Bab 15 Di meja makan persegi panjang berwarna putih itu, mereka menikmati hidangan tanpa sepatah kata pun karena Ulfa lebih fokus menyuapi Alea yang sedang manja. Sano terlihat tidak menikmati makannya meskipun rasanya menggugah selera karena terus memikirkan tentang uang. Tanpa sadar, Sano mengacak rambutnya, lalu meminum air dalam gelas hingga tandas. Tanpa dia sadari, Ulfa sudah selesai. Dia pun ikut mengangkat piringnya ke wastafel. Demi mendapat belas kasihan dari sang istri, Sano sengaja mengambil alih tugas pencucian piring. Sayang sekali karena Ulfa tidak menanggapi sikap Sano. Dia lebih memilih masuk kamar bersama Alea untuk duduk bersandar pada kepala ranjang, selonjoran kaki sambil menyalakan kipas karena cuaca lumayan panas. "Ma, ngantuk." "Tidur, Sayang." Alea memejamkan matanya. Beberapa menit setelah Alea terlelap, Ulfa kembali turun dari ranjang. Dia mengambil lukisan yang masih terbungkus rapi itu, membukanya dan membawa keluar menuju ruang tamu. "Dek, mas saja
Bab 16 Ulfa membuka mata, merasa kalau dia sudah tidak perlu lagi pura-pura tidur. Sekarang dia penasaran dengan apa yang baru saja terjadi pada Sano, suami bajingannya. Dengan langkah pelan, dia mendekati pintu kamar, membukanya, lalu menuju ruang tamu. Dia jarak dua meter, dia tersenyum melihat Sano terkulai lemas di lantai sambil menitikkan air mata. Ada apa ini? Kenapa semesta seolah berpihak pada Ulfa? "Mas, kenapa nangis-nangis?" tanya Ulfa dengan nada suara selembut mungkin. Meskipun dia merasa risih, tetapi bisa menepis rasa itu demi rasa penasarannya. Dia akan menjadi orang pertama yang bahagia jika Sano mendapat musibah. Rasa dendam dalam hati terus tumbuh membuat wanita itu menunjukkan sisi gelapnya. "Dek? Sejak kapan kamu di situ?" Sano bangun, bersandar pada dinding ruang tamu itu masih dalam keadaan resah. Ulfa memasang raut wajah sedih, tepatnya pura-pura, lantas ikut duduk di sisi Sano ingin mengulik informasi. "Baru, kok, Mas. Aku kaget begitu dengar kamu teria
Bab 17 "Kamu pikir aku takut kehilangan kamu?!" teriak Sano pada pantulan dirinya di cermin. Dia sedang mengeluarkan unek-uneknya yang dipendam selama ini. Penampilannya acak-acakan, dia baru saja selesai main game untuk mengalihkan pikirannya. Membujuk Dita merupakan hal percuma, dia gadis yang keras kepala dan mau menang sendiri. Sano terlalu bodoh mau diperlakukan seperti itu. Akan tetapi, cintanya sudah terlalu dalam untuk Dita seorang. Dia bertahan dalam rumah tangganya demi sebuah tujuan. Alea? Sano tidak begitu peduli pada anak kecil yang mirip dengannya itu. Dia masih bisa punya anak dari Dita. Sejak kecil, Alea juga selalu merepotkan dirinya karena menghabiskan uang membeli popok dan susu formula. ASI Ulfa hanya sedikit, jadi dia harus membantu dengan susu formula. "Kamu ngomong sama siapa, Mas?" tanya Ulfa yang sejak tadi berdiri di ambang pintu kamar. Dia baru saja menunaikan hajatnya di kamar mandi belakang. Sano memutar badan menghadap dengan tampang angkuh. Sebelah
Bab 18 Setelah Sano kembali berangkat ke kantor, Ulfa bergegas ke rumah Kancana karena mereka sudah membuat janji pukul tiga dini hari tadi. Tidak lupa dia membawa Alea sekalian. Rupanya Kancana baru selesai menyapu halaman rumahnya, dia lalu mengajak Ulfa masuk. Mereka duduk di ruang tamu dengan banyak cemilan kesukaan Alea di sana. Gadis kecil itu tanpa sungkan meraihnya karena sudah akrab dengan pemilik rumah. "Mbak, aku tuh bingung, ya. Sebenarnya aku pengen banget pisah sama Mas Sano detik ini juga." "Lalu?" Kancana bertanya ketika melihat Ulfa diam seolah berat menyampaikan isi hatinya. "Aku senang juga ngerjain Mas Sano, Mbak. Selama dia nggak mukul aku, mungkin masih bisa bertahan dengan catatan tanpa melibatkan perasaan. Untuk cinta, sudah pudar, Mbak. Aku cuma mikirin Alea saat ini, dia keliatan banget masih butuh Mas Sano. Apa aku salah mengambil keputusan, Mbak? Apa aku ini wanita bodoh karena belum cerai setelah tahu suami selingkuh?" Kancana menghela napas panjang.
