POV DARIUSHari ini ada acara hajatan di rumah saudara. Tepatnya dari pihak keluargaku. Rumahnya masih satu komplek. Tentu saja nanti kami akan berbaur bersama keluarga maupun tetangga. Setiap kali tamu yang datang akan membawa pasangannya masing-masing. Aku sudah menduga sebelumnya. Di acara itu akan menjadi ajang pamer baju maupun perhiasan bagi ibu-ibu. Kalau bapak-bapak simple, cukup memakai celana atau sarung dan kemeja saja. Tapi, istriku tidak mungkin kusuruh mengenakan pakaian yang sama denganku."Mas, kita nanti couplelan, ya! Kebetulan ada baju yang belum pernah kita pakai. Warnanya moca.""Masak iya, suamimu disuruh pakai gamis.""Bukan gamis, tapi kurta, Mas. Sama warnanya biar serasi," katanya. "Iya, deh. Aku menurut saja dari pada diomeli.""Sip! Nanti kusiapkan."Mila buru-buru mandi dan aku masih bermain dengan burung love kesayanganku. Sepasang burung yang kupelihara itu mengajariku arti betapa pentingnya pasangan hidup. Setiap kali ketemu, mereka bercumbu, sayang-s
POV Mila"Tahu nggak, Mas. Anaknya Bu Meta wanita yang terkintil-kintil denganmu dulu, sekarang sekolah di jurusan akuntan. Dengar-dengar 'ni, Mas. Kalau sudah lulus dari sana, akan gampang banget cari pekerjaan," ujarku, Sore itu saat duduk santai di teras rumah."Pinter ngitung dwit?" tanya Mas Darius."Ya jelas, Mas. Analisa keuangan, laporan keuangan, laporan pajak suatu perusahaan dan lainnya bisa ia kerjakan," kataku. "Ooo ... Kalau itu aku juga bisa," balas lelaki yang sedang menikmati pisang goreng."Enak ya, Mas.""Iya, enak. Pisang gorengnya."Ish, menyebalkan. Malah pisang goreng."Mas, nggak pengen tu. Sepandai apapun dia, nanti kerjanya paling ngitung dwit orang lain.""Terus, kalau Mas pengennya apa?""Ngitung dwit sendiri. Ahahaha!""Uh, dasar.""Ya iyalah, coba bayangkan. Kerja di Bank misalnya. Jadi karyawan di sana. Ahli banget dalam menghitung uang. Tapi, itu uang orang. Cuma pegang sebentar saja. Ngiler 'kan. Jelas enak menghitung uang sendiri meski nggak ngerti-
Biasanya seorang suami merasa tenang ketika istrinya di rumah saja dan bermain ponsel di kamar. Mereka mengira aman karena tidak keluyuran. Tapi, aku justru was-was ketika Mila berdiam diri di sana. Aku lebih suka ia menemaniku di teras atau nonton TV bareng. Karena, jika Mila bermain ponsel di kamar, jarinya tidak bisa dikendalikan. Ia main masuk-masukkan barang ke keranjang aplikasi penjualan online. Aku sebagai suaminya harus waspada. Jangan sampai istriku kalap dengan segala macam jenis dagangan yang diperjual belikan di sana.Segera saja aku menghampirinya ketika ia berpamitan ke kamar."Sayang, sedang main apa?" tanyaku dengan mesrah. Biarkan umur kepala empat. Tapi jiwa masih kepala dua dong."Main ponsel, Mas!" jawabnya.Aku tidak pernah memarahi atau membentaknya ketika tahu jari lentiknya sedang memilah-memilih sesuatu yang akan ia masukkan ke keranjang. Aku menghampirinya, duduk di sampinya. Kemudian menyandarkan kepalanya di dadaku. Aku tahu, tempat itu adalah tempat tern
"Gado-gadonya isinya lengkap ya, Mas! Ada karbohidrat dari lontong dan kentangnya. Ada protein dari telur dan kacang pannjangnya, termasuk sambalnya juga. Ada zat besi dari bayam. Komplit banget. Tinggal nanti kita beli buah dan susu," kataku. Bagaimanapun sebagai seorang ibu itu harus memperhatikan nilai gizi dari setiap apa yang dimakan anggota keluarga. Aku tidak mau suamiku kekurangan gizi. Apalagi di usianya yang tidak muda lagi. "Makan ya makan saja, Mila. Ngapain mikirin gizi. Karbohidratlah, proteinlah, vitaminlah, kalorilah. Kalau mikirin semua itu, yang ada kita justru sakit bukan karena kekurangan gizi. Tapi sakit memikirkan gizi."Ish, ngeyel banget kalau dibilangin. "Mas, gizi itu penting buat gubuh kita lho. Kalau kita kekurangan karbohidrat, yang ada kita lemes. Nggak bisa mikir.""Emm, kata siapa? Mas nggak percaya. Buktinya bayi cuma minum susu nggak makan nasi dan sayur juga sehat.""Itu beda, Mas. Susu sudah banyak kandungan vitamin dan lainnya. Termasuk lemak," k
