Sano turun dari taksi tepat di depan rumah Ulfa. Setelah membayar ongkos, Sano menghela napas panjang, lalu membuka pagar berukuran satu setengah meter itu. Begitu tiba di depan pintu, Sano memasang tampang memelas. Dia harus bisa mendapatkan simpatik dari Ulfa jika masih ingin bertahan hidup. "Assalamualaikum!" teriak Sano sambil mengetuk pintu. Beberapa menit menunggu dalam keadaan resah dan gelisah, akhirnya pintu tersebut dibuka tepat saat Sano membelakanginya. Dia memutar badan, jantungnya berdegup cepat. "Dek, mas mau bicara. Dua menit saja, please!" cegah Sano cepat karena Ulfa langsung menutup pintunya. Wanita itu menundukkan kepala sekilas, perasaannya campur aduk. Di rumahnya memang ada Alea dan juga Jenni, tetapi mengizinkannya masuk seperti sebuah resiko besar. Namun, pada akhirnya dia menjawab, "baiklah, hanya dua menit." Mereka duduk di ruang tamu. Ulfa berusaha menormalkan degup jantungnya yang tidak normal pun menghibur diri agar hati tidak berdenyut nyeri. Luka
"Kak Jenni mau mengajari aku sopan santun dengan cara apa kalau kakak ipar saja tidak sopan?" "Apa maksudmu, Sano?" "Tadi siapa yang melempar aku botol tupperware itu? Kalau sopan, tidak mungkin melakukannya, kan?" "Kamu melecehkan adikku, salah kalau aku tinggal diam. Sekarang tidak usah banyak drama, aku muak liat wajahmu!" Sano berusaha abai karena tujuannya datang ke sana adalah untuk membujuk Ulfa agar mau kembali dengannya. Biar saja Jenni terus meracau tidak jelas selama Ulfa masih berdiri di tempatnya. Tangannya meraih tangan Ulfa, menggenggamnya erat. Setelah itu, meletakkannya tepat di dada kiri Sano agar Ulfa bisa merasakan sendiri jantung yang berdegup tidak normal sejak tadi. Jika ditanya tentang cinta, sebenarnya Sano masih memiliki rasa itu. Akan tetapi, keinginannya untuk memuaskan diri sendiri membuatnya buta dan berpaling. Sano belum bisa mengendalikan dirinya sampai saat ini. "Jantungku berdetak karenamu, Ulfa. Apa masih tidak percaya kalau aku masih mencintai
Setelah memastikan Sano sudah terlelap, Tantri melanjutkan kalimatnya tadi. Dia tidak akan membiarkan Dita tenang untuk sementara, maka mulai saat ini dia harus membandingkan dia dengan Ulfa agar Dita geram dan mengalah atau bahkan memberinya uang juga.Dia berkacak pinggang, duduk di tempat semula menatap sinis pada Dita yang sejak tadi tidak pernah berhenti menggerutu. Meskipun usia mereka terpaut jauh, Tantri tidak pernah takut melawan selama dia merasa dalam kebenaran. Apalagi tujuannya meminta uang adalah membayar utang yang sudah dua hari ditagih oleh temannya."Mbak, harusnya kamu itu bisa bantu perekonomian keluarga. Kamu kan punya usaha tuh, walau udah lama kagak ngelukis, tetap aja kan di toko ada lukisan? Masa satu pun nggak ada yang laku, gimana ceritanya?"Dita menghembus napas kasar. "Gimana mau laku orang pernah kena kasus, pelanggan pada kabur ke toko yang lain. Kalaupun ada, paling buat ngangsur ke bank yang nggak diselesaikan sama masmu.""Ya masa sih kamu sekere itu
