Sakti beringsut mendekati Kenriki dan berbisik di salah satu telinga pria itu. Wajah Kenriki merah mendengar bisikan yang dikatakan oleh Sakti.Seketika, sekujur tubuhnya gemetar, dan Kenriki bangkit lalu menjauh dari Sakti agar temannya itu tidak tahu apa yang sekarang terjadi padanya setelah mendengar apa yang dikatakan Sakti baru saja. Dalam sekejap, bayangan kejadian di masalalu berkelebat satu persatu di otak Kenriki dan itu membuat pria itu terhuyung sebelum mencapai kursi di belakang meja kerjanya. Melihat keadaan sahabatnya yang aneh, Sakti bergegas bangkit dan membantu Kenriki untuk duduk. "Lu sakit?" tanyanya pada Kenriki. "Kagak, cuma sedikit pusing.""Gue antar pulang?" tawar Sakti. "Kagak usah, sebentar juga sembuh, gue cuma mau sendirian dulu, bisa?""Lu yakin, kagak papa?" tanya Sakti masih khawatir dengan apa yang dialami oleh Kenriki. "Kagak papa, cuma kecapekan, ntar juga baik lagi."Setengah mati, Kenriki menyembunyikan apa yang ia rasakan sekarang pada sahaba
Laura hanya mengiyakan ketika Kenriki bicara demikian padanya sebelum mereka masuk ke ruangan pesta. Tidak bisa banyak membantah, toh, Laura juga tahu ia tidak punya kekuasaan seperti itu selain patuh. "Gandeng tanganku, tapi ingat jangan menyentuh telapak tangan atau permukaan kulitku, kau hanya boleh menyentuh permukaan pakaianku saja, tidak boleh yang lain!" tegas Kenriki lagi. Laura mengangguk kembali, dan perlahan ia melakukan apa yang diperintahkan oleh Kenriki padanya. Dadanya bergemuruh. Meskipun hanya menggandeng tangan Kenriki yang dilapisi oleh jas formal yang dipakai sang suami, Laura tetap tidak pernah melakukan hal itu pada siapapun. Laura tidak pernah berhubungan dengan pria, waktunya habis hanya untuk bekerja, karena itulah, menggandeng tangan pria sekarang ini adalah pengalaman keduanya selain saat resepsi pernikahan tempo hari. Debarannya masih sama, dan rasanya Laura tidak karuan sekarang ini meskipun hatinya selalu berkata bahwa ia harus bisa mengendalikan dir
"Munafik! Sok suci!" maki Erna pada Laura, dan Laura benar-benar nyaris membeku menerima perlakuan salah satu teman lama Kenriki itu padanya.Sakti yang melihat hal itu buru-buru menghampiri, namun Laura mundur ketika sahabat Kenriki itu mendekatinya agar ia bisa memastikan bahwa istri temannya itu tidak kenapa-kenapa."Ada apa ini?" Tiba-tiba saja, Kenriki sudah ada di antara mereka dan melihat keadaan sang istri, ia mengerutkan keningnya. Erna langsung menghampiri Kenriki dan meraih salah satu tangannya namun tangan itu langsung dihempaskan oleh Kenriki dengan kasar. Jika saja Sakti tidak langsung menangkap tubuhnya, Erna pasti akan tersungkur begitu saja di lantai pesta."Riki! Kasar banget kamu! Aku itu berniat baik sama istri kamu, dianya aja yang kampungan! Dia enggak mau minum alkohol tapi bicara kasar padaku, aku terpaksa menyiram dia karena aku tersinggung dengan ucapan dia!"Kata-kata lantang Erna membuat semua orang langsung memperhatikan mereka. Kenriki melepas jas yang
"Aku pernah bilang padamu, tidak perlu bertanya sesuatu yang kau tidak perlu tahu, masalah kondisiku, kau tidak perlu tahu, jangan mengalihkan pembicaraan!""Tapi, kita pasangan, aku istri kamu, aku perlu tahu apa yang terjadi pada suamiku!""Kau lupa? Kita bukan pasangan suami istri yang saling mencintai, jadi, kau tidak usah bersikap perhatian jika kita sedang berdua begini!"Astaga! Aku lupa, benar juga, aku bukan istri yang sesungguhnya, tentu saja aku tidak boleh terlalu ikut campur dengan kondisi pribadinya, tapi bagaimanapun, aku dan dia tinggal bersama, kalau dia kenapa-kenapa, yang ditanya pasti aku oleh orang tuanya, apa yang harus aku lakukan?Hati Laura menanggapi apa yang dikatakan oleh Kenriki tadi dengan nada suara sinisnya. Jemari tangannya saling bertaut pertanda ia bingung apa yang harus ia katakan sekarang pada sang suami."Maaf, aku bukannya ingin ikut campur dengan masalah kamu, Ken, memang, kita bukan pasangan suami istri yang sesungguhnya, tapi kita tetap sah se
