Di balkon kamar hotel, aku berdiri. Menatap bulan sepotong yang menggantung di atas sana. Sementara di sekelilingnya, bintang-bintang nampak gemerlapan. Angin malam yang berembus, sesekali menelusup hingga terasa menembus ke tulang. Membuatku lebih mengeratkan jaket yang dikenakan. Aku menghela napas pelan. Lalu melemp4rkan pandangan ke bawah. Di mana terlihat kendaraan yang berduyun-duyun dengan ukuran kecil. Lampu-lampu yang menyorot dari kendaraan itu, membuat pemandangan malam nampak begitu indah. Ponsel yang disimpan di meja kecil di belakangku terdengar berdering. Aku menoleh, lalu menatap layar itu sambil duduk di kursi balkon. "Halo, Far, kenapa?" tanyaku pada Fara. "Barusan ada Mas Hilman datang ke sini sama ibunya," jawab Fara pelan. "Sudah Mbak duga, Mas Hilman akan mencariku ke rumah. Terus dia bilang apa?" "Gak bilang apa-apa. Cuma bilang mau cari Mbak Zara. Dia juga sempat ngajak Ilham untuk pulang bareng, untung Ilham-nya gak mau. Malah nangis," jawab Fara sambil
Jarum jam bergerak terasa cepat. Bahkan kini malam sudah merangkak larut. Tapi kedua mataku tak jua mau terpejam. Bayangan Mas Hilman dan Anita yang bergvmul membuatku dadaku kian sesak. Mas Hilman memang tidak mengiyakan saat aku bertanya kemarin. Tapi aku berani bertaruh, dia memang sudah melakukannya hingga bertekad untuk menikahi Anita. Dia sudah mengkhianati janji suci pernikahan kami. Dia mengotori sakralnya ikatan kami. Tanpa sadar, aku merem4s seprai bewarna putih itu kuat-kuat. Menyalurkan rasa sakit yang begitu mengh4ntam dada. Tak akan ada lagi kata maaf untuknya. Semuanya berakhir. Semuanya sudah berakhir. ***Cahaya matahari pagi menerobos lewat celah gorden yang sedikit terbuka. Aku membuka mata pelan, dan langsung terperanjat saat melihat jam dinding sudah hampir pukul enam pagi. "Astaghfirullah. Aku belum solat subuh. Ini semua gara-gara aku tidur larut malam. Jadinya terlambat bangun." Aku terus menggerutu sambil berjalan menuju kamar mandi. Lalu mengambil air w
Sambil sedikit mengangkat rok panjang yang ia kenakan, ibu langsung menghampiri Hanan yang baru saja turun dari motornya dan sedang melepas helm. Saat Hanan mengulurkan tangannya untuk menyalami ibu, wanita yang sudah melahirkanku itu malah menep1snya k4sar."Alah ... gak usah sok-sokan pura-pura sopan segala. Katakan, mau apa ke sini? Apa kakakmu itu gak ada keberanian buat datang ke sini sendiri sampai-sampai harus mengutus adiknya? Nyakitin anak orang berani, tapi mengembalikan baik-baik ke orang tuanya gak berani. Dasar pengecvt. Bilangin sana sama kakakmu yang gat4l itu!" Ibu terus saja nyerocos tanpa memberikan kesempatan kepada Hanan untuk membela diri."Bu, sudah, Bu. Ibu salah paham. Hanan gak ada hubungannya sama sekali dengan masalah yang terjadi pada rumah tanggaku." Aku sedikit menarik tangan itu agar menjauh dari Hanan yang masih menunduk."Salah paham gimana? Orang dia ini adiknya si Hilman itu. Pasti dia mau belain kakaknya." Ibu kembali berbicara sambil menatap t4jam
