"Mau sampai kapan kamu tiduran terus, May?"Arumi mesem-mesem saat mendengar pertengkaran majikannya dari celah pintu kamar lantai atas.Di dalam sana, Mayang memijat sudut dahinya. Tak bisa dilihatnya lagi penuh raut tegang di wajah Hermawan."Aku nggak tau, Mas. Kepalaku pusing sekali. Sakit.""Aku pulang kamu udah tidur. Aku mau berangkat kerja, kamu juga belum bangun. Bahkan sekarang, untuk pakaianku saja nggak bisa kamu siapkan. Aku tau kamu sakit, tapi jangan lupa kalau kamu itu istriku, May! Aku kesepian! Bahkan untuk sekadar bicara aja kita nggak punya waktu dalam sebulan ini!"Pertengkaran kecil mulai mengisi rumah tangga ibunda Bella. Ya, sejak Arumi datang sebulan lalu, pelan-pelan dia memulai untuk menciptakan kisruh di mana hubungan keduanya semakin buruk."Aku minta maaf.""Udah periksa ke dokter?" gerutu Hermawan sembari membuka kasar pintu lemari."Udah, Mas. Udah dikasih obat juga. Arumi rutin ngasih aku obat, kok. Tapi memang belakangan dadaku sering sakit. Apa jantu
Begitulah yang selalu dia lakukan agar gelagatnya tak terlalu mencolok."Ini, Bu.""Terima kasih."Usai menenggak teh itu, rasa kantuk kembali menyerang seiring kepala yang berdenyut. Mayang mendesis sembari menggigit bibir."Migrain Ibu kambuh, ya? Yuk, kita ke kamar.'"Mayang menggeleng tegas. "Tidak. Saya di sini saja."Wanita itu bersikeras sampai akhirnya rasa sakit dan kantuk menguasai. Hermawan yang pulang dengan langkah gusar karena terjebak macet dalam suasana hujan, harus mendapati istrinya tidur di ruang tengah. Dirinya berhenti sesaat, menghela napas panjang untuk menguarkan rasa marah."Kita menikah, tapi aku merasa kesepian sebulan ini. Aku butuh dilayani. Bukan hanya untuk kebutuhan batinku, tapi juga kenyamanan hatiku sebagai suami. Tapi yang kulihat selalu seperti ini, Mayang."Arumi mendengar gusar tuannya itu. Hermawan melempar jas dan tasnya, lalu mengangkat istrinya itu untuk tidur di kamar.Setelahnya, Arumi siap dengan kendali. Sebuah botol obat berada di tanga
"Non Bella!" Mirza mendekati Bella di taman hotel. Wanita itu memandang indahnya fajar pagi sembari menikmati secangkir teh hangat. "Tau dari mana aku di sini?" Mirza duduk di sebelahnya, memandang iba pada nonanya ini. Begitu tegar menghadapi masalah besar yang akan terjadi padanya. "Tadi saya lihat Nona ..." "Panggil aku Bella saja, Mir. Bukannya dulu kita sekelas? Dan bukannya ... dulu kita berteman?" Sempat keduanya beradu tatap, Mirza mengalihkan pandangan ke sisi timur untuk memandang perlahan mentari yang muncul dari sana. "Aku hanya menjaga perasaan Arumi. Aku harus membuat jarak denganmu agar dia nggak salah paham." "Salah paham?" Bella tersenyum sinis. "Dia bisa salah paham apa? Apa yang diharapkannya dari pernikahan kalian?" Tuding itu membuat Mirza malu. Memang jelas terlihat bahwa pernikahan yang sakral itu hanya penting bagi Mirza. Arumi bahkan tak bangga sedikit pun berstatus Mirza sebagai suaminya. "Kehamilan kamu bagaimana? Apa kamu akan menuntut pertanggung
Arumi berjalan congkak mendekati Bella. Tentu saja dia tak ingin melepaskan sedikit pun kesempatan. Jalan terbuka lebar di depan matanya. Hati Hermawan sudah berhasil dia renggut dari Mayang. "Itu bukan urusanmu, ini bukan rumahmu, kan? Ini punya Pak Hermawan. Kamu cuma anak tirinya. Aku digaji dan dipekerjakan Pak Hermawan di sini, jadi aku akan pergi atas perintah dia!" Mirza menarik tangan Arumi agar menjauh dari nonanya itu. Berkata tak sopan, tetaplah mereka harus menghormati Bella sebagai nona di rumah ini. "Maafkan Arumi, Non Bella. Mungkin belakangan dia agak sensitif, bawaan bayi." Arumi tertawa sinis, Bella justru memegang perutnya. Ah, dia sekarang juga sedang hamil. Mendadak hatinya pilu jika memikirkan masa depan bayinya. "Tapi ... kandungan kamu udah minggu keberapa, Rum? Kenapa belum keliatan juga?" selidik Bella, penasaran. "Ck! Bukan urusanmu!" Saat Arumi hendak pergi, terburu Bella mencekal lengannya. "Mau ke mana, kamu? Mamaku dari tadi cariin kamu.
