46
“Ibu….”
Mentari berlari menyongsong wanita bergaun serba putih panjang yang masih cantik walaupun usianya tidak lagi muda.
Wanita yang tersenyum lembut itu merentangkan kedua tangannya dengan lebar bersiap menyambut Mentari. Pakaian serba putih dan rambut panjangnya yang terurai bergoyang berirama dibelai angin padang rumput yang lembab. Menciptakan keindahan tersendiri karena gaun putihnya yang sangat kontras dengan hamparan padang rumput seluas mata memandang.
Kaki-kaki telanjang Mentari terus berlari melewati hamparan rerumputan hijau hingga mencapai wanita berpakaian putih itu. Ia langsung memeluk erat sang wanita dengan penuh kerinduan.
“Ibu, aku kangen. Aku sangat merindukan ibu,” ujarnya bercampur isak yang tertahan. Dadanya penuh sesak. Bukan oleh kesedihan seperti biasa, tapi penuh dijejali rindu dan dan bahagia karena akhirnya bisa bersua dengan orang terkasih.
Sungguh kerinduan yang lama terpendam
47“Kamu kenapa?”Pertanyaan itu kembali terlontar saat mereka duduk berdua di meja makan pagi ini.“Memangnya aku kenapa?” Lagi, Mentari balik bertanya seperti dulu. Berpura-pura tidak tahu maksud Samudra, padahal sejak tadi terus menunduk menyembunyikan wajah merahnya.Ia takut pria itu bertanya lagi, dan benar saja, sang pria benar-benar bertanya. Mungkin karena melihatnya terus menunduk dengan wajah memerah.“Muka kamu merah.”Nah, benar saja. Lagi-lagi Samudra melontarkan kalimat itu. Sangat tidak berperasaan.Mentari membuang muka. Rasa panas di wajah dan telinganya bertambah-tambah.“Mungkin karena aku semalam bermimpi bertemu ibu.” Akhirnya ia menemukan jawaban yang sekiranya pas.“Oh.” Hanya itu tanggapan Samudra. Setelahnya keheningan menemani acara sarapan mereka.Mentari sendiri memutuskan terus menunduk menikmati bubur aymh yang tengah dinikmatinya.“Ibumu sejak kapan meninggal?” Setelah sekian lama, suara sang pria terdengar bertanya lagi.“Sejak kecil, sejak umurku 7 ta
48[Ya, sudah. Kalau kita tidak bisa bertemu, Dek Violet kirim saja filenya via email, ya.][Yang lengkap semua dalam satu file. Termasuk kata pengantar dan bionarasi.][Nanti biar saya yang edit naskahnya.][Biar cepat naik cetak.][Kalau bukunya sudah jadi, saya akan jadi orang pertama yang ikut bahagia.][Saya ikut perjuangkan naskah Dek Violet karena merasa sayang jika melewatkan kesempatan ini. Naskahmu bagus, Dek. Potensial.][Setelah bukunya jadi, saya akan bantu rekomendasikan ke teman-teman.]Mentari tidak sempat membaca semua pesan dari laki-laki bernama Bima karena ia terburu-buru turun. Di bawah sana sopir keluarga Hanggara sudah menunggunya. Nenek Widya jatuh sakit, dan memintanya datang. Sementara Samudra sedang keluar rumah. Pria itu meminta Mentari langsung ke rumah orang ruanya. Ia sendiri janji menyusul setelah urusannya selesai.“Ada urusan apa sebenarnya Om-om itu?” Mentari menggerutu seraya menutup pintu apartemen. “Di saat seperti ini bahkan sibuk di luar. Apa be
49“Jangan takut, aku hanya ingin bicara sebentar denganmu.”Mentari meletakkan lagi bokongnya di atas kursi yang muat untuk dua orang itu, saat terdengar kalimat barusan. Bukan hanya karena kalimat itu sebenarnya, tetapi karena sikap dan gestur tubuh Bastian memang tidak terkesan berbahaya.Pandangan laki-laki itu tetap lurus ke depan. Entah menatap apa karena hanya kosong yang membalut pandangan itu.“Kamu benar baik-baik saja, Tari?” tanya Bastian dengan pandangan tetap ke depan. Melirik sebenarnya tetapi hanya sebentar saja.Mentari belum mau menjawab. Ia yang duduknya saja mengambil sisi paling jauh dari kursi itu hanya menatap laki-laki itu dari samping.Untuk apa sebenarnya laki-laki itu seperhatian ini padanya? Apa pun yang terjadi padanya, apa ada urusan dengan Bastian? Bukankah laki-laki itu yang membuatnya ada di posisi ini? Untuk apa perhatian jika luka yang pernah ia torehkan lebih besar dari apa pun.“Tari, maaf sekali lagi. Untuk kesalahan dulu. Sungguh aku sangat menye
