Bab 7.
Mata Dita melebar mendengar ledekan itu. Dia ingin maju untuk memberi pelajaran pada Ulfa, tetapi sayang karena Sano sudah lebih dulu menariknya ke luar rumah.
Mereka berdiri dengan tatapan yang sulit di artikan. Sungguh, Dita bingung dengan sikap Sano yang mendadak berubah padahal biasanya dia akan menyetujui apa pun permintaan Dita.
Betul bahwa mereka belum menyepakati tentang izin menikah pada Ulfa. Namun, Dita sudah tidak bisa menahan diri apalagi diminta menunggu lama. Dia kesal dipermalukan, tetapi seolah dilarang berkutik.
"Jangan rusak mimpi aku, Dita. Aku menyesal selingkuh di belakang Ulfa dan mulai detik ini hubungan kita berakhir. Jangan cari aku lagi karena aku tidak akan menceraikan Ulfa demi kamu, demi siapapun!"
"Mas!" pekik Dita dengan suara tertahan. Gadis itu mengusap wajah gusar, merasa dipermainkan.
"Aku serius. Aku nggak bisa melanjutkan hubungan kita. Nyatanya, aku lebih membutuhkan Ulfa dan juga Alea. Aku tidak bisa menepati janji untuk terus bersamamu, aku khilaf dan lupakan semuanya," lanjut Sano lagi membuat kepala Dita berdenyut sakit.
Gadis itu muak, tetapi dia berusaha untuk terlihat tenang. Dengan gerak cepat, Dita meraih tangan Sano, digenggam begitu erat. Matanya berkaca-kaca karena ada sesuatu yang harus dia sembunyikan dari Ulfa.
"Aku bisa menjadi pengganti Ulfa sekaligus ngasih kamu anak, Mas. Sebelum berangkat ke sini, kamu janji bakal milih aku daripada Ulfa. Kok, sekarang kamu berubah? Apa karena nggak ada ibu, Mas? Atau kamu takut sama Ulfa? Iya?!" cecarnya lagi.
Ulfa yang berdiri di beranda pintu tersenyum kecut melihat pemandangan di depannya. Dia sama sekali tidak merasa cemburu, hanya muak dan ingin menendang mereka satu per satu.
Menjadi pengganti Ulfa sekaligus memberinya anak? Entah kenapa pelakor zaman sekarang betul-betul tidak tahu malu. Ulfa melipat kedua tangan di depan dada, kemudian memberi tatapan dingin pada Sano.
"Kamu takut sama aku atau sama ibu, Mas?"
"Ulfa–"
"Cukup dijawab. Baik di sini atau di hadapan ibu Mahika, kamu bakal milih siapa?"
"Mas Sano nggak bakal milih kamu. Kami sudah sering tidur bersama, tidak mungkin Mas Sano masih cinta sama kamu. Coba dipikir lagi, Fa. Masih mau menerima suami yang sudah berbagi ranjang dengan wanita lain?"
Ulfa memutar badan, mengalihkan pandangannya pada Dita yang terlihat menyedihkan. Seulas senyum dia suguhkan pada wanita hina itu. Dia memindai tubuh Dita dari kaki sampai kepala. Biasa saja, tidak ada yang istimewa bahkan bagian dadanya datar, tidak menggoda.
"Aku tidak menduga, gadis muda sepertimu ternyata pecinta barang bekas. Barang bekas memang seperti sampah, kalian sekilas memang terlihat sama. Aku nggak perlu heran atau menunggu jawaban, Mas Sano biar menjadi milikmu saja."
Baru Saja Ulfa ingin masuk ke rumah ketika Sano mencekal tangannya. "Barang bekas?"
"Iya, kenapa? Ada yang salah sama ucapan aku, Mas?"
Sano membuang napas kasar. Dia memejamkan mata beberapa saat, lalu kembali berbicara. "Baiklah, karena aku salah sudah selingkuh, jadi biar saja kamu mengataiku seperti itu. Demi Allah, aku memilih kamu dan bukan Dita. Di hadapan Dita, aku bilang memilih kamu, Dek."
