“Pak, ajak saya masuk, dong!” bujuk Arumi pada sang security.“Aduh, Mbak. Mirza, kan, nggak ada di rumah. Kalau saya bawa Mbak masuk, mau bilang apa ke Nyonya?”Arumi masih bersikeras. Tak sabar rasanya ingin menginjakkan kaki di rumah kaya berlantaikan marmer itu. “Saya adiknya, Pak. Seenggaknya izinin saya masuk, saya haus. Jauh-jauh dari kampung, masa harus pulang lagi? Nanti saya telepon Mas Mirza-nya, deh.”Satpam itu pun membawa Arumi masuk ke rumah besar milik Keluarga Hermawan. Langkahnya hati-hati, Arumi membuntuti dari belakang. Niat petugas keamanan itu hanya membawakan Arumi minuman dari dapur, tapi berpapasan dengan Mayang, sang pemilik rumah.“Itu siapa, Rus?” tanya Mayang.“Dia ngakunya adiknya Mirza.”Sejak tadi Arumi memandang tajam pada Mayang. Wanita itu terlihat kurang sehat. Sungguh penampilannya jauh berbeda dari Hermawan yang tampak gagah dan rupawan di usianya yang matang.‘Aduh, si tua ini nggak pantas rasanya bersanding sama Pak Hermawan. Kapan matinya, sih
Bella berjalan congkak, lalu duduk di hadapan mereka sambil melipat tangan di depan dada. Lucunya, bukannya pria itu duduk bersebrangan dengan Leona, mereka justru duduk berdampingan hingga membuat kepala Bella nyaris meledak.“Kenapa memanggilku ke sini? Mau menyampaikan undangan pernikahan kalian padaku?” Bella menatap nyalang pada keduanya, lalu menunjuk ke arah wajah Leona. “Atau mungkin kamu sedang hamil setelah menjual tubuhmu pada lelaki ini?”Meski selama ini berusaha tegar, melihat Bastian dan Leona duduk berdampingan seperti ini, ditambah lagi teringat aktivitas bergumul mereka itu membuat hati Bella mendadak nyeri.Leona belum menyahut, membiarkan Bastian mengambil alih alur perbincangan di depan sahabat yang ditikamnya beberapa tahun terakhir.“Kamu melihatnya saat itu, aku nggak bisa berdalih lagi. Tapi setidaknya, dengarkan penjelasan kami dulu. Bukannya kami sengaja mengkhianatimu, kami terpaksa melakukan ini karena-”Bastian tergagap saat Leona mencubit sisi pahanya.
Suara mesin mobil terdengar memasuki pelataran ketika senja. Arumi mengintip dari jendela kamarnya yang mengarah ke pelataran. Netranya memindai Hermawan dengan binar menggoda."Aku harus bisa jadi Nyonya Hermawan berikutnya."Berdandan dengan cantik, menggenakan daster batik sebatas paha, Arumi siap dengan kendalinya. Wewangian juga disemprot ke tubuhnya.Lekas dia keluar untuk pergi ke dapur. Membuatkan teh pada majikan untuk menarik perhatiannya."Mau ngapain, Rum?" tanya si bibi ketika melihat Arumi begitu sibuk mencari cangkir pada rak."Mau buatin teh untuk Bapak."Si bibi mendelik heran. "Siapa yang suruh?""Nggak ada, inisiatif aja. Sekalian aku mau ngobrol sama beliau. Aku, kan, baru bekerja hari ini untuk jadi pengasuh Bu Mayang."Selesai dengan secangkir teh, Arumi dengan gesit membawanya ke ruang tengah. Hermawan dan Mayang sedang bercengkrama di sana. Wanita itu tak menaruh curiga sedikit pun dengan pakaian Arumi, juga gestur. Arumi sengaja membungkuk untuk membiarkan tua