50Samudra melepaskan tangan Mentari begitu mereka tiba di dalam kamar. Menutup dan mengunci pintu, setelahnya pria itu langsung menyudutkan istrinya di salah satu dinding.Mentari yang yakin jika Samudra tengah marah, mundur dengan takut. Dadanya berdebar keras dan wajahnya pucat. Kaki-kakinya bergeser mundur seiring langkah sang pria yang semakin rapat.“Om …,” gumamnya dengan bibir bergetar. Kedua telapak tangan yang basah ia kepalkan. Belum pernah ia melihat Samudra dalam keadaan seperti ini. Wajahnya merah dengan kedua mata sangat kelam. Ia yakin jika pria itu marah melibatnya bersama Bastian.Tubuh Mentari sudah tersudut di salah satu dinding. Punggungnya bahkan menempel dengan dinding yang semakin menambah dingin tubuhnya.“Om, maaf aku ….”Tidak selesai kalimatnya, Samudra sudah benar-benar menyudutkannya. Tubuh mereka bahkan kini saling menempel tanpa jarak. Mentari memejamkan mata dan menggigit bibirnya saat wajah sang pria juga mengikis jarak di antara mereka hingga embusan
51“Bu Widya mengalami kelebihan cairan di sekitar jantungnya. Karenanya tadi bisa begitu sesak dan bahkan sampai pingsan. Faktor usia juga mempengaruhi, kinerja jantung tentu tidak akan sama seperti saat muda dulu. Sebaiknya emosinya dijaga. Jangan sampai terlalu mendapat tekanan, karena dikhawatirkan drop lagi bahkan bisa jadi lebih dari ini.”Samudra mengangguk mendengar penjelasan dokter rekomendasi dokter Rena itu. Dokter Rena sendiri sedang tidak bertugas. Tapi ia datang mendampingi, bahkan langsung menganjurkan agar segera dibawa ke rumah sakit saat keluarga menghubungi tadi.Samudra keluar ruangan dokter setelah dokter senior itu memberikan penjelasan di depan dirinya dan Benny. Syukurlah kondisi sang ibu kini tidak lagu terlalu mengkhawatirkan. Bahkan setelah diberi Tindakan, dikabarkan sudah sadar.Samudra keluar dengan menahan dongkol yang bercokol di dadanya. Sungguh amarahnya sudah di ubun-ubun.Bagaimana tidak? Ibunya sampai drop seperti ini, karena ulah kakaknya sendiri
52Samudra tersenyum, lalu membetulkan letak selimut agar menutupi tubuh wanita itu sampai dadanya.“Om, jagain Nenek dulu, ya. Aku mau tidur dulu mumpung Nenek juga tidur,” pamit wanita itu beberapa saat lalu setelah menyuapi ibunya dan membantu ke kamar mandi.“Kalau Nenek butuh bantuan, bangunkan saja aku.”Samudra duduk di tepi ranjang khusus penunggu pasien. Membelai sebentar wajah yang sudah terlelap itu lembut. Raut lelah kentara. Jelas saja, semalamam Mentari tidak tidur karena menunggui ibunya. Katanya takut ibunya tiba-tiba sesak lagi.Kini sang ibu sudah lebih baik kondisinya. Karenanya wanita itu sudah berani meninggalkan tidur.Samudra masih menatap lekat wajah muda yang baru disadarinya sejak ia nikahi semakin bersinar. Jauh berbeda dengan saat pertama bertemu sebelum menikah dulu. Mungkin karena dulu hidup di bawah banyak tekanan.Sekali lagi dibelainya pipi merona itu sebelum mereabhkan diri disampingnya. Terbayang bagaimana telaten dan sabarnya Mentari mengurus ibunya
