"A-apa? Kamu bilang apa?" Sano menggendong Alea demi mendekati istrinya.
"Aku bilang ceraikan aku, Mas!" ulang Ulfa tegas, lalu dengan cepat meraih Alea dan membawanya masuk ke ruang tamu di mana Dita duduk manis.
Sano yang masih terkejut, terpaku beberapa detik sebelum akhirnya menyusul. Sebenarnya dia bisa meluapkan amarah pada Ulfa dan mengakui kalau dia sama sekali tidak takut kehilangan anak dan istrinya demi Dita. Akan tetapi, ada hal yang memaksanya bertahan dalam rumah tangga yang kini terasa hambar.
"Kenapa mas harus ceraikan kamu?"
"Pertanyaan yang bodoh. Jelas mas harus ceraikan aku kalau mau menikah sama Dita. Kamu pikir aku mau berbagi suami? Nggak bakal, Mas. Sekarang mas pilih, bertahan sama aku atau melanjutkan hubungan sama Dita!"
Lelaki itu tampak berpikir, sayang sekali karena Ulfa tidak bisa menebak isi pikirannya. Dia hanya bisa menunggu dengan perasaan yang sulit digambarkan. Jangan tanya bagaimana hatinya saat ini karena sungguh permintaan Dita benar-benar di luar nalar.
Ulfa tidak pernah menduga bahwa suatu hari dia akan dihadapkan pada sebuah kenyataan yang menyakitkan. Di Indonesia sangat banyak kasus perceraian akibat perselingkuhan dan para netizen sibuk menyalahkan lelaki karena tidak mampu menjaga pandangan padahal wanita yang menjadi selingkuhannya pun salah karena terpikat pada suami orang.
"Kenapa mas harus memilih, Dek? Memangnya Dita bilang apa?"
"Aku bilang kalau Ibu Mahika memaksaku ke sini meminta izin Ulfa buat kamu nikah lagi, Mas," sela Dita tanpa rasa bersalah.
Dia menyebalkan, itu yang Ulfa pikirkan saat ini. Rasanya terlalu sakit mendengar wanita lain meminta izin agar sang suami menikah lagi. Persendian Ulfa lemas, Alea bahkan dibiarkan pindah ke pelukan ayahnya.
Namun, yang membuat Ulfa kuat adalah perubahan sikap Sano. Semula dia terang-terangan meledakkan amarah, tetapi kini berusaha untuk meredam. Ulfa tahu dia melakukannya bukan karena cinta, tetapi takut keluar dari rumah tanpa membawa apa-apa. Lupakan tentang itu karena Ulfa tidak akan pernah tinggal diam.
"Jadi kamu ke sini karena mau meminta izin Ulfa?"
"Iya."
"Pilih sekarang, Mas. Aku nggak mau mengulur waktu!" tekan Ulfa dengan sorot mata tajam.
Kepala Sano lantas berdenyut nyeri di hadapkan pada dua wanita yang sama keras kepalanya. Sano sangat ingin memilih Dita karena gadis itu sudah berhasil membuatnya terpukau, tetapi setelah berpikir ulang, Sano semakin bingung.
Dia kesal karena tidak bisa tegas pada istri sendiri. Sano tahu, kalau pagi ini dia marah dan membentak Dita, maka dirinya akan keluar dari rumah tanpa membawa apa-apa. Dia bisa saja memaksa Ulfa pergi, tetapi takut ke depannya masalah semakin besar dan Sano khawatir tidak mampu mengatasinya.
"Mas tidak harus memilih, Dek. Dita ke sini karena mau meminta maaf sama kamu. Dia menyesal sudah hadir sebagai orang ketiga dan sekarang di hadapan kamu, kami ingin mengakhiri hubungan ini. Dita sudah mengaku ikhlas dan mau melepaskan aku supaya kita bisa melanjutkan pernikahan ini. Demi kamu dan juga anak kita, Alea." Sano mengakhiri ucapannya dengan memberi kecupan hangat di kepala Alea yang saat ini sibuk mencubit pelan lengan ayahnya.
"Ikhlas?" Dita berdecih, memutar bola mata malas sambil tersenyum kecut.
"Sebelum ke sini, kamu ngomong gitu, kan? Bahkan kamu latihan di depan cermin karena takut amukan Ulfa. Iya, 'kan?"