Bab 19 Ulfa berusaha melepaskan diri, lantas mundur dengan tatapan tidak suka. "Kenapa Ibu ke sini?" "Aduh, kayak siapa aja. Ibu ke sini nyari kamu sama Alea. Ayo, kita ke rumah kamu, ada yang mau ibu omongin." "Mau bicara apa, Bu? Di sini saja." "Nggak enak sama tetangga. Udah ikut ibu aja!" Mahika menggendong Alea yang mendekat padanya, sambil menarik tangan Ulfa agar mau mengikutinya. Ulfa pasrah saja, melangkah malas setelah pamit pada Kancana. Untuk laptop tadi biar nanti saja diambil atau akan ketahuan Mahika. Begitu mereka sampai, Mahika menurunkan Alea dari gendongan, lalu memberinya banyak mainan. Gadis kecil itu bersorak senang, sekarang malah fokus dengan dunianya. "Ibu mau bicara sama kamu, Nak." Nak? Ulfa tersenyum kecut mendengar kata sapaan itu. Selama ini ibu mertuanya tidak pernah berkata selembut itu pada Ulfa, lantas kenapa sekarang berubah? Masih teringat bagaimana malam itu Mahika terang-terangan mendukung Sano untuk menikah dengan Dita seolah Ulfa tidak p
Bab 20 Karena rengekan Alea yang ingin bertemu dengan kakek kesayangannya sehingga Ulfa terpaksa setuju. Dia sudah tiba di rumah yang pada malam sebelumnya berhasil menunjukkan sesuatu di liar dugaan. Alea langsung berlari kegirangan, meskipun Mahatma tidak ada di sana. Dia bermain bersama Tantri yang saat ini tidak ada jadwal kuliah. Ulfa sendiri memilih duduk di kursi tamu seakan dirinya memanglah seorang tamu, malu untuk menerobos masuk rumah. Tas besarnya memang sudah dibawa Tantri masuk kamar Sano dulu, tetapi tetap saja dia berusaha untuk terlibat sungkan. Ulfa ingin ibu mertuanya paham kalau dia sedang marah, masih tentang perkara kemarin. Dia memperhatikan gerak-gerik Mahika yang kelihatan bingung. Tentu saja karena dia tidak berpihak pada Ulfa malam itu. Dia terang-terangan menolaknya dan menerima kehadiran Dita. "Kenapa berdiri saja, Bu? Kalau ada kesibukan, silakan dilanjutkan. Aku tidak apa-apa kalau harus duduk di sini sendirian." Ulfa tersenyum semanis mungkin. Seben
Bab 21 Selesai makan malam, Tantri langsung membereskan meja sekaligus mencuci peralatan makan. Sementara Alea menunggunya di kursi sambil menikmati susu ultra milk. Perhatian Ulfa kembali terusik ketika melihat ibu mertuanya menyeret Sano masuk kamar karena mengira Ulfa sedang bermain bersama Alea. Tanpa ragu, tanpa menutup rapat pintu kamar, dia berkata pada putra sulungnya. "Sano, ibu mau tanya sesuatu sama kamu." "Tanya apa, Bu?" "Selama ini, kamu ngasih uang belanja berapa ke Ulfa? Sebelum ketahuan kalau ada Dita dalam hidupmu." Ulfa semakin penasaran ketika mendengar namanya disebut. Dia tidak takut menguping karena ayah mertuanya belum pulang, sementara kamar Tantri berada di dekat dapur sehingga tidak akan melihat Ulfa di depan kamar Mahika. "Empat juta di luar kebutuhan jajannya dia, Bu. Itu dulu, tapi bulan kemarin lupa ngasih berapa. Intinya beda jauh sama dulu. Apalagi untuk bulan ini, mana bisa aku ngasih uang bulanan. Kalau pun ngasih paling lima ratus ribu karena h