"Apa-apaan ini?"Arumi terkejut saat menggulir layar aplikasi toktok, dirinya menemukan foto dan video viral terkait Bella. Tentu tindak tanduk wanita itu menjadi sorotan kala dirinya seorang model dan juga anak dari pengusaha sukses terkenal."Pak! Bu!"Minggu pagi, Hermawan kembali duduk santai bersama Mayang di ruang tengah. Pria itu bertekad kembali memperbaiki hubungan dengan Mayang sebab rasa bersalah meski di belakang itu, dia tetap bercinta dan tidur dengan Arumi untuk kebutuhan biologisnya."Ada apa, Arumi?"Mirza melihat kelebihan istrinya itu. Arumi mendatangi Hermawan sembari menunjukkan ponsel-nya tersebut."Ini, Pak. Lihatlah!"Hermawan mengamati berita pada layar. Berita mengejutkan terkait putrinya.[Satu bulan menghilang dari dunia modelling dan bisnis, inikah yang disembunyikan keluarga Hermawan? Bella hamil?]Foto Bella di depan klinik praktek dokter kandungan. "Ini ... apa-apaan?""Apaan sih, Mas?"Mayang membaca deretan gosip pada caption itu. Narasi yang mengata
"Mas, jadi gimana itu si Bella? Ini udah seminggu, tapi dia masih belum buka suara soal siapa yang hamili dia. Trus gimana sama perusahaan Mas? Kacau, nggak?"Arumi bersandar manja di bahu Hermawan usai gelut cinta mereka menjelang pagi. Hermawan mendecak lagi saat diingatkan hal itu."Iya, aku belum ada tanya lagi. Aku harus tekan Mayang kalau begini.""Mas jangan terlalu keras sama Bu Mayang, kasihan dia pasti lagi pusing.""Ya kalau gitu, harusnya dia bantu, kan? Anaknya bikin aib begini," gusar Hermawan lagi."Iya, kan? Keterlaluan banget si Bella. Aku taunya, sih, kemarin dia pacaran sama Bastian. Tapi udah lama banget putusnya.""Nanti coba kutanya Mayang lagi."Dua insan ini hanya bisa menghakimi tanpa sadar mereka jauh lebih hina.Mayang hanya bisa pasrah menerima nasib buruk menderai. Menangis dan berpikir bahwa Hermawan tak lagi mau sekamar dengannya karena kasus Bella, juga dirinya yang tak melayani dengan baik."Ma!"Mayang menoleh ke pintu, Bella muncul sembari membawa te
"Benar, kan, Mir? Arumi itu istrimu?"Mirza hanya bungkam saat diinterogasi oleh salah seorang pelayan tua di rumah itu. Tak tahu haruskah buka suara kalau sudah ketahuan begini."Nggak usah bohong lagi, lah. Keliatan banget, kok. Sodara nggak mungkin jaga jarak banget gitu. Ini keliatan banget kalian selalu hati-hati kalau nggak sengaja papasan. Canggung dan keliatan main rahasia-rahasiaan."Si bibi tetap bersuara sembari menyiapkan kembali hidangan yang belum selesai. Mirza masih mematung, takut jika ketahuan, maka Arumi akan menyalahkannya dan nekat menggugurkan janinnya."Saya nggak mau campuri, tapi ya ... bohong buat apa, sih? Oh iya satu lagi, saya sering lihat Arumi bangun tengah malam dan nggak balik sampai subuh."Mirza terkejut. Selama ini memang Arumi tidur di kamar si bibi, Mirza tidur di kamar untuk para supir dan security di luar rumah hingga dia tak banyak menyenter aktifitas Arumi di rumah ini."Kapan, Bi?""Sering, lah. Oh iya saya juga sering lihat Arumi keluar dari