"Kamu dengar sendiri, 'kan? Mas Sano memilih aku dan bukan kamu. Masih pagi begini sudah datang ke rumah orang tanpa rasa malu. Pencuri saja melakukan aksinya saat malam hari, tetapi kamu benar-benar memalukan!" hina Ulfa lagi, kemudian menggandeng tangan Sano masuk rumahnya.
Tanpa sepatah kata pun, Dita meninggalkan rumah itu dengan perasaan marah yang bergejolak di dalam dada. Dia kesal dan berniat menyampaikan keluhannya pada Mahika yang selalu siap untuk membela.
Tidak peduli dia dipermalukan lagi nanti, yang pasti Sano harus jatuh dalam pelukannya dan membuat Ulfa menangis karena menjadi janda. Obsesi Dita sangat besar, dia merasa terhina dicap sebagai perebut suami orang dan tuduhan itu akan dia wujudkan dalam waktu dekat.
***
Setengah jam membiarkan Alea bermain dengan Sano sepertinya sudah cukup. Ulfa pun menggendong putrinya ke rumah tetangga karena sebentar lagi perang dunia akan di mulai. Dia tidak bisa menahan terlalu lama atau akan berimbas pada Alea.
"Mbak, Mas Sano ada di rumah, aku titip sebentar, ya?" pinta Ulfa begitu pintu rumah Kancana terbuka.
Wanita itu mengangguk paham, kemudian membawa Alea masuk ke rumahnya. Setelah itu, Ulfa gegas kembali ke rumah karena tidak ingin mengulur waktu. Biasanya setiap pukul sepuluh pagi, tukang sayur tiba dan ibu-ibu berkumpul di dekat rumah Ulfa.
Kalau mereka mendengar suara teriakan, pasti rasa ingin tahunya meronta, lalu Ulfa akan dijadikan bahan gosip selanjutnya.
Sano berdiri begitu melihat Ulfa kembali tanpa Alea. "Alea di mana?"
"Rumah Mbak Kancana, Mas. Kenapa?"
"Ya, mas kangen sama Alea. Pengen main sama dia, Dek."
Ulfa mengangguk dengan raut wajah datar. Hari ini seharusnya Sano menjelaskan perkara tadi malam di mana dia menghadiri acara ulang tahun sang adik bersama Dita, sementara alasan yang dilontarkan berbeda.
Kini, hanya ada mereka berdua. Itu artinya aman jika harus beradu mulut karena Alea tidak akan sibuk bertanya. Ulfa berusaha menahan air mata begitu mengingat suami yang selama ini dia cintai dan percaya sepenuhnya memiliki kekasih lain di luar sana.
Tidur bersama dengan Dita? Terdengar menyedihkan. Ulfa menatap jijik pada suaminya. "Mas, alasan kamu kemarin ... kamu minta aku buat tidur dan nggak usah nungguin kamu karena lembur di kantor, 'kan? Tapi kenapa malah–"
"Dek."
"Malah ada di rumah ibu, merayakan ulang tahun sama Dita pula. Apa maksudnya, Mas? Kamu menganggap aku bodoh? Mencoba mengelabuiku karena selama ini percaya aja sama kamu?" cecar Ulfa, suaranya terdengar parau menahan sesak di dada.
"Dek, jangan salah paham. Kemarin mas memang harus lembur, tetapi ibu bilang kalau mas harus datang ke sana atau Tantri bakal ngerasa sedih."
"Aku terkejut, loh, Mas. Nggak nyangka ya kalau ternyata kamu berani bermain api di belakangku padahal selama ini aku ngurus kamu dengan baik, ngurus Alea juga. Kapan aku membantah ucapan kamu, Mas?"
Mata Sano melirik ke kanan dan kiri. Dia sedikit takut melihat tatapan mematikan dari Ulfa. Istri yang selama ini ramah dan lembut dalam bertutur seolah menjelma seperti iblis yang siap membunuh Sano dalam satu pukulan telak.
Bulu kuduknya meremang, lelaki itu menduga Ulfa sedang kerasukan dan sebentar lagi dirinya akan menjadi mangsa. Sano mencoba membaca doa yang dia hafal dalam hati berharap Ulfa kembali seperti dulu.
Entah kenapa, dia tidak bisa membentak seperti tadi pagi. Lidahnya seolah kelu begitu bertemu pandang dengan Ulfa.