53Mentari mematung. Menatap wanita dewasa yang usianya hanya terpaut beberapa tahun saja dari Samudra. Tubuhnya tinggi dan langsing. Hanya terpaut beberapa cm juga dari Samudra. Terbukti tinggi mereka yang tidak terpaut jauh saat berhadapan. Yang jika saja mereka berdiri berdampingan, tidak akan menciptakan ketimpangan.Berbeda dengan dirinya yang berpostur mungil dan terlihat sangat jomplang bila berdiri di sisi Samudra. Tingginya hanya sekitar dada Samudra saja.Lalu, siapa wanita yang terus tersenyum seraya tak lepas menatap suaminya ini? Bahkan tak mempedulikan tangannya yang masih mengait tangan Samudra, wanita itu seolah tidak peduli. Dengan percaya dirinya berjalan lebih mendekati Samudra.Lucy-mu telah kembali?Apa maksdunya?Dalam keheranan, Mentari masih berusaha mencerna kalimat yang dilontarkan wanita dewasa itu, saat tiba-tiba Samudra melepaskan tangannya yang sejak tadi terus bertaut. Bahkan tanpa meliriknya sama sekali.Mentari memperhatikan gerakan Samudra itu dengan
54“Sarapan, Mas,” tawar Mentari saat Samudra melewati ruang makan pagi ini. Tadi ia sudah membuat dua tangkup roti bakar. Sengaja membuat dua walaupun tidak yakin pria itu akan pulang. “Hmm.” Hanya itu jawaban Samudra. Kemudian berlalu menuju kamar pribadinya. Mentari menggigit bibirnya. Sesuatu yang ia takutkan pun akhirnya terjadi. Sikap pria itu benar-benar berubah. Tak lagi sama seperti saat sebelum wanita itu datang. Mentari memejam, saat mendengar pintu kamar Samudra tertutup. Ia menggigit roti dengan tidak ada selera sama sekali. Tapi harus tetap ia makan. Jangan sampai karena kejadian ini membuatnya lemah. Mungkin sekarang Samudra masih lelah. Mungkin nanti setelah beristirahat akan menjelaskan semuanyaSekitar satu jam Mentari menunggu Samudra keluar dari kamarnya, tetapi pria itu tak kunjung juga muncul. Entah apa yang dilakukannya di dalam sana. Tak terhitung berapa kali ia menoleh ke arah pintu itu hanya untuk menunggu penghuninya muncul. Namun, semua masih sama. Ia m
376Sore hari Nuri dikejutkan dengan kedatangan Rendra yang menjemputnya ke rumah baru mereka. Rendra meminta Nuri segera bersiap karena akan diantar ke suatu tempat. Katanya atas permintaan Bastian. Sementara Bastian sendiri tidak mengatakan apa pun, padahal waktu istirahat siang tadi mereka sempat bicara di telepon.Walaupun heran, tak ayal Nuri menurut karena sudah sangat mengenal orang kepercayaan Samudra yang dulu selalu melindungi dirinya dan Bastian itu.Rendra mengatakan ini kejutan, dan sebenarnya Bastian melarangnya untuk mengatakan lebih dulu, tapi terpaksa ia katakan karena awalnya Nuri menolak ikut. Dan benar saja, pengawal merangkap sopir itu pertama membawanya ke sebuah salon kecantikan. Di sana Nuri didandani sangat cantik. Gaun malam indah berwarna hitam membalut tubuh sintalnya. Nuri sampai pangling melihat bayangan dirinya sendiri di cermin.“Sebenarnya kita mau ke mana, Pak? Aa Bastian di mana?” tanya Nuri saat mereka sudah kembali berada di dalam mobil. Rendra memb
375Kehidupan kembali berjalan normal setelah mereka pulang ke tanah air. Mereka melanjutkan hidup masing-masing dengan tetap membawa kehangatan keluarga yang semakin terjalin erat. Waktu seminggu liburan seolah menjadi isi ulang energi agar lebih bersemangat dalam menjalani hidup yang sesungguhnya. Antusiasme efek isi ulang itu sangat berdampak dirasakan Mentari dan Samudra. Rasa cinta mereka pun bertambah berkali-kali lipat. Rasanya tidak ada lagi yang mereka inginkan dalam hidup selain tetap bersama.Pagi ini, seperti biasa Mentari mengantar suaminya yang akan berangkat ke kantor, hingga ke mobil yang menunggu di halaman. Tangannya yang mengait erat di lengan Samudra, juga kepalanya yang menyandarm anja selama berjalan hingga halaman, menandakan jika ikatan itu tak akan terpisahkan. Beberapa kecupan di wajah mentari menjadi salam perpisahan setiap kali Samudra akan berangkat ke kantor. Baginya, satu kecupan saja tidak cukup.Mentari melambaikan tangan saat mobil mulai bergerak meni