"Eh?"Mirza memegang tangan Arumi saat istrinya itu memegang kait kemejanya lagi."Kamu mau apa?""Masa ditanya? Ya aku mau mesraan sama Mas, lah! Mas juga belakangan ini nggak pernah deketin aku lagi. Nggak pengen, apa?!"Sedikit Arumi berjinjit untuk mencium bibir suaminya ini."Ya ... kamu lagi hamil. Nanti bahaya kalau ..."Arumi tersenyum centil, menarik Mirza untuk duduk di kasur sudut."Pelan-pelan aja, Mas."Dua insan yang sedang memadu kasih ini, berbanding terbalik dengan Bella yang hanya bisa menangis, duduk luruh di sisi balkon kamarnya. Sempat tadi dia lihat Arumi masuk ke kamar Mirza.'Jika dia bukan jodohku, kenapa harus menghadirkannya lagi ke dalam hidupku, Tuhan? Kenapa?'Bella menangis tersedu sembari memegangi perutnya. Beberapa menit lalu saat Mirza keluar, Hermawan masuk dan kembali mengultimatum perihal kehamilannya."Jadi gimana, Bel? Siapa lelaki itu? Siapa yang menghamili kamu?!"Sentak kasar Hermawan membungkam Bella."Apa itu Mirza?!"Bella terkejut saat pa
Sejak malam Mirza menemui Arumi, hubungan mereka berubah dingin. Bella tetap menjalankan rutinitasnya sebagai istri: menyiapkan pakaian kerja dan sarapan untuk Mirza. Namun, tidak ada sapaan atau senyuman. Bahkan, pandangan pun dihindari.Mirza tahu dirinya salah. Setiap kali melihat Bella yang tak memedulikannya, hatinya terasa remuk. “Aku bodoh,” gumamnya pelan di kantor, mencoba menenggelamkan diri dalam pekerjaan. Namun, bayangan sang istri terus menghantui.Usai matahari terbenam, Mirza pulang membawa martabak Mesir, makanan favorit istrinya yang sedang hamil itu. Mirza memangkas jarak untuk berdiri tepat di ambang pintu. Dari sela yang setengah terbuka, nampak di sana Bella sedang terbaring memunggunginya. Mirza menghela napas, lalu berkata dengan lembut, “Aku pulang.”Tak ada jawaban, berpikir mungkin Bella sedang tidur.Setelah membersihkan diri beberapa menit, Mirza pun masuk kamar. Istrinya itu sudah bangun, merapikan kasur yang sedikit berantakan dengan tenang. Sprei dan
Di tengah malam yang sunyi, Mirza terbangun oleh suara notifikasi ponselnya. Dengan mata yang masih berat, dia melihat layar ponselnya. Satu pesan masuk dari Arumi, mantan istrinya.[Aku menunggumu di bawah pohon beringin, di samping paviliun.]Mirza duduk diam sejenak, menatap pesan itu. Ia melirik Bella yang tertidur pulas di sampingnya, wajahnya tenang dan perutnya besar mengandung buah hatinya. Tanpa banyak pikir, Mirza berdiri perlahan, berusaha untuk tidak membangunkan Bella. Dia tidak menyadari bahwa Bella sempat membuka matanya sedikit, mengawasi gerak-geriknya dengan cemas.Di depan pintu rumah, Mirza terhenti. Ada keraguan yang memenuhi pikirannya. Apakah ia benar-benar perlu menemui Arumi? Bagaimanapun, hubungan mereka sudah berakhir. Saat ini ia seharusnya menjaga perasaan Bella yang sedang hamil besar. Namun, ada perasaan rindu yang membawanya untuk tetap melangkah ke luar rumah.Ketika tiba di dekat beringin, Mirza melihat Arumi berdiri di sana, menunggunya di bawah baya
Bella menghentikan mobilnya mendadak di tengah jalan. "Aduh, ponselku!" serunya, menyadari benda penting itu tertinggal di kamar. Tanpa pikir panjang, dia memutar balik dan melaju menuju rumah. Saat membuka pintu kamar, dia mendapati Mirza, suaminya, sedang berdiri tanpa jarak dengan Arumi, mantan istrinya. Bella tercekat ketika melihat tangan Arumi menyentuh dada Mirza tanpa penolakan dari sang suami.