Laura buru-buru bangkit dari duduknya dan mendekati Kenriki dengan wajah penuh kekhawatiran."Ken, kamu kenapa? Apa yang bisa aku lakukan?" tanyanya bertubi-tubi. "Menjauh!" kata Kenriki sambil mengibaskan satu tangannya pada Laura yang ingin mendekatinya."Tapi, kamu kenapa? Apa yang bisa aku bantu?" Karena Laura melihat sang suami mengkhawatirkan, Laura tidak mau patuh diminta pergi menjauh."Kau tidak mendengar? Aku minta kau menjauh, Laura menjauh! Keluar dulu dari kamar, atau masuk kamar mandi jangan keluar dari sana sebelum aku mengizinkan!!"Kenriki sampai berteriak ketika mengucapkan kata-kata itu pada sang isteri. Ini membuat Laura jadi bimbang. Apa benar ia harus pergi meninggalkan sang suami padahal kondisinya saja seperti itu?"Tunggu apa lagi! Pergi!" Bentakan yang diucapkan Kenriki mau tidak mau membuat Laura beranjak. Ia tidak keluar kamar karena khawatir ibu mertuanya terbangun, lalu keluar kamar dan melihatnya.Laura akan sulit mencari alasan jika itu terjadi, hing
Melihat hal itu, Laura bergegas berlari ke arah Kenriki, namun, langkahnya terhenti ketika Kenriki berteriak agar ia menghentikan gerakannya."Kau keluar tidak? Aku yang akan keluar jika kau tidak mau keluar sekarang juga!!" "Aku yang keluar! Please! Jangan melakukan hal yang tidak-tidak! Aku yang keluar! Tapi, kamu jangan mendekati balkon, ya?"Susah payah Laura membujuk sang suami agar suaminya itu tidak nekat untuk terjun melalui balkon. Bukankah itu yang akan dilakukan Kenriki atas ancaman bahwa ia akan keluar melalui balkon kamarnya? Terjun bebas ke bawah, dan Laura tidak mau dianggap sebagai pembunuh. Hingga ia akhirnya mengalah dan berjanji ingin keluar dari kamar asalkan Kenriki tidak nekat melakukan hal yang ia khawatirkan.Laura mundur perlahan, sambil melihat pergerakan sang suami apakah ketika ia mundur, suaminya juga akan diam di tempatnya tidak lagi mengancam untuk keluar dari kamar mereka. Saat melihat suaminya tidak bergerak ketika ia mundur, Laura yakin Kenriki ti
"Aku hanya memintamu keluar kamar, bukan keluar rumah, kau harus membedakan itu!""Bagaimana keadaan kamu?"Laura tidak menanggapi ucapan datar sang suami, ia justru melontarkan pertanyaan itu pada Kenriki. Kenriki memberikan isyarat untuknya agar bangkit dan masuk ke kamar mereka kembali. Khawatir, jika mereka terus di luar seperti itu, orang tuanya akan melihat.Laura menurut, ia langsung mengikuti sang suami untuk masuk ke kamar mereka kembali, dan mengunci pintunya.Wanita itu memperhatikan cara berjalan sang suami yang terlihat terhuyung. Rupanya Kenriki belum sepenuhnya pulih, hingga tidak bisa melangkah dengan tegap seperti biasanya."Kamu masih sakit?" tanya Laura karena pertanyaannya tadi diabaikan Kenriki."Aku tidak apa-apa.""Kau masih tidak mau mengatakan apa yang sebenarnya kau alami padaku?""Kenapa aku harus mengatakannya padamu? Karena kau istri? Kita bukan pasangan yang sesungguhnya meskipun sah, alasanmu juga sudah aku jawab, kau tidak perlu mengkhawatirkannya lagi,