Kali ini, Dita meledakkan tawanya. "Latihan ngomong di depan cermin karena takut amukan Ulfa? Serius, aku takut sama amukan Ulfa?"
Sano diam. Ulfa juga sengaja tidak mengeluarkan sepatah kata pun. Mengamuk di hadapan Dita saat ini sama sekali tiada berarti. Dia hanya akan menjadi bahan ledekan dan itu menyakitkan.
Lihat saja tadi, Dita terlihat tidak takut pada Ulfa bahkan setelah perkara tadi malam. Ulfa yakin, keberaniannya muncul karena Mahika berdiri untuk mendukungnya. Mertua seperti itu memang harus disingkirkan, pikir Ulfa kesal.
Menggeram, memalingkan wajahnya. "Aku tidak akan pernah menceraikan Ulfa. Apa pun yang terjadi!"
"Kalau begitu, aku harus jujur sama Ulfa."
Sano menggertakkan giginya. Ulfa yang melihat tetap diam menganggap mereka melakukan pertunjukan atau sebuah drama. Tentu saja Ulfa sulit percaya kalau apa yang dikatakan suaminya adalah kebenaran.
Jika Sano tidak mau menceraikan dirinya, lantas kenapa harus mendua?
Tidak akan pernah ada dua cinta dalam satu hati. Ulfa menolak percaya bahwa adil dalam cinta itu ada. Benar apa yang dikatakan Kancana, mustahil ada perselingkuhan ketika cinta masih ada. Apa yang Sano cari di luar sana ketika Ulfa masih mampu memberikan segalanya?
"Jangan memancing amarahku, Dit. Kita nggak pernah sepakat untuk mengatakan itu pada Ulfa. Sampai saat ini dia masih istriku, ibu dari Alea. Selamanya akan seperti itu. Tolong, penuhi janji kamu buat lepasin aku, biarkan aku bahagia sama Ulfa."
"Kamu serius mau pisah sama aku? Jadi, kamu memilih Ulfa?"
Ulfa geram sekali ingin kembali menampar gadis sialan itu jika saja Alea tidak ada di antara mereka. Dia mengepalkan tangan, menggertakkan gigi sekaligus memberi tatapan mematikan pada Dita.
Dia marah bukan karena ingin dipilih. Ulfa mau saja jika benar diceraikan, tetapi Alea terlihat sangat membutuhkan kehadiran ayahnya. Ulfa mungkin memberi kesempatan kedua, dengan catatan Sano harus melaluinya dengan berbagai kesulitan.
"Kamu memilih wanita itu?" Telunjuk Dita mengarah pada Ulfa, tetapi matanya menyalak tajam menatap Sano yang terlihat dilema. "Wanita yang katamu tidak becus mengurus suami. Wanita yang setiap hari kamu sumpahi segera mati? Wanita yang setiap saat mengusikmu dengan banyak pertanyaan? Kamu memilih wanita miskin itu, Mas?"
"Apa?" Ulfa terkejut bukan main mendengar pertanyaan Dita. Benarkah suaminya mengatakan hal itu?
Sekarang, Dita meringis kesakitan ketika tangan Sano mendarat kasar di pipinya. Dia terlihat murka, memegang pipi yang sudah merah. Sial sekali, suasana masih pagi, tetapi sudah mendapat dua tamparan dari dua orang berbeda pula.
"Sialan kamu, Mas!" teriak Dita memukuli dada bidang Sano. Lelaki itu tidak berkutik, amarah Ulfa kembali menggebu apalagi Alea berusaha melindungi ayahnya sambil teriak meminta tolong.
"Kamu yang sialan karena terus bicara bohong di depan Ulfa!" balas Sano dengan nada suara tinggi.
Semua orang terdiam ketika Ulfa menggebrak meja. Alea juga terkejut, lalu memeluk Sano erat begitu menyadari ibunya sedang marah. Beberapa detik berlalu, Dita mengangkat sudut bibirnya tipis, menunjukkan kalau dia sama sekali tidak takut pada Ulfa.
Dia berdiri. "Dalam tiga hari, Mas Sano akan mengirim surat cerai. Itu janjinya sama aku, demi kebahagiaan ibunya."