Mirza sudah lebih segar setelah banyak beristirahat. Hanya sesekali dia menahan nyeri yang tersisa dari bekas luka tusuk itu. Usai mandi, Mirza urung memakai kaos untuk melihat pantulan punggungnya di cermin. Lukanya belum kering sempurna, masih ada plester rekat yang tersisa setelah perban dilepas. "Mir, kita—" Wajahnya memerah kala sempat melihat pria itu tanpa pakaian atasan. Hanya bisa berbalik, menetralkan jantung yang tak beraturan. "Maaf!" Terburu Bella meninggalkan kamar melinat wajah Mirza yang tampak innocent. Dirinya hanya bersandar di dinding luar sembari mengatur hela napas. 'Bel, ngapain kabur, sih? Ini, kan, bukan pertama kalinya kamu ...' Bella menoleh saat bahunya disentuh Mirza. Pria itu nampak siap kembali dengan tugasnya. "Ada perlu apa? Ada meeting lagi?" Bella menggeleng. "Nggak ada. Kalau kamu sudah sembuh, kita bisa pulang ke Jakarta, sore nanti." "Baik." Mirza memperhatikan langkah lamban Bella. Sedikit sempoyongan, sesekali mencari pegan
"Mau sampai kapan kamu tiduran terus, May?"Arumi mesem-mesem saat mendengar pertengkaran majikannya dari celah pintu kamar lantai atas.Di dalam sana, Mayang memijat sudut dahinya. Tak bisa dilihatnya lagi penuh raut tegang di wajah Hermawan."Aku nggak tau, Mas. Kepalaku pusing sekali. Sakit.""Aku pulang kamu udah tidur. Aku mau berangkat kerja, kamu juga belum bangun. Bahkan sekarang, untuk pakaianku saja nggak bisa kamu siapkan. Aku tau kamu sakit, tapi jangan lupa kalau kamu itu istriku, May! Aku kesepian! Bahkan untuk sekadar bicara aja kita nggak punya waktu dalam sebulan ini!"Pertengkaran kecil mulai mengisi rumah tangga ibunda Bella. Ya, sejak Arumi datang sebulan lalu, pelan-pelan dia memulai untuk menciptakan kisruh di mana hubungan keduanya semakin buruk."Aku minta maaf.""Udah periksa ke dokter?" gerutu Hermawan sembari membuka kasar pintu lemari."Udah, Mas. Udah dikasih obat juga. Arumi rutin ngasih aku obat, kok. Tapi memang belakangan dadaku sering sakit. Apa jantu
Begitulah yang selalu dia lakukan agar gelagatnya tak terlalu mencolok."Ini, Bu.""Terima kasih."Usai menenggak teh itu, rasa kantuk kembali menyerang seiring kepala yang berdenyut. Mayang mendesis sembari menggigit bibir."Migrain Ibu kambuh, ya? Yuk, kita ke kamar.'"Mayang menggeleng tegas. "Tidak. Saya di sini saja."Wanita itu bersikeras sampai akhirnya rasa sakit dan kantuk menguasai. Hermawan yang pulang dengan langkah gusar karena terjebak macet dalam suasana hujan, harus mendapati istrinya tidur di ruang tengah. Dirinya berhenti sesaat, menghela napas panjang untuk menguarkan rasa marah."Kita menikah, tapi aku merasa kesepian sebulan ini. Aku butuh dilayani. Bukan hanya untuk kebutuhan batinku, tapi juga kenyamanan hatiku sebagai suami. Tapi yang kulihat selalu seperti ini, Mayang."Arumi mendengar gusar tuannya itu. Hermawan melempar jas dan tasnya, lalu mengangkat istrinya itu untuk tidur di kamar.Setelahnya, Arumi siap dengan kendali. Sebuah botol obat berada di tanga
"Non Bella!" Mirza mendekati Bella di taman hotel. Wanita itu memandang indahnya fajar pagi sembari menikmati secangkir teh hangat. "Tau dari mana aku di sini?" Mirza duduk di sebelahnya, memandang iba pada nonanya ini. Begitu tegar menghadapi masalah besar yang akan terjadi padanya. "Tadi saya lihat Nona ..." "Panggil aku Bella saja, Mir. Bukannya dulu kita sekelas? Dan bukannya ... dulu kita berteman?" Sempat keduanya beradu tatap, Mirza mengalihkan pandangan ke sisi timur untuk memandang perlahan mentari yang muncul dari sana. "Aku hanya menjaga perasaan Arumi. Aku harus membuat jarak denganmu agar dia nggak salah paham." "Salah paham?" Bella tersenyum sinis. "Dia bisa salah paham apa? Apa yang diharapkannya dari pernikahan kalian?" Tuding itu membuat Mirza malu. Memang jelas terlihat bahwa pernikahan yang sakral itu hanya penting bagi Mirza. Arumi bahkan tak bangga sedikit pun berstatus Mirza sebagai suaminya. "Kehamilan kamu bagaimana? Apa kamu akan menuntut pertanggung
