Selesai mandi, Sano langsung menuju meja makan yang sudah terhidang nasi dengan lauk tempe goreng tanpa bumbu. Dia mendengus kesal, tahu kalau Ulfa menyembunyikan makanan enak.Terpaksa dia menikmati tempe yang ternyata terasa hambar. Di saat yang sama, Ulfa datang ke dapur untuk membuat kopi. Jika wanita itu ingin lembur, maka harus menyediakan minuman hitam pekat tersebut.Sekilas dia melirik pada Sano. "Itu resiko karena udah cuekin Alea. Aku sebenarnya senang kalau Mas Sano bersikap begitu, cuman Alea yang bakal kesinggung. Lain kali hati-hati, Mas!""Ya udah, sorry."Kalimat itu yang paling Ulfa benci. Dia tahu membedakan ketika seseorang tulus meminta maaf atau tidak. Jelas sekali perbedaan antara 'ya udah, sorry' dengan 'maaf, ya'."Udah mulai kasar lagi kek dulu? Mentang-mentang kerja. Kamu belum jawab ya kenapa aku cuma dikasih sejuta. Kamu pikir nafkah sejuta cukup, Mas? Makanya, ceraikan aku saja kalau kamu nggak mampu!""Harusnya kamu bersyukur karena mas mau tinggal di si
"Mas!" teriak Ulfa dari dalam kamar, sengaja mengejutkan sang suami yang sedang sibuk menyuapi Alea di dapur. Gadis kecil itu bangun tidur pukul lima pagi tadi karena lapar. "Mas, ke sini!""Kenapa, Dek?"Terpaksa Sano beranjak dari duduknya, lalu melangkah cepat ke kamar Ulfa. Sano terkejut mendapati kamar seperti kapal pecah di mana handuk kecil berserakan di mana-mana, lalu lantai sedikit basah padahal tadi sudah dia bersihkan saat wanita itu berada dalam kamar mandi.Ingatannya kembali pada beberapa bulan lalu di saat Sano ingin mengakhiri hubungannya dengan Dita karena paksaan dari Dita. Jadi, dia mencoba cari masalah untuk membuat wanita itu jenuh lantas memutuskan untuk bercerai."Hair dryer aku kamu simpan di mana, Mas? Kalau rambut aku basah kayak gini mana bisa fokus kerja. Aku nggak mau ya gulung rambut pake handuk sampai berjam-jam!" sungut Ulfa menekuk wajahnya."Masalah hair dryer doang kamu bisa semarah ini? Hair dryer yang pink itu, kan? Aku simpen dalam laci nakas.Ul
Ketika Ulfa sedang sibuk merangkai kata untuk menyelesaikan satu bab tambahan sebelum dzuhur tiba, pintu rumahnya terketuk berulang kali. Dia kesal dan ingin mengabaikan berharap orang itu menyerah, mengira rumahnya kosong.Akan tetapi, begitu terdengar suara sang ibu mertua memanggil, Ulfa menghela napas panjang. Laptop berwarna hitam itu dia letakkan di samping Alea yang sibuk bermain tanpa lupa menyimpan tulisannya yang masih setengah bab.Begitu pintu rumah terbuka, Mahika langsung masuk sebelum dipersilakan. Dita juga datang ke sana, sangat berani padahal sedang hamil tua. Mereka berdua lantas duduk di sofa kulit itu, bersikap santai seakan tidak ada masalah di antara mereka.Ulfa berusaha sabar ketika melihat tingkah mereka, lalu ikut duduk menghadapnya tanpa menyuguhkan seulas senyuman. Hati Ulfa seperti dibakar oleh rasa marah karena sikap tidak sopan yang ditunjukkan oleh mertua dan adik madunya."Ada perlu apa ibu sama Dita ke sini?" tanya Ulfa dingin."Ulfa, kamu sendiri ta
Jantung Mahika berdegup cepat ketika mendengar ancaman dari Ulfa. Meskipun dia ragu kalau wanita itu bisa melakukan pembunuhan, dalam hatinya diselimuti rasa takut.Bagaimana pun juga, sudah tersebar di media sosial dan televisi tentang seorang perempuan lugu berubah seperti singa kelaparan. Dia membunuh siapa saja yang terlibat dalam masalah yang menimpanya.Ya, perempuan bergelar istri sekaligus ibu satu anak itu mengalami baby blues. Dia ingin membunuh anaknya, tetapi mendengar nasihat suami untuk menimpakan amarah ada orang bersalah mengurungkan niatnya. Dia berhasil membunuh ibu mertua juga dua tetangga yang menghujatnya.Meskipun mendekam di penjara, perempuan itu mengaku tidak menyesal sama sekali. Paling tidak, dia menyelamatkan nyawa anaknya untuk kemudian dia besarkan sepenuh hati setelah dibebaskan.Bukan hanya satu, tetapi banyak sekali berita pembunuhan termasuk karena diselingkuhi. Mahika bergidik ngeri membayangkan itu semua. Tangannya gemetar, tetapi pada akhirnya bisa