"Isshh ... bukan. Aku memilih untuk mundur saja. Aku gak siap diduakan," jawabku. "Memang benar itu, Ra. Ngapain mempertahankan laki-laki model gitu. Kayak gak ada laki-laki lain aja," timpal ibu dengan ketvs. "Bu, gak perlu memperkeruh suasana. Zara itu sudah dewasa. Biarkan dia menentukan sendiri arah hidupnya akan seperti apa. Sebagai orang tua, kita hanya perlu selalu mendukung dan mendampinginya," tutur bapak bijak. Kata-kata bapak itu selalu lembut dan menentramkan. "Maaf, Pa. Tapi ibu masih kesel," balas itu mulai melemah. "Hanan, apa yang terjadi pada Zara dan Hilman, jangan sampai merusak hubungan kekeluargaan kalian. Tugasmu menegur sudah benar, tapi tidak perlu ikut campur terlalu jauh. Meski bagaimana pun, dia itu tetap abangmu. Orang yang harus kamu hormati. Terlepas apapun kesalahannya." Bapak berganti menatap Hanan dan menasehatinya. "Iya, Pak. Tapi sepertinya, sekarang Bang Hilman masih marah. Mungkin, saya akan mencari kontrakan saja untuk sementara waktu. Sampai
Rasa panas langsung menjalari seluruh tubuh saat melihat tangan keduanya yang tak mau dilepas. Mas Hilman dan Anita seolah ingin membuktikan bahwa mereka tidak akan terpisahkan. "Apa kalian tidak malu, belum ada ikatan tapi sudah bertingkah seperti ini?" tanyaku sambil melipat kedua tangan di dada. "Gak usah banyak bacot. Sekarang balikin kunci rumah sama uang hasil jual mobil Mas Hilman," hardik Anita. Dasar tak tahu diri. Rasanya aku ingin tertawa sekencang mungkin. "Tunggu tunggu. Apa hak kamu menanyakan rumah dan mobil yang jelas-jelas milik istri sah dan anak kandung Mas Hilman?" tanyaku sambil tersenyum miring. "Karena itu hasil kerja keras Mas Hilman, bukan kamu. Setiap hari cuma ongkang-ongkang kaki di rumah aja sok-sokan mau nguasain harta suami," timpal Anita. "Oh ... cuma ongkang-ongkang kaki doang, ya? Apa rumah bisa bersih sendiri? Apa makanan bisa matang sendiri? Apa baju bisa bersih dan rapi sendiri? Lagian, itu harta suamiku, bukan suamimu. Sebagai istri sah, aku
"Sepertinya itu Mas Ryan. Ngapain merhatiin ke arah sini, ya," gumamku dalam hati. Aku pun menutup pintu seiring Mas Ryan yang juga kembali berjalan menuju rumahnya. Tak ingin berprasangka yang aneh-aneh. Mungkin saja dia hanya kebetulan lewat. Ada rasa nyeri di ulu hati saat menatap Ilham yang sudah terlelap di depan TV. Bahkan, Mas Hilman tak menanyakan tentang anaknya itu. "Sudah pulang, Ra?" tanya ibu membuat mataku yang hampir memanas menjadi urung. "Sudah, Bu," jawabku sambil duduk di samping tubuh Ilham, lalu mengelus kepalanya lembut. "Harusnya kamu biarin aja ibu maki-maki si Hilman dan ceweknya itu. Biar ibu kasih pelajaran sekalian. Seenaknya aja nyakitin perempuan. Emang ibunya bukan perempuan? Emang dia gak punya saudara perempuan? Gak mikir apa, gimana kalau yang disakitin itu ibunya, saudaranya, atau mungkin anak perempuannya." Ibu terus saja menggerutu dengan nada kesal."Sabar, Bu. Zara aja tenang-tenang saja, kok." Bapak mengingatkan. "Ibu gak bisa tenang. Sebe
Hanan meletakkan piring yang isinya sudah berpindah ke perut. Kemudian meneguk sisa es jeruk yang tinggal setengah. "Sekarang mending kamu tenangkan diri dulu. Daripada kerja juga gak konsen," tutur Hanan. "Kamu beneran mau pisah kan sama Bang Hilman?" tanya Hanan lagi "Iyalah. Apalagi yang mau dipertahankan. Bagiku, apa yang dilakukan Mas Hilman itu sudah fatal. Dia berbuat z1na saat masih berstatus sebagai suamiku. Dan itu tidak akan pernah aku maafkan. Ya, meskipun jujur aku sedih. Sedih karena sudah gagal mempertahankan rumah tanggaku. Sedih karena Ilham harus kehilangan kasih sayang ayahnya di usianya yang masih begitu kecil." "Jangan sedih. Selama ada aku, Ilham gak akan kekurangan kasih sayang. Percaya, deh." Hanan tersenyum memperlihatkan lesung pipinya yang tipis. "Iya. Aku percaya. Solat dulu, gih. Nanti lanjutin lagi. Aku bantuin, deh. Bersihin lantainya. Tuh, banyak tetesan cat gitu." Aku menunjuk tetesan cat yang tersebar di lantai. "Gak usah. Gak enak ngerepotin. Ma
