Part 13
Aksara tersenyum, lalu mengangguk. “Iya benar, aku mencintai kamu, Wi, bahkan jauh sebelum kamu berhubungan dengan Gala.”Dewi tercengang mendengarnya. "Tapi Mas gak pernah bilang apa-apa sama aku."Aksara tersenyum lagi. "Itulah yang aku sesali. Aku kurang gentleman. Kupikir dengan melihatmu setiap hari saja sudah cukup membuatku bahagia. Aku takut kamu menolakku dan akhirnya hubungan kita menjadi renggang. Atau bahkan yang terburuk kamu keluar kerja dari sini."Dewi terdiam sejenak."Aku tidak ingin hal itu terjadi. Jadi kupikir, dengan melihatmu setiap hari tersenyum saja itu sudah cukup. Hingga akhirnya kamu bilang kamu sudah punya pacar dan serius ingin menikah. Saat itu, aku sempat tak bisa tidur selama berhari-hari, perasaanku kalut. Sampai aku coba untuk nenangin diri. Berkali-kali aku yakinin diri. Mungkin kamu memang bukan jodohku, aku harus legowo melihatmu bahagia dengan pria lain yang kamu cintai.""SampaiPart 13bAksara bangkit dari tempat tidur. Menatap jam bundar yang bertengger manis di dinding. "Ayo kita sholat dulu, biar hati dan pikiran kita tenang dan gak terpancing emosi. Masalah ini, biar aku yang urus ya," ucap Aksara.Mata Dewi memandang Aksara penuh harap. Ia pun segera menganggukkan kepalanya.Usai melaksanakan kewajiban sebagai seorang muslim, Dewi mulai membersihkan ruangan kamar dan juga toko, yang akan dibuka pukul delapan pagi. Sementara itu, Aksara sudah bersiap-siap, memakai kemeja kotak-kotak lengan panjang. "Aku tinggal dulu ya, Wi. Titip toko sebentar ya, nanti kalau yang lain sudah pada datang langsung suruh bikin bomboloni sama kue sus ya.""Sepertinya toko bakal sibuk hari ini ya, Mas.""Iya, yang masuk udah ada pesanan 200 kotak untuk bomboloni sama cupcake. Belum pesanan yang lain.""Alhamdulillah, berkah rezeki."Aksara tersenyum. "Sama seperti biasa ya, restock
Part 14 "Pak, tolong jangan bawa putri saya, Pak. Ini pasti salah paham! Putri saya tidak mungkin melakukan hal itu!" teriak Bu Wanda dengan jantung yang berdebar kencang. "Kami akan menyelidiki lebih lanjut. Jika ada bukti yang menunjukkan bahwa dia tidak terlibat, kami akan memperlakukannya sesuai hukum." "Ini semua tidak adil!" Geni berteriak, berusaha menahan tangis. Bu Wanda menggenggam tangan putrinya lebih erat, berusaha memberi dukungan. "Geni, tenang. Kita akan mencari cara untuk membuktikan bahwa kamu tidak bersalah." Bu Wanda termangu saat melihat anaknya digiring ke mobil polisi, ia pun bingung apa yang harus dilakukan sekarang. Terlebih para tetangga mulai berkumpul dan saling berbisik. “Bu, tolongin aku, Bu. Bebasin aku, Bu. Aku gak bersalah!” teriak Geni sesaat sebelum akhirnya masuk ke dalam mobil. Mobil polisi itupun langsung melesat pergi meninggalkan halaman rumah
Part 14b Gala mengatakannya dengan nada lembut setengah berbisik. Sorot matanya penuh harap. Ekspresi Dewi seketika berubah masam. “Dewi, aku kangen sama kamu, bisakah kita bicara sebentar? Aku ingin menyelesaikan kesalahpahaman di antara kita. Aku minta maaf, Wi.” “Maaf, aku sibuk," sahut Dewi agak ketus. “Wi, tolonglah beri aku kesempatan, aku salah menilaimu. Pisahlah dari Aksara, dan kembalilah padaku, Wi!” Mata Dewi membulat mendengar pernyataan Gala. ‘Dasar gila!’ umpatnya dalam hati. “Tolong jangan bersikap konyol, Mas. Aku gak ada waktu buat bicara sama kamu. Semuanya sudah berakhir,” tukas Dewi lirih. Mendadak Gala memegang tangan Dewi membuat perempuan itu terkesiap kaget. Dewi langsung menarik tangannya. “Tapi, Wi—” “Ini belanjaannya dan ini kembaliannya, terima kasih sudah berbelanja di toko Aksara. Silakan antrian selanjutnya