“Mas…?” Suara Bella terdengar parau. Mirza terkejut, dengan cepat menjauh dari Arumi. Ada rasa bersalah dalam hati ketika melihat binar kekecewaan di mata sang istri.Sementara itu, Arumi tertawa sinis, menoleh pada Bella dengan ekspresi congkak. “Oh, Bella, kamu kembali rupanya. Aku dan Mirza hanya membicarakan masa lalu. Aku harap kamu tak keberatan.”Bella lekas mendekati Arumi sembari mengedarkan tatapan tajam, menahan emosi yang bergejolak. “Nggak ada yang perlu dibicarakan. Keluar kamu, Rum. Pergi dari sini!"Arumi mendengkus, tertawa meremehkan. “Santai saja, Bella. Jangan te
Mentari pagi menembus tirai jendela kamar, mengisi ruangan dengan sinar lembut. Bella bangkit dan merapikan diri. Setelah bersiap, Bella melangkah ke sofa di mana suaminya masih tertidur pulas di sana. "Mas." Bella tersenyum melihat wajah Mirza. Disentuhnya rambut legam sang suami dengan lembut, lalu membisikkan namanya. “Mas, bangun. Sudah pagi.” Mirza bergerak sedikit, menggeliat malas. Perlahan, matanya terbuka, menatap Bella dengan pandangan bingung. "Kamu udah rapi sekali sepagi ini. Mau ke mana?” "Aku ada janji hari ini, mau kontrol kandungan, udah masuk bulan ketujuh, kan?" Mirza mengangguk pelan, mengusap wajahnya agar lebih sadar. “Mau kuantar?” “Nggak perlu, Mas. Aku diantar dengan Mas Ujang aja. Oh ya, aku udah siapin sarapan dan pakaian kerja kamu. Semua beres, tinggal kamu yang bangun.” Bella tersenyum genit, maju selangkah lebih dekat hingga berdiri tepat di depan Mirza. Pria itu menatap Bella sedikit bingung, tapi belum sepenuhnya sadar. “Ada a
Di sore yang tenang, Arumi membawa secangkir teh ke ruang kerja Hermawan. Mengetuk pintu perlahan, kemudian masuk dengan senyum menggoda.“Mas Hermawan, teh hangatnya sudah datang,” katanya lembut, melirik pria paruh baya itu yang tengah sibuk dengan berkas-berkasnya.Hermawan menoleh dan tersenyum tipis. “Terima kasih, Arumi.”Arumi meletakkan cangkir teh di meja, tetapi tidak segera beranjak. Dengan perlahan, ia menyentuh lengan Hermawan, mencoba mencari perhatian lebih. “Mas, tidak lelah bekerja terus? Mungkin ada yang bisa aku bantu?”Hermawan terdiam sejenak, lalu melepaskan pandangannya dari berkas-berkas, menatap Arumi yang berdiri di sampingnya dengan tatapan lembut namun penuh tanda tanya. “Arumi, kamu tahu bukan kalau hubungan kita ini rumit?” bisiknya, mengambil tangan Arumi dan menggenggamnya erat.Arumi mendesah, menunduk. “Aku tahu, Mas. Tapi… bagaimana dengan kita? Istri Bapak sudah meninggal tiga bulan lalu. Sampai kapan aku harus menunggu seperti ini?”Hermawan men
Hari demi hari, kesedihan berlalu. Bella mencoba bangkit demi janin yang dikandung. Dirinya juga bersyukur sebab Mirza tak meninggalkannya. Di pagi yang tenang, Bella memandang punggung Mirza yang duduk di meja makan, diam menikmati sarapan yang baru saja ia siapkan. Bella mengelus perutnya yang semakin besar, merasakan kehidupan yang tumbuh di dalamnya."Mas, mau teh atau kopi pagi ini?" tanya Bella lembut sambil menyiapkan makanan."Teh saja, lebih ringan," jawab Mirza singkat, tanpa mengangkat wajahnya.Bella tersenyum, meski dalam hati ia merasa perih dengan cara bicara Mirza yang datar. Namun, ia tahu, di balik sikap dinginnya, Mirza selalu menunjukkan kepedulian. Setiap pulang bekerja pun, Mirza tak pernah lupa membawakan makanan untuknya.Saat malam tiba, Mirza pulang dengan kantung belanja di tangannya. Ia menyerahkannya pada Bella tanpa kata-kata, hanya pandangan singkat yang langsung beralih ke hal lain."Terima kasih, Mas," ucap Bella dengan senyum tulus. "Aku suka kue ini