"Emangnya kenapa kalau dibuka?" tantangnya. Dan dia benar-benar melepaskan kaos yang sudah basah oleh keringat itu. Terlihat dari sela-sela jari saat aku mengintipnya. Aku menghela napas lega saat melihat dia yang mengenakan kaos dalam. Padahal, aku sudah siap-siap untuk berlari meninggalkannya. "Pede banget sih, aku mau mengobral d4da bidang sembarangan," tuturnya sambil terkekeh pelan. "Issshh ... mana tau, kan, tiba-tiba dibuka gitu aja," timpalku mend3lik. "Gak akan. Apa yang tersembunyi, hanya untuk istriku kelak. Cie cie. Wit wiw." Dia bersuit, heboh sendirian. "Apaan, sih. Gak jelas banget," timpalku sambil berbalik dan berjalan menuju rumah. "Ra, jangan lupa. Kan mau ngepel. Aku udah capek nih. Gak kuat lagi." Aku masih bisa mendengar perkataan Hanan. Namun, aku tak menanggapi. Aku langsung masuk ke dalam rumah hendak melaksanakan solat asar. Masuk ke dalam kamar, ternyata Ilham sudah bangun. Dia sedang duduk sambil memegang ponsel dan berbicara dengan seseorang. "Iya.
Aku menoleh. Lalu mengerlingkan mata ke arahnya. "Coba lihat jam dinding. Sudah hampir pukul enam, Sayang. Mau pas lagi tanggung tiba-tiba ada yang gedor pintu?" Hanan pun langsung tertawa ngakak mendengarnya. Hari ini, kami minta ijin pada kedua orang tuaku untuk pindah ke toko kelontongan. Dengan senang hati, ibu bapak mengijinkan. Melihat Fara, aku semakin yakin untuk pindah dari rumah ini. Karena bukan tidak mungkin, jika aku dan Hanan tetap tinggal di sini, Fara akan tersakiti melihat kemesraan kami. Menjelang siang, aku dan Hanan berangkat ke toko tanpa membawa banyak barang. Hanya baju-baju milikku, Ilham dan Hanan yang dibawa. Karena menurut Hanan, di sana sudah ada barang-barang rumah tangga yang cukup komplit. Sampai di sana, keadaan toko masih tutup karena Hanan memang sengaja libur dari kemarin. Tokonya lumayan besar. Apalagi lokasinya tepat di jalan utama dekat dengan pasar induk. "Yuk, masuk!" ajaknya padaku dan Ilham saat kami turun dari mobil. Kami pun memasuki
"Bangun, Sayang. Mandi dulu." Hanan berbisik tepat di telingaku. Dia juga mengecup keningku lembut saat mata ini masih tertutup. Sejujurnya, aku sudah terbangun saat merasakan pergerakan ia yang turun dari ranjang. Hanya saja, aku ingin mengetahui bagaimana caranya dia membangunkan aku setelah apa yang terjadi semalam. Ternyata semanis ini. Aku pura-pura masih terlelap dan tak menanggapinya. Berkali-kali dia mencium pipi dan keningku bergantian. Andai aku tak menahannya, sudah dipastikan aku akan tersenyum tanpa henti karena sikap romantisnya. "Sayang ... bangun! Atau ... aku perlu mengulang apa yang sudah kita lakukan semalam?" Mendengar penuturannya, mataku langsung terbuka lebar. Lekas aku beringsut dan duduk sambil menatapnya. Hanan yang duduk di pinggir ranjang langsung tertawa kecil melihat reaksiku. "Bercanda. Sebentar lagi juga subuh," tukasnya dengan sisa tawa di bibirnya. Aku pun langsung mengerucutkan bibir sambil turun dari ranjang. "Air panasnya sudah aku tuang ke da