Part 15 “Hei, apa yang kamu lakukan?” “Ini semua salahmu, Dewi!” Gala berteriak. “Kau meninggalkanku untuk pria itu!” ketusnya lagi dengan napas yang memburu. Dewi menggeleng pelan dengan tatapan berkaca-kaca. Gala justru bersikap kalau seolah-olah dialah korban. "Kamu benar-benar gak waras ya, Mas?" "Iya, aku memang gila, Dewi. Gila karena kamu! Tolong kembalilah padaku, aku mencintaimu, Dewi, aku akan memperbaiki semuanya." Gala melangkah mendekati Dewi, tanpa ragu menginjak kue-kue itu. "Berhenti! Jangan berbuat konyol, Mas! Jika kau mencintaiku, seharusnya kau menghormati keputusanku!" Gala menatap Dewi dengan wajah frustasi. "Tidak akan, aku tidak akan menyerah begitu saja sampai kamu kembali lagi padaku." Dewi menggeleng pelan. "Kau sendiri yang meninggalkanku, sekarang kenapa aku harus kembali padamu? Hubungan kita sudah selesai, Mas. SE LE SAI!"
Part 15b “Bokap langsung marah besar saat kami semua digiring ke kantor polisi. Dia mengira gue terlibat dalam minuman keras dan menuduh gue menghancurkan keluarga. Bokap bilang, gue jadi anak tidak bisa diandalkan! Mencoreng nama baik keluarga. Dan akhirnya, dia mengusir gue dari rumah, dia blacklist nama gue dari KK, katanya gua bukan bagian dari keluarga Arif lagi. Jadi untuk apa gue pulang, Rudi? Percuma saja 'kan?" ungkap Arjuna yang masih mengingat kejadian itu meski sudah bertahun-tahun yang lalu. Rudi merasakan kemarahan yang perlahan muncul dalam diri sahabatnya. “Tapi itu bukan salah lu. harusnya---" “Semua orang hanya melihat sisi buruknya. Gue merasa kayak pengkhianat di mata keluarga sendiri,” kata Arjuna. Rudi menepuk-nepuk pundak sahabatnya itu. "Gue sebagai sahabat hanya bisa ngasih lu saran. Lu gak bisa selamanya begini terus, Jun. coba deh buka hati lu, maafkan semua yang udah terjadi. Toh, itu semua udah
Part 16Aksara menendang roda mobilnya, saat menyadari roda itu kempes di tengah jalan. "Duh, kenapa pakai kempes segala! Dewi pasti sudah menungguku dari tadi!" keluhnya sembari melihat arloji yang melingkar di pergelangan tangan. Waktu menunjukkan pukul 17.25 WIB.Ia berdiri sejenak, mengamati sekeliling. Suasana sepi dan sunyi, kanan kiri pepohonan dan semak-semak, hanya terdengar suara angin berbisik di antara dedaunan. Dia menghela napas, merasa frustrasi dengan situasi itu. Terlebih hari sudah mulai petang. Matahari mulai beristirahat ke peraduannya. Hanya sisa sinar senja yang menghias di bagian barat.Dengan enggan, Aksara mulai mencari alat yang bisa membantunya. Ia membuka bagasi mobil dan menemukan dongkrak serta ban cadangan. Tanpa pikir panjang, ia mulai bekerja, berusaha mengganti ban yang kempes.Setelah beberapa menit, ia berhasil. Sambil mengelap keringat di dahi, Aksara kembali duduk di dalam mobil dan menyalakan mesin.
