Sesampainya di dalam kamar yang pintunya tidak lupa dikunci, Ulfa langsung mengabari Fajar kalau Sano setuju. Dia juga meminta untuk menyampaikan pada boss mereka agar tidak menaikkan jabatan Sano lagi. Fajar tahu hubungan Umar Abdullah dengan Ulfa ketika tidak sengaja melihatnya bertemu di jalan di mana keduanya menggunakan Bahasa Indonesia versi Sulawesi padahal sudah sama-sama lama tinggal di Pulau Jawa. Hari itu, Ulfa sedang jalan-jalan bersama temannya sebelum memiliki Alea. Tanpa sengaja dia bertemu Umar dan meminta uang tanpa rasa sungkan karena sejak dulu dia sering bertemu. Namun, setelah itu mereka hilang kontak karena ponsel Ulfa hilang. Sekarang, mereka semakin jarang bertemu meski Umar kerap menanyakan kabar Fajar pada Ulfa. Dia juga tidak mengirimi pesan Whats-App karena istrinya sering cemburu pada wanita itu padahal usia mereka terpaut dua puluh tahun lebih. [Baiklah. Oh iya, kamu nggak sekalian mau ketemu sama Pak Umar?] balas Fajar lagi. [Nanti saja. Bilang kalau
"Kamu harus serius bekerja, Sano. Saya tidak mau kalau sampai kamu lalai gara-gara perempuan atau masalah pribadi kamu. Ingat, kamu kembali ke sini karena bantuan Fajar juga, berterima kasihlah padanya," ucap Umar Abdullah tegas, tatapannya sangat tidak bersahabat mengingat lelaki itu telah menduakan Ulfa. Namun, dia juga enggan memberitahu Sano kalau Ulfa itu adalah keponakannya sendiri karena Ulfa meminta untuk merahasiakan semuanya. Dia tidak ingin Sano pura-pura baik karena alasan itu. "Baik, Pak, saya mengerti. Saya akan bekerja keras di sini seperti saat pertama masuk dulu. Terima kasih sudah percaya pada saya lagi, Pak." Sano sedikit menundukkan kepalanya untuk memberi hormat, seperti orang Korea. "Jajanan di luar memang terlihat enak, tetapi apa yang istri siapkan di rumah itu tidak kalah istimewa. Mungkin kita melihat makanan di warung spesial karena kita merasa lapar atau lelah dengan pekerjaan, jadi melampiaskan pada makanan. Namun, di rumah semuanya dibuat dengan cinta.
Ulfa yang membaca pesan dari Fajar lantas bangkit dari duduknya. Dia sudah menyiapkan pekerjaan baru bagi Sano sang suami sialannya. Dia kesal selama ini menurut padahal berujung diduakan.Pintu utama terbuka, muncullah Sano dengan raut wajah malas. Ulfa tersenyum kecut sambil menyembunyikan tangan di punggung sebagai isyarat kalau dia tidak mau menyalami lelaki itu."Gimana, Mas, pekerjaannya hari ini?""Bagus." Sano menyerahkan tas kerjanya yang sama sekali tidak disambut oleh Ulfa. Peka istrinya masih belum mau baikan seperti dulu memaksa Sano melangkah malas ke kamar sambil sedikit melonggarkan dasinya.Dia merebahkan diri di tempat tidur karena lelah duduk lama di depan layar komputer. Matanya menatap langit-langit kamar sambil tersenyum membayangkan bagaimana imutnya anak itu nanti ketika sudah lahir.Tentunya seorang anak yang akan lahir dari rahim Dita. Dia gadis cantik serta menawan, tentu saja anak yang dilahirkannya kelak hampir dikata sempurna sebab Sano pun tidak kalah ta
