52Samudra tersenyum, lalu membetulkan letak selimut agar menutupi tubuh wanita itu sampai dadanya.“Om, jagain Nenek dulu, ya. Aku mau tidur dulu mumpung Nenek juga tidur,” pamit wanita itu beberapa saat lalu setelah menyuapi ibunya dan membantu ke kamar mandi.“Kalau Nenek butuh bantuan, bangunkan saja aku.”Samudra duduk di tepi ranjang khusus penunggu pasien. Membelai sebentar wajah yang sudah terlelap itu lembut. Raut lelah kentara. Jelas saja, semalamam Mentari tidak tidur karena menunggui ibunya. Katanya takut ibunya tiba-tiba sesak lagi.Kini sang ibu sudah lebih baik kondisinya. Karenanya wanita itu sudah berani meninggalkan tidur.Samudra masih menatap lekat wajah muda yang baru disadarinya sejak ia nikahi semakin bersinar. Jauh berbeda dengan saat pertama bertemu sebelum menikah dulu. Mungkin karena dulu hidup di bawah banyak tekanan.Sekali lagi dibelainya pipi merona itu sebelum mereabhkan diri disampingnya. Terbayang bagaimana telaten dan sabarnya Mentari mengurus ibunya
53Mentari mematung. Menatap wanita dewasa yang usianya hanya terpaut beberapa tahun saja dari Samudra. Tubuhnya tinggi dan langsing. Hanya terpaut beberapa cm juga dari Samudra. Terbukti tinggi mereka yang tidak terpaut jauh saat berhadapan. Yang jika saja mereka berdiri berdampingan, tidak akan menciptakan ketimpangan.Berbeda dengan dirinya yang berpostur mungil dan terlihat sangat jomplang bila berdiri di sisi Samudra. Tingginya hanya sekitar dada Samudra saja.Lalu, siapa wanita yang terus tersenyum seraya tak lepas menatap suaminya ini? Bahkan tak mempedulikan tangannya yang masih mengait tangan Samudra, wanita itu seolah tidak peduli. Dengan percaya dirinya berjalan lebih mendekati Samudra.Lucy-mu telah kembali?Apa maksdunya?Dalam keheranan, Mentari masih berusaha mencerna kalimat yang dilontarkan wanita dewasa itu, saat tiba-tiba Samudra melepaskan tangannya yang sejak tadi terus bertaut. Bahkan tanpa meliriknya sama sekali.Mentari memperhatikan gerakan Samudra itu dengan
54“Sarapan, Mas,” tawar Mentari saat Samudra melewati ruang makan pagi ini. Tadi ia sudah membuat dua tangkup roti bakar. Sengaja membuat dua walaupun tidak yakin pria itu akan pulang. “Hmm.” Hanya itu jawaban Samudra. Kemudian berlalu menuju kamar pribadinya. Mentari menggigit bibirnya. Sesuatu yang ia takutkan pun akhirnya terjadi. Sikap pria itu benar-benar berubah. Tak lagi sama seperti saat sebelum wanita itu datang. Mentari memejam, saat mendengar pintu kamar Samudra tertutup. Ia menggigit roti dengan tidak ada selera sama sekali. Tapi harus tetap ia makan. Jangan sampai karena kejadian ini membuatnya lemah. Mungkin sekarang Samudra masih lelah. Mungkin nanti setelah beristirahat akan menjelaskan semuanyaSekitar satu jam Mentari menunggu Samudra keluar dari kamarnya, tetapi pria itu tak kunjung juga muncul. Entah apa yang dilakukannya di dalam sana. Tak terhitung berapa kali ia menoleh ke arah pintu itu hanya untuk menunggu penghuninya muncul. Namun, semua masih sama. Ia m