Kami duduk saling berhadapan sambil menunggu pesanan tiba. Tidak dipungkiri, ada rasa grogi saat kembali bertemu dengannya. Apalagi saat dia terus menatapku tanpa berkedip. Rasanya pipiku sudah memerah dan memanas. "Kamu kenapa ngeliatin gitu?" tanyaku salah tingkah. Dia malah menyangga dagunya dengan tangan tanpa mengalihkan pandangan dariku. "Sebulan loh, Ra, kita gak ketemu. Aku kan udah bilang berkali-kali kalau aku kangen banget sama kamu. Apalagi, makin hari kamu makin cantik. Bagaimana mungkin aku bisa melewatkan kesempatan sebagus ini.""Ish ... udah pintar ngegombal ternyata." Aku sedikit mendelik sambil tersipu malu. "Bukan menggombal. Tapi ini kenyataan," timpalnya. "Oh, iya. Besok aku ke rumah kamu buat lamaran. Kamu juga libur, kan?" tanyanya. Aku mengangguk. Mendengar kata lamaran, jantungku kembali berlompatan. Aku serasa melayang di langit paling tinggi saking bahagianya. Hingga akhirnya pesanan bakso sampai dan kami menikmati bakso itu sambil berbincang ringan. M
Aku menangis. Meremas seprai kuat-kuat untuk menyalurkan rasa sakit yang tak tertahankan. Tiba-tiba saja aku merasa tubuhku diguncang seseorang. "Ra, bangun! Kamu kenapa?" Aku membuka mata. Memperhatikan sekeliling. Hanya ada ibu yang berdiri di pinggir ranjang dengan tatapan heran. "Kamu kenapa nangis nangis jam segini?" Ibu mengulang pertanyaannya. Aku melirik jam dinding. Ternyata baru menunjuk ke angka empat dini hari. Lekas aku mengusap wajah sambil mengucap Alhamdulillah karena semua itu hanya mimpi. "Zara gak apa-apa, Bu. Cuma mimpi buruk," jawabku tersipu malu. "Walah, kamu ini. Makanya, sebelum tidur itu baca doa, biar gak mimpi buruk kayak gitu," timpal ibu sambil berbalik dan pergi meninggalkan kamarku. Saking bahagianya, semalam aku memang lupa tidak berdoa sebelum tidur. Mungkin itulah sebabnya aku bisa mimpi mengerikan seperti itu.Untuk menenangkan debaran jantung yang masih belum beraturan, aku pun turun dari ranjang lalu mengambil air wudu. Setelahnya, aku meng
Tidak terlalu banyak percakapan di antara kami. Karena otakku juga sibuk memutar ulang momen yang baru saja terjadi. Momen bahagia yang membuatku berbunga-bunga dan tersipu tanpa sadar. Bahkan, saat kembali melanjutkan pekerjaan pun, bayang-bayang itu tak kunjung hilang dari ingatan. Membuatku sudah merindukan Hanan padahal baru berpisah beberapa jam yang lalu. Sore menjelang. Waktu pulang pun sudah tiba. Sebelum bersiap, aku mengecek ponsel untuk melihat pesan yang masuk. Karena dari tadi aku sudah gelisah menunggu kabar dari Hanan yang tak kunjung muncul. Aku menghela napas pelan saat mengetahui kalau Hanan tak mengirim pesan sama sekali. Rasa kecewa membuat dadaku tiba-tiba sesak. Namun, baru saja aku akan kembali memasukkan ponsel ke dalam tas, getarannya membuatku urung. Saat dilihat, mataku langsung berbinar melihat siapa yang mengirim pesan.[ Maaf baru ngabarin. Tadi ponselku lowbat dan mati. Alhamdulillah aku sudah sampai dengan selamat. Kamu sudah pulang belum?][ Alhamdu
Laju air mata mengalir semakin deras setelah mendengar penuturan Hanan. Kakiku rasanya lemas tak bertulang hingga hampir ambruk andai tak ada kursi yang langsung menopang tubuhku. Aku terduduk di kursi itu dengan perasaan campur aduk. "Ra ...!" Mas Ryan mendekat. Tangannya hampir memegang pundakku andai tanganku tak langsung memberi kode agar ia jangan melakukan hal itu. "Tapi kenapa, Han? Bukannya kamu sendiri pernah bilang, kalau kamu gak akan pernah pergi jika aku mengatakan perasaan yang sebenarnya." Aku kembali menatap Hanan yang masih berdiri di tempatnya. "Maaf, Ra. Aku sudah janji ke perusahaan akan segera kembali untuk mengurus semuanya," jawab Hanan."Maksudnya? Mengurus apa? Lalu aku dan Ilham?" Aku semakin terisak. Perih sekali rasanya mengetahui Hanan tetap akan pergi dan tak akan mengurungkan niatnya."Justru karena hal itulah aku terpaksa harus pergi. Pihak perusahaan memintaku untuk tetap stay di sana. Jika aku menolak, aku diminta untuk mengundurkan diri. Dan aku,