Part 16b"Mas, hentikan, Mas! Jangan pukul dia, Mas!" teriak Dewi menghampiri Aksara. Aksara berhenti sejenak, melepaskan cengkeramannya lalu menatap Dewi dengan mata yang penuh kekhawatiran. "Dewi, kau baik-baik saja? Apa dia menyakitimu?" tanyanya seraya membingkai wajah sang istri."Tidak, Mas. Dia justru menolongku. Ini semua salah paham." Arjuna masih terdiam seraya menatap Dewi, berharap ia bisa menjelaskan kejadian yang sebenarnya. Suasana tegang sejenak.Aksara mengernyit, tatapannya masih tajam. "Menolongmu? Dengan membuat kekacauan di sini? Apa itu yang disebut menolong?" Dewi bersikap tenang mencoba meredakan suasana. "Mas, tolong dengarkan dulu. Dia berusaha melindungiku dari orang yang mau berbuat hal buruk padaku. Dia tidak bersalah, Mas." Aksara terdiam, mencerna kata-kata Dewi, sembari melihat kejujuran di matanya. "Benarkah?"Dewi mengangguk. "Benar, Mas. Dia datang tepat pada wakt
Part 17"Ada dua kemungkinan, Mas."Aksara mengerutkan keningnya. "Apa?""Kemungkinan pertama mungkin memang hanya kebetulan, dan ini cara Allah mempertemukan kalian lagi."Aksara mengangguk. "Terus?""Kemungkinan kedua, mungkin saja dia sengaja datang dan ada sesuatu yang ingin dia bicarakan denganmu, hanya saja situasi tak mendukung. Jadi dia belum"Kamu benar, Dewi. Harusnya tadi aku tak bersikap gegabah. Tapi sekarang aku tidak tahu dimana dia tinggal."Dewi meraih tangan Aksara. "Mas, kita sholat dulu yuk. Biar pikiran kita fresh. Yang lainnya kita pikirkan nanti."Aksara mengangguk, merasakan ketenangan saat Dewi mengajaknya sholat. Setelah selesai, mereka duduk sejenak, mencoba merenungkan apa yang terjadi."Bagaimana kalau kita mencari tahu Mas Arjuna dari teman-temannya?" saran Dewi. "Mungkin mereka bisa memberi tahu di mana dia tinggal.""Ya, itu ide yang bagus," jawab Aksar
Part 20b“Kamu baik-baik aja kan?” Arjuna bertanya dengan nada khawatir.Dewi mengangguk. “Iya, terima kasih banyak, Mas! Aku hampir—” Dewi mulai menjelaskan, tapi Aksara tiba-tiba muncul, ia berlari tergopoh-gopoh menghampirinya.“Dewi! Apa yang terjadi?” Aksara melihat ke arah mereka berdua dan terkejut. “Kamu di sini, Arjuna?”“Aku cuma bantuin istrimu, dia hampir tertabrak,” jawab Arjuna, terlihat sedikit canggung.Aksara menghela napas, merasa lega melihat Dewi baik-baik saja. "Terima kasih, Arjuna."“Gak masalah. Yang penting dia selamat,” jawab Arjuna datar. Ia segera bangkit berdiri dan melangkah pergi meninggalkan mereka.Aksara menatap saudara kembarnya, yang saat ini hanya memakai kaos oblong, dan beberapa noda bekas oli di celana jeansnya."Tunggu!" Aksara mencegat langkahnya. "Kenapa kamu selalu pergi sebelum aku selesai bicara?" Arjuna menghentikan langkahnya. "Aku harus kembali kerja."
