Dua pekan setelah kejadian memilukan yang menimpa Ulfa, akhirnya semua rencana telah tersusun rapi bersama sang kakak, Fajar dan juga Kancana. Suami si Tetangga Baik itu sudah kembali sepekan yang lalu. Sambil menunggu, Ulfa menceritakan semua masalahnya pada Jenni dan juga Farah yang ada di Makassar. Keluarga mereka marah besar, tetapi Ulfa berusaha menenangkan dengan mengakui kebahagiannya setelah berpisah. Bercerai dengan Sano adalah sebuah ketenangan tersendiri bagi Ulfa sekalipun beberapa kali dia harus menitikkan air mata. Luka itu masih sama, dia sulit melupakan semuanya padahal sudah berjanji tidak akan pernah menitikkan air mata. Ulfa memang seperti itu, bukan tentang urusan cinta saja. Hatinya mudah terluka dan sulit melupakan masalah. Tepat ketika masih duduk di bangku sekolah, Ulfa ditinggal oleh sahabatnya yang mempunyai teman baru. Dia dijadikan bahan gunjingan dan Ulfa sering menangisinya diam-diam. Mungkin semua wanita di luar sana yang terlihat kuat juga sama denga
Di kantor, Sano memijit keningnya merasa hampir gila setelah membuka grup rekan kerjanya. Mereka semua sejak pagi tadi sibuk menggunjing Sano dengan mengatainya bodoh telah membuang permata seperti Ulfa.Padahal masalah itu sudah lama mereka ketahui karena sama-sama hadir di acara pernikahannya dengan Dita. Namun, kenapa baru dibahas hari itu?Entahlah. Sano berpikir dia ketahuan sudah menceraikan Ulfa. Ketika menanyakan perihal itu pada Fajar, dia mengaku tidak tahu apa-apa termasuk perceraiannya.Ponsel Sano kembali bergetar, ada banyak pesan grup yang saling bersahutan. Padahal para karyawan terlihat serius dengan pekerjaannya. Mereka merasa bebas karena sang boss sedang berada di Luar Negeri.Kevin : Udah gue bilang dari dulu, kalau kebanyakan cowok itu bakal bego kalo ketemu sama cewek bego juga. Pak S itu pasti nyesel setelah ceraiin istrinya.Rey : Ya elah, kalau gue jadi Pak S, gue gak bakal selingkuh. Istri secantik Bu U mau dapat di mana, apalagi dia katanya baik dan penyaya
Sano turun dari taksi tepat di depan rumah Ulfa. Setelah membayar ongkos, Sano menghela napas panjang, lalu membuka pagar berukuran satu setengah meter itu. Begitu tiba di depan pintu, Sano memasang tampang memelas. Dia harus bisa mendapatkan simpatik dari Ulfa jika masih ingin bertahan hidup. "Assalamualaikum!" teriak Sano sambil mengetuk pintu. Beberapa menit menunggu dalam keadaan resah dan gelisah, akhirnya pintu tersebut dibuka tepat saat Sano membelakanginya. Dia memutar badan, jantungnya berdegup cepat. "Dek, mas mau bicara. Dua menit saja, please!" cegah Sano cepat karena Ulfa langsung menutup pintunya. Wanita itu menundukkan kepala sekilas, perasaannya campur aduk. Di rumahnya memang ada Alea dan juga Jenni, tetapi mengizinkannya masuk seperti sebuah resiko besar. Namun, pada akhirnya dia menjawab, "baiklah, hanya dua menit." Mereka duduk di ruang tamu. Ulfa berusaha menormalkan degup jantungnya yang tidak normal pun menghibur diri agar hati tidak berdenyut nyeri. Luka
"Kak Jenni mau mengajari aku sopan santun dengan cara apa kalau kakak ipar saja tidak sopan?" "Apa maksudmu, Sano?" "Tadi siapa yang melempar aku botol tupperware itu? Kalau sopan, tidak mungkin melakukannya, kan?" "Kamu melecehkan adikku, salah kalau aku tinggal diam. Sekarang tidak usah banyak drama, aku muak liat wajahmu!" Sano berusaha abai karena tujuannya datang ke sana adalah untuk membujuk Ulfa agar mau kembali dengannya. Biar saja Jenni terus meracau tidak jelas selama Ulfa masih berdiri di tempatnya. Tangannya meraih tangan Ulfa, menggenggamnya erat. Setelah itu, meletakkannya tepat di dada kiri Sano agar Ulfa bisa merasakan sendiri jantung yang berdegup tidak normal sejak tadi. Jika ditanya tentang cinta, sebenarnya Sano masih memiliki rasa itu. Akan tetapi, keinginannya untuk memuaskan diri sendiri membuatnya buta dan berpaling. Sano belum bisa mengendalikan dirinya sampai saat ini. "Jantungku berdetak karenamu, Ulfa. Apa masih tidak percaya kalau aku masih mencintai