"Jawab, Mas!" teriak Ulfa diiringi dengan suara nyaring karena pot bunga pecah dibantingnya.
"Jangan terus nyalahin mas, Dek. Mas udah bilang menyesal sudah selingkuh sama dia dan sekarang mas minta maaf. Mari kita mulai semuanya dari awal lagi dan lupakan tentang Dita. Dengan begitu, pikiranmu akan tenang dan Alea juga pasti merasa senang kalau orangtuanya bahagia." Sano mulai memberanikan diri untuk meninggikan suara meskipun pada akhir kalimat suaranya hampir tidak terdengar. Sebenarnya Ulfa membaca sebuah doa agar Sano kesulitan untuk melawannya. Dia tahu doa itu sejak dirinya masih gadis. Benar saja, ketika diamalkan, lawan bicaranya kerap tidak berkutik. "Semudah itu, Mas?" "Tolonglah, Dek. Kita sama-sama dewasa, mengatasi masalah itu jangan kayak anak kecil," lanjut Sano lagi dengan tatapan mengiba. Ulfa mendelik kesal pada suaminya. Jika saja dia bersikap dewasa, pasti menepikan rasa ingin mendua. Namun, pada kenyataannya dia jauh lebih kekanakan. Ulfa menyesal menerima lamaran itu dahulu. Melihat Sano mendekat, Ulfa langsung memutar badan, melangkah cepat melewat
Bab 9 Pesan Whats-App yang Fajar kirim terus saja membayangi pikiran Ulfa bahkan sampai tiga hari berlalu. Wanita itu memang bisa bersikap biasa saja di hadapan Sano, tetapi hatinya gundah gulana. Dalam hati berpikir keras cara terbaik untuk balas dendam. Ulfa berharap suatu hari nanti Sano akan bertekuk lutut memintanya kembali dengan penuh penyesalan. Memulai hubungan dengan cara berselingkuh, Ulfa yakin suatu hari mereka akan mendapat balasan setimpal dari Tuhan. Menyakiti perasaan istri, pura-pura berpisah dari Dita dam beragam kebohongan lainnya. "Kok, melamun, Dek?" tegur Sano yang sudah lengkap dengan pakaian kerjanya. Padahal sekarang hari sabtu, lantas hendak ke mana dia? "Gak apa-apa, Mas. Mau ke mana rapi begitu?" Ekspresi wajah Sano berubah sedih, dia kemudian duduk di tepi ranjang sambil menatap kosong ke arah dinding. "Mas berat buat ngasih tahu kamu, Dek. Sejak kemarin mas menimbang apakah harus pergi atau tidak, tetapi boss nggak mau nerima alasan apapun. Mas haru
Bab 10 Ulfa memutar otak berusaha mencari jawaban. Jika ditanya tentang keberanian, tentu saja iya karena Ulfa adalah istri sah di mana ketika mereka terlibat perkelahian, maka orang-orang pasti mendukung dirinya sekaligus membantu mempermalukan Dita. Akan tetapi, banyak pertimbangan yang harus Ulfa pikirkan. Selain Sano masih menjadi suami sekaligus ayah dari Alea, Ulfa juga tidak mau masalah rumah tangganya diketahui oleh orang asing yang bisa saja mereka merekam video dan mengunggahnya di berbagai sosial media. Tepatnya, Ulfa tidak ingin kelak ketika Alea besar, dia melihat sifat buruk dari sang ibu. Dia tidak ingin beradu fisik, lebih memilih balas dendam dengan cara elegan, tetapi mematikan. "Gimana?" tanya Fajar lagi tidak sabar sambil melepaskan genggaman tangannya begitu menyadari kalau dugaannya tadi salah. "Gak usah dilabrak, cukup foto mereka aja deh. Aku malas berurusan di tempat seperti ini." Fajar mengangguk meskipun sedikit kecewa, tetapi dia harus menghormati kepu