Mitha melihat ke arah jam tangannya sesaat ketika mendengar Laura bicara demikian, ketika ia merasa masih ada waktu sedikit, wanita berjilbab itu langsung mengiyakan apa yang diinginkan oleh Laura, dan akhirnya mereka ke tempat duduk yang ada di samping rumah sakit karena di sana lebih sepi dan baik untuk dijadikan tempat berbicara serius."Apa yang bisa aku bantu?" tanyanya setelah mereka duduk bersama di bangku tersebut."Maaf sebelumnya, aku sebenarnya tidak mau bicara soal ini pada orang lain karena suamiku sendiri merahasiakannya, tapi sebagai istri aku ingin mengetahui hal itu mungkin saja aku bisa membantunya, karena kamu bagian dari rumah sakit ini meskipun bukan dokter, tapi aku tahu peranmu di sini cukup penting bagi orang-orang yang memang butuh kamu tangani, aku minta maaf kalau salah dalam kesimpulan itu, tapi aku benar-benar ingin mengetahui ada apa sebenarnya dengan suamiku, itu aja.""Suami kamu mengkonsumsi obat penenang ini?""Entahlah, tapi aku menemukan obat itu di
"Iya, kamu benar, aku juga berharap seperti itu, lagipula apa yang bisa kita takutkan? Anak ini anak kita, dites berapa kali juga tetap saja anak kita."Kenriki menarik napas lega mendengar ucapan sang istri, artinya istrinya tidak lagi merasa tertekan karena situasi yang baru saja mereka alami. Genggaman tangannya di telapak tangan istrinya semakin erat seolah menegaskan, ia tidak akan meninggalkan istrinya apapun keadaannya nanti di masa depan. "Aku tadi sedikit terkejut mendengar kata-kata kamu tadi pada Kak Lyoudra, seperti bukan kamu, tapi aku tahu kamu melakukan itu karena kamu ingin membuat kakakmu sadar sudah terlalu berlebihan pada kita."Kenriki bicara, dan Laura tersenyum tipis mendengarnya."Kamu juga, enggak seperti biasanya, merespon perkataan dia yang tadi, aku cuma mengimbangi, karena kurasa kamu sedang merencanakan sesuatu jadi aku hanya ikut saja meskipun aku tidak tahu apa yang sebenarnya kamu rencanakan.""Istri cerdas. Terima kasih, dan semoga saja itu membuat K
Telapak tangan Laura mengepal mendengar apa yang diucapkan oleh sang kakak, jika tadi ia berniat untuk diam saja tanpa ingin ikut campur apa yang mungkin menjadi rencana Kenriki, sekarang, Laura sudah hilang kesabaran. Mungkin Kenriki yang merespon cemoohan kakaknya itu benar kakaknya memang harus sekali-kali dijawab dengan sombong agar perempuan itu juga bisa menghargai ia dan suaminya mulai sekarang."Untuk Kenriki, aku memang menanggalkan semua perasaan malu atau pasifku selama ini, Kak! Kalau aku tidak berinisiatif untuk menyentuhnya, dengan berbagai cara, aku tidak akan membuat dia bisa disentuh, mungkin selamanya dia tetap menjadi suami tak tersentuh, jadi untuk sebuah hal yang mendesak, aku memang tidak seperti Laura yang biasanya, tapi bukankah itu baik? Aku agresif pada suamiku sendiri!"Kenriki dan juga Lyoudra dibuat kaget ketika tiba-tiba saja, Laura bicara seperti itu pada Lyoudra. Apalagi Lyoudra, ia terlihat tidak hanya kaget, tapi juga merasa marah karena wajahnya jadi