374Keesokan paginya, sinar matahari menyelinap melalui celah tirai, menerangi kamar hotel dengan cahaya keemasan. Mentari membuka matanya perlahan dan melihat Samudra masih tertidur lelap di sampingnya. Ia tersenyum kecil, merasa beruntung bisa menikmati momen ini.Perlahan, ia mengulurkan tangan, menyelipkan jemarinya di antara rambut Samudra yang acak-acakan, merasakan kelembutan helai-helainya yang sudah mulai memutih di beberapa bagian. Tanpa sadar, hatinya berdesir melihat wajah damai yang semakin hari semakin menambah kadar cintanya.Ia teringat perjalanan cinta mereka yang penuh liku—berawal dari nikah dadakan karena pergantian mempelai laki-laki, salah paham, kecurigaan, dipisahkan fitnah, hingga akhirnya berlabuh dalam cinta yang mendalam. Sekarang, mereka punya segalanya yang ia impikan: pernikahan yang harmonis, anak kembar yang lucu, dan waktu berharga berdua seperti pagi ini. Ia merasa amat bersyukur."Mas …" bisiknya penuh kelembutan, meski ia tahu suaminya belum benar-b
373“Akhirnya ….” Samudra menjatuhkan tubuhnya di atas kasur empuk berukuran besar di kamar hotelnya. Pria itu telentang dengan kedua tangan terbuka lebar dan kedua kaki menjuntai ke lantai. Entah ada keajaiban apa, tiba-tiba saja Bastian memaksa membawa si kembar ke kamarnya, katanya ingin mengajak mereka menginap di sana.Seperti mendapat durian runtuh, tentu saja Samudra merasa lega. Bagaimana tidak? Dua anaknya ingin bermain naik kuda-kudaan di punggungnya. Dua sekaligus.“Makanya, nikah jangan terlalu tua. Biar anak pas aktif-aktifnya, papanya masih strong ngajak mainnya,” ledek Mentari sambil melihat Samudra yang ngos-ngosan melayani kedua anaknya.“Kalau Mas nikah muda, pasti bukan sama kamu.”Mentari mengernyitkan keningnya.“Iya, kan? Kalau Mas nikah umur dua puluhan, pasti bukan sama kamu, karena saat itu kamu masih bau kencur. Mungkin masih ingusan. Belum bisa dinikahi.”Mentari memutar bola mata, tapi ucapan Samudra ada benarnya. Selisih usia mereka cukup jauh. Kalau Samudr
372Pagi itu, matahari Paris menyentuh lembut jendela kamar hotel tempat Nuri dan Bastian menginap. Begitu Nuri membuka jendela, aroma bunga musim semi menyeruak ke dalam kamar, membawa sensasi kebahagiaan yang sempurna.Paris di musim semi adalah lukisan hidup: pohon-pohon sakura bermekaran di taman-taman kota, bunga-bunga aneka warna menghiasi jalanan, dan angin yang sejuk membelai wajahnya, membuat wanita itu tersenyum.Nuri berbalik menghadap ranjang tempat Bastian masih terlelap. Pertarungan panas mereka tadi malam memang menyisakan kelelahan yang teramat. Pantas jika sang suami masih nyenyak. Namun, agenda hari ini padat, dan Nuri tidak mau melewatkannya.Terlebih, hari ini mereka akan menikmatinya bersama keluarga Samudra.Nuri berjalan menuju pintu, lalu keluar dan mendatangi kamar sebelah tempat Samudra dan keluarganya menginap.Ia langsung mengetuk pintu. Tidak menunggu lama, Mentari membukanya.“Hai, Nur. Sudah cantik aja, nih. Sepertinya kamu sudah siap ya, jalan-jalan.” M