55Mentari memejam setelah tiba di dalam benda metalik yang kini melaju turun membawa dirinya seorang diri ke bawah. Punggungnya bersandar di salah satu dindingnya. Bahkan tidak ada kata-kata lagi yang keluar dari mulut Samudra sebelum ia benar-benar pergi. Padahal ia berharap Samudra menahannya dengan sikap lembutnya, sambil meyakinkan jika dirinya akan menjelaskan kesalahpahaman di antara mereka. Namun, kenyataannya itu hanya khayalannya sendiri. Digigit bibirnya kuat-kuat untuk menahan segala sebah yang bercampur di dada. Apa arti semua ini? Pria itu benar-benar tidak menginginkan dirinya lagi? Keyakinan jika Samudra selama ini belum menikah karena menunggu seseorang, ternyata benar adanya. Karena Setelah orang yang ditunggunya itu datang, sikapnya benar-benar berubah. Sayatan terasa semakin menambah luka di hatinya. Namun, tidak lama. Wanita itu segera menegakkan tubuhnya. Lalu menarik nafas panjang berulang-ulang. Sebanyak yang ia bisa. Mensugesti diri adalah hal yang dil
56“Jadi, fix ya Kak ini sudah bisa dicetak?”“Tentu saja. Karya sebagus ini sayang sekali jika tidak sampai naik cetak. Saya yakin bukumu akan booming. Akan banyak menghasilkan pundi-pundi rupiah. Semoga kelak ada PH juga yang tertarik dan meminangnya untuk menjadi sebuah karya layar lebar.”“Amin.” Mentari menjawab singkat seraya menengadahkan kedua tangan. Sejenak lupa dengan masalahnya di rumah. “Terima kasih banyak, Kak. Terima kasih, ya,” ujarya dengan keharuan memenuhi dada. “Terima kasih untuk apa, Dek Violet? Semua ini karena kerja kerasmu, kok. Di sini saya hanya pembuka jalan saja. Kamu memang sudah hebat dan berbakat, hanya belum ditemukan untuk bisa lebih hebat lagi. Beruntungnya saya menjadi orang pertama yang bisa menemukan kamu.” Kembali Bima tersenyum.“Sebenarnya kamu belajar menulis di mana, Dek?”“Aku ikut banyak kelas menulis online, Kak. Setelah sebelumnya belajar otodidak hanya dengan membaca karya-karya orang lain.” Mentari menjawab seadanya. “Bagus, kamu ad
56“Besar juga nyali kamu buat nyelingkuhin Samudra.” Kali ini kalimat itu meluncur dari mulut Esther. “Jangan-jangan benar apa yang dikatakan Bastian selama ini kalau Om Sam itu sebenarnya tidak normal, Ma,” Novita menimpali. Esther tersenyum miring. Wanita setengah bule itu melipat kedua tangan di dada. “Apa kamu tidak takut ibu mertua tersayang kamu tahu?” tanya wanita bertubuh tinggi itu lagi dengan tatapan menilai sosok Bima yang memasang raut tidak mengerti. “Laporin aja sekalian, Ma. Biar Tari tahu rasa.” Novita terus mengompori. “Kalian ini bicara apa, sih?” Mentari memekik setelah beberapa lama larut dalam kekagetan. Ditatapnya tajam Novita dan ibu mertuanya yang mulutnya sama-sama busuk. “Jangan sembarangan bicara kalau tidak tahu yang sesungguhnya,” ujar Mentari dengan menahan kekesalan yang sebenarnya ingin meledak. Tuduhan mereka sangat kejam. Namun, ini tempat umum. Ada banyak pasang mata yang memperhatikan mereka. Lagipula, walaupun sedang marah dengan Samudra, K
58 Mentari terus membuang pandangan keluar jendela. Ya, akhirnya kini ia berada di dalam mobil Bastian yang meluncur membelah hujan menuju apartemen Samudra. Laki-laki itu berhasil memaksanya masuk setelah meyakinkan semua orang di sana yang akhirnya malah memojokkan Mentari. Beberapa malah mengatai jika dirinya adik tidak tahu diri yang menyusahkan kakaknya juga keluarga. Padahal kakaknya sudah begitu baik menyempatkan menjemput di sela jam istirahat kerjanya. Begitu pandai Bastian bersandiwara. “Om Sam ke mana? Kenapa kamu hujan-hujanan di jalan sendiri?” Bastian mulai bertanya setelah lumayan lama mobil melaju membelah hujan. “Bukankah orang seperti dia punya banyak waktu untuk menemani istrinya?” lanjutnya. Dan Mentari masih tetap dengan posisi dan sikap yang sama. Diam seribu bahasa. “Tari.” Hening. Hingga Bastian harus menarik napas dalam sebanyak mungkin entah untuk apa. “Sebenci itu kamu padaku, Tari?” Pertanyaan itu akhirnya terdengar setelah beberapa lama hanya tarikan