"Gadis memalukan! Apa tidak ada pria lajang yang tertarik sama kamu sampai harus merebut suami orang? Milikmu sudah gatal, ya?" ledek Ulfa di akhir kalimatnya.
Bab 7. Mata Dita melebar mendengar ledekan itu. Dia ingin maju untuk memberi pelajaran pada Ulfa, tetapi sayang karena Sano sudah lebih dulu menariknya ke luar rumah. Mereka berdiri dengan tatapan yang sulit di artikan. Sungguh, Dita bingung dengan sikap Sano yang mendadak berubah padahal biasanya dia akan menyetujui apa pun permintaan Dita. Betul bahwa mereka belum menyepakati tentang izin menikah pada Ulfa. Namun, Dita sudah tidak bisa menahan diri apalagi diminta menunggu lama. Dia kesal dipermalukan, tetapi seolah dilarang berkutik. "Jangan rusak mimpi aku, Dita. Aku menyesal selingkuh di belakang Ulfa dan mulai detik ini hubungan kita berakhir. Jangan cari aku lagi karena aku tidak akan menceraikan Ulfa demi kamu, demi siapapun!" "Mas!" pekik Dita dengan suara tertahan. Gadis itu mengusap wajah gusar, merasa dipermainkan. "Aku serius. Aku nggak bisa melanjutkan hubungan kita. Nyatanya, aku lebih membutuhkan Ulfa dan juga Alea. Aku tidak bisa menepati janji untuk terus bersam
"Jangan terus nyalahin mas, Dek. Mas udah bilang menyesal sudah selingkuh sama dia dan sekarang mas minta maaf. Mari kita mulai semuanya dari awal lagi dan lupakan tentang Dita. Dengan begitu, pikiranmu akan tenang dan Alea juga pasti merasa senang kalau orangtuanya bahagia." Sano mulai memberanikan diri untuk meninggikan suara meskipun pada akhir kalimat suaranya hampir tidak terdengar. Sebenarnya Ulfa membaca sebuah doa agar Sano kesulitan untuk melawannya. Dia tahu doa itu sejak dirinya masih gadis. Benar saja, ketika diamalkan, lawan bicaranya kerap tidak berkutik. "Semudah itu, Mas?" "Tolonglah, Dek. Kita sama-sama dewasa, mengatasi masalah itu jangan kayak anak kecil," lanjut Sano lagi dengan tatapan mengiba. Ulfa mendelik kesal pada suaminya. Jika saja dia bersikap dewasa, pasti menepikan rasa ingin mendua. Namun, pada kenyataannya dia jauh lebih kekanakan. Ulfa menyesal menerima lamaran itu dahulu. Melihat Sano mendekat, Ulfa langsung memutar badan, melangkah cepat melewat
Bab 9 Pesan Whats-App yang Fajar kirim terus saja membayangi pikiran Ulfa bahkan sampai tiga hari berlalu. Wanita itu memang bisa bersikap biasa saja di hadapan Sano, tetapi hatinya gundah gulana. Dalam hati berpikir keras cara terbaik untuk balas dendam. Ulfa berharap suatu hari nanti Sano akan bertekuk lutut memintanya kembali dengan penuh penyesalan. Memulai hubungan dengan cara berselingkuh, Ulfa yakin suatu hari mereka akan mendapat balasan setimpal dari Tuhan. Menyakiti perasaan istri, pura-pura berpisah dari Dita dam beragam kebohongan lainnya. "Kok, melamun, Dek?" tegur Sano yang sudah lengkap dengan pakaian kerjanya. Padahal sekarang hari sabtu, lantas hendak ke mana dia? "Gak apa-apa, Mas. Mau ke mana rapi begitu?" Ekspresi wajah Sano berubah sedih, dia kemudian duduk di tepi ranjang sambil menatap kosong ke arah dinding. "Mas berat buat ngasih tahu kamu, Dek. Sejak kemarin mas menimbang apakah harus pergi atau tidak, tetapi boss nggak mau nerima alasan apapun. Mas haru