Selesai mandi, Sano langsung menuju meja makan yang sudah terhidang nasi dengan lauk tempe goreng tanpa bumbu. Dia mendengus kesal, tahu kalau Ulfa menyembunyikan makanan enak.Terpaksa dia menikmati tempe yang ternyata terasa hambar. Di saat yang sama, Ulfa datang ke dapur untuk membuat kopi. Jika wanita itu ingin lembur, maka harus menyediakan minuman hitam pekat tersebut.Sekilas dia melirik pada Sano. "Itu resiko karena udah cuekin Alea. Aku sebenarnya senang kalau Mas Sano bersikap begitu, cuman Alea yang bakal kesinggung. Lain kali hati-hati, Mas!""Ya udah, sorry."Kalimat itu yang paling Ulfa benci. Dia tahu membedakan ketika seseorang tulus meminta maaf atau tidak. Jelas sekali perbedaan antara 'ya udah, sorry' dengan 'maaf, ya'."Udah mulai kasar lagi kek dulu? Mentang-mentang kerja. Kamu belum jawab ya kenapa aku cuma dikasih sejuta. Kamu pikir nafkah sejuta cukup, Mas? Makanya, ceraikan aku saja kalau kamu nggak mampu!""Harusnya kamu bersyukur karena mas mau tinggal di si
"Mas!" teriak Ulfa dari dalam kamar, sengaja mengejutkan sang suami yang sedang sibuk menyuapi Alea di dapur. Gadis kecil itu bangun tidur pukul lima pagi tadi karena lapar. "Mas, ke sini!""Kenapa, Dek?"Terpaksa Sano beranjak dari duduknya, lalu melangkah cepat ke kamar Ulfa. Sano terkejut mendapati kamar seperti kapal pecah di mana handuk kecil berserakan di mana-mana, lalu lantai sedikit basah padahal tadi sudah dia bersihkan saat wanita itu berada dalam kamar mandi.Ingatannya kembali pada beberapa bulan lalu di saat Sano ingin mengakhiri hubungannya dengan Dita karena paksaan dari Dita. Jadi, dia mencoba cari masalah untuk membuat wanita itu jenuh lantas memutuskan untuk bercerai."Hair dryer aku kamu simpan di mana, Mas? Kalau rambut aku basah kayak gini mana bisa fokus kerja. Aku nggak mau ya gulung rambut pake handuk sampai berjam-jam!" sungut Ulfa menekuk wajahnya."Masalah hair dryer doang kamu bisa semarah ini? Hair dryer yang pink itu, kan? Aku simpen dalam laci nakas.Ul
Ketika Ulfa sedang sibuk merangkai kata untuk menyelesaikan satu bab tambahan sebelum dzuhur tiba, pintu rumahnya terketuk berulang kali. Dia kesal dan ingin mengabaikan berharap orang itu menyerah, mengira rumahnya kosong.Akan tetapi, begitu terdengar suara sang ibu mertua memanggil, Ulfa menghela napas panjang. Laptop berwarna hitam itu dia letakkan di samping Alea yang sibuk bermain tanpa lupa menyimpan tulisannya yang masih setengah bab.Begitu pintu rumah terbuka, Mahika langsung masuk sebelum dipersilakan. Dita juga datang ke sana, sangat berani padahal sedang hamil tua. Mereka berdua lantas duduk di sofa kulit itu, bersikap santai seakan tidak ada masalah di antara mereka.Ulfa berusaha sabar ketika melihat tingkah mereka, lalu ikut duduk menghadapnya tanpa menyuguhkan seulas senyuman. Hati Ulfa seperti dibakar oleh rasa marah karena sikap tidak sopan yang ditunjukkan oleh mertua dan adik madunya."Ada perlu apa ibu sama Dita ke sini?" tanya Ulfa dingin."Ulfa, kamu sendiri ta
Jantung Mahika berdegup cepat ketika mendengar ancaman dari Ulfa. Meskipun dia ragu kalau wanita itu bisa melakukan pembunuhan, dalam hatinya diselimuti rasa takut.Bagaimana pun juga, sudah tersebar di media sosial dan televisi tentang seorang perempuan lugu berubah seperti singa kelaparan. Dia membunuh siapa saja yang terlibat dalam masalah yang menimpanya.Ya, perempuan bergelar istri sekaligus ibu satu anak itu mengalami baby blues. Dia ingin membunuh anaknya, tetapi mendengar nasihat suami