Kamis pagi, Jenni membawa Alea jalan-jalan sekaligus mencari pekerjaan. Sebenarnya repot kalau membawa anak kecil berusia empat tahun, tetapi Alea merengek, sedangkan ibunya harus menjalani masa iddah.Ulfa tidak tahu harus melakukan apa di dalam rumah. Makan, tidur, menonton, mandi, sudah dia lakukan. Tidak ada hal seru untuk menambah warna dalam hidupnya. Saat melirik jam, sudah menunjuk pukul sembilan pagi.Pintu rumahnya terketuk tiga kali, padahal ada bel yang tinggal ditekan. Siapa dia, kenapa kesannya seperti buru-buru? Oh ayolah, tidak mungkin seorang rentenir karena Ulfa tidak punya utang pada siapa pun.Ulfa mendengus, berusaha memaksakan senyum untuk menyambut tamu yang entah siapa. Ulfa akan menerimanya dengan baik asal bukan makhluk tak kasat mata. Daun pintu terbuka perlahan, senyuman Ulfa memudar ketika tahu siapa yang datang.Seorang ibu hamil tersenyum angkuh pada Ulfa. Dia kenapa?"Ngapain ke sini, Dit? Tampangnya kayak orang mau nagih utang aja," tanya Ulfa menekuk
Baru saja Ulfa memejamkan matanya saat sedang menonton televisi, pintu rumahnya kembali terketuk. Dia geram, lalu menebak bahwa yang datang adalah Mahika untuk mencari menantu tercintanya.Entahlah, Ulfa berharap pengetuk pintu itu adalah Jenni dan Alea. Pintu kembali terbuka lebar dan Ulfa harus memutar bola mata malas. Tebakannya salah, ternyata dia adalah Dita. Tanpa disuruh, wanita hamil itu mendorong tubuh Ulfa yang menghalangi jalannya untuk masuk dan duduk di kursi semula."Ngapain balik lagi, hah?"Dita memalingkan wajah. "Aku baru ingat kalau tadi lupa bawa dompet. Tadi ke sini nebeng sama teman. Kamu ada uang buat ongkos pulang nggak?"Ulfa berdecih. Bagaimana mungkin Dita meminta tolong padanya sedangkan wanita itu memalingkan wajah? Apa dia malu meminjam pada wanita yang pernah dia lukai hatinya? Oh ayolah, Ulfa tidak percaya kalau Dita itu masih punya rasa malu setelah berzina dengan suami orang."Ada." Ulfa merogoh kantong celananya, ternyata ada uang lima puluh dan dua
Ulfa baru saja menyelesaikan satu bab ketika hari sudah sore. Tangannya terasa pegal, kepala pun sedikit pening memikirkan alurnya. Namun, yang membakar semangat Ulfa untuk tetap melanjutkan naskahnya di platform digital adalah komentar pedas dari para pembaca.Komentar itu tidak tertuju pada penulis, melainkan tokoh di dalam cerita. Ulfa sangat bahagia karena pembaca budiman itu memberi sumpah serapah pada Sano dan Dita agar tidak pernah bahagia dalam rumah tangganya.Sudah Ulfa duga bahwa ketika orang lain tahu bagaimana dia menjalani rumah tangganya yang menjadi korban perselingkuhan, pasti para ibu-ibu akan langsung respect kecuali mereka yang iri pada Ulfa. Senyum wanita itu masih mengambang sempurna membaca komentar demi komentar para pembaca.[Maaf, aku tidak bisa membalas satu per satu, tetapi aku mengucapkan terimakasih pada kalian karena berkenan mampir ke novel perdanaku. Semoga kalian sehat selalu. Salam dariku.] tulis Ulfa di kolom komentar.Sekarang dia berdiri, keluar d
"Mbak, aku setuju untuk tawaran kerjasama itu, tapi jangan beritahu bapak kalau aku bakal mengganggu Mbak Dita." Suara Tantri terdengar gemetaran. Dia berada di antara dua pilihan yang keduanya menambah sesak di dada."Gampang, asal kamu nggak bohongin aku aja. Kapan kamu ketahuan berbohong, aku yang bakal viralin kamu. Di rumah ini ada CCTV, aku bisa saja melakukan sesuatu yang bisa memberatkanmu, Teri."Tantri menggeleng pelan, bibirnya semakin memucat. Dia tahu Ulfa tidak pernah bercanda dengan