Bab 11 "Kenapa ngasih tahu Mas Sano, Mbak?" lanjut Ulfa penasaran. Kalau Kancana memberitahu Sano karena marah pada Ulfa ditinggal lama bersama Alea, bukankah dia sendiri yang meminta untuk bermain bersama? Lagi pula, Ulfa tidak tahu menahu tentang Kancana yang ingin ikut. Dia pikir hanya berdua dengan Fajar. Wanita itu menghela napas ketika melihat Kancana tersenyum sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Sebenarnya mbak disuruh Sano buat memata-matai kamu, Fa." "Disuruh memata-matai aku dan Mbak Kancana mau?" "Pantes aja Mbak Kancana niat banget ikut kita berdua mengintai Sano, ternyata ada alasannya toh?" tambah Fajar menampilkan raut wajah kesal agar Kancana merasa bersalah. Dalam hati, dia ingin menurunkan Kancana di sana karena sudah menjadi musuh dalam selimut kalau saja tidak memiliki hati nurani. Percuma saja mereka bersembunyi dari Sano jika Kancana dengan mudahnya memberitahu keberadaan mereka. Rencana gagal, semuanya percuma. "Jangan salah paham dulu. Mbak me
Bab 12 "Iya, Dit. Aku bilang sama istriku kalau kamu itu pandai melukis, jadi emang banyak peminatnya. Bahkan saat pameran, lukisanmu tampil paling depan." Sano menjawab dengan suara pelan. Berusaha tersenyum santai agar Ulfa tidak curiga. Padahal wanita itu bukan lagi anak kecil yang bisa dengan mudahnya dikelabui. Ulfa bisa melihat rasa cemburu terpancar di mata Dita ketika tangannya memeluk pinggang sang suami. "Sudah kubilang, suamiku sangat pandai menilaimu. Yah, bagaimana pun kalian tetap pernah punya hubungan yang dekat." "Kami tidak sedekat itu, Dek," gumam Sano, raut wajahnya langsung berubah membuat Ulfa harus menahan tawa. "Tidur bersama hampir setiap hari, apa itu masih belum dikata dekat, Mas?" "Ayolah, jangan bahas masa lalu lagi, Dek. Mas sudah bilang kalau kami tidak lagi punya hubungan apa-apa." "Benar, harusnya aku tidak membahas itu lagi. Masa lalu hanyalah sampah yang harus dibuang pada tempatnya." Ulfa tersenyum miring lantas mendekati sebuah lukisan berukur
Bab 13 Hidung Dita kembang kempis mendengar sindiran dari Ulfa. Dia menggertakkan gigi, menatap wanita penuh amarah. Namun, dia tetap tidak bisa berkutik untuk menjaga reputasinya sebagai owner yang baik serta ramah kepada siapa pun. Apalagi ada beberapa pembeli lain di sana. Jika Dita marah, pasti mengundang perhatian mereka dan usahanya bisa jatuh bangkrut dalam sekejam saat tahu Ulfa adalah istri pertama sementara dirinya perebut suami orang. "Dek, maksud kamu bilang gitu apa?" Perasaan Sano mulai tidak enak. Dia tahu Ulfa sedang merendahkan Dita dengan menyebutnya sebagai gadis murahan. "Apa, Mas? Memang aku nggak suka barang murahan. Kalau lukisannya diskon, berarti murah, dong?" Ulfa merasa tidak bersalah, lantas tertawa renyah. Dibanding hinaannya hari ini pada Dita, lebih menyakitkan ketika tahu suami mendua bahkan berzina dengan selingkuhannya. Sekali lagi kalau bukan karena Alea yang membutuhkan ayahnya dan juga agar memudahkan pembalasan dendam, mereka sudah lama berpis