Bab 10 Ulfa memutar otak berusaha mencari jawaban. Jika ditanya tentang keberanian, tentu saja iya karena Ulfa adalah istri sah di mana ketika mereka terlibat perkelahian, maka orang-orang pasti mendukung dirinya sekaligus membantu mempermalukan Dita. Akan tetapi, banyak pertimbangan yang harus Ulfa pikirkan. Selain Sano masih menjadi suami sekaligus ayah dari Alea, Ulfa juga tidak mau masalah rumah tangganya diketahui oleh orang asing yang bisa saja mereka merekam video dan mengunggahnya di berbagai sosial media. Tepatnya, Ulfa tidak ingin kelak ketika Alea besar, dia melihat sifat buruk dari sang ibu. Dia tidak ingin beradu fisik, lebih memilih balas dendam dengan cara elegan, tetapi mematikan. "Gimana?" tanya Fajar lagi tidak sabar sambil melepaskan genggaman tangannya begitu menyadari kalau dugaannya tadi salah. "Gak usah dilabrak, cukup foto mereka aja deh. Aku malas berurusan di tempat seperti ini." Fajar mengangguk meskipun sedikit kecewa, tetapi dia harus menghormati kepu
Bab 11 "Kenapa ngasih tahu Mas Sano, Mbak?" lanjut Ulfa penasaran. Kalau Kancana memberitahu Sano karena marah pada Ulfa ditinggal lama bersama Alea, bukankah dia sendiri yang meminta untuk bermain bersama? Lagi pula, Ulfa tidak tahu menahu tentang Kancana yang ingin ikut. Dia pikir hanya berdua dengan Fajar. Wanita itu menghela napas ketika melihat Kancana tersenyum sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Sebenarnya mbak disuruh Sano buat memata-matai kamu, Fa." "Disuruh memata-matai aku dan Mbak Kancana mau?" "Pantes aja Mbak Kancana niat banget ikut kita berdua mengintai Sano, ternyata ada alasannya toh?" tambah Fajar menampilkan raut wajah kesal agar Kancana merasa bersalah. Dalam hati, dia ingin menurunkan Kancana di sana karena sudah menjadi musuh dalam selimut kalau saja tidak memiliki hati nurani. Percuma saja mereka bersembunyi dari Sano jika Kancana dengan mudahnya memberitahu keberadaan mereka. Rencana gagal, semuanya percuma. "Jangan salah paham dulu. Mbak me
Bab 12 "Iya, Dit. Aku bilang sama istriku kalau kamu itu pandai melukis, jadi emang banyak peminatnya. Bahkan saat pameran, lukisanmu tampil paling depan." Sano menjawab dengan suara pelan. Berusaha tersenyum santai agar Ulfa tidak curiga. Padahal wanita itu bukan lagi anak kecil yang bisa dengan mudahnya dikelabui. Ulfa bisa melihat rasa cemburu terpancar di mata Dita ketika tangannya memeluk pinggang sang suami. "Sudah kubilang, suamiku sangat pandai menilaimu. Yah, bagaimana pun kalian tetap pernah punya hubungan yang dekat." "Kami tidak sedekat itu, Dek," gumam Sano, raut wajahnya langsung berubah membuat Ulfa harus menahan tawa. "Tidur bersama hampir setiap hari, apa itu masih belum dikata dekat, Mas?" "Ayolah, jangan bahas masa lalu lagi, Dek. Mas sudah bilang kalau kami tidak lagi punya hubungan apa-apa." "Benar, harusnya aku tidak membahas itu lagi. Masa lalu hanyalah sampah yang harus dibuang pada tempatnya." Ulfa tersenyum miring lantas mendekati sebuah lukisan berukur