59“Dasar pelakor! Perebut suami orang…!” Makian dan jambakan keras membuat tubuh Mentari hampir terpelanting. Bahkan ransel yang dipeluknya sampai terjatuh menimpa kakinya. Jeritan kesakitannya pun berbaur dengan teriakan si penjambak. Untuk beberapa lama Mentari merasa tertarik ke pusaran waktu. Tak dapat melakukan apa pun. Hanya merasakan pedas dan perih di kulit kepalanya. Ia berusaha melepaskan tangan si penjambak sambil menahan kepalanya. Namun, penjambak yang seperti kesetanan, terus saja menarik-narik rambutnya ke belakang sambil berteriak memaki. “Vita, lepaskan! Apa-apaan kamu?”Bukan hanya sumpah serapah Si penjambak dan jeritan Mentari yang kini terdengar, tetapi juga suara laki-laki yang mencoba melepaskan tangan si pejambak dari rambut Mentari. Kegaduhan seketika tercipta, berbagai suara saling bertabrakan saling bersahutan. Hingga akhirnya Bastian dapat melepaskan tangan Novita dari rambut Mentari. Apalagi setelah petugas keamanan datang melerai. Namun, kegaduhan
376Sore hari Nuri dikejutkan dengan kedatangan Rendra yang menjemputnya ke rumah baru mereka. Rendra meminta Nuri segera bersiap karena akan diantar ke suatu tempat. Katanya atas permintaan Bastian. Sementara Bastian sendiri tidak mengatakan apa pun, padahal waktu istirahat siang tadi mereka sempat bicara di telepon.Walaupun heran, tak ayal Nuri menurut karena sudah sangat mengenal orang kepercayaan Samudra yang dulu selalu melindungi dirinya dan Bastian itu.Rendra mengatakan ini kejutan, dan sebenarnya Bastian melarangnya untuk mengatakan lebih dulu, tapi terpaksa ia katakan karena awalnya Nuri menolak ikut. Dan benar saja, pengawal merangkap sopir itu pertama membawanya ke sebuah salon kecantikan. Di sana Nuri didandani sangat cantik. Gaun malam indah berwarna hitam membalut tubuh sintalnya. Nuri sampai pangling melihat bayangan dirinya sendiri di cermin.“Sebenarnya kita mau ke mana, Pak? Aa Bastian di mana?” tanya Nuri saat mereka sudah kembali berada di dalam mobil. Rendra memb
375Kehidupan kembali berjalan normal setelah mereka pulang ke tanah air. Mereka melanjutkan hidup masing-masing dengan tetap membawa kehangatan keluarga yang semakin terjalin erat. Waktu seminggu liburan seolah menjadi isi ulang energi agar lebih bersemangat dalam menjalani hidup yang sesungguhnya. Antusiasme efek isi ulang itu sangat berdampak dirasakan Mentari dan Samudra. Rasa cinta mereka pun bertambah berkali-kali lipat. Rasanya tidak ada lagi yang mereka inginkan dalam hidup selain tetap bersama.Pagi ini, seperti biasa Mentari mengantar suaminya yang akan berangkat ke kantor, hingga ke mobil yang menunggu di halaman. Tangannya yang mengait erat di lengan Samudra, juga kepalanya yang menyandarm anja selama berjalan hingga halaman, menandakan jika ikatan itu tak akan terpisahkan. Beberapa kecupan di wajah mentari menjadi salam perpisahan setiap kali Samudra akan berangkat ke kantor. Baginya, satu kecupan saja tidak cukup.Mentari melambaikan tangan saat mobil mulai bergerak meni