Di lantai bawah, suasana mencekam. Arumi berdiri gemetar di atas tangga, menatap tubuh Mayang yang tergeletak tak sadarkan diri. Wajahnya pucat, tak menyangka dorongan kecil yang ia lakukan bisa berujung seperti ini."Mayang! Mayang, bangun!" Hermawan mengguncang tubuh istrinya, berusaha menyadarkannya.Arumi tersentak dari keterpakuannya ketika suara langkah Mirza terdengar mendekat. Panik, ia berlari, mencoba melarikan diri dari pria yang baru saja melihat sekilas peristiwa mengerikan itu. Namun, Mirza, mantan suaminya, dengan cepat mengejarnya, memotong langkahnya di lorong sempit."Arumi, tunggu!" Mirza menggenggam lengannya erat, menatap tajam dengan amarah membara di matanya. "Apa yang kamu lakukan? Kau mencelakai Bu Mayang!"Arumi meronta, suaranya bergetar. "Mirza, dengarkan aku! Aku... aku tak sengaja! Aku tak bermaksud... aku hanya... hanya marah, tapi tak ingin menyakitinya!"Mata Mirza melembut saat melihat tangis Arumi yang penuh penyesalan. Selama beberapa detik, ia bimb
Pagi itu, Mayang terbangun dan mendapati sisi ranjangnya kosong. Tak ada Hermawan di sana. Seperti pagi-pagi sebelumnya, suaminya selalu menghilang entah ke mana. Perlahan, ia bangkit dan berjalan menyusuri lorong rumah mereka yang sunyi.Langkahnya terhenti di depan pintu kamar di sudut lantai dua—kamar Bella, putri mereka yang kini telah menikah dan meninggalkan rumah. Namun, dari dalam kamar itu, terdengar suara samar desahan seorang wanita, diikuti dengan suara yang sangat dikenalnya. Suara Hermawan.Perlahan, ia mendorong pintu yang tak terkunci, lalu terpaku saat melihat pemandangan di dalam kamar. Di atas ranjang, Hermawan dan Arumi berada dalam pelukan mesra.“Mas Hermawan! Apa yang kau lakukan?!”Hermawan terkejut, lalu buru-buru menutupi tubuhnya dengan selimut. Wajahnya tampak tegang, namun tak lama ia menghela napas, mencoba menenangkan diri.“Mayang... aku bisa jelaskan,” katanya dengan suara lemah sembari memakai kembali pakaiannya. “Apa yang perlu dijelaskan lagi?!” Ma
Pagi yang tenang, Bella berdiri di ruang tengah sambil memandangi kardus-kardus besar di depannya. Kardus-kardus itu adalah barang-barang dari kampung yang dibawa Mirza, suaminya, beberapa hari lalu. Hari ini, dia berencana mengemasi dan memindahkan barang-barang itu ke tempat baru mereka. Sambil tersenyum kecil, Bella berjongkok dan membuka salah satu kardus, mengeluarkan satu per satu barang yang ada di dalamnya.Saat sedang memilah barang, tangannya terhenti di perutnya yang kini mengandung janin kecil, buah hati yang mulai ia dambakan. Bayangan malam itu tiba-tiba kembali melintas di benaknya. Malam yang penuh emosi, dua bulan yang lalu, ketika ia menemukan Mirza di klub malam.*Saat itu, Bella tidak menyangka akan bertemu Mirza dalam keadaan tak berdaya di tempat semacam itu. Mirza, yang sudah setengah mabuk dan mungkin telah diberi obat oleh seseorang, hampir tak sadarkan diri. Dengan cepat, Bella membawanya keluar dari klub malam itu dan menuju hotel terdekat. Hatinya terasa s