Bab 13 Hidung Dita kembang kempis mendengar sindiran dari Ulfa. Dia menggertakkan gigi, menatap wanita penuh amarah. Namun, dia tetap tidak bisa berkutik untuk menjaga reputasinya sebagai owner yang baik serta ramah kepada siapa pun. Apalagi ada beberapa pembeli lain di sana. Jika Dita marah, pasti mengundang perhatian mereka dan usahanya bisa jatuh bangkrut dalam sekejam saat tahu Ulfa adalah istri pertama sementara dirinya perebut suami orang. "Dek, maksud kamu bilang gitu apa?" Perasaan Sano mulai tidak enak. Dia tahu Ulfa sedang merendahkan Dita dengan menyebutnya sebagai gadis murahan. "Apa, Mas? Memang aku nggak suka barang murahan. Kalau lukisannya diskon, berarti murah, dong?" Ulfa merasa tidak bersalah, lantas tertawa renyah. Dibanding hinaannya hari ini pada Dita, lebih menyakitkan ketika tahu suami mendua bahkan berzina dengan selingkuhannya. Sekali lagi kalau bukan karena Alea yang membutuhkan ayahnya dan juga agar memudahkan pembalasan dendam, mereka sudah lama berpis
Bab 14 Menjelang dzuhur, mereka tiba di rumah. Ulfa langsung menurunkan lukisan itu dan menyimpannya dalam kamar karena masih lelah jika langsung memasangnya. Sementara Alea, gadis kecil itu sedikit cemberut karena mereka langsung pulang dan bukannya main di mall dulu. Dia hanya dibujuk dengan sekotak eskrim wall's. Sebenarnya Sano sangat ingin mengajak putri tercintanya ke mall untuk belanja baju, tetapi dompetnya menipis setelah beli dua buah lukisan itu. Salah dia sendiri karena menawarkannya pada Ulfa. "Duit abis hampir lima juta cuma demi lukisan? Padahal bisa buat makan sebulan," gerutu Sano masih sangat kesal. Dia membuka kancing kemejanya satu per satu sehingga tampaklah kaos oblong putih di dalamnya. Sano bersandar pada dinding kamar sambil terus memijit kening, pusing. Padahal baru kemarin dia didesak oleh sang ibu membujuk Ulfa agar mau meminjam uang pada orangtuanya untuk membantu biaya pernikahan Sano dan Dita. Okelah Sano tidak akan jujur alasannya meminjam uang, te
Dua hari sejak pertemuan Dokter Nafiadi dengan Kancana, dia akhirnya berhasil menemukan Fajar atas bantuan beberapa temannya. Lelaki itu ternyata tinggal di sebuah kontrakan yang tidak jauh dari tempat kerjanya. Sayang sekali karena para tetangga mengira mamanya adalah Setiawan.Setelah mengetuk pintu beberapa kali, kini dia berhasil duduk di ruang tamu dengan desain minimalis itu. Menatap Fajar lekat yang terkesan sedang memendam sebuah luka."Dua minggu ke depan, aku dan Ulfa akan menikah."Pernyataan dari Dokter Nafiadi berhasil mengejutkan Fajar. Kedua mata lelaki itu melebar, tetapi hanya sesaat. Sekarang dia tersenyum penuh pemaksaan. "Oh, selamat.""Tidak usah berpura-pura. Aku sudah tahu kalau kamu sangat mencintai Ulfa bahkan hingga saat ini.""Tidak. Aku sudah melupakan wanita itu. Tidak ada alasan bagiku untuk mencintainya. Aku pergi, meninggalkan semuanya juga cinta itu. Kalau Dokter Adi ke sini hanya untuk pamer, lebih baik pulang saja. Aku sibuk."Dokter Nafiadi menggele
Hari yang dinanti telah tiba. Semua keluarga dari Makassar terlihat sangat senang, mungkin karena Kak Jenni tidak memberitahu masalah itu. Simple, acara pernikahan aku minta agar digelar di rumah saja yang kebetulan lumayan luas setelah menambah lebar ruang tamu dan dua kamar. Sekarang aku duduk di dalam kamar yang sudah didekorasi sedemikian rupa. Terkesan sederhana, tetapi menawan dan elegan. Seorang MUA sedang mengaplikasikan bedak untuk menyulap aku menjadi cantik. Baju adat Makassar berwarna kuning sudah melekat di dalam tubuh, tinggal menyelesaikan proses make up yang butuh waktu panjang, lalu memasangkan jilbab. Ini permintaan Dokter Nafiadi, ingin melihat aku menutup aurat. "Kak, pernah merias pengantin yang dijodohkan atau sejenisnya? Intinya mereka menikah karena terpaksa gitu," tanyaku pada MUA itu. Dia lantas tersenyum. "Pernah, bahkan sering, Kak. Mereka sampai nangis-nangis mikirin nasibnya nanti. Ada yang terpaksa demi kebahagiaan orang tua, ada pula demi melunasi ut
