40Samudra membuka pintu kamar Mentari yang tidak pernah lagi terkunci. Sejak malam itu ia mengambil dan menyimpan kuncinya untuk dirinya sendiri. Ia takut terjadi sesuatu dengan wanita itu seandainya masih memegang kunci. Takut Mentari mengunci pintu dari dalam dan nekat melakukan sesuatu.Dan selama ini ia selalu tidur di sana, itu bentuk tanggung jawabnya terhadap apa yang sudah dilakukannya malam itu. Ia tidak mau Mentari berpikir dirinya laki-laki yang tidak bertanggung jawab dengan meninggalkannya setelah apa yang ia lakukan terhadap wanita itu.Samudra menarik napas dan mengerjap cepat beberapa saat. Kemudian duduk di tepi ranjang. Tangannya terangkat ragu, tetapi kemudian menyentuh punggung yang berbaring melenungkup itu. Mengusapnya lembut.Sebagai pria dewasa ia mengerti jika istrinya yang usianya masih muda itu belum matang secara emosianal. Tidak memikirkan masak-masak apa yang akan dilakukannya. Napsu untuk mewujudkan cita-citanya begitu menggebu. Terlebih itu cita-cita y
41“Aku tidak bekerja, kan? Seperti yang selalu dikatakan keluargaku.”Mentari mendengkus. Bukan itu yang ingin ia dengar. Sebulan menjadi istri pria itu, sesuatu menggelitik hatinya. Pasalnya Samudra tidak terlihat seperti orang yang kekurangan uang. Buktinya, kebutuhannya selalu terpenuhi. Bahkan semenjak kejadian malam itu, sering sekali menghadiahinya barang bermerek yang sebenarnya tidak pernah ia minta. Jangan lupakan kartu hitam yang diberikannya beberapa saat setelah mereka sampai di apertemen setelah hari pernikahan.Mentari memang tidak pernah memakainya karena takut itu hasil bisnis haram, lagi pula semua kebutuhannya sudah tercukupi, ia merasa tidak perlu berbelanja apa pun. Namun, rasa penasaran harus mendapatan penjelasan, bukan?“Kalau Om tidak kerja, kenapa selalu punya uang? Terus teman yang punya percetakan ini, dari mana Om kenal? Masa iya orang yang tidak bekerja punya cyrcle pemilik usaha?”Samudra terdiam. Ditatapnya lembut wanita yang sebenarnya sangat kritis in
41Samudra pamit ke toilet saat Mentari masih menghabiskan makanannya. Gara-gara kebanyakan kepo, ia membutuhkan waktu lebih lama untuk menghabiskan makanannya. Sementara Samudra sudah selesai sejak tadi.Sayangnya, Samudra tidak mau banyak bercerita. Terlebih setelah adegan penyuapan itu. Mentari merasa malu untuk mengangkat wajahnya karena semua orang justru berpikiran jika mereka tengah bermesraan.Mentari baru saja meneguk sisa air dari gelasnya. Lalu mengusap pinggiran bibir dengan tisu saat dua gadis muda berseragam putih abu-abu mendatanginya.“Hai, Kak. Boleh kenalan?” tanya salah satunya seraya mengulurkan tangan. Wajah ranum yang sudah tersentuh make up sejak dini sangat cantik dan menarik saat tersenyum.Walaupun tidak mengenal mereka, tak ayal Mentari menerima uluran tangan keduanya juga sambil memamerkan senyum. Lalu mempersilakan keduanya duduk. Tak ada salahnya sambil menunggu Samudra kembali, ia bicara dengan mereka.“Ada yang bisa aku bantu?” tanya Mentari ramah, dita
42Mentari keluar dari bangunan itu dengan wajah semringah. Meski hanya diajak ke sebuah percetakan, tetapi Samudra benar, wawasannya bertambah. Ia jadi tahu tahapan sebuah buku diproduksi.Di sana ia diajak berkeliling untuk mempelajari proses cetak yang lumayan lama. Step by step dari awal naskah masuk dari penerbit yang sudah matang, yang sudah melalui proses editing juga pemilihan sampul dan lay out. Hingga jadi sebuah buku.Ia mengerti kini, jika proses cetak memakan waktu. Apalagi jika buku yang dicetak tebal. Itu belum termasuk proses di penerbit, di mana proses editing juga memakan cukup waktu.Pria bernama Salman yang seusia Samudra, tadi menerangkan dengan cukup jelas. Pria yang katanya teman sekolah Samudra dana pemilik usaha cukup besar itu mendampinginya hingga ia puas.“Om, makasih, ya,” ujar Mentari saat mereka sudah kembali dalam perjalanan. Hampir seharian di sana karena Mentari meminta berkeliling hingga cukup lama.“Untuk?” Pria yang mengemudi melirik sebentar.“Unt
44 “Tante Yulia?” Mentari bergumam heran di depan pintu metalik yang baru terbuka. Kakinya otomatis terhenti di depan benda yang sejatinya ingin ia masuki agar segera mencapai apartemen Samudra. Wanita usia empat puluh lima yang selalu tampil wah tidak kalah kaget. Ia yang baru keluar dari lift itu, juga terpaku. Matanya menatap hampir tak berkedip sosok Mentari dan juga pria yang baru menyusulnya dan kini berdiri di belakangnya. Bukan, bukan menatap Mentari, tetapi outfit, jam tangan dan juga tas cangklong wanita itu yang kini dijinjing Samudra. Bola mata Yulia bergerak liar menatap barang-barang yang ia sangat tahu tidak murah itu. Semua barang-barang Mentari bermerek dan tentu saja harganya selangit. “Tante, kenapa ada di sini?” tanya Mentari dengan kening berkerut. Tentu saja heran, ini bahkan sudah lewat dari jam sembilam malam, dan ibu tirinya ada di sana. Yulia terlihat gelagapan dan salah tingkah mendapat pertanyaan itu. Namun, bukan Yulia jika tak bisa mencari alasan. “
45 Hening beberapa saat pasca jeritan Mentari yang memekakkan telinga. Keduanya mematung di tempat masing-masing dengan mata dan mulut sama-sama terbuka lebar. Hingga suara sandal yang beradu lantai terdengar, disusul kain handuk yang terburai di lantai