Bab 14 Menjelang dzuhur, mereka tiba di rumah. Ulfa langsung menurunkan lukisan itu dan menyimpannya dalam kamar karena masih lelah jika langsung memasangnya. Sementara Alea, gadis kecil itu sedikit cemberut karena mereka langsung pulang dan bukannya main di mall dulu. Dia hanya dibujuk dengan sekotak eskrim wall's. Sebenarnya Sano sangat ingin mengajak putri tercintanya ke mall untuk belanja baju, tetapi dompetnya menipis setelah beli dua buah lukisan itu. Salah dia sendiri karena menawarkannya pada Ulfa. "Duit abis hampir lima juta cuma demi lukisan? Padahal bisa buat makan sebulan," gerutu Sano masih sangat kesal. Dia membuka kancing kemejanya satu per satu sehingga tampaklah kaos oblong putih di dalamnya. Sano bersandar pada dinding kamar sambil terus memijit kening, pusing. Padahal baru kemarin dia didesak oleh sang ibu membujuk Ulfa agar mau meminjam uang pada orangtuanya untuk membantu biaya pernikahan Sano dan Dita. Okelah Sano tidak akan jujur alasannya meminjam uang, te
Bab 15 Di meja makan persegi panjang berwarna putih itu, mereka menikmati hidangan tanpa sepatah kata pun karena Ulfa lebih fokus menyuapi Alea yang sedang manja. Sano terlihat tidak menikmati makannya meskipun rasanya menggugah selera karena terus memikirkan tentang uang. Tanpa sadar, Sano mengacak rambutnya, lalu meminum air dalam gelas hingga tandas. Tanpa dia sadari, Ulfa sudah selesai. Dia pun ikut mengangkat piringnya ke wastafel. Demi mendapat belas kasihan dari sang istri, Sano sengaja mengambil alih tugas pencucian piring. Sayang sekali karena Ulfa tidak menanggapi sikap Sano. Dia lebih memilih masuk kamar bersama Alea untuk duduk bersandar pada kepala ranjang, selonjoran kaki sambil menyalakan kipas karena cuaca lumayan panas. "Ma, ngantuk." "Tidur, Sayang." Alea memejamkan matanya. Beberapa menit setelah Alea terlelap, Ulfa kembali turun dari ranjang. Dia mengambil lukisan yang masih terbungkus rapi itu, membukanya dan membawa keluar menuju ruang tamu. "Dek, mas saja
Dua hari sejak pertemuan Dokter Nafiadi dengan Kancana, dia akhirnya berhasil menemukan Fajar atas bantuan beberapa temannya. Lelaki itu ternyata tinggal di sebuah kontrakan yang tidak jauh dari tempat kerjanya. Sayang sekali karena para tetangga mengira mamanya adalah Setiawan.Setelah mengetuk pintu beberapa kali, kini dia berhasil duduk di ruang tamu dengan desain minimalis itu. Menatap Fajar lekat yang terkesan sedang memendam sebuah luka."Dua minggu ke depan, aku dan Ulfa akan menikah."Pernyataan dari Dokter Nafiadi berhasil mengejutkan Fajar. Kedua mata lelaki itu melebar, tetapi hanya sesaat. Sekarang dia tersenyum penuh pemaksaan. "Oh, selamat.""Tidak usah berpura-pura. Aku sudah tahu kalau kamu sangat mencintai Ulfa bahkan hingga saat ini.""Tidak. Aku sudah melupakan wanita itu. Tidak ada alasan bagiku untuk mencintainya. Aku pergi, meninggalkan semuanya juga cinta itu. Kalau Dokter Adi ke sini hanya untuk pamer, lebih baik pulang saja. Aku sibuk."Dokter Nafiadi menggele
Hari yang dinanti telah tiba. Semua keluarga dari Makassar terlihat sangat senang, mungkin karena Kak Jenni tidak memberitahu masalah itu. Simple, acara pernikahan aku minta agar digelar di rumah saja yang kebetulan lumayan luas setelah menambah lebar ruang tamu dan dua kamar. Sekarang aku duduk di dalam kamar yang sudah didekorasi sedemikian rupa. Terkesan sederhana, tetapi menawan dan elegan. Seorang MUA sedang mengaplikasikan bedak untuk menyulap aku menjadi cantik. Baju adat Makassar berwarna kuning sudah melekat di dalam tubuh, tinggal menyelesaikan proses make up yang butuh waktu panjang, lalu memasangkan jilbab. Ini permintaan Dokter Nafiadi, ingin melihat aku menutup aurat. "Kak, pernah merias pengantin yang dijodohkan atau sejenisnya? Intinya mereka menikah karena terpaksa gitu," tanyaku pada MUA itu. Dia lantas tersenyum. "Pernah, bahkan sering, Kak. Mereka sampai nangis-nangis mikirin nasibnya nanti. Ada yang terpaksa demi kebahagiaan orang tua, ada pula demi melunasi ut
