"Mas, jadi gimana itu si Bella? Ini udah seminggu, tapi dia masih belum buka suara soal siapa yang hamili dia. Trus gimana sama perusahaan Mas? Kacau, nggak?"Arumi bersandar manja di bahu Hermawan usai gelut cinta mereka menjelang pagi. Hermawan mendecak lagi saat diingatkan hal itu."Iya, aku belum ada tanya lagi. Aku harus tekan Mayang kalau begini.""Mas jangan terlalu keras sama Bu Mayang, kasihan dia pasti lagi pusing.""Ya kalau gitu, harusnya dia bantu, kan? Anaknya bikin aib begini," gusar Hermawan lagi."Iya, kan? Keterlaluan banget si Bella. Aku taunya, sih, kemarin dia pacaran sama Bastian. Tapi udah lama banget putusnya.""Nanti coba kutanya Mayang lagi."Dua insan ini hanya bisa menghakimi tanpa sadar mereka jauh lebih hina.Mayang hanya bisa pasrah menerima nasib buruk menderai. Menangis dan berpikir bahwa Hermawan tak lagi mau sekamar dengannya karena kasus Bella, juga dirinya yang tak melayani dengan baik."Ma!"Mayang menoleh ke pintu, Bella muncul sembari membawa te
"Benar, kan, Mir? Arumi itu istrimu?"Mirza hanya bungkam saat diinterogasi oleh salah seorang pelayan tua di rumah itu. Tak tahu haruskah buka suara kalau sudah ketahuan begini."Nggak usah bohong lagi, lah. Keliatan banget, kok. Sodara nggak mungkin jaga jarak banget gitu. Ini keliatan banget kalian selalu hati-hati kalau nggak sengaja papasan. Canggung dan keliatan main rahasia-rahasiaan."Si bibi tetap bersuara sembari menyiapkan kembali hidangan yang belum selesai. Mirza masih mematung, takut jika ketahuan, maka Arumi akan menyalahkannya dan nekat menggugurkan janinnya."Saya nggak mau campuri, tapi ya ... bohong buat apa, sih? Oh iya satu lagi, saya sering lihat Arumi bangun tengah malam dan nggak balik sampai subuh."Mirza terkejut. Selama ini memang Arumi tidur di kamar si bibi, Mirza tidur di kamar untuk para supir dan security di luar rumah hingga dia tak banyak menyenter aktifitas Arumi di rumah ini."Kapan, Bi?""Sering, lah. Oh iya saya juga sering lihat Arumi keluar dari
"Eh?"Mirza memegang tangan Arumi saat istrinya itu memegang kait kemejanya lagi."Kamu mau apa?""Masa ditanya? Ya aku mau mesraan sama Mas, lah! Mas juga belakangan ini nggak pernah deketin aku lagi. Nggak pengen, apa?!"Sedikit Arumi berjinjit untuk mencium bibir suaminya ini."Ya ... kamu lagi hamil. Nanti bahaya kalau ..."Arumi tersenyum centil, menarik Mirza untuk duduk di kasur sudut."Pelan-pelan aja, Mas."Dua insan yang sedang memadu kasih ini, berbanding terbalik dengan Bella yang hanya bisa menangis, duduk luruh di sisi balkon kamarnya. Sempat tadi dia lihat Arumi masuk ke kamar Mirza.'Jika dia bukan jodohku, kenapa harus menghadirkannya lagi ke dalam hidupku, Tuhan? Kenapa?'Bella menangis tersedu sembari memegangi perutnya. Beberapa menit lalu saat Mirza keluar, Hermawan masuk dan kembali mengultimatum perihal kehamilannya."Jadi gimana, Bel? Siapa lelaki itu? Siapa yang menghamili kamu?!"Sentak kasar Hermawan membungkam Bella."Apa itu Mirza?!"Bella terkejut saat pa