POV Ulfa________________Perasaanku kini campur aduk setelah semalam mendengar ucapan Mbak Kancana tadi. Benar, aku masih belum mencintai lelaki itu padahal setelah prosesi lamaran, aku selalu meminta kepada Tuhan agar menghadirkan rasa cinta untuknya di dalam hati ini.Namun, bukan percuma, sepertinya takdir tidak berpihak. Semakin mencoba melupakan, cinta pun semakin tumbuh megah saja. Aku selalu berusaha mengelak, tetapi bayangan Fajar kian mengusik pikiran.Aku menggigit bibir agar tangisan tidak semakin menjadi. Sebentar lagi acara pernikahan akan digelar, besok lusa keluarga dari Makassar akan mendarat di bandara untuk kemudian dijemput langsung oleh Kak Jenni.Hancur, semakin hancur. Aku tidak tahu kepada siapa lagi menceritakan keluh kesah ini. Jika pada Mbak Kancana, perlahan aku pasti berusaha meninggalkan Dokter Nafiadi."Ulfa, kamu di dalam?"Suara Kak Jenni memecah lamunan. Aku baru sadar kalau hari ini cuti nasional. Segera kuseka air mata, lalu mencuci wajah dengan air
Kancana tidak langsung menjawab, dia meminimalisir rasa gugup dengan menyeruput jus di depannya. Apalagi seorang pelayan datang mendekat membawa pesanan Cantika. Setelahnya, suasana di antara mereka bertiga kembali tegang."Aku datang ke sini tanpa sepengetahuan Ulfa, kuharap Dokter Nafiadi pun sama, tidak memberitahu pertemuan rahasia ini walau pada Jenni sekalipun.""Baiklah, aku selalu menepati janji. Katakan, kenapa Mbak Kancana mengundangku ke sini? Apa ada kaitannya dengan Fajar?""Jawaban yang tepat." Kancana tersenyum, mencoba menguasai diri agar berhasil dalam misinya. Dia tidak mau melihat Ulfa tersakiti, menjalani pernikahan yang selama ini tidak dia impikan. Menghela napas berat, Kancana melanjutkan, "tolong, temukan Fajar dan tinggalkan Ulfa. Hanya itu cara agar mereka tidak tersakiti.""Dengan mengorbankan perasaanku? Omong kosong apa ini?"Kedua mata Kancana melebar mendengar respons dari dokter itu. Dia tidak menyangka sama sekali jika Dokter Nafiadi akan mengedepankan
Tantri menangis sekencang mungkin ketika pagi itu mendapat pesan balasan dari Dokter Nafiadi bahwa dirinya tidak diterima untuk bekerja sebagai pengasuh Liam atau pun asisten rumah tangga sebab ditolak pihak keluarga. Dia sudah berharap, tetapi harapan yang melambung tinggi itu dipatahkan oleh kenyataan. Tantri kembali mengecek ponsel untuk memastikan pesan yang dikirim tadi, ternyata isinya sama, tidak berubah sama sekali. "Kamu kenapa, sih?!" tegur Mahika memasuki kamar putrinya yang setengah terkunci. Wanita paruh baya itu hendak ke toko emas untuk menjual kalungnya demi bisa mengisi perut yang sejak tadi malam bernyanyi riang. "Ibu, sih, niat jelek. Jadinya Tuhan marah sama kita. Harusnya Dokter Adi tuh nerima aku jadi pengasuh Liam, tapi entah kenapa malah ketolak. Alasannya nggak masuk akal, dia bilang kalau Liam tidak butuh pengasuh karen sebentar lagi memiliki ibu sambung yang bisa menyayanginya." Mahika berpikir sebentar. Dia bisa merasakan apa yang Tantri alami saat ini.