POV Ulfa________________Perasaanku kini campur aduk setelah semalam mendengar ucapan Mbak Kancana tadi. Benar, aku masih belum mencintai lelaki itu padahal setelah prosesi lamaran, aku selalu meminta kepada Tuhan agar menghadirkan rasa cinta untuknya di dalam hati ini.Namun, bukan percuma, sepertinya takdir tidak berpihak. Semakin mencoba melupakan, cinta pun semakin tumbuh megah saja. Aku selalu berusaha mengelak, tetapi bayangan Fajar kian mengusik pikiran.Aku menggigit bibir agar tangisan tidak semakin menjadi. Sebentar lagi acara pernikahan akan digelar, besok lusa keluarga dari Makassar akan mendarat di bandara untuk kemudian dijemput langsung oleh Kak Jenni.Hancur, semakin hancur. Aku tidak tahu kepada siapa lagi menceritakan keluh kesah ini. Jika pada Mbak Kancana, perlahan aku pasti berusaha meninggalkan Dokter Nafiadi."Ulfa, kamu di dalam?"Suara Kak Jenni memecah lamunan. Aku baru sadar kalau hari ini cuti nasional. Segera kuseka air mata, lalu mencuci wajah dengan air
Kancana tidak langsung menjawab, dia meminimalisir rasa gugup dengan menyeruput jus di depannya. Apalagi seorang pelayan datang mendekat membawa pesanan Cantika. Setelahnya, suasana di antara mereka bertiga kembali tegang."Aku datang ke sini tanpa sepengetahuan Ulfa, kuharap Dokter Nafiadi pun sama, tidak memberitahu pertemuan rahasia ini walau pada Jenni sekalipun.""Baiklah, aku selalu menepati janji. Katakan, kenapa Mbak Kancana mengundangku ke sini? Apa ada kaitannya dengan Fajar?""Jawaban yang tepat." Kancana tersenyum, mencoba menguasai diri agar berhasil dalam misinya. Dia tidak mau melihat Ulfa tersakiti, menjalani pernikahan yang selama ini tidak dia impikan. Menghela napas berat, Kancana melanjutkan, "tolong, temukan Fajar dan tinggalkan Ulfa. Hanya itu cara agar mereka tidak tersakiti.""Dengan mengorbankan perasaanku? Omong kosong apa ini?"Kedua mata Kancana melebar mendengar respons dari dokter itu. Dia tidak menyangka sama sekali jika Dokter Nafiadi akan mengedepankan
Tantri menangis sekencang mungkin ketika pagi itu mendapat pesan balasan dari Dokter Nafiadi bahwa dirinya tidak diterima untuk bekerja sebagai pengasuh Liam atau pun asisten rumah tangga sebab ditolak pihak keluarga. Dia sudah berharap, tetapi harapan yang melambung tinggi itu dipatahkan oleh kenyataan. Tantri kembali mengecek ponsel untuk memastikan pesan yang dikirim tadi, ternyata isinya sama, tidak berubah sama sekali. "Kamu kenapa, sih?!" tegur Mahika memasuki kamar putrinya yang setengah terkunci. Wanita paruh baya itu hendak ke toko emas untuk menjual kalungnya demi bisa mengisi perut yang sejak tadi malam bernyanyi riang. "Ibu, sih, niat jelek. Jadinya Tuhan marah sama kita. Harusnya Dokter Adi tuh nerima aku jadi pengasuh Liam, tapi entah kenapa malah ketolak. Alasannya nggak masuk akal, dia bilang kalau Liam tidak butuh pengasuh karen sebentar lagi memiliki ibu sambung yang bisa menyayanginya." Mahika berpikir sebentar. Dia bisa merasakan apa yang Tantri alami saat ini.
