. Aku juga mau berangkat soalnya." Aku buru-buru berbalik dan kembali ke halaman rumahku. Saat sampai di teras u