Bab 22 Pagi ini, selesai menanak nasi, Ulfa langsung duduk santai di ruang tamu untuk bermain sosmed, paling menonton konten yang kadang aneh, kadang pula masuk akal. Tadi malam dia dan mertuanya sudah membuat kesepakatan bahwa mulai hari ini dan seterusnya, Ulfa tidak mau belanja ke pasar. Enak saja, setelah mengatakan 300 ribu itu cukup untuk satu bulan, lalu satu jam kemudian memutuskan memberi nafkah lima puluh ribu untuk sehari dengan catatan makanan yang dimasak harus beragam, enak, serta berganti menu setiap harinya. Mungkin saja mereka tidak memikirkan gas dan kebutuhan lain. Ah, biar saja, Ulfa tidak mau mengambil pusing. Kalau nanti mertuanya terus membandingkan dia dan Dita lagi, itu berarti sudah waktunya untuk berperang. Mungkin dulu Ulfa selalu memikirkan kebahagiaan keluarga suaminya, tetapi tidak untuk sekarang. Sano terlalu banyak berubah terutama hati dan perasaannya, jadi tidak ada salahnya kalau Ulfa juga ikut berubah. "Ulfa!" panggil Mahika yang baru saja kemb
Dua hari sejak pertemuan Dokter Nafiadi dengan Kancana, dia akhirnya berhasil menemukan Fajar atas bantuan beberapa temannya. Lelaki itu ternyata tinggal di sebuah kontrakan yang tidak jauh dari tempat kerjanya. Sayang sekali karena para tetangga mengira mamanya adalah Setiawan.Setelah mengetuk pintu beberapa kali, kini dia berhasil duduk di ruang tamu dengan desain minimalis itu. Menatap Fajar lekat yang terkesan sedang memendam sebuah luka."Dua minggu ke depan, aku dan Ulfa akan menikah."Pernyataan dari Dokter Nafiadi berhasil mengejutkan Fajar. Kedua mata lelaki itu melebar, tetapi hanya sesaat. Sekarang dia tersenyum penuh pemaksaan. "Oh, selamat.""Tidak usah berpura-pura. Aku sudah tahu kalau kamu sangat mencintai Ulfa bahkan hingga saat ini.""Tidak. Aku sudah melupakan wanita itu. Tidak ada alasan bagiku untuk mencintainya. Aku pergi, meninggalkan semuanya juga cinta itu. Kalau Dokter Adi ke sini hanya untuk pamer, lebih baik pulang saja. Aku sibuk."Dokter Nafiadi menggele
Hari yang dinanti telah tiba. Semua keluarga dari Makassar terlihat sangat senang, mungkin karena Kak Jenni tidak memberitahu masalah itu. Simple, acara pernikahan aku minta agar digelar di rumah saja yang kebetulan lumayan luas setelah menambah lebar ruang tamu dan dua kamar. Sekarang aku duduk di dalam kamar yang sudah didekorasi sedemikian rupa. Terkesan sederhana, tetapi menawan dan elegan. Seorang MUA sedang mengaplikasikan bedak untuk menyulap aku menjadi cantik. Baju adat Makassar berwarna kuning sudah melekat di dalam tubuh, tinggal menyelesaikan proses make up yang butuh waktu panjang, lalu memasangkan jilbab. Ini permintaan Dokter Nafiadi, ingin melihat aku menutup aurat. "Kak, pernah merias pengantin yang dijodohkan atau sejenisnya? Intinya mereka menikah karena terpaksa gitu," tanyaku pada MUA itu. Dia lantas tersenyum. "Pernah, bahkan sering, Kak. Mereka sampai nangis-nangis mikirin nasibnya nanti. Ada yang terpaksa demi kebahagiaan orang tua, ada pula demi melunasi ut