Dokter Nafiadi tiba di rumah Mahika tepat pukul dua siang. Dia singgah sepulang dari mall bersama putra kesayangannya, Liam. Anak lelaki yang sangat tampan itu menatap bingung pada sang ayah karena dia hafal betul bahwa bangunan itu bukanlah rumahnya."Ini rumah teman ayah," kata Dokter Nafiadi memberi tahu.Liam mengangguk. Entah paham atau kebetulan saja, Dokter Nafiadi tidak bisa menebak. Dia melepaskan genggaman tangan putranya yang mirip turis Italia itu, kemudian mengetuk pintu."Dokter Nafiadi?" Mahika melebarkan senyuman. Dia tidak menduga kalau lelaki itu akan bertamu ke rumahnya. "Silakan masuk, Dok.""Terimakasih," jawabnya, kemudian melangkah masuk menggandeng tangan Liam.Ayah dan anak itu duduk di ruang tamu, sementara Mahika memanggil Tantri untuk menggendong Adnan keluar. Tidak berselang lama, gadis itu datang lantas terkejut melihat lelaki berkacamata yang menanyakan nama orang tuanya tadi malam.Tantri menghempas bokong di salah satu kursi yang ada di sana. "Dokter N
"Kenapa, Ulfa? Apa karena anak itu lahir dari rahim wanita yang sudah menyakitimu?"Ulfa mendengus. Dia malas berurusan dengan Mahika di hadapan Dokter Nafiadi. Sungguh, dia sangat merindukan Fajar untuk memberinya dukungan."Aku tidak mempermasalahkan Adnan. Dia bayi tak berdosa, sama seperti Alea. Bagaimana pun, Mas Sano adalah ayah mereka berdua.""Lalu? Adnan tentu saja butuh ASI jika ibunya ada karena sufor tidak bisa menggantikan keutamaan ASI. Namun, ibunya tidak bertanggungjawab. Ibu ini bilang kalau kamu bisa langsung beli susu saja buat bayi Adnan, tidak harus memberi uang.""Aku tidak bisa. Mereka pasti berbohong lagi supaya aku merasa kasihan. Kamu tidak tahu kalau mereka itu sangat licik. Segala hal dilakukan demi mencapai tujuan. Aku sudah lama mengenal mereka, Mas, jadi paham meskipun tanpa diberitahu. Aku bantu dia malam ini, memberi harapan bagi mereka untuk hari selanjutnya. Punya kaki dan tangan, tapi enggan bekerja.""Mbak, aku memilih putus kuliah demi mencari pek
"Mau gimana lagi. Mas nggak bisa jamin keluarga apalagi sampai biayain kuliah kamu. Jangankan buat berangkat ke kampus sehari-hari sama jajan, makan aja kita masih mikir," timpal Sano begitu Tantri merengek.Dia baru menjalani satu semester, jadi belum bisa meminta untuk mengambil cuti. Mau tidak mau, Tantri harus putus kuliah dengan harapan bisa mendaftar ulang ketika kehidupan mereka sudah berubah.Jika dulu semua baik-baik saja dalam tanggungjawab Sano atas dukungan Ulfa, perlahan mulai berbeda. Semuanya hilang, sebagai penebus dosa Sano terhadap anak dan istrinya."Bilang sama bapak, Mas. Kamu yang bujuk bapak supaya aku nggak putus kuliahnya." Kembali gadis itu merengek.Jika putus kuliah, teman-temannya akan kompak menertawakan sebab dulu ketika bekerjasama dengan Ulfa untuk membalas perbuatan Dita, dia sering memamerkan uangnya.Tidak. Tantri tidak bisa membayangkan hal itu terjadi. Namanya bisa menjadi bahan bulanan, atau mungkin diviralkan karena ada sesekelompok yang membenc
Setelah mengantar sang ibu pulang, Dokter Nafiadi kembali banting setir menuju rumah Ulfa. Dalam perjalanan dia tidak bisa tenang memikirkan kata-kata Sano."Perlu Dokter tahu kalau Ulfa sebenarnya sering menghabiskan malam dengan banyak lelaki ketika aku sedang dinas di luar kota. Dia bekerjasama dengan Mbak Kancana untuk memojokkan aku. Asal Dokter tahu kalau sebenarnya Ulfa tidak sebaik yang semua orang bayangkan. Hanya karena aku menikah lagi, mereka jadi menyalahkan aku tanpa mau tahu duduk permasalahannya. Benar, aku tidak mau menyentuh Ulfa lagi karena takut jangan sampai dia punya penyakit HIV. Biasanya orang yang melakukan hubungan suami istri bergantian kerap mudah mendapat penyakit itu?"Sebuah kalimat yang terus saja terngiang sekalipun Dokter Nafiadi berusaha menepisnya. Kendaraan roda empat itu dia pacu semakin kencang, tidak peduli jika pengendara lain sibuk memakinya.Bukan tidak mampu mengontrol emosi, Dokter Nafiadi seperti ingin menerbangkan kendaraan agar segera sa