Arumi berjalan congkak mendekati Bella. Tentu saja dia tak ingin melepaskan sedikit pun kesempatan. Jalan terbuka lebar di depan matanya. Hati Hermawan sudah berhasil dia renggut dari Mayang. "Itu bukan urusanmu, ini bukan rumahmu, kan? Ini punya Pak Hermawan. Kamu cuma anak tirinya. Aku digaji dan dipekerjakan Pak Hermawan di sini, jadi aku akan pergi atas perintah dia!" Mirza menarik tangan Arumi agar menjauh dari nonanya itu. Berkata tak sopan, tetaplah mereka harus menghormati Bella sebagai nona di rumah ini. "Maafkan Arumi, Non Bella. Mungkin belakangan dia agak sensitif, bawaan bayi." Arumi tertawa sinis, Bella justru memegang perutnya. Ah, dia sekarang juga sedang hamil. Mendadak hatinya pilu jika memikirkan masa depan bayinya. "Tapi ... kandungan kamu udah minggu keberapa, Rum? Kenapa belum keliatan juga?" selidik Bella, penasaran. "Ck! Bukan urusanmu!" Saat Arumi hendak pergi, terburu Bella mencekal lengannya. "Mau ke mana, kamu? Mamaku dari tadi cariin kamu.
Sejak malam Mirza menemui Arumi, hubungan mereka berubah dingin. Bella tetap menjalankan rutinitasnya sebagai istri: menyiapkan pakaian kerja dan sarapan untuk Mirza. Namun, tidak ada sapaan atau senyuman. Bahkan, pandangan pun dihindari.Mirza tahu dirinya salah. Setiap kali melihat Bella yang tak memedulikannya, hatinya terasa remuk. “Aku bodoh,” gumamnya pelan di kantor, mencoba menenggelamkan diri dalam pekerjaan. Namun, bayangan sang istri terus menghantui.Usai matahari terbenam, Mirza pulang membawa martabak Mesir, makanan favorit istrinya yang sedang hamil itu. Mirza memangkas jarak untuk berdiri tepat di ambang pintu. Dari sela yang setengah terbuka, nampak di sana Bella sedang terbaring memunggunginya. Mirza menghela napas, lalu berkata dengan lembut, “Aku pulang.”Tak ada jawaban, berpikir mungkin Bella sedang tidur.Setelah membersihkan diri beberapa menit, Mirza pun masuk kamar. Istrinya itu sudah bangun, merapikan kasur yang sedikit berantakan dengan tenang. Sprei dan
Di tengah malam yang sunyi, Mirza terbangun oleh suara notifikasi ponselnya. Dengan mata yang masih berat, dia melihat layar ponselnya. Satu pesan masuk dari Arumi, mantan istrinya.[Aku menunggumu di bawah pohon beringin, di samping paviliun.]Mirza duduk diam sejenak, menatap pesan itu. Ia melirik Bella yang tertidur pulas di sampingnya, wajahnya tenang dan perutnya besar mengandung buah hatinya. Tanpa banyak pikir, Mirza berdiri perlahan, berusaha untuk tidak membangunkan Bella. Dia tidak menyadari bahwa Bella sempat membuka matanya sedikit, mengawasi gerak-geriknya dengan cemas.Di depan pintu rumah, Mirza terhenti. Ada keraguan yang memenuhi pikirannya. Apakah ia benar-benar perlu menemui Arumi? Bagaimanapun, hubungan mereka sudah berakhir. Saat ini ia seharusnya menjaga perasaan Bella yang sedang hamil besar. Namun, ada perasaan rindu yang membawanya untuk tetap melangkah ke luar rumah.Ketika tiba di dekat beringin, Mirza melihat Arumi berdiri di sana, menunggunya di bawah baya