POV Ulfa________________Perasaanku kini campur aduk setelah semalam mendengar ucapan Mbak Kancana tadi. Benar, aku masih belum mencintai lelaki itu padahal setelah prosesi lamaran, aku selalu meminta kepada Tuhan agar menghadirkan rasa cinta untuknya di dalam hati ini.Namun, bukan percuma, sepertinya takdir tidak berpihak. Semakin mencoba melupakan, cinta pun semakin tumbuh megah saja. Aku selalu berusaha mengelak, tetapi bayangan Fajar kian mengusik pikiran.Aku menggigit bibir agar tangisan tidak semakin menjadi. Sebentar lagi acara pernikahan akan digelar, besok lusa keluarga dari Makassar akan mendarat di bandara untuk kemudian dijemput langsung oleh Kak Jenni.Hancur, semakin hancur. Aku tidak tahu kepada siapa lagi menceritakan keluh kesah ini. Jika pada Mbak Kancana, perlahan aku pasti berusaha meninggalkan Dokter Nafiadi."Ulfa, kamu di dalam?"Suara Kak Jenni memecah lamunan. Aku baru sadar kalau hari ini cuti nasional. Segera kuseka air mata, lalu mencuci wajah dengan air
Kancana tidak langsung menjawab, dia meminimalisir rasa gugup dengan menyeruput jus di depannya. Apalagi seorang pelayan datang mendekat membawa pesanan Cantika. Setelahnya, suasana di antara mereka bertiga kembali tegang."Aku datang ke sini tanpa sepengetahuan Ulfa, kuharap Dokter Nafiadi pun sama, tidak memberitahu pertemuan rahasia ini walau pada Jenni sekalipun.""Baiklah, aku selalu menepati janji. Katakan, kenapa Mbak Kancana mengundangku ke sini? Apa ada kaitannya dengan Fajar?""Jawaban yang tepat." Kancana tersenyum, mencoba menguasai diri agar berhasil dalam misinya. Dia tidak mau melihat Ulfa tersakiti, menjalani pernikahan yang selama ini tidak dia impikan. Menghela napas berat, Kancana melanjutkan, "tolong, temukan Fajar dan tinggalkan Ulfa. Hanya itu cara agar mereka tidak tersakiti.""Dengan mengorbankan perasaanku? Omong kosong apa ini?"Kedua mata Kancana melebar mendengar respons dari dokter itu. Dia tidak menyangka sama sekali jika Dokter Nafiadi akan mengedepankan
Tantri menangis sekencang mungkin ketika pagi itu mendapat pesan balasan dari Dokter Nafiadi bahwa dirinya tidak diterima untuk bekerja sebagai pengasuh Liam atau pun asisten rumah tangga sebab ditolak pihak keluarga. Dia sudah berharap, tetapi harapan yang melambung tinggi itu dipatahkan oleh kenyataan. Tantri kembali mengecek ponsel untuk memastikan pesan yang dikirim tadi, ternyata isinya sama, tidak berubah sama sekali. "Kamu kenapa, sih?!" tegur Mahika memasuki kamar putrinya yang setengah terkunci. Wanita paruh baya itu hendak ke toko emas untuk menjual kalungnya demi bisa mengisi perut yang sejak tadi malam bernyanyi riang. "Ibu, sih, niat jelek. Jadinya Tuhan marah sama kita. Harusnya Dokter Adi tuh nerima aku jadi pengasuh Liam, tapi entah kenapa malah ketolak. Alasannya nggak masuk akal, dia bilang kalau Liam tidak butuh pengasuh karen sebentar lagi memiliki ibu sambung yang bisa menyayanginya." Mahika berpikir sebentar. Dia bisa merasakan apa yang Tantri alami saat ini.