"Kamu serius?" tanya Kenriki saat usai mendengar harapan sang istri.Laura mengangguk, dan Kenriki tersenyum melihat anggukan kepala istrinya."Kau tidak malu kalau ada yang bilang aku aneh karena aku yang seperti itu?" Kembali Kenriki melontarkan pertanyaan, dan Laura memeluk tubuh Kenriki yang masih polos seolah meyakinkan apa yang ia putuskan benar -benar sebuah harapan yang ia inginkan."Tapi, kalau aku ingin kamu seperti itu, aku pasti akan membuat kamu tersiksa, jadi semua aku kembalikan sama kamu, di luar dari pada itu tentu saja kamu yang sehat adalah sebuah harapan untukku, keinginan aku itu hanya sebuah keinginan bahwa aku tidak rela ada perempuan lain yang merebut kamu dariku."Laura bicara sambil memeluk suaminya, dan Kenriki balas memeluk sang istri sambil sesekali mengecup kening istrinya seolah menegaskan bahwa ia senang dengan apa yang diucapkan oleh Laura padanya."Sebenarnya, apa yang kamu harapkan itu pernah aku pikirkan sebelumnya....""Benarkah? Kau juga berharap
Kenriki gugup, hingga hal itu membuat dirinya langsung menangkap tangan istrinya lalu ia membalikkan tubuhnya ke arah sang istri. "Apa yang kau lakukan?" tanyanya seperti orang bodoh dengan jantung yang berdebar kencang. Padahal, mereka sudah sering melakukan hal yang sangat intim namun tetap saja Kenriki seperti baru berdekatan dengan sang istri dengan perasaan dan hati yang tidak tenang, disertai debaran jantung yang juga tidak bisa membuat dirinya rileks."Melakukan tugas yang harus aku lakukan...."Laura menjawab dengan wajah yang merona, dan Kenriki geleng-geleng kepala mendengar hal itu. "Tidak perlu memaksakan diri, kamu tertekan dengan situasi sekarang yang tidak memungkinkan kita untuk -""Riki! Laura! Kalian di dalam?"Tiba-tiba saja, suara Tante Keisya terdengar, memotong ucapan Kenriki yang tadi sudah separuh kalimat. "Ya! Ada apa, Mi!" sahut Kenriki dengan suara sedikit terbata lantaran terkejut ibunya tiba-tiba berteriak. "Mami mau nyusul Papi dulu, ada yang harus k
"Soal apa itu?" tanya Kenriki dengan wajah yang terlihat tegang. Tidak ingin melihat istrinya khawatir seperti itu.Mendengar pertanyaan Kenriki, Laura bukannya langsung menjawab, perempuan itu mengalihkan pandangannya ke arah lain menghindari tatapan mata suaminya yang sedang menatapnya dengan sorot mata yang tajam karena khawatir dengan apa yang diucapkannya tadi."Sayang, kenapa tidak bicara? Kamu khawatir soal apa? Apakah karena obat itu, Erna menekan kamu?" tanya Kenriki lagi dan pertanyaan keduanya kini membuat Laura menatapnya sesaat dengan wajah yang terlihat sedikit salah tingkah. Membuat Kenriki semakin penasaran."Wajahmu merah, apakah yang kau khawatirkan itu bukan hal yang berbahaya tapi.....""Ah! Tidak! Aduh, gimana ya, ngomongnya, aku enggak tahu, apakah aku harus percaya atau tidak, tapi mungkin untuk masalah ini, kita bisa konsultasikan pada Dokter Linda kalau kita sudah punya uang.""Sampai harus konsultasi? Memangnya ada apa? Apa yang dikatakan Erna padamu?" Kenr
"Ya.""Kamu serius?""Serius, tapi, bukannya kamu sekarang enggak suka lagi sama aku? Percuma aja, kan? Lupakan aja.""Aku selalu suka sama kamu, Erna, meskipun kamu tidak menyukaiku karena di hatimu hanya ada Riki, tapi buat aku kamu tetap seseorang yang aku sukai.""Kenapa? Aku sudah banyak membuat kesalahan, aku bikin hidup Kenriki rusak, aku juga membuat perusahaan orang tuanya bangkrut, aku, ah! Kamu akan malu kalau kamu bersama dengan aku.""Asalkan kamu berubah, aku tidak akan malu, kamu sudah menyerahkan obat penawar itu pada Riki, artinya, kamu sudah berubah dan sadar kesalahan, sekarang, tiba waktunya kamu belajar melupakan dia, karena masih ada seseorang yang tulus untuk kamu."Erna bungkam. Perasaan dan hatinya bergejolak, rasanya sulit untuk diungkapkan dengan kata-kata, sampai akhirnya...."Kalau begitu, apakah sekarang kita jadian?" tanya Erna sambil berpaling dan menatap wajah Sakti dengan sorot mata penuh arti."Asalkan kamu berjanji untuk merelakan Riki dengan Laura.