Pilu hati Bella mendengar ujar cinta Mirza pada istrinya itu. Jika disakiti sedalam itu, kenapa Mirza tetap nekat mempertahankan cintanya?"Dan juga ... silakan cari laki-laki lain yang bisa kamu jadikan korban untuk menutupi kehamilan kamu. Aku akan resign detik ini juga!"Mirza keluar dari kamar Bella. Kali ini Hermawan tak tinggal diam lagi sebab memergoki pria itu keluar dari kamar putrinya sepagi ini."Mirza!"Pekik keras Hermawan menghentikan langkah Mirza. Semua orang berhambur keluar melihat kemarahan sang tuan yang dengan sadar memukul keras Mirza hingga terjerembab ke lantai."Apa-apaan ini, Pak?" keluh Mirza."Saya nggak sangka kamu serendah ini, Mir. Saya pikir kamu pria baik-baik. Ternyata kamu, kan, yang menghamili Bella?!"Tudung Hermawan mengejutkan semua orang. Arumi tak menyangka suaminya ikut terseret akibat kebungkaman Bella selama ini."Papa!" Mayang mendekati. "Apa maksudnya, Pa? Mirza?""Iya, Ma. Papa udah dua kali mergokin dia main ke kamar Bella. Dan juga, me
"Satu tahun cukup?"Bella terkejut, lantas menjauhi Mirza. Sorot mata tajam pria itu menampilkan kebencian yang menguar di sana."Mir.""Satu tahun aku menikahimu sampai bayimu lahir. Setelah itu, pergi selamanya dari hidupku dan jangan pernah sekali pun menampakkan wajahmu di depanku, Bella."Bella tertegun mendengar keputusan Mirza. Pria itu bangkit, berlalu pergi meski hujan deras kian mengguyurnya.Sesaat, Mirza berhenti di depan gerbang, menatap megahnya rumah Hermawan yang berdiri tegak.'Kalian mengatur hidupku hanya karena memiliki uang, kan? Semua hanya tentang uang. Baiklah. Arumi, Bella, dan Anda, Pak Hermawan, kupastikan kalian menyesal telah memperlakukanku seperti ini!'Kebencian yang muncul sebab dirinya telah kehilangan istri dan buah hati yang ditunggu. Mirza lelah dengan kesabaran dan ketegarannya selama ini. Hatinya mendadak beku, bahkan tak bisa melihat kesungguhan cinta di mata Bella.*"Jadi gimana, Mas? Beneran Bella harus nikah sama Mirza? Tapi Mirza sudah meni
Sidang perceraian berjalan lancar. Tidak ada upaya mediasi, Arumi pun meluluskan gugatan itu setelah membawa seorang pengacara mendampinginya.Sah. Ketuk palu terdengar. Mirza telah berpisah dari Arumi yang dicintainya selama ini.Hanya tinggal dua hari dari waktu yang dijanjikan untuk akad. Keluarga Hermawan mulai membawa berita pernikahan sang putri ke media untuk menutupi kandungan yang akan membesar nantinya."Akad diadakan tertutup saja. Dan juga ..."Tadinya di ruang tengah, pihak keluarga berkumpul untuk wacana akad yang akan digelar lusa."Jangan pernah ceritakan pada siapa pun apa yang terjadi sebenarnya. Saya akan padamkan rumor tentang kehamilan Bella. Dan juga—"Pandangan Hermawan beralih pada Bella dan Mirza, bergantian. Sorot mata dingin Mirza diabaikan oleh Bella sejak tadi. Calon suaminya itu tak banyak bicara sejak terakhir kali keduanya berhadapan di taman."Carilah pekerjaan lain! Aku pasti malu kalau punya menantu miskin sepertimu. Aku bisa bilang kalau kamu kepon
"Saya terima nikahnya Bella Mayumi binti Irwansyah dengan mahar emas 3 gram dibayar tunai." "Sah?" "Sah!" Gema ijab kabul yang mengisi ruang tengah menjadi cambukan keras bagi Mirza selama ini. Bella telah menjadi istrinya. Disabarkannya hati untuk menerima uluran tangan wanita itu seraya mengecup puncak kepalanya. "Ayo sini, foto dulu, Sayang!" Sahut bahagia Mayang terdengar. Terpaksa Mirza membingkai senyum untuk menjaga kehormatan keluarga Hermawan di depan para tamu undangan. Sementara di tepi tangga, Arumi menyaksikan pernikahan mantan suaminya itu. Tak peduli, hanya tersenyum bahagia. 'Akhirnya aku bisa lepas dari suami miskin dan sok alim sepertimu, Mir. Ah, selanjutnya target bulan ini, aku harus bikin Hermawan menceraikan si Mayang.' Satu persatu semua terjadi sesuai rencana. Arumi menghindari ketika Seno datang mendekatinya. "Sebenarnya kamu ini mau apa, Rum? Mas udah dengar semuanya. Juga kata Mirza, kamu menggugurkan kandungan supaya bisa cerai dari dia, kan?" A