Dokter Nafiadi tiba di rumah Mahika tepat pukul dua siang. Dia singgah sepulang dari mall bersama putra kesayangannya, Liam. Anak lelaki yang sangat tampan itu menatap bingung pada sang ayah karena dia hafal betul bahwa bangunan itu bukanlah rumahnya."Ini rumah teman ayah," kata Dokter Nafiadi memberi tahu.Liam mengangguk. Entah paham atau kebetulan saja, Dokter Nafiadi tidak bisa menebak. Dia melepaskan genggaman tangan putranya yang mirip turis Italia itu, kemudian mengetuk pintu."Dokter Nafiadi?" Mahika melebarkan senyuman. Dia tidak menduga kalau lelaki itu akan bertamu ke rumahnya. "Silakan masuk, Dok.""Terimakasih," jawabnya, kemudian melangkah masuk menggandeng tangan Liam.Ayah dan anak itu duduk di ruang tamu, sementara Mahika memanggil Tantri untuk menggendong Adnan keluar. Tidak berselang lama, gadis itu datang lantas terkejut melihat lelaki berkacamata yang menanyakan nama orang tuanya tadi malam.Tantri menghempas bokong di salah satu kursi yang ada di sana. "Dokter N
"Kenapa, Ulfa? Apa karena anak itu lahir dari rahim wanita yang sudah menyakitimu?"Ulfa mendengus. Dia malas berurusan dengan Mahika di hadapan Dokter Nafiadi. Sungguh, dia sangat merindukan Fajar untuk memberinya dukungan."Aku tidak mempermasalahkan Adnan. Dia bayi tak berdosa, sama seperti Alea. Bagaimana pun, Mas Sano adalah ayah mereka berdua.""Lalu? Adnan tentu saja butuh ASI jika ibunya ada karena sufor tidak bisa menggantikan keutamaan ASI. Namun, ibunya tidak bertanggungjawab. Ibu ini bilang kalau kamu bisa langsung beli susu saja buat bayi Adnan, tidak harus memberi uang.""Aku tidak bisa. Mereka pasti berbohong lagi supaya aku merasa kasihan. Kamu tidak tahu kalau mereka itu sangat licik. Segala hal dilakukan demi mencapai tujuan. Aku sudah lama mengenal mereka, Mas, jadi paham meskipun tanpa diberitahu. Aku bantu dia malam ini, memberi harapan bagi mereka untuk hari selanjutnya. Punya kaki dan tangan, tapi enggan bekerja.""Mbak, aku memilih putus kuliah demi mencari pek
"Mau gimana lagi. Mas nggak bisa jamin keluarga apalagi sampai biayain kuliah kamu. Jangankan buat berangkat ke kampus sehari-hari sama jajan, makan aja kita masih mikir," timpal Sano begitu Tantri merengek.Dia baru menjalani satu semester, jadi belum bisa meminta untuk mengambil cuti. Mau tidak mau, Tantri harus putus kuliah dengan harapan bisa mendaftar ulang ketika kehidupan mereka sudah berubah.Jika dulu semua baik-baik saja dalam tanggungjawab Sano atas dukungan Ulfa, perlahan mulai berbeda. Semuanya hilang, sebagai penebus dosa Sano terhadap anak dan istrinya."Bilang sama bapak, Mas. Kamu yang bujuk bapak supaya aku nggak putus kuliahnya." Kembali gadis itu merengek.Jika putus kuliah, teman-temannya akan kompak menertawakan sebab dulu ketika bekerjasama dengan Ulfa untuk membalas perbuatan Dita, dia sering memamerkan uangnya.Tidak. Tantri tidak bisa membayangkan hal itu terjadi. Namanya bisa menjadi bahan bulanan, atau mungkin diviralkan karena ada sesekelompok yang membenc
Setelah mengantar sang ibu pulang, Dokter Nafiadi kembali banting setir menuju rumah Ulfa. Dalam perjalanan dia tidak bisa tenang memikirkan kata-kata Sano."Perlu Dokter tahu kalau Ulfa sebenarnya sering menghabiskan malam dengan banyak lelaki ketika aku sedang dinas di luar kota. Dia bekerjasama dengan Mbak Kancana untuk memojokkan aku. Asal Dokter tahu kalau sebenarnya Ulfa tidak sebaik yang semua orang bayangkan. Hanya karena aku menikah lagi, mereka jadi menyalahkan aku tanpa mau tahu duduk permasalahannya. Benar, aku tidak mau menyentuh Ulfa lagi karena takut jangan sampai dia punya penyakit HIV. Biasanya orang yang melakukan hubungan suami istri bergantian kerap mudah mendapat penyakit itu?"Sebuah kalimat yang terus saja terngiang sekalipun Dokter Nafiadi berusaha menepisnya. Kendaraan roda empat itu dia pacu semakin kencang, tidak peduli jika pengendara lain sibuk memakinya.Bukan tidak mampu mengontrol emosi, Dokter Nafiadi seperti ingin menerbangkan kendaraan agar segera sa