Bella menghentikan mobilnya mendadak di tengah jalan. "Aduh, ponselku!" serunya, menyadari benda penting itu tertinggal di kamar. Tanpa pikir panjang, dia memutar balik dan melaju menuju rumah. Saat membuka pintu kamar, dia mendapati Mirza, suaminya, sedang berdiri tanpa jarak dengan Arumi, mantan istrinya. Bella tercekat ketika melihat tangan Arumi menyentuh dada Mirza tanpa penolakan dari sang suami.“Mas…?” Suara Bella terdengar parau. Mirza terkejut, dengan cepat menjauh dari Arumi. Ada rasa bersalah dalam hati ketika melihat binar kekecewaan di mata sang istri.Sementara itu, Arumi tertawa sinis, menoleh pada Bella dengan ekspresi congkak. “Oh, Bella, kamu kembali rupanya. Aku dan Mirza hanya membicarakan masa lalu. Aku harap kamu tak keberatan.”Bella lekas mendekati Arumi sembari mengedarkan tatapan tajam, menahan emosi yang bergejolak. “Nggak ada yang perlu dibicarakan. Keluar kamu, Rum. Pergi dari sini!"Arumi mendengkus, tertawa meremehkan. “Santai saja, Bella. Jangan te
Mentari pagi menembus tirai jendela kamar, mengisi ruangan dengan sinar lembut. Bella bangkit dan merapikan diri. Setelah bersiap, Bella melangkah ke sofa di mana suaminya masih tertidur pulas di sana. "Mas." Bella tersenyum melihat wajah Mirza. Disentuhnya rambut legam sang suami dengan lembut, lalu membisikkan namanya. “Mas, bangun. Sudah pagi.” Mirza bergerak sedikit, menggeliat malas. Perlahan, matanya terbuka, menatap Bella dengan pandangan bingung. "Kamu udah rapi sekali sepagi ini. Mau ke mana?” "Aku ada janji hari ini, mau kontrol kandungan, udah masuk bulan ketujuh, kan?" Mirza mengangguk pelan, mengusap wajahnya agar lebih sadar. “Mau kuantar?” “Nggak perlu, Mas. Aku diantar dengan Mas Ujang aja. Oh ya, aku udah siapin sarapan dan pakaian kerja kamu. Semua beres, tinggal kamu yang bangun.” Bella tersenyum genit, maju selangkah lebih dekat hingga berdiri tepat di depan Mirza. Pria itu menatap Bella sedikit bingung, tapi belum sepenuhnya sadar. “Ada a
Di sore yang tenang, Arumi membawa secangkir teh ke ruang kerja Hermawan. Mengetuk pintu perlahan, kemudian masuk dengan senyum menggoda.“Mas Hermawan, teh hangatnya sudah datang,” katanya lembut, melirik pria paruh baya itu yang tengah sibuk dengan berkas-berkasnya.Hermawan menoleh dan tersenyum tipis. “Terima kasih, Arumi.”Arumi meletakkan cangkir teh di meja, tetapi tidak segera beranjak. Dengan perlahan, ia menyentuh lengan Hermawan, mencoba mencari perhatian lebih. “Mas, tidak lelah bekerja terus? Mungkin ada yang bisa aku bantu?”Hermawan terdiam sejenak, lalu melepaskan pandangannya dari berkas-berkas, menatap Arumi yang berdiri di sampingnya dengan tatapan lembut namun penuh tanda tanya. “Arumi, kamu tahu bukan kalau hubungan kita ini rumit?” bisiknya, mengambil tangan Arumi dan menggenggamnya erat.Arumi mendesah, menunduk. “Aku tahu, Mas. Tapi… bagaimana dengan kita? Istri Bapak sudah meninggal tiga bulan lalu. Sampai kapan aku harus menunggu seperti ini?”Hermawan men
Hari demi hari, kesedihan berlalu. Bella mencoba bangkit demi janin yang dikandung. Dirinya juga bersyukur sebab Mirza tak meninggalkannya. Di pagi yang tenang, Bella memandang punggung Mirza yang duduk di meja makan, diam menikmati sarapan yang baru saja ia siapkan. Bella mengelus perutnya yang semakin besar, merasakan kehidupan yang tumbuh di dalamnya."Mas, mau teh atau kopi pagi ini?" tanya Bella lembut sambil menyiapkan makanan."Teh saja, lebih ringan," jawab Mirza singkat, tanpa mengangkat wajahnya.Bella tersenyum, meski dalam hati ia merasa perih dengan cara bicara Mirza yang datar. Namun, ia tahu, di balik sikap dinginnya, Mirza selalu menunjukkan kepedulian. Setiap pulang bekerja pun, Mirza tak pernah lupa membawakan makanan untuknya.Saat malam tiba, Mirza pulang dengan kantung belanja di tangannya. Ia menyerahkannya pada Bella tanpa kata-kata, hanya pandangan singkat yang langsung beralih ke hal lain."Terima kasih, Mas," ucap Bella dengan senyum tulus. "Aku suka kue ini