Sore menjelang magrib, Sano pulang dari bekerja. Dia senang karena hari ini tidak perlu lembur sehingga ada kesempatan untuk membereskan rumah sebelum tidur nyenyak atau Ulfa akan terus mengganggunya.Begitu pintu terbuka, dia mengucap syukur dalam hati karena rumah sudah bersih. Mainan Alea tidak lagi berserakan di mana-mana. Apa itu artinya Ulfa sudah kembali menjadi istri penurut seperti dulu?Setelah melepas sepatu dan menyimpannya di rak, Sano melangkahkan kaki sambil menoleh ke kanan dan kiri. Benar, Ulfa sudah membereskan semuanya. Senyum lelaki itu mengambang sempurna karena menduga Ulfa sudah kembali berdiri di telunjuknya.Selain karena bisa hidup tenang, Sano yakin Ulfa menjadi istrinya secara utuh."Sano, kamu sudah pulang, Nak?"Lelaki itu tersentak kaget begitu mendengar suara ibunya yang juga berada di dapur, sedang memasak untuk makan malam nanti. Dia terlalu fokus pada rumah yang bersih juga cucian mesin cuci yang menyala tanpa memperhatikan siapa yang sedang berdiri
"Apa yang kita menangkan, Bu? Selain aku, ibu bahkan juga Dita sudah berada di telunjuk Ulfa. Aku tidak suka melihat pemandangan seperti ini. Harga diriku sebagai laki-laki sudah dia jatuhkan dan ibu ingin aku tetap diam?"Mahika menghela napas panjang. Sejujurnya dia pun tidak suka diperlakukan demikian oleh Ulfa. Dia sangat tidak menduga jika wanita lugu itu bisa berubah dalam sekejap mata. Padahal dulu mengira kalau Ulfa memang mudah untuk dimanfaatkan.Kini, dia punya penghasilan sendiri. Apalagi rumah dia jual karena memiliki bukti dan banyak saksi bahwa Sano mendua. Mahika menyesal pernah mendukung Dita yang kerapkali melawannya. Namun, dia harus berada di sisi menantu keduanya karena dia lah yang paling Sano cintai."Sano, pikirkan calon anak kamu. Kalau dia lahir dalam keadaan kita tidak punya uang, bisa jadi dia harus kehilangan nyawa. Kemarin tetangga kita ada yang menantunya harus menjalani operasi caesar karena tekanan darahnya tinggi. Dia juga tidak kuat untuk mengejan. L
"Lihat, Bu. Ulfa itu bahagia kalau aku ceraikan dia. Jadi, nggak usah mau menengahi, emang dia aja yang mau pisah dari dulu. Malah pake alasan dia berubah karen aku nikah lagi.""Emang itu kemauan aku. Istri mana yang mau bertahan sama suami yang selingkuh, berzina, menikah diam-diam sekaligus ngasih nafkah kayak nggak ikhlas karena mentingin ibunya. Mungkin kalau ibu ada di posisi aku, pasti marah, kesal, kecewa dan mau pisah selama suami nggak mau berubah. Betul, kan, Bu?"Ulfa menatap penuh makna pada Mahika yang bingung harus mengangguk atau tidak. Tentu saja dilema sebab dia berpihak pada Sano sementara kenyataannya adalah di masa awal pernikahannya dengan suami dulu, Mahika selalu menekankan untuk menjunjung tinggi kesetiaan.Pernah sekali, Mahatma mengantar seorang perempuan karena hari sudah mulai gelap sementara rumahnya harus melewati sebuah tempat sepi. Saat itu Mahika marah besar sampai tidak mau bicara dengannya selama dua hari.Mahika sebenarnya sangat memahami perasaan
Di saat yang sama, pintu rumah terketuk berulang kali menyusul Fajar yang sigap membuka pintu setelah mendengar keributan itu. Dia melangkah ke sumber suara, melongo ketika melihat model rambut Sano, mencoba untuk menahan tawa karena tidak ingin memperkeruh keadaan. Dia yakin kalau semua itu karena ulah Ulfa."San, nggak berangkat ke kantor?""Berangkat, berangkat. Nggak liat apa model rambut aku ini? Pulang sana!" usir Sano emosi melihat Fajar yang menahan tawa."Tidak ada yang bisa mengusir tamu dari rumah ini kecuali aku. Fajar, silakan duduk. Sepertinya ada yang harus kamu bicarakan sama Mas Sano." Ulfa maju, melewati mereka semua, menuju sofa di ruang tamu.Perasaannya hancur lebur, dia berusaha menyeka air mata sambil terus menghibur diri. Bahkan mentari yang pernah tenggelam saja pasti terbit dengan sinar yang menyilaukan mata, menumbuhkan tanaman yang layu merindukan sinarnya.Setelah musim kering yang panjang, selalu ada masa di mana hujan jatuh membasahi bumi. Aroma petricho