Setelah selesai solat dan tadarus sebentar, aku mengecek ponsel. Mungkin saja Hanan mengirimkan pesan padaku. Nihil. Hanya ada beberapa pesan grup yang masuk. Aku pun memandangi layar ponsel cukup lama. Berpikir untuk mengirim pesan padanya lebih dulu. Setelah menimbang-nimbang, aku pun menyingkirkan sedikit egoku untuk mengirim pesan padanya lebih dulu. [Han, kenapa belum pulang? Semuanya baik-baik saja kan?] Aku pun mengirimkannya dengan jantung berdebar. Cukup lama pesan itu hanya centang satu. Menandakan nomornya sedang tidak aktif. Aku pun semakin dilanda gelisah dan kekhawatiran. Takut terjadi sesuatu yang buruk padanya. Hingga setelah melaksanakan solat isya, barulah layar ponsel itu memendarkan cahaya. Aku langsung mengambilnya. Mataku berbinar saat tahu itu adalah balasan dari Hanan. Gegas aku pun membukanya dengan tergesa. [ Aku di rumah ibu, Ra. Sepertinya aku akan menginap di sini. Semuanya baik-baik saja kok. Gimana kabar kamu sama Ilham hari ini? Sepi banget rasanya
Aku sempat tertegun sesaat setelah mendengar penuturannya. Hingga kemudian aku tersadar bahwa Fara memang benar-benar telah mengucapkan hal demikian saat menatap wajahnya yang memang terlihat serius tanpa candaan seperti biasanya. Aku memaksakan senyum meski kecil. "Kamu ngomong apa, sih, Far?" "Aku serius, Mbak. Aku sudah tau kalau sebenarnya Mbak sama Kak Hanan itu saling mencintai. Waktu Mbak dan Kak Hanan bicara berdua sore itu, aku sebenarnya mendengar perbincangan kalian di balik pintu rumah. Aku juga sudah tanyakan langsung hal ini pada Mbak Rima. Tadi siang aku ke rumahnya. Dan Mbak Rima membenarkan hal itu," jawab Fara dengan wajah yang masih nampak sedikit sendu. "Awalnya aku sempat marah, kecewa, juga sedih. Tapi akhirnya aku sadar, akulah yang berada di tengah-tengah antara Mbak Zara dan Kak Hanan. Kalian saling mencintai satu sama lain. Apalagi Kak Hanan, dia mencintai Mbak sejak lama. Mana mungkin aku bisa memaksakan seseorang yang sama sekali tidak mencintaiku. Ayola
Pagi ini aku harus kembali bekerja. Meski pikiran masih sedikit kacau karena semua yang terjadi, namun, hidup harus tetap dijalani dengan penuh semangat. Ada orang-orang yang harus aku bahagiakan. Di sebrang sana, Mas Ryan pun nampak sudah siap. Sepertinya dia juga hendak berangkat kerja karena sudah rapi dengan kemeja yang melekat di tubuh atletisnya. Penasaran dengan nasib Nisya, aku pun menghampirinya."Pagi, Mas," sapaku ramah. "Hai. Pagi." Mas Ryan berbinar melihatku. "Nisya gimana? Di mana dia sekarang?" tanyaku. "Tadi pagi udah aku anterin ke sekolahnya. Aku titipkan ke gurunya. Nanti sore aku jemput lagi," jawabnya. "Alhamdulillah kalau gitu, Mas. Jadi gak terlalu khawatir," timpalku sambil tersenyum. "Kalau ... Mbak Anita?" "Mungkin nanti istirahat aku akan melihat keadaan dia. Mau ikut?" tawarnya. "Oh, enggak sepertinya, Mas," tolakku. "Ya sudah kalau gitu. Aku juga mau berangkat soalnya." Aku buru-buru berbalik dan kembali ke halaman rumahku. Saat sampai di teras u