"Ini bagaimana ceritanya kalian bisa sekongkol ngerjain aku?" tanyaku pada Fadil.Fadil menggaruk-garuk kepalanya sambil melirik kakak iparnya yang meringis kesakitan."Emm, anu-Mbak. Sebelum ke sini, kami sudah janjian. Dan sebenarnya, ayah dan ibu juga hadir, Mbak.""Ayah dan ibu?""Iya, Mbak.""Lalu mereka di mana sekarang?""Itu mereka ...!" Fadil menunjuk ke arah belakangku."Astaga, Ayah, Ibu! Ya Allah, aku kangen sama kalian." Ke peluk kedua orang tua itu. Kemudian Mas Darius mendekat dan menyalami orang tuaku."Em, hebat akting kalian, ya. Jadi, pemulung yang cuma makan nasi dan garam itu, Ibu!""Hmm, Mila, ini agar kamu bisa berubah. Masak umur sudah semakin matang masih saja emosian, nggak sabaran, gengsian juga. Buang sikap seperti itu, Mila.""Ini sudah watakku, Bu. Ibaratnya adalah pakaianku sehari-hari. Jadi, tetap akan seperti ini terus," kataku. Benar 'kan. Batuk gampang diobati, dan watak sulit untuk dirubah."Tentu saja aku bicara dengan ibu secara lemah lembut."Hih
Hari ini adalah waktunya kami pulang dari berlibur. Ayah dan ibuku satu mobil dengan Fadil."Mas, bagaimana kalau nanti kita adu ketangguhan mobil? Jalanan berkelok, banyak jalan yang berlubang. Aku yakin mobilku yang menang," ujar Fadil pada Mas Darius."Mm, bagaimana Kang Arif, berani nggak?" Mas Darius menoleh pada supir."Siap, Pak Bos!" Kang Arif begitu bersemangat."Fadil, jangan begitu! Bahaya ugal-ugalan di jalan. Kamu tahu sendiri 'kan ibu takut kalau kebut-kebutan di jalan," Ibu menimpali."Tenang saja, Bu. Cuma uji ketangguhan saja. Bukan kebut-kebutan," balas Fadil.Kami pun naik ke mobil masing-masing. Memang ada sedikit jalan berkelok-kelok dan banyak lubang. Sebenarnya aku juga takut. Namun melihat semangat Mas Darius dan Kang Arif, aku cuma bisa diam."Bagaimana ini, Pak? Mas Fadil sepertinya yang lebih unggul," kata Kang Arif."Tenang saja, Kang. Kita santai saja. Berdoa saja mobil Fadil bannya kempes," kata suamiku."Ish, jangan begitu, Mas. Di sana ada ayah dan ibu.
Dua tahun kemudian usaha mi ayam Septi sukses. Ia bisa melunasi hutangnya pada Mas Darius. Kami pun diminta ke rumahnya sekalian silaturahmi dan makan mi ayam gratis.Sebenarnya Septi mau mengantarnya ke sini. Tapi, Mas Darius sekali-kali juga pengen berkunjung ke rumah adik perempuannya itu. Jadi nggak harus yang muda mengunjungi yang tua melulu."Mas, mau bawa oleh-oleh nggak?" tanyaku saat siap-siap mau ganti baju."Tenang, aku sudah siapkan," katanya. Lega banget dengarnya. Suamiku memang the best.***"Mas, katanya sudah menyiapkan oleh-oleh untuk Septi, mana?"Aku bertanya serius, dia malah cengengesan."Oleh-olehnya ya, kamu!""Hah! Ya Gusti, jangan bercanda, Mas! Kalau tahu begini, aku tadi siapkan. Kalau begitu kita mampir ke toko buah saja. Kita bawakan buah," kataku dengan kesal. Punya suami bawaannya bikin emosi. "Menepi dulu, Kang Arif!""Siap, Bu!"Kami turun dan memilih-milih buah di sana."Enaknya beli buah apa, Mas?" tanyaku meminta saran."Apa saja enak!" jawabnya."
Saatnya ngetes istriku. Apakah dia sudah bisa memahami cara pikirku atau belum."Sayang, kamu hari ini ada acara nggak?" tanyaku sambil tiduran di pangkuannya. Ia sibuk dengan ponselnya."Kebetulan aku juga lagi kosong. Jalan-jalan, yuk!" ajakku."Kemana?" Mila bertanya tanpa melihatku. Aku nyengir dan menahan tawa. "Sepertinya istriku yang bawel ini akan kena jebakan," batinku"Sekitar sini saja," kataku."Sebenarnya aku sedang males 'sih, Mas. Tapi demi menemanimu, ayo!""Ya sudah, aku ganti baju dulu. Kamu juga ganti. Buruan!" titahku.Mila menaruh ponselnya di nakas kemudian berganti pakaian."Ayo, Mas. Aku sudah siap!""Iya, ayo! Mas juga sudah dari tadi nungguin kamu."Pagi ini cukup cerah. Tidak mendung juga tidak panas. Birunya langit menambah keindahan pagi ini. Sudah cukup lama juga tidak cari angin bersama istri.Biasanya berjalan sebentar saja Mila sudah mengeluh capek. Tapi kali ini kenapa diam saja? Aku jadi pusing kalau istriku seperti ini."Sayang, kamu capek nggak? Ka