Pagi yang tenang, Bella berdiri di ruang tengah sambil memandangi kardus-kardus besar di depannya. Kardus-kardus itu adalah barang-barang dari kampung yang dibawa Mirza, suaminya, beberapa hari lalu. Hari ini, dia berencana mengemasi dan memindahkan barang-barang itu ke tempat baru mereka. Sambil tersenyum kecil, Bella berjongkok dan membuka salah satu kardus, mengeluarkan satu per satu barang yang ada di dalamnya.Saat sedang memilah barang, tangannya terhenti di perutnya yang kini mengandung janin kecil, buah hati yang mulai ia dambakan. Bayangan malam itu tiba-tiba kembali melintas di benaknya. Malam yang penuh emosi, dua bulan yang lalu, ketika ia menemukan Mirza di klub malam.*Saat itu, Bella tidak menyangka akan bertemu Mirza dalam keadaan tak berdaya di tempat semacam itu. Mirza, yang sudah setengah mabuk dan mungkin telah diberi obat oleh seseorang, hampir tak sadarkan diri. Dengan cepat, Bella membawanya keluar dari klub malam itu dan menuju hotel terdekat. Hatinya terasa s
Sejak malam Mirza menemui Arumi, hubungan mereka berubah dingin. Bella tetap menjalankan rutinitasnya sebagai istri: menyiapkan pakaian kerja dan sarapan untuk Mirza. Namun, tidak ada sapaan atau senyuman. Bahkan, pandangan pun dihindari.Mirza tahu dirinya salah. Setiap kali melihat Bella yang tak memedulikannya, hatinya terasa remuk. “Aku bodoh,” gumamnya pelan di kantor, mencoba menenggelamkan diri dalam pekerjaan. Namun, bayangan sang istri terus menghantui.Usai matahari terbenam, Mirza pulang membawa martabak Mesir, makanan favorit istrinya yang sedang hamil itu. Mirza memangkas jarak untuk berdiri tepat di ambang pintu. Dari sela yang setengah terbuka, nampak di sana Bella sedang terbaring memunggunginya. Mirza menghela napas, lalu berkata dengan lembut, “Aku pulang.”Tak ada jawaban, berpikir mungkin Bella sedang tidur.Setelah membersihkan diri beberapa menit, Mirza pun masuk kamar. Istrinya itu sudah bangun, merapikan kasur yang sedikit berantakan dengan tenang. Sprei dan
Di tengah malam yang sunyi, Mirza terbangun oleh suara notifikasi ponselnya. Dengan mata yang masih berat, dia melihat layar ponselnya. Satu pesan masuk dari Arumi, mantan istrinya.[Aku menunggumu di bawah pohon beringin, di samping paviliun.]Mirza duduk diam sejenak, menatap pesan itu. Ia melirik Bella yang tertidur pulas di sampingnya, wajahnya tenang dan perutnya besar mengandung buah hatinya. Tanpa banyak pikir, Mirza berdiri perlahan, berusaha untuk tidak membangunkan Bella. Dia tidak menyadari bahwa Bella sempat membuka matanya sedikit, mengawasi gerak-geriknya dengan cemas.Di depan pintu rumah, Mirza terhenti. Ada keraguan yang memenuhi pikirannya. Apakah ia benar-benar perlu menemui Arumi? Bagaimanapun, hubungan mereka sudah berakhir. Saat ini ia seharusnya menjaga perasaan Bella yang sedang hamil besar. Namun, ada perasaan rindu yang membawanya untuk tetap melangkah ke luar rumah.Ketika tiba di dekat beringin, Mirza melihat Arumi berdiri di sana, menunggunya di bawah baya