ancamannya. Jika Sano, Mahika dan juga Dita mudah dia sudutkan, apalagi dirinya yang hanya seorang mahasiswa."Baiklah, kalau begitu nanti kamu bilang sama keluargamu kalau aku ngasih uang itu dengan sukarela. Ingat, kamu harus memberitahu mereka!" Ulfa mengeja dengan sangat pelan, penuh penegasan pada kalimat terakhir agar Tantri melakukannya.Dia bukan ingin disanjung, Ulfa hanya mau kalau Sano sekeluarga tahu dia sudah bangkit dan tidak seperti dulu lagi. Ulfa disibukkan oleh banyak peker
Tiga bulan berlalu, akhirnya Ulfa bebas dari masa iddah. Selama itu dia menghabiskan waktunya di depan laptop untuk menulis novel. Sudah dua novel yang berhasil dia tamatkan karena Alea tidak lagi rewel selama ada mainan dan juga cemilan. Apalagi beberapa kali Kancana datang untuk mengajaknya jalan-jalan.Penghasilannya lebih dari cukup untuk sekadar makan dan belanja pakaian serta mainan. Ulfa tidak menyangka tulisannya membuahkan hasil yang mengejutkan. Itu dia peroleh dari dua aplikasi menulis.Dalam tiga bulan itu pula, Tantri selalu mengganggu kakak iparnya. Ya, Dita telah melahirkan sosok anak laki-laki yang dinamai Adnan Sano Wijaya.Suara klakson mobil membuyarkan lamunan Ulfa. Dia segera mengoles lip serum tipis, menyambar tas bahu, kemudian menggandeng tangan Alea yang sudah didandani cantik bagai putri raja dalam Negeri Dongeng."Kirain bakal telat, makanya kelamaan dandan," kata Ulfa begitu masuk ke mobil baru Fajar.Lelaki itu mengulum senyum, tanpa sepatah kata pun. Dia
Dua hari sejak pertemuan Dokter Nafiadi dengan Kancana, dia akhirnya berhasil menemukan Fajar atas bantuan beberapa temannya. Lelaki itu ternyata tinggal di sebuah kontrakan yang tidak jauh dari tempat kerjanya. Sayang sekali karena para tetangga mengira mamanya adalah Setiawan.Setelah mengetuk pintu beberapa kali, kini dia berhasil duduk di ruang tamu dengan desain minimalis itu. Menatap Fajar lekat yang terkesan sedang memendam sebuah luka."Dua minggu ke depan, aku dan Ulfa akan menikah."Pernyataan dari Dokter Nafiadi berhasil mengejutkan Fajar. Kedua mata lelaki itu melebar, tetapi hanya sesaat. Sekarang dia tersenyum penuh pemaksaan. "Oh, selamat.""Tidak usah berpura-pura. Aku sudah tahu kalau kamu sangat mencintai Ulfa bahkan hingga saat ini.""Tidak. Aku sudah melupakan wanita itu. Tidak ada alasan bagiku untuk mencintainya. Aku pergi, meninggalkan semuanya juga cinta itu. Kalau Dokter Adi ke sini hanya untuk pamer, lebih baik pulang saja. Aku sibuk."Dokter Nafiadi menggele
Hari yang dinanti telah tiba. Semua keluarga dari Makassar terlihat sangat senang, mungkin karena Kak Jenni tidak memberitahu masalah itu. Simple, acara pernikahan aku minta agar digelar di rumah saja yang kebetulan lumayan luas setelah menambah lebar ruang tamu dan dua kamar. Sekarang aku duduk di dalam kamar yang sudah didekorasi sedemikian rupa. Terkesan sederhana, tetapi menawan dan elegan. Seorang MUA sedang mengaplikasikan bedak untuk menyulap aku menjadi cantik. Baju adat Makassar berwarna kuning sudah melekat di dalam tubuh, tinggal menyelesaikan proses make up yang butuh waktu panjang, lalu memasangkan jilbab. Ini permintaan Dokter Nafiadi, ingin melihat aku menutup aurat. "Kak, pernah merias pengantin yang dijodohkan atau sejenisnya? Intinya mereka menikah karena terpaksa gitu," tanyaku pada MUA itu. Dia lantas tersenyum. "Pernah, bahkan sering, Kak. Mereka sampai nangis-nangis mikirin nasibnya nanti. Ada yang terpaksa demi kebahagiaan orang tua, ada pula demi melunasi ut