Part 20Aksara dan Dewi duduk santai di teras belakang sambil menikmati secangkir kopi. Mereka menanti kue yang dibuat Aksara untuk sampel produksi besok pagi. Suasana malam itu tenang, dengan angin sepoi-sepoi yang menyegarkan.“Maaf ya, Wi, aku belum bisa memberikan rumah yang nyaman untukmu. Kita masih sempit-sempitan tinggal di sini,” ucap Aksara, matanya menerawang jauh ke depan, merenungkan keadaan mereka.“Tidak apa-apa, Mas. Aku justru senang. Di sini terasa lebih hangat. Apalagi ada aroma kue yang manis,” Dewi menjawab dengan lembut, matanya berbinar saat merasakan kehangatan dalam situasi sederhana itu.Aksara tersenyum, merasa lega mendengar jawaban Dewi. “Aku sengaja tidak memperpanjang sewa di perumahan, karena tadinya ingin pulang saja dan tinggal di rumah, tapi kenyataannya berkata lain.”“Mas, kamu sudah memberikan banyak untukku. Kalau kamu rindu suasana rumah, kita bisa pulang ke rumah orang tuaku. Kita kan sudah menjadi
Part 19b.Bella terdiam, pertanyaan ayahnya mengusik pikirannya. “Aku cuma gak mau Mas Aksara seperti Mas Arjun, ia benar-benar pergi dan bahkan gak peduli lagi dengan kita!”Pak Arif menatap Bella lebih dalam setelah mendengar nama Arjuna disebut. Wajahnya mengeras sejenak, mengingat putranya yang lebih memilih pergi menjauh dari keluarga dan tidak pernah kembali. Suasana makan malam itu tiba-tiba terasa semakin tegang, seolah beban masa lalu ikut hadir di antara mereka.“Arjuna berbeda, Bella. Jangan bandingkan Aksara dengan Arjun,” ujar Pak Arif dengan nada dingin, jelas menunjukkan bahwa topik Arjuna bukanlah sesuatu yang ingin ia bahas lebih jauh.“Tapi Pa, Mas Aksa bisa aja mengikuti jejak Mas Arjun kalau Papa terus membiarkan ini terjadi. Dewi bisa mempengaruhinya, dan dia akan meninggalkan kita juga!” Bella mengucapkannya dengan nada getir dan penuh kekhawatiran.Pak Arif meletakkan kedua tangannya di meja, menatap putri
Part 19Bella terdiam sejenak, matanya menatap tajam ke arah Aksara. “Minta maaf? Serius, Mas? Kamu suruh aku minta maaf sama dia?”Aksara mengangguk tegas. “Iya, Bella. Dewi gak bersalah, dan video itu sudah terbukti palsu. Polisi sudah menangkap orang yang menyebarkan dan mengeditnya. Jadi, gak ada alasan lagi untuk kamu menuduh Dewi.”Bella menghela napas panjang, lalu memutar bola matanya dengan kesal. “Mas, aku cuma khawatir sama kamu. Gak mungkin aku sengaja nyakitin perasaan kalian. Tapi aku gak bisa langsung percaya begitu aja!”“Percaya atau nggak, fakta sudah berbicara, Bella. Dewi sudah difitnah, dan kita harus berdiri di sampingnya, bukan malah menambah bebannya,” tegas Aksara.Dewi yang mendengar pembicaraan itu dari balik kasir, merasa hatinya kacau. Di satu sisi, ia senang karena Aksara begitu membelanya, tapi di sisi lain, ia juga merasa terluka oleh cara Bella menilainya.“Bella,” Dewi akhirnya angkat bicara, sua
Part 18b “Istri Aksara, awasi dia juga apa yang dia lakukan selama ini.” “Baik, Bos.” “Laporkan apapun yang mereka lakukan.” “Siap, Bos!” Panggilan itupun berakhir. Satu jam kemudian, teleponnya berdering. Nama Gito tertera dalam layar ponselnya. Ia adalah asisten pribadinya yang melaporkan hasil penyelidikan awal soal Dewi. “Pak Arif, saya sudah mencari informasi soal Dewi. Data tentang Dewi saya kirim ke email bapak ya!” “Hmmm …” “Ternyata, dia tidak punya catatan buruk ataupun riwayat pekerjaan yang mencurigakan. Dia juga tidak pernah bekerja di tempat-tempat yang seperti dugaan Bapak. Justru dia bekerja di tempat Mas Aksara." Pak Arif terdiam sejenak, lalu mendengus kasar. “Itu tidak mungkin! Tapi bagaimana dengan video itu? Video itu jelas-jelas menunjukkan dia melakukan sesuat