Bella menghentikan mobilnya mendadak di tengah jalan. "Aduh, ponselku!" serunya, menyadari benda penting itu tertinggal di kamar. Tanpa pikir panjang, dia memutar balik dan melaju menuju rumah. Saat membuka pintu kamar, dia mendapati Mirza, suaminya, sedang berdiri tanpa jarak dengan Arumi, mantan istrinya. Bella tercekat ketika melihat tangan Arumi menyentuh dada Mirza tanpa penolakan dari sang suami.“Mas…?” Suara Bella terdengar parau. Mirza terkejut, dengan cepat menjauh dari Arumi. Ada rasa bersalah dalam hati ketika melihat binar kekecewaan di mata sang istri.Sementara itu, Arumi tertawa sinis, menoleh pada Bella dengan ekspresi congkak. “Oh, Bella, kamu kembali rupanya. Aku dan Mirza hanya membicarakan masa lalu. Aku harap kamu tak keberatan.”Bella lekas mendekati Arumi sembari mengedarkan tatapan tajam, menahan emosi yang bergejolak. “Nggak ada yang perlu dibicarakan. Keluar kamu, Rum. Pergi dari sini!"Arumi mendengkus, tertawa meremehkan. “Santai saja, Bella. Jangan te
Mentari pagi menembus tirai jendela kamar, mengisi ruangan dengan sinar lembut. Bella bangkit dan merapikan diri. Setelah bersiap, Bella melangkah ke sofa di mana suaminya masih tertidur pulas di sana. "Mas." Bella tersenyum melihat wajah Mirza. Disentuhnya rambut legam sang suami dengan lembut, lalu membisikkan namanya. “Mas, bangun. Sudah pagi.” Mirza bergerak sedikit, menggeliat malas. Perlahan, matanya terbuka, menatap Bella dengan pandangan bingung. "Kamu udah rapi sekali sepagi ini. Mau ke mana?” "Aku ada janji hari ini, mau kontrol kandungan, udah masuk bulan ketujuh, kan?" Mirza mengangguk pelan, mengusap wajahnya agar lebih sadar. “Mau kuantar?” “Nggak perlu, Mas. Aku diantar dengan Mas Ujang aja. Oh ya, aku udah siapin sarapan dan pakaian kerja kamu. Semua beres, tinggal kamu yang bangun.” Bella tersenyum genit, maju selangkah lebih dekat hingga berdiri tepat di depan Mirza. Pria itu menatap Bella sedikit bingung, tapi belum sepenuhnya sadar. “Ada a
Di sore yang tenang, Arumi membawa secangkir teh ke ruang kerja Hermawan. Mengetuk pintu perlahan, kemudian masuk dengan senyum menggoda.“Mas Hermawan, teh hangatnya sudah datang,” katanya lembut, melirik pria paruh baya itu yang tengah sibuk dengan berkas-berkasnya.Hermawan menoleh dan tersenyum tipis. “Terima kasih, Arumi.”Arumi meletakkan cangkir teh di meja, tetapi tidak segera beranjak. Dengan perlahan, ia menyentuh lengan Hermawan, mencoba mencari perhatian lebih. “Mas, tidak lelah bekerja terus? Mungkin ada yang bisa aku bantu?”Hermawan terdiam sejenak, lalu melepaskan pandangannya dari berkas-berkas, menatap Arumi yang berdiri di sampingnya dengan tatapan lembut namun penuh tanda tanya. “Arumi, kamu tahu bukan kalau hubungan kita ini rumit?” bisiknya, mengambil tangan Arumi dan menggenggamnya erat.Arumi mendesah, menunduk. “Aku tahu, Mas. Tapi… bagaimana dengan kita? Istri Bapak sudah meninggal tiga bulan lalu. Sampai kapan aku harus menunggu seperti ini?”Hermawan men
Hari demi hari, kesedihan berlalu. Bella mencoba bangkit demi janin yang dikandung. Dirinya juga bersyukur sebab Mirza tak meninggalkannya. Di pagi yang tenang, Bella memandang punggung Mirza yang duduk di meja makan, diam menikmati sarapan yang baru saja ia siapkan. Bella mengelus perutnya yang semakin besar, merasakan kehidupan yang tumbuh di dalamnya."Mas, mau teh atau kopi pagi ini?" tanya Bella lembut sambil menyiapkan makanan."Teh saja, lebih ringan," jawab Mirza singkat, tanpa mengangkat wajahnya.Bella tersenyum, meski dalam hati ia merasa perih dengan cara bicara Mirza yang datar. Namun, ia tahu, di balik sikap dinginnya, Mirza selalu menunjukkan kepedulian. Setiap pulang bekerja pun, Mirza tak pernah lupa membawakan makanan untuknya.Saat malam tiba, Mirza pulang dengan kantung belanja di tangannya. Ia menyerahkannya pada Bella tanpa kata-kata, hanya pandangan singkat yang langsung beralih ke hal lain."Terima kasih, Mas," ucap Bella dengan senyum tulus. "Aku suka kue ini