Setelah memastikan Sano sudah terlelap, Tantri melanjutkan kalimatnya tadi. Dia tidak akan membiarkan Dita tenang untuk sementara, maka mulai saat ini dia harus membandingkan dia dengan Ulfa agar Dita geram dan mengalah atau bahkan memberinya uang juga.Dia berkacak pinggang, duduk di tempat semula menatap sinis pada Dita yang sejak tadi tidak pernah berhenti menggerutu. Meskipun usia mereka terpaut jauh, Tantri tidak pernah takut melawan selama dia merasa dalam kebenaran. Apalagi tujuannya meminta uang adalah membayar utang yang sudah dua hari ditagih oleh temannya."Mbak, harusnya kamu itu bisa bantu perekonomian keluarga. Kamu kan punya usaha tuh, walau udah lama kagak ngelukis, tetap aja kan di toko ada lukisan? Masa satu pun nggak ada yang laku, gimana ceritanya?"Dita menghembus napas kasar. "Gimana mau laku orang pernah kena kasus, pelanggan pada kabur ke toko yang lain. Kalaupun ada, paling buat ngangsur ke bank yang nggak diselesaikan sama masmu.""Ya masa sih kamu sekere itu
Kamis pagi, Jenni membawa Alea jalan-jalan sekaligus mencari pekerjaan. Sebenarnya repot kalau membawa anak kecil berusia empat tahun, tetapi Alea merengek, sedangkan ibunya harus menjalani masa iddah.Ulfa tidak tahu harus melakukan apa di dalam rumah. Makan, tidur, menonton, mandi, sudah dia lakukan. Tidak ada hal seru untuk menambah warna dalam hidupnya. Saat melirik jam, sudah menunjuk pukul sembilan pagi.Pintu rumahnya terketuk tiga kali, padahal ada bel yang tinggal ditekan. Siapa dia, kenapa kesannya seperti buru-buru? Oh ayolah, tidak mungkin seorang rentenir karena Ulfa tidak punya utang pada siapa pun.Ulfa mendengus, berusaha memaksakan senyum untuk menyambut tamu yang entah siapa. Ulfa akan menerimanya dengan baik asal bukan makhluk tak kasat mata. Daun pintu terbuka perlahan, senyuman Ulfa memudar ketika tahu siapa yang datang.Seorang ibu hamil tersenyum angkuh pada Ulfa. Dia kenapa?"Ngapain ke sini, Dit? Tampangnya kayak orang mau nagih utang aja," tanya Ulfa menekuk
Baru saja Ulfa memejamkan matanya saat sedang menonton televisi, pintu rumahnya kembali terketuk. Dia geram, lalu menebak bahwa yang datang adalah Mahika untuk mencari menantu tercintanya.Entahlah, Ulfa berharap pengetuk pintu itu adalah Jenni dan Alea. Pintu kembali terbuka lebar dan Ulfa harus memutar bola mata malas. Tebakannya salah, ternyata dia adalah Dita. Tanpa disuruh, wanita hamil itu mendorong tubuh Ulfa yang menghalangi jalannya untuk masuk dan duduk di kursi semula."Ngapain balik lagi, hah?"Dita memalingkan wajah. "Aku baru ingat kalau tadi lupa bawa dompet. Tadi ke sini nebeng sama teman. Kamu ada uang buat ongkos pulang nggak?"Ulfa berdecih. Bagaimana mungkin Dita meminta tolong padanya sedangkan wanita itu memalingkan wajah? Apa dia malu meminjam pada wanita yang pernah dia lukai hatinya? Oh ayolah, Ulfa tidak percaya kalau Dita itu masih punya rasa malu setelah berzina dengan suami orang."Ada." Ulfa merogoh kantong celananya, ternyata ada uang lima puluh dan dua
Ulfa baru saja menyelesaikan satu bab ketika hari sudah sore. Tangannya terasa pegal, kepala pun sedikit pening memikirkan alurnya. Namun, yang membakar semangat Ulfa untuk tetap melanjutkan naskahnya di platform digital adalah komentar pedas dari para pembaca.Komentar itu tidak tertuju pada penulis, melainkan tokoh di dalam cerita. Ulfa sangat bahagia karena pembaca budiman itu memberi sumpah serapah pada Sano dan Dita agar tidak pernah bahagia dalam rumah tangganya.Sudah Ulfa duga bahwa ketika orang lain tahu bagaimana dia menjalani rumah tangganya yang menjadi korban perselingkuhan, pasti para ibu-ibu akan langsung respect kecuali mereka yang iri pada Ulfa. Senyum wanita itu masih mengambang sempurna membaca komentar demi komentar para pembaca.[Maaf, aku tidak bisa membalas satu per satu, tetapi aku mengucapkan terimakasih pada kalian karena berkenan mampir ke novel perdanaku. Semoga kalian sehat selalu. Salam dariku.] tulis Ulfa di kolom komentar.Sekarang dia berdiri, keluar d