POV Ulfa________________Perasaanku kini campur aduk setelah semalam mendengar ucapan Mbak Kancana tadi. Benar, aku masih belum mencintai lelaki itu padahal setelah prosesi lamaran, aku selalu meminta kepada Tuhan agar menghadirkan rasa cinta untuknya di dalam hati ini.Namun, bukan percuma, sepertinya takdir tidak berpihak. Semakin mencoba melupakan, cinta pun semakin tumbuh megah saja. Aku selalu berusaha mengelak, tetapi bayangan Fajar kian mengusik pikiran.Aku menggigit bibir agar tangisan tidak semakin menjadi. Sebentar lagi acara pernikahan akan digelar, besok lusa keluarga dari Makassar akan mendarat di bandara untuk kemudian dijemput langsung oleh Kak Jenni.Hancur, semakin hancur. Aku tidak tahu kepada siapa lagi menceritakan keluh kesah ini. Jika pada Mbak Kancana, perlahan aku pasti berusaha meninggalkan Dokter Nafiadi."Ulfa, kamu di dalam?"Suara Kak Jenni memecah lamunan. Aku baru sadar kalau hari ini cuti nasional. Segera kuseka air mata, lalu mencuci wajah dengan air
Kancana tidak langsung menjawab, dia meminimalisir rasa gugup dengan menyeruput jus di depannya. Apalagi seorang pelayan datang mendekat membawa pesanan Cantika. Setelahnya, suasana di antara mereka bertiga kembali tegang."Aku datang ke sini tanpa sepengetahuan Ulfa, kuharap Dokter Nafiadi pun sama, tidak memberitahu pertemuan rahasia ini walau pada Jenni sekalipun.""Baiklah, aku selalu menepati janji. Katakan, kenapa Mbak Kancana mengundangku ke sini? Apa ada kaitannya dengan Fajar?""Jawaban yang tepat." Kancana tersenyum, mencoba menguasai diri agar berhasil dalam misinya. Dia tidak mau melihat Ulfa tersakiti, menjalani pernikahan yang selama ini tidak dia impikan. Menghela napas berat, Kancana melanjutkan, "tolong, temukan Fajar dan tinggalkan Ulfa. Hanya itu cara agar mereka tidak tersakiti.""Dengan mengorbankan perasaanku? Omong kosong apa ini?"Kedua mata Kancana melebar mendengar respons dari dokter itu. Dia tidak menyangka sama sekali jika Dokter Nafiadi akan mengedepankan
Tantri menangis sekencang mungkin ketika pagi itu mendapat pesan balasan dari Dokter Nafiadi bahwa dirinya tidak diterima untuk bekerja sebagai pengasuh Liam atau pun asisten rumah tangga sebab ditolak pihak keluarga. Dia sudah berharap, tetapi harapan yang melambung tinggi itu dipatahkan oleh kenyataan. Tantri kembali mengecek ponsel untuk memastikan pesan yang dikirim tadi, ternyata isinya sama, tidak berubah sama sekali. "Kamu kenapa, sih?!" tegur Mahika memasuki kamar putrinya yang setengah terkunci. Wanita paruh baya itu hendak ke toko emas untuk menjual kalungnya demi bisa mengisi perut yang sejak tadi malam bernyanyi riang. "Ibu, sih, niat jelek. Jadinya Tuhan marah sama kita. Harusnya Dokter Adi tuh nerima aku jadi pengasuh Liam, tapi entah kenapa malah ketolak. Alasannya nggak masuk akal, dia bilang kalau Liam tidak butuh pengasuh karen sebentar lagi memiliki ibu sambung yang bisa menyayanginya." Mahika berpikir sebentar. Dia bisa merasakan apa yang Tantri alami saat ini.