Di lantai bawah, suasana mencekam. Arumi berdiri gemetar di atas tangga, menatap tubuh Mayang yang tergeletak tak sadarkan diri. Wajahnya pucat, tak menyangka dorongan kecil yang ia lakukan bisa berujung seperti ini."Mayang! Mayang, bangun!" Hermawan mengguncang tubuh istrinya, berusaha menyadarkannya.Arumi tersentak dari keterpakuannya ketika suara langkah Mirza terdengar mendekat. Panik, ia berlari, mencoba melarikan diri dari pria yang baru saja melihat sekilas peristiwa mengerikan itu. Namun, Mirza, mantan suaminya, dengan cepat mengejarnya, memotong langkahnya di lorong sempit."Arumi, tunggu!" Mirza menggenggam lengannya erat, menatap tajam dengan amarah membara di matanya. "Apa yang kamu lakukan? Kau mencelakai Bu Mayang!"Arumi meronta, suaranya bergetar. "Mirza, dengarkan aku! Aku... aku tak sengaja! Aku tak bermaksud... aku hanya... hanya marah, tapi tak ingin menyakitinya!"Mata Mirza melembut saat melihat tangis Arumi yang penuh penyesalan. Selama beberapa detik, ia bimb
Pagi itu, Mayang terbangun dan mendapati sisi ranjangnya kosong. Tak ada Hermawan di sana. Seperti pagi-pagi sebelumnya, suaminya selalu menghilang entah ke mana. Perlahan, ia bangkit dan berjalan menyusuri lorong rumah mereka yang sunyi.Langkahnya terhenti di depan pintu kamar di sudut lantai dua—kamar Bella, putri mereka yang kini telah menikah dan meninggalkan rumah. Namun, dari dalam kamar itu, terdengar suara samar desahan seorang wanita, diikuti dengan suara yang sangat dikenalnya. Suara Hermawan.Perlahan, ia mendorong pintu yang tak terkunci, lalu terpaku saat melihat pemandangan di dalam kamar. Di atas ranjang, Hermawan dan Arumi berada dalam pelukan mesra.“Mas Hermawan! Apa yang kau lakukan?!”Hermawan terkejut, lalu buru-buru menutupi tubuhnya dengan selimut. Wajahnya tampak tegang, namun tak lama ia menghela napas, mencoba menenangkan diri.“Mayang... aku bisa jelaskan,” katanya dengan suara lemah sembari memakai kembali pakaiannya. “Apa yang perlu dijelaskan lagi?!” Ma
Pagi yang tenang, Bella berdiri di ruang tengah sambil memandangi kardus-kardus besar di depannya. Kardus-kardus itu adalah barang-barang dari kampung yang dibawa Mirza, suaminya, beberapa hari lalu. Hari ini, dia berencana mengemasi dan memindahkan barang-barang itu ke tempat baru mereka. Sambil tersenyum kecil, Bella berjongkok dan membuka salah satu kardus, mengeluarkan satu per satu barang yang ada di dalamnya.Saat sedang memilah barang, tangannya terhenti di perutnya yang kini mengandung janin kecil, buah hati yang mulai ia dambakan. Bayangan malam itu tiba-tiba kembali melintas di benaknya. Malam yang penuh emosi, dua bulan yang lalu, ketika ia menemukan Mirza di klub malam.*Saat itu, Bella tidak menyangka akan bertemu Mirza dalam keadaan tak berdaya di tempat semacam itu. Mirza, yang sudah setengah mabuk dan mungkin telah diberi obat oleh seseorang, hampir tak sadarkan diri. Dengan cepat, Bella membawanya keluar dari klub malam itu dan menuju hotel terdekat. Hatinya terasa s