374Keesokan paginya, sinar matahari menyelinap melalui celah tirai, menerangi kamar hotel dengan cahaya keemasan. Mentari membuka matanya perlahan dan melihat Samudra masih tertidur lelap di sampingnya. Ia tersenyum kecil, merasa beruntung bisa menikmati momen ini.Perlahan, ia mengulurkan tangan, menyelipkan jemarinya di antara rambut Samudra yang acak-acakan, merasakan kelembutan helai-helainya yang sudah mulai memutih di beberapa bagian. Tanpa sadar, hatinya berdesir melihat wajah damai yang semakin hari semakin menambah kadar cintanya.Ia teringat perjalanan cinta mereka yang penuh liku—berawal dari nikah dadakan karena pergantian mempelai laki-laki, salah paham, kecurigaan, dipisahkan fitnah, hingga akhirnya berlabuh dalam cinta yang mendalam. Sekarang, mereka punya segalanya yang ia impikan: pernikahan yang harmonis, anak kembar yang lucu, dan waktu berharga berdua seperti pagi ini. Ia merasa amat bersyukur."Mas …" bisiknya penuh kelembutan, meski ia tahu suaminya belum benar-b
373“Akhirnya ….” Samudra menjatuhkan tubuhnya di atas kasur empuk berukuran besar di kamar hotelnya. Pria itu telentang dengan kedua tangan terbuka lebar dan kedua kaki menjuntai ke lantai. Entah ada keajaiban apa, tiba-tiba saja Bastian memaksa membawa si kembar ke kamarnya, katanya ingin mengajak mereka menginap di sana.Seperti mendapat durian runtuh, tentu saja Samudra merasa lega. Bagaimana tidak? Dua anaknya ingin bermain naik kuda-kudaan di punggungnya. Dua sekaligus.“Makanya, nikah jangan terlalu tua. Biar anak pas aktif-aktifnya, papanya masih strong ngajak mainnya,” ledek Mentari sambil melihat Samudra yang ngos-ngosan melayani kedua anaknya.“Kalau Mas nikah muda, pasti bukan sama kamu.”Mentari mengernyitkan keningnya.“Iya, kan? Kalau Mas nikah umur dua puluhan, pasti bukan sama kamu, karena saat itu kamu masih bau kencur. Mungkin masih ingusan. Belum bisa dinikahi.”Mentari memutar bola mata, tapi ucapan Samudra ada benarnya. Selisih usia mereka cukup jauh. Kalau Samudr
372Pagi itu, matahari Paris menyentuh lembut jendela kamar hotel tempat Nuri dan Bastian menginap. Begitu Nuri membuka jendela, aroma bunga musim semi menyeruak ke dalam kamar, membawa sensasi kebahagiaan yang sempurna.Paris di musim semi adalah lukisan hidup: pohon-pohon sakura bermekaran di taman-taman kota, bunga-bunga aneka warna menghiasi jalanan, dan angin yang sejuk membelai wajahnya, membuat wanita itu tersenyum.Nuri berbalik menghadap ranjang tempat Bastian masih terlelap. Pertarungan panas mereka tadi malam memang menyisakan kelelahan yang teramat. Pantas jika sang suami masih nyenyak. Namun, agenda hari ini padat, dan Nuri tidak mau melewatkannya.Terlebih, hari ini mereka akan menikmatinya bersama keluarga Samudra.Nuri berjalan menuju pintu, lalu keluar dan mendatangi kamar sebelah tempat Samudra dan keluarganya menginap.Ia langsung mengetuk pintu. Tidak menunggu lama, Mentari membukanya.“Hai, Nur. Sudah cantik aja, nih. Sepertinya kamu sudah siap ya, jalan-jalan.” M
371Panik, Bastian berjalan ke arah kios tempat terakhir kali ia melihat Nuri. Ia menanyakan pada beberapa orang di sekitarnya dengan menyebutkan ciri-ciri Nuri, namun tak seorang pun mengetahui istrinya.Aneh, dalam sekejap saja, Nuri hilang seolah ditelan bumi.Pikiran Bastian mulai dipenuhi kekhawatiran. Ini negara orang, dan Nuri baru ke sini. Tidak bisa bahasa Prancis maupun Inggris. Bagaimana kalau ia tersesat?Bastian memutuskan untuk menghubungi Nuri melalui ponsel, tapi panggilannya tak tersambung.“Nomornya tidak aktif,” gumamnya, merasakan kekhawatiran yang semakin besar. Ia terus mencoba, namun hasilnya tetap sama. Napasnya mulai tak beraturan, bayangan buruk terus menghantui pikirannya.Bagaimana jika Nuri diculik? Atau tersesat jauh? Ini Paris, negara yang asing bagi istrinya.Tanpa berpikir panjang, ia mulai menyusuri setiap sudut jalan, berharap bisa menemukan sosok Nuri yang entah kenapa bisa hilang secepat ini.Langkah Bastian semakin cepat, dadanya mulai terasa sesa