Dokter Nafiadi tiba di rumah Mahika tepat pukul dua siang. Dia singgah sepulang dari mall bersama putra kesayangannya, Liam. Anak lelaki yang sangat tampan itu menatap bingung pada sang ayah karena dia hafal betul bahwa bangunan itu bukanlah rumahnya."Ini rumah teman ayah," kata Dokter Nafiadi memberi tahu.Liam mengangguk. Entah paham atau kebetulan saja, Dokter Nafiadi tidak bisa menebak. Dia melepaskan genggaman tangan putranya yang mirip turis Italia itu, kemudian mengetuk pintu."Dokter Nafiadi?" Mahika melebarkan senyuman. Dia tidak menduga kalau lelaki itu akan bertamu ke rumahnya. "Silakan masuk, Dok.""Terimakasih," jawabnya, kemudian melangkah masuk menggandeng tangan Liam.Ayah dan anak itu duduk di ruang tamu, sementara Mahika memanggil Tantri untuk menggendong Adnan keluar. Tidak berselang lama, gadis itu datang lantas terkejut melihat lelaki berkacamata yang menanyakan nama orang tuanya tadi malam.Tantri menghempas bokong di salah satu kursi yang ada di sana. "Dokter N
"Kenapa, Ulfa? Apa karena anak itu lahir dari rahim wanita yang sudah menyakitimu?"Ulfa mendengus. Dia malas berurusan dengan Mahika di hadapan Dokter Nafiadi. Sungguh, dia sangat merindukan Fajar untuk memberinya dukungan."Aku tidak mempermasalahkan Adnan. Dia bayi tak berdosa, sama seperti Alea. Bagaimana pun, Mas Sano adalah ayah mereka berdua.""Lalu? Adnan tentu saja butuh ASI jika ibunya ada karena sufor tidak bisa menggantikan keutamaan ASI. Namun, ibunya tidak bertanggungjawab. Ibu ini bilang kalau kamu bisa langsung beli susu saja buat bayi Adnan, tidak harus memberi uang.""Aku tidak bisa. Mereka pasti berbohong lagi supaya aku merasa kasihan. Kamu tidak tahu kalau mereka itu sangat licik. Segala hal dilakukan demi mencapai tujuan. Aku sudah lama mengenal mereka, Mas, jadi paham meskipun tanpa diberitahu. Aku bantu dia malam ini, memberi harapan bagi mereka untuk hari selanjutnya. Punya kaki dan tangan, tapi enggan bekerja.""Mbak, aku memilih putus kuliah demi mencari pek
"Mau gimana lagi. Mas nggak bisa jamin keluarga apalagi sampai biayain kuliah kamu. Jangankan buat berangkat ke kampus sehari-hari sama jajan, makan aja kita masih mikir," timpal Sano begitu Tantri merengek.Dia baru menjalani satu semester, jadi belum bisa meminta untuk mengambil cuti. Mau tidak mau, Tantri harus putus kuliah dengan harapan bisa mendaftar ulang ketika kehidupan mereka sudah berubah.Jika dulu semua baik-baik saja dalam tanggungjawab Sano atas dukungan Ulfa, perlahan mulai berbeda. Semuanya hilang, sebagai penebus dosa Sano terhadap anak dan istrinya."Bilang sama bapak, Mas. Kamu yang bujuk bapak supaya aku nggak putus kuliahnya." Kembali gadis itu merengek.Jika putus kuliah, teman-temannya akan kompak menertawakan sebab dulu ketika bekerjasama dengan Ulfa untuk membalas perbuatan Dita, dia sering memamerkan uangnya.Tidak. Tantri tidak bisa membayangkan hal itu terjadi. Namanya bisa menjadi bahan bulanan, atau mungkin diviralkan karena ada sesekelompok yang membenc
Setelah mengantar sang ibu pulang, Dokter Nafiadi kembali banting setir menuju rumah Ulfa. Dalam perjalanan dia tidak bisa tenang memikirkan kata-kata Sano."Perlu Dokter tahu kalau Ulfa sebenarnya sering menghabiskan malam dengan banyak lelaki ketika aku sedang dinas di luar kota. Dia bekerjasama dengan Mbak Kancana untuk memojokkan aku. Asal Dokter tahu kalau sebenarnya Ulfa tidak sebaik yang semua orang bayangkan. Hanya karena aku menikah lagi, mereka jadi menyalahkan aku tanpa mau tahu duduk permasalahannya. Benar, aku tidak mau menyentuh Ulfa lagi karena takut jangan sampai dia punya penyakit HIV. Biasanya orang yang melakukan hubungan suami istri bergantian kerap mudah mendapat penyakit itu?"Sebuah kalimat yang terus saja terngiang sekalipun Dokter Nafiadi berusaha menepisnya. Kendaraan roda empat itu dia pacu semakin kencang, tidak peduli jika pengendara lain sibuk memakinya.Bukan tidak mampu mengontrol emosi, Dokter Nafiadi seperti ingin menerbangkan kendaraan agar segera sa