Di lantai bawah, suasana mencekam. Arumi berdiri gemetar di atas tangga, menatap tubuh Mayang yang tergeletak tak sadarkan diri. Wajahnya pucat, tak menyangka dorongan kecil yang ia lakukan bisa berujung seperti ini."Mayang! Mayang, bangun!" Hermawan mengguncang tubuh istrinya, berusaha menyadarkannya.Arumi tersentak dari keterpakuannya ketika suara langkah Mirza terdengar mendekat. Panik, ia berlari, mencoba melarikan diri dari pria yang baru saja melihat sekilas peristiwa mengerikan itu. Namun, Mirza, mantan suaminya, dengan cepat mengejarnya, memotong langkahnya di lorong sempit."Arumi, tunggu!" Mirza menggenggam lengannya erat, menatap tajam dengan amarah membara di matanya. "Apa yang kamu lakukan? Kau mencelakai Bu Mayang!"Arumi meronta, suaranya bergetar. "Mirza, dengarkan aku! Aku... aku tak sengaja! Aku tak bermaksud... aku hanya... hanya marah, tapi tak ingin menyakitinya!"Mata Mirza melembut saat melihat tangis Arumi yang penuh penyesalan. Selama beberapa detik, ia bimb
Pagi itu, Mayang terbangun dan mendapati sisi ranjangnya kosong. Tak ada Hermawan di sana. Seperti pagi-pagi sebelumnya, suaminya selalu menghilang entah ke mana. Perlahan, ia bangkit dan berjalan menyusuri lorong rumah mereka yang sunyi.Langkahnya terhenti di depan pintu kamar di sudut lantai dua—kamar Bella, putri mereka yang kini telah menikah dan meninggalkan rumah. Namun, dari dalam kamar itu, terdengar suara samar desahan seorang wanita, diikuti dengan suara yang sangat dikenalnya. Suara Hermawan.Perlahan, ia mendorong pintu yang tak terkunci, lalu terpaku saat melihat pemandangan di dalam kamar. Di atas ranjang, Hermawan dan Arumi berada dalam pelukan mesra.“Mas Hermawan! Apa yang kau lakukan?!”Hermawan terkejut, lalu buru-buru menutupi tubuhnya dengan selimut. Wajahnya tampak tegang, namun tak lama ia menghela napas, mencoba menenangkan diri.“Mayang... aku bisa jelaskan,” katanya dengan suara lemah sembari memakai kembali pakaiannya. “Apa yang perlu dijelaskan lagi?!” Ma
Pagi yang tenang, Bella berdiri di ruang tengah sambil memandangi kardus-kardus besar di depannya. Kardus-kardus itu adalah barang-barang dari kampung yang dibawa Mirza, suaminya, beberapa hari lalu. Hari ini, dia berencana mengemasi dan memindahkan barang-barang itu ke tempat baru mereka. Sambil tersenyum kecil, Bella berjongkok dan membuka salah satu kardus, mengeluarkan satu per satu barang yang ada di dalamnya.Saat sedang memilah barang, tangannya terhenti di perutnya yang kini mengandung janin kecil, buah hati yang mulai ia dambakan. Bayangan malam itu tiba-tiba kembali melintas di benaknya. Malam yang penuh emosi, dua bulan yang lalu, ketika ia menemukan Mirza di klub malam.*Saat itu, Bella tidak menyangka akan bertemu Mirza dalam keadaan tak berdaya di tempat semacam itu. Mirza, yang sudah setengah mabuk dan mungkin telah diberi obat oleh seseorang, hampir tak sadarkan diri. Dengan cepat, Bella membawanya keluar dari klub malam itu dan menuju hotel terdekat. Hatinya terasa s