untuk menimpakan amarah ada orang bersalah mengurungkan niatnya. Dia berhasil membunuh ibu mertua juga dua tetangga yang menghujatnya.Meskipun mendekam di penjara, perempuan itu mengaku tidak menyesal sama sekali. Paling tidak, dia menyelamatkan nyawa anaknya untuk kemudian dia besarkan sepenuh hati setelah dibebaskan.Bukan hanya satu, tetapi banyak sekali berita pembunuhan termasuk karena diselingkuhi. Mahika bergidik ngeri membayangkan itu semua. Tangannya gemetar, tetapi pada akhirnya bisa
Sore menjelang magrib, Sano pulang dari bekerja. Dia senang karena hari ini tidak perlu lembur sehingga ada kesempatan untuk membereskan rumah sebelum tidur nyenyak atau Ulfa akan terus mengganggunya.Begitu pintu terbuka, dia mengucap syukur dalam hati karena rumah sudah bersih. Mainan Alea tidak lagi berserakan di mana-mana. Apa itu artinya Ulfa sudah kembali menjadi istri penurut seperti dulu?Setelah melepas sepatu dan menyimpannya di rak, Sano melangkahkan kaki sambil menoleh ke kanan dan kiri. Benar, Ulfa sudah membereskan semuanya. Senyum lelaki itu mengambang sempurna karena menduga Ulfa sudah kembali berdiri di telunjuknya.Selain karena bisa hidup tenang, Sano yakin Ulfa menjadi istrinya secara utuh."Sano, kamu sudah pulang, Nak?"Lelaki itu tersentak kaget begitu mendengar suara ibunya yang juga berada di dapur, sedang memasak untuk makan malam nanti. Dia terlalu fokus pada rumah yang bersih juga cucian mesin cuci yang menyala tanpa memperhatikan siapa yang sedang berdiri
Dua hari sejak pertemuan Dokter Nafiadi dengan Kancana, dia akhirnya berhasil menemukan Fajar atas bantuan beberapa temannya. Lelaki itu ternyata tinggal di sebuah kontrakan yang tidak jauh dari tempat kerjanya. Sayang sekali karena para tetangga mengira mamanya adalah Setiawan.Setelah mengetuk pintu beberapa kali, kini dia berhasil duduk di ruang tamu dengan desain minimalis itu. Menatap Fajar lekat yang terkesan sedang memendam sebuah luka."Dua minggu ke depan, aku dan Ulfa akan menikah."Pernyataan dari Dokter Nafiadi berhasil mengejutkan Fajar. Kedua mata lelaki itu melebar, tetapi hanya sesaat. Sekarang dia tersenyum penuh pemaksaan. "Oh, selamat.""Tidak usah berpura-pura. Aku sudah tahu kalau kamu sangat mencintai Ulfa bahkan hingga saat ini.""Tidak. Aku sudah melupakan wanita itu. Tidak ada alasan bagiku untuk mencintainya. Aku pergi, meninggalkan semuanya juga cinta itu. Kalau Dokter Adi ke sini hanya untuk pamer, lebih baik pulang saja. Aku sibuk."Dokter Nafiadi menggele
Hari yang dinanti telah tiba. Semua keluarga dari Makassar terlihat sangat senang, mungkin karena Kak Jenni tidak memberitahu masalah itu. Simple, acara pernikahan aku minta agar digelar di rumah saja yang kebetulan lumayan luas setelah menambah lebar ruang tamu dan dua kamar. Sekarang aku duduk di dalam kamar yang sudah didekorasi sedemikian rupa. Terkesan sederhana, tetapi menawan dan elegan. Seorang MUA sedang mengaplikasikan bedak untuk menyulap aku menjadi cantik. Baju adat Makassar berwarna kuning sudah melekat di dalam tubuh, tinggal menyelesaikan proses make up yang butuh waktu panjang, lalu memasangkan jilbab. Ini permintaan Dokter Nafiadi, ingin melihat aku menutup aurat. "Kak, pernah merias pengantin yang dijodohkan atau sejenisnya? Intinya mereka menikah karena terpaksa gitu," tanyaku pada MUA itu. Dia lantas tersenyum. "Pernah, bahkan sering, Kak. Mereka sampai nangis-nangis mikirin nasibnya nanti. Ada yang terpaksa demi kebahagiaan orang tua, ada pula demi melunasi ut