Part 18 Dewi terdiam, terkejut dengan permintaan buliknya. "Tapi, Bulik, Geni sudah melakukan kesalahan. Dia harus menghadapi konsekuensinya." "Dia tidak bersalah, Dewi! Bulik yakin dia tidak bersalah. Dia hanya terjebak dalam situasi yang tidak adil. Tolong, pikirkan lagi, Nak. Bulik mohon," ujar Bu Wanda dengan nada penuh harap. Dewi menatap buliknya yang berlutut, rasa cemas dan bingung menyelimuti pikirannya. Belum lagi para pembeli yang menatap ke arah mereka sambil saling berbisik. "Bulik, bangunlah. Kita bicara di belakang saja," ujar Dewi. Bu Wanda menggeleng pelan. "Bulik gak akan bangun sebelum kamu mau membantu Geni. Kamu tahu kan, Geni itu satu-satunya putri Bulik, dia kehidupan Bulik, Bulik gak bisa hidup tanpa dia." "Aku tidak tahu apakah aku bisa membantu. Itu bukan keputusan yang bisa diambil secara sembarangan." "Jadi, kamu benar-benar gak mau membantu Bulik, De
Part 17bLho terus, apa yang lu lakuin di sana.""Itu dia, ceritanya cukup rumit ...." Arjuna mulai menceritakan kejadian yang baru saja di alami olehnya di toko saudara kembar."Jadi dia salah paham dikira lu yang berantakin toko dan nyakitin istri lu?""Hmmm begitulah. Suasananya gak enak banget tadi. Bener-bener bikin gue panas. Pengin marah tapi gak bisa."Rudi mengulum senyum lalu menepuk-nepuk punggung sahabatnya itu. "Lain kali saja kau coba lagi untuk bicara sama dia.""Halaaah males gue! Mungkin memang seharusnya putus hubungan saja dengan mereka. Biar bebas ...""Hei, itu tidak adil sama diri lu sendiri. Mungkin sekarang lu masih butuh waktu, gue paham itu. Tapi percaya sama gue, seiring berjalannya waktu lu akan berdamai dengan keadaan itu. Pokoknya lu jangan nyerah, Sob. Masih ada banyak jalan menuju roma.""Huuu sok iyee lu!""Hahaha, Sob, gue lagi jadi motivaror lho, harusnya lu dukung. Ud
Part 17"Ada dua kemungkinan, Mas."Aksara mengerutkan keningnya. "Apa?""Kemungkinan pertama mungkin memang hanya kebetulan, dan ini cara Allah mempertemukan kalian lagi."Aksara mengangguk. "Terus?""Kemungkinan kedua, mungkin saja dia sengaja datang dan ada sesuatu yang ingin dia bicarakan denganmu, hanya saja situasi tak mendukung. Jadi dia belum"Kamu benar, Dewi. Harusnya tadi aku tak bersikap gegabah. Tapi sekarang aku tidak tahu dimana dia tinggal."Dewi meraih tangan Aksara. "Mas, kita sholat dulu yuk. Biar pikiran kita fresh. Yang lainnya kita pikirkan nanti."Aksara mengangguk, merasakan ketenangan saat Dewi mengajaknya sholat. Setelah selesai, mereka duduk sejenak, mencoba merenungkan apa yang terjadi."Bagaimana kalau kita mencari tahu Mas Arjuna dari teman-temannya?" saran Dewi. "Mungkin mereka bisa memberi tahu di mana dia tinggal.""Ya, itu ide yang bagus," jawab Aksar
Part 16b"Mas, hentikan, Mas! Jangan pukul dia, Mas!" teriak Dewi menghampiri Aksara. Aksara berhenti sejenak, melepaskan cengkeramannya lalu menatap Dewi dengan mata yang penuh kekhawatiran. "Dewi, kau baik-baik saja? Apa dia menyakitimu?" tanyanya seraya membingkai wajah sang istri."Tidak, Mas. Dia justru menolongku. Ini semua salah paham." Arjuna masih terdiam seraya menatap Dewi, berharap ia bisa menjelaskan kejadian yang sebenarnya. Suasana tegang sejenak.Aksara mengernyit, tatapannya masih tajam. "Menolongmu? Dengan membuat kekacauan di sini? Apa itu yang disebut menolong?" Dewi bersikap tenang mencoba meredakan suasana. "Mas, tolong dengarkan dulu. Dia berusaha melindungiku dari orang yang mau berbuat hal buruk padaku. Dia tidak bersalah, Mas." Aksara terdiam, mencerna kata-kata Dewi, sembari melihat kejujuran di matanya. "Benarkah?"Dewi mengangguk. "Benar, Mas. Dia datang tepat pada wakt