Keterkejutan Sakti membuat pria itu mendorong spontan Erna. Dan itu membuat tubuh Erna tersentak ke belakang. Ini membuat Erna memalingkan wajahnya sendiri karena merasa wajahnya memanas, dan ia khawatir wajahnya menjadi merah dan Sakti melihat hal itu.Erna tidak tahu, bahwa, kondisi wajahnya itu juga dialami oleh Sakti. Wajah Sakti juga merah dan saat ini pria itu juga sedang memalingkan wajahnya ke arah samping seperti halnya Erna. Untuk beberapa saat, mereka saling diam, sampai akhirnya, Sakti yang berdehem beberapa kali agar situasi canggung mereka bisa musnah."Kenapa kau melakukan itu?" Cara bicara Sakti berubah kembali menjadi memakai aku dan kamu meskipun tadi sudah tidak lagi walaupun Erna meminta hal itu dilakukannya. Erna berpaling mendengar pertanyaan tersebut, terutama karena Sakti jadi merubah cara bicaranya seperti yang tadi diinginkannya."Ternyata benar...."Jawaban yang diberikan oleh Erna tidak membuat Sakti puas, bahkan bingung apa yang sebenarnya dimaksud oleh
Sebuah mobil nyaris menabrak Erna hingga pemilik mobil itu menghentikan mobilnya secara mendadak. Bunyi decit ban beradu keras dengan aspal jalan terdengar memekakkan telinga tatkala mobil itu berusaha untuk mencegah kecelakaan terjadi. Mobil itu memang tidak menabrak Erna, namun cukup membuat pengemudi mobil shock karena insiden tersebut lalu ia segera keluar dari mobilnya untuk mendamprat Erna, karena berjalan tanpa melihat situasi kondisi.Akan tetapi, ketika ia keluar dan menghampiri Erna yang berdiri mematung seperti orang bodoh di tempatnya, pemilik mobil itu terkejut saat melihat siapa yang baru saja ingin ditabraknya."Erna!" katanya, sambil menarik tangan perempuan itu untuk menyingkir dari depan mobilnya.Erna mengangkat wajahnya, dan menatap pemilik mobil yang tidak lain adalah Sakti itu dengan senyum kecut terukir di bibirnya. "Kenapa enggak ditabrak sekalian? Aku nunggu, lho...."Mendengar apa yang diucapkan oleh Erna, Sakti semakin terkejut karena terlihat sekali Erna
Erna tersenyum kecut mendengar ancaman yang diucapkan oleh Laura padanya. Wajahnya tidak berubah sama sekali ekspresinya, meskipun sebenarnya wanita itu tidak suka mendengar apa yang diucapkan oleh Laura tadi padanya."Jadi, kau tetap kukuh mendukung Riki untuk tidak mau memilih salah satu tawaran yang aku berikan padanya?" tanya Erna beberapa saat kemudian."Ya.""Bagaimana kalau nanti resiko dari apa yang diputuskan Kenriki terjadi padanya, kau tidak bisa puas dengan dia secara batin karena dia sudah hilang keperkasaan, apakah kau akan meninggalkan dia?""Tidak, karena aku mencintai dia dengan tulus tanpa mengharapkan balasan apapun, meskipun keadaan dia tidak lagi sempurna sebagai seorang pria, aku tetap tidak akan meninggalkannya.""Kau bisa bicara seperti itu karena belum merasakan berpuasa tanpa melakukan hubungan intim, Laura, aku yakin setelah itu juga kau tidak akan kuat menjalani semuanya, dan pernikahan kalian akan berantakan hingga membuat Kenriki terpuruk semakin dalam."