POV Ulfa________________Perasaanku kini campur aduk setelah semalam mendengar ucapan Mbak Kancana tadi. Benar, aku masih belum mencintai lelaki itu padahal setelah prosesi lamaran, aku selalu meminta kepada Tuhan agar menghadirkan rasa cinta untuknya di dalam hati ini.Namun, bukan percuma, sepertinya takdir tidak berpihak. Semakin mencoba melupakan, cinta pun semakin tumbuh megah saja. Aku selalu berusaha mengelak, tetapi bayangan Fajar kian mengusik pikiran.Aku menggigit bibir agar tangisan tidak semakin menjadi. Sebentar lagi acara pernikahan akan digelar, besok lusa keluarga dari Makassar akan mendarat di bandara untuk kemudian dijemput langsung oleh Kak Jenni.Hancur, semakin hancur. Aku tidak tahu kepada siapa lagi menceritakan keluh kesah ini. Jika pada Mbak Kancana, perlahan aku pasti berusaha meninggalkan Dokter Nafiadi."Ulfa, kamu di dalam?"Suara Kak Jenni memecah lamunan. Aku baru sadar kalau hari ini cuti nasional. Segera kuseka air mata, lalu mencuci wajah dengan air
Kancana tidak langsung menjawab, dia meminimalisir rasa gugup dengan menyeruput jus di depannya. Apalagi seorang pelayan datang mendekat membawa pesanan Cantika. Setelahnya, suasana di antara mereka bertiga kembali tegang."Aku datang ke sini tanpa sepengetahuan Ulfa, kuharap Dokter Nafiadi pun sama, tidak memberitahu pertemuan rahasia ini walau pada Jenni sekalipun.""Baiklah, aku selalu menepati janji. Katakan, kenapa Mbak Kancana mengundangku ke sini? Apa ada kaitannya dengan Fajar?""Jawaban yang tepat." Kancana tersenyum, mencoba menguasai diri agar berhasil dalam misinya. Dia tidak mau melihat Ulfa tersakiti, menjalani pernikahan yang selama ini tidak dia impikan. Menghela napas berat, Kancana melanjutkan, "tolong, temukan Fajar dan tinggalkan Ulfa. Hanya itu cara agar mereka tidak tersakiti.""Dengan mengorbankan perasaanku? Omong kosong apa ini?"Kedua mata Kancana melebar mendengar respons dari dokter itu. Dia tidak menyangka sama sekali jika Dokter Nafiadi akan mengedepankan
Tantri menangis sekencang mungkin ketika pagi itu mendapat pesan balasan dari Dokter Nafiadi bahwa dirinya tidak diterima untuk bekerja sebagai pengasuh Liam atau pun asisten rumah tangga sebab ditolak pihak keluarga. Dia sudah berharap, tetapi harapan yang melambung tinggi itu dipatahkan oleh kenyataan. Tantri kembali mengecek ponsel untuk memastikan pesan yang dikirim tadi, ternyata isinya sama, tidak berubah sama sekali. "Kamu kenapa, sih?!" tegur Mahika memasuki kamar putrinya yang setengah terkunci. Wanita paruh baya itu hendak ke toko emas untuk menjual kalungnya demi bisa mengisi perut yang sejak tadi malam bernyanyi riang. "Ibu, sih, niat jelek. Jadinya Tuhan marah sama kita. Harusnya Dokter Adi tuh nerima aku jadi pengasuh Liam, tapi entah kenapa malah ketolak. Alasannya nggak masuk akal, dia bilang kalau Liam tidak butuh pengasuh karen sebentar lagi memiliki ibu sambung yang bisa menyayanginya." Mahika berpikir sebentar. Dia bisa merasakan apa yang Tantri alami saat ini.