371Panik, Bastian berjalan ke arah kios tempat terakhir kali ia melihat Nuri. Ia menanyakan pada beberapa orang di sekitarnya dengan menyebutkan ciri-ciri Nuri, namun tak seorang pun mengetahui istrinya.Aneh, dalam sekejap saja, Nuri hilang seolah ditelan bumi.Pikiran Bastian mulai dipenuhi kekhawatiran. Ini negara orang, dan Nuri baru ke sini. Tidak bisa bahasa Prancis maupun Inggris. Bagaimana kalau ia tersesat?Bastian memutuskan untuk menghubungi Nuri melalui ponsel, tapi panggilannya tak tersambung.“Nomornya tidak aktif,” gumamnya, merasakan kekhawatiran yang semakin besar. Ia terus mencoba, namun hasilnya tetap sama. Napasnya mulai tak beraturan, bayangan buruk terus menghantui pikirannya.Bagaimana jika Nuri diculik? Atau tersesat jauh? Ini Paris, negara yang asing bagi istrinya.Tanpa berpikir panjang, ia mulai menyusuri setiap sudut jalan, berharap bisa menemukan sosok Nuri yang entah kenapa bisa hilang secepat ini.Langkah Bastian semakin cepat, dadanya mulai terasa sesa
370Paris menyambut dua keluarga itu dengan segala pesonanya yang melegenda. Bastian, Nuri, Samudra beserta Mentari dan juga si kembar, turun dari taksi di depan hotel bergaya klasik yang berada di jantung kota.Gedung hotel itu berarsitektur ala Eropa kuno dengan detail balkon berornamen besi tempa dan jendela besar berbingkai kayu putih. Setiap sudutnya tampak seperti lukisan, begitu indah dan romantis. Paris memang terkenal dengan pesona abadinya, dan hari itu, senyum tak pernah lepas dari bibir Nuri.Wanita mungil itu langsung membulatkan mulutnya. Tak henti-henti ia mengagumi kota mode itu semenjak menginjakkan kaki di bandara Charles de Gaulle tadi.“Aa….” Nuri memekik seraya menyatukan kedua tangannya yang terkepal di depan dada. Tubuhnya sedikit membungkuk. “Kita benar-benar di Paris, ya?” tanyanya polos tanpa melihat Bastian karena pandangannya terus menyapu seluruh sudut kota.Bastian tersenyum. Pun dengan Samudra dan Mentari yang ikut mendengar. Antara bahagia yang Bastian
369Bastian mengusap wajahnya setelah mengembuskan napas berkali-kali. Laki-laki itu duduk di sofa dengan wajah menunduk, kedua siku bertumpu di atas pahanya.Suara langkah ayah dan adiknya semakin memudar di kejauhan, membawa kelegaan sekaligus kepedihan yang menyatu dalam dadanya. Rasa lelah dan berat di dadanya mulai bergulir. Ia tahu, sejak saat ini, hubungan dengan keluarga tidak akan sama lagi.Ia yakin, meski tadi sudah menjabat tangannya karena paksaan sang ayah, Andra tidak akan begitu saja melupakan semua ini. Dan Richard? Bastian sangat yakin bahwa mulai saat ini pria itu akan membatasi diri dalam memberikan kasih sayang dan perhatian padanya karena khawatir menimbulkan kecemburuan dari anaknya yang lain.Padahal Bastian sudah sangat bahagia memiliki keluarga. Siapa sangka kebahagiaannya harus diwarnai dengan drama kecemburuan dari adiknya yang berlanjut dengan percobaan merebut istrinya.Sebuah tepukan mampir di pundak Bastian. Sentuhan itu seperti jangkar yang membawanya
368Kedua tangan Bastian kembali mengepal kuat. Wajahnya yang sempat tenang kini kembali memerah dan tegang. Andai bukan karena gelengan Nuri yang menunjukkan ketakutan dan tatapan memohon dari Samudra agar ia tetap tenang, wajah Andra yang sudah babak-belur itu mungkin akan dibuatnya semakin tak berwujud.Bastian menahan napas, padahal dadanya sudah naik-turun dengan cepat."Aa..." Nuri mendekat. "Jangan dengarkan dia. Dia hanya mengada-ngada. Itu sama sekali tidak benar. Aa tahu saya hanya menyukai Aa." Wajah Nuri pucat, sorot ketakutan terpancar jelas. Tangannya meraih tangan Bastian."Saya hanya menganggapnya sebagai adik. Tidak lebih," lanjut Nuri mengiba. "Kalaupun tadi saya menemuinya, itu karena dia bilang mau pamitan sebelum ke Yogya. Kami tidak sempat bertemu sebelum kita kembali ke sini." Suara Nuri terdengar lirih dan bergetar."Sungguh, kalau saya tahu akan seperti ini, saya akan membangunkan Aa saat dia menelepon dari depan pintu. Aa, percayalah pada saya. Dia gila kalau