370Paris menyambut dua keluarga itu dengan segala pesonanya yang melegenda. Bastian, Nuri, Samudra beserta Mentari dan juga si kembar, turun dari taksi di depan hotel bergaya klasik yang berada di jantung kota.Gedung hotel itu berarsitektur ala Eropa kuno dengan detail balkon berornamen besi tempa dan jendela besar berbingkai kayu putih. Setiap sudutnya tampak seperti lukisan, begitu indah dan romantis. Paris memang terkenal dengan pesona abadinya, dan hari itu, senyum tak pernah lepas dari bibir Nuri.Wanita mungil itu langsung membulatkan mulutnya. Tak henti-henti ia mengagumi kota mode itu semenjak menginjakkan kaki di bandara Charles de Gaulle tadi.“Aa….” Nuri memekik seraya menyatukan kedua tangannya yang terkepal di depan dada. Tubuhnya sedikit membungkuk. “Kita benar-benar di Paris, ya?” tanyanya polos tanpa melihat Bastian karena pandangannya terus menyapu seluruh sudut kota.Bastian tersenyum. Pun dengan Samudra dan Mentari yang ikut mendengar. Antara bahagia yang Bastian
369Bastian mengusap wajahnya setelah mengembuskan napas berkali-kali. Laki-laki itu duduk di sofa dengan wajah menunduk, kedua siku bertumpu di atas pahanya.Suara langkah ayah dan adiknya semakin memudar di kejauhan, membawa kelegaan sekaligus kepedihan yang menyatu dalam dadanya. Rasa lelah dan berat di dadanya mulai bergulir. Ia tahu, sejak saat ini, hubungan dengan keluarga tidak akan sama lagi.Ia yakin, meski tadi sudah menjabat tangannya karena paksaan sang ayah, Andra tidak akan begitu saja melupakan semua ini. Dan Richard? Bastian sangat yakin bahwa mulai saat ini pria itu akan membatasi diri dalam memberikan kasih sayang dan perhatian padanya karena khawatir menimbulkan kecemburuan dari anaknya yang lain.Padahal Bastian sudah sangat bahagia memiliki keluarga. Siapa sangka kebahagiaannya harus diwarnai dengan drama kecemburuan dari adiknya yang berlanjut dengan percobaan merebut istrinya.Sebuah tepukan mampir di pundak Bastian. Sentuhan itu seperti jangkar yang membawanya
368Kedua tangan Bastian kembali mengepal kuat. Wajahnya yang sempat tenang kini kembali memerah dan tegang. Andai bukan karena gelengan Nuri yang menunjukkan ketakutan dan tatapan memohon dari Samudra agar ia tetap tenang, wajah Andra yang sudah babak-belur itu mungkin akan dibuatnya semakin tak berwujud.Bastian menahan napas, padahal dadanya sudah naik-turun dengan cepat."Aa..." Nuri mendekat. "Jangan dengarkan dia. Dia hanya mengada-ngada. Itu sama sekali tidak benar. Aa tahu saya hanya menyukai Aa." Wajah Nuri pucat, sorot ketakutan terpancar jelas. Tangannya meraih tangan Bastian."Saya hanya menganggapnya sebagai adik. Tidak lebih," lanjut Nuri mengiba. "Kalaupun tadi saya menemuinya, itu karena dia bilang mau pamitan sebelum ke Yogya. Kami tidak sempat bertemu sebelum kita kembali ke sini." Suara Nuri terdengar lirih dan bergetar."Sungguh, kalau saya tahu akan seperti ini, saya akan membangunkan Aa saat dia menelepon dari depan pintu. Aa, percayalah pada saya. Dia gila kalau