Dokter Nafiadi tiba di rumah Mahika tepat pukul dua siang. Dia singgah sepulang dari mall bersama putra kesayangannya, Liam. Anak lelaki yang sangat tampan itu menatap bingung pada sang ayah karena dia hafal betul bahwa bangunan itu bukanlah rumahnya."Ini rumah teman ayah," kata Dokter Nafiadi memberi tahu.Liam mengangguk. Entah paham atau kebetulan saja, Dokter Nafiadi tidak bisa menebak. Dia melepaskan genggaman tangan putranya yang mirip turis Italia itu, kemudian mengetuk pintu."Dokter Nafiadi?" Mahika melebarkan senyuman. Dia tidak menduga kalau lelaki itu akan bertamu ke rumahnya. "Silakan masuk, Dok.""Terimakasih," jawabnya, kemudian melangkah masuk menggandeng tangan Liam.Ayah dan anak itu duduk di ruang tamu, sementara Mahika memanggil Tantri untuk menggendong Adnan keluar. Tidak berselang lama, gadis itu datang lantas terkejut melihat lelaki berkacamata yang menanyakan nama orang tuanya tadi malam.Tantri menghempas bokong di salah satu kursi yang ada di sana. "Dokter N
"Kenapa, Ulfa? Apa karena anak itu lahir dari rahim wanita yang sudah menyakitimu?"Ulfa mendengus. Dia malas berurusan dengan Mahika di hadapan Dokter Nafiadi. Sungguh, dia sangat merindukan Fajar untuk memberinya dukungan."Aku tidak mempermasalahkan Adnan. Dia bayi tak berdosa, sama seperti Alea. Bagaimana pun, Mas Sano adalah ayah mereka berdua.""Lalu? Adnan tentu saja butuh ASI jika ibunya ada karena sufor tidak bisa menggantikan keutamaan ASI. Namun, ibunya tidak bertanggungjawab. Ibu ini bilang kalau kamu bisa langsung beli susu saja buat bayi Adnan, tidak harus memberi uang.""Aku tidak bisa. Mereka pasti berbohong lagi supaya aku merasa kasihan. Kamu tidak tahu kalau mereka itu sangat licik. Segala hal dilakukan demi mencapai tujuan. Aku sudah lama mengenal mereka, Mas, jadi paham meskipun tanpa diberitahu. Aku bantu dia malam ini, memberi harapan bagi mereka untuk hari selanjutnya. Punya kaki dan tangan, tapi enggan bekerja.""Mbak, aku memilih putus kuliah demi mencari pek
"Mau gimana lagi. Mas nggak bisa jamin keluarga apalagi sampai biayain kuliah kamu. Jangankan buat berangkat ke kampus sehari-hari sama jajan, makan aja kita masih mikir," timpal Sano begitu Tantri merengek.Dia baru menjalani satu semester, jadi belum bisa meminta untuk mengambil cuti. Mau tidak mau, Tantri harus putus kuliah dengan harapan bisa mendaftar ulang ketika kehidupan mereka sudah berubah.Jika dulu semua baik-baik saja dalam tanggungjawab Sano atas dukungan Ulfa, perlahan mulai berbeda. Semuanya hilang, sebagai penebus dosa Sano terhadap anak dan istrinya."Bilang sama bapak, Mas. Kamu yang bujuk bapak supaya aku nggak putus kuliahnya." Kembali gadis itu merengek.Jika putus kuliah, teman-temannya akan kompak menertawakan sebab dulu ketika bekerjasama dengan Ulfa untuk membalas perbuatan Dita, dia sering memamerkan uangnya.Tidak. Tantri tidak bisa membayangkan hal itu terjadi. Namanya bisa menjadi bahan bulanan, atau mungkin diviralkan karena ada sesekelompok yang membenc
Setelah mengantar sang ibu pulang, Dokter Nafiadi kembali banting setir menuju rumah Ulfa. Dalam perjalanan dia tidak bisa tenang memikirkan kata-kata Sano."Perlu Dokter tahu kalau Ulfa sebenarnya sering menghabiskan malam dengan banyak lelaki ketika aku sedang dinas di luar kota. Dia bekerjasama dengan Mbak Kancana untuk memojokkan aku. Asal Dokter tahu kalau sebenarnya Ulfa tidak sebaik yang semua orang bayangkan. Hanya karena aku menikah lagi, mereka jadi menyalahkan aku tanpa mau tahu duduk permasalahannya. Benar, aku tidak mau menyentuh Ulfa lagi karena takut jangan sampai dia punya penyakit HIV. Biasanya orang yang melakukan hubungan suami istri bergantian kerap mudah mendapat penyakit itu?"Sebuah kalimat yang terus saja terngiang sekalipun Dokter Nafiadi berusaha menepisnya. Kendaraan roda empat itu dia pacu semakin kencang, tidak peduli jika pengendara lain sibuk memakinya.Bukan tidak mampu mengontrol emosi, Dokter Nafiadi seperti ingin menerbangkan kendaraan agar segera sa