Dokter Nafiadi tiba di rumah Mahika tepat pukul dua siang. Dia singgah sepulang dari mall bersama putra kesayangannya, Liam. Anak lelaki yang sangat tampan itu menatap bingung pada sang ayah karena dia hafal betul bahwa bangunan itu bukanlah rumahnya."Ini rumah teman ayah," kata Dokter Nafiadi memberi tahu.Liam mengangguk. Entah paham atau kebetulan saja, Dokter Nafiadi tidak bisa menebak. Dia melepaskan genggaman tangan putranya yang mirip turis Italia itu, kemudian mengetuk pintu."Dokter Nafiadi?" Mahika melebarkan senyuman. Dia tidak menduga kalau lelaki itu akan bertamu ke rumahnya. "Silakan masuk, Dok.""Terimakasih," jawabnya, kemudian melangkah masuk menggandeng tangan Liam.Ayah dan anak itu duduk di ruang tamu, sementara Mahika memanggil Tantri untuk menggendong Adnan keluar. Tidak berselang lama, gadis itu datang lantas terkejut melihat lelaki berkacamata yang menanyakan nama orang tuanya tadi malam.Tantri menghempas bokong di salah satu kursi yang ada di sana. "Dokter N
"Kenapa, Ulfa? Apa karena anak itu lahir dari rahim wanita yang sudah menyakitimu?"Ulfa mendengus. Dia malas berurusan dengan Mahika di hadapan Dokter Nafiadi. Sungguh, dia sangat merindukan Fajar untuk memberinya dukungan."Aku tidak mempermasalahkan Adnan. Dia bayi tak berdosa, sama seperti Alea. Bagaimana pun, Mas Sano adalah ayah mereka berdua.""Lalu? Adnan tentu saja butuh ASI jika ibunya ada karena sufor tidak bisa menggantikan keutamaan ASI. Namun, ibunya tidak bertanggungjawab. Ibu ini bilang kalau kamu bisa langsung beli susu saja buat bayi Adnan, tidak harus memberi uang.""Aku tidak bisa. Mereka pasti berbohong lagi supaya aku merasa kasihan. Kamu tidak tahu kalau mereka itu sangat licik. Segala hal dilakukan demi mencapai tujuan. Aku sudah lama mengenal mereka, Mas, jadi paham meskipun tanpa diberitahu. Aku bantu dia malam ini, memberi harapan bagi mereka untuk hari selanjutnya. Punya kaki dan tangan, tapi enggan bekerja.""Mbak, aku memilih putus kuliah demi mencari pek
"Mau gimana lagi. Mas nggak bisa jamin keluarga apalagi sampai biayain kuliah kamu. Jangankan buat berangkat ke kampus sehari-hari sama jajan, makan aja kita masih mikir," timpal Sano begitu Tantri merengek.Dia baru menjalani satu semester, jadi belum bisa meminta untuk mengambil cuti. Mau tidak mau, Tantri harus putus kuliah dengan harapan bisa mendaftar ulang ketika kehidupan mereka sudah berubah.Jika dulu semua baik-baik saja dalam tanggungjawab Sano atas dukungan Ulfa, perlahan mulai berbeda. Semuanya hilang, sebagai penebus dosa Sano terhadap anak dan istrinya."Bilang sama bapak, Mas. Kamu yang bujuk bapak supaya aku nggak putus kuliahnya." Kembali gadis itu merengek.Jika putus kuliah, teman-temannya akan kompak menertawakan sebab dulu ketika bekerjasama dengan Ulfa untuk membalas perbuatan Dita, dia sering memamerkan uangnya.Tidak. Tantri tidak bisa membayangkan hal itu terjadi. Namanya bisa menjadi bahan bulanan, atau mungkin diviralkan karena ada sesekelompok yang membenc
Setelah mengantar sang ibu pulang, Dokter Nafiadi kembali banting setir menuju rumah Ulfa. Dalam perjalanan dia tidak bisa tenang memikirkan kata-kata Sano."Perlu Dokter tahu kalau Ulfa sebenarnya sering menghabiskan malam dengan banyak lelaki ketika aku sedang dinas di luar kota. Dia bekerjasama dengan Mbak Kancana untuk memojokkan aku. Asal Dokter tahu kalau sebenarnya Ulfa tidak sebaik yang semua orang bayangkan. Hanya karena aku menikah lagi, mereka jadi menyalahkan aku tanpa mau tahu duduk permasalahannya. Benar, aku tidak mau menyentuh Ulfa lagi karena takut jangan sampai dia punya penyakit HIV. Biasanya orang yang melakukan hubungan suami istri bergantian kerap mudah mendapat penyakit itu?"Sebuah kalimat yang terus saja terngiang sekalipun Dokter Nafiadi berusaha menepisnya. Kendaraan roda empat itu dia pacu semakin kencang, tidak peduli jika pengendara lain sibuk memakinya.Bukan tidak mampu mengontrol emosi, Dokter Nafiadi seperti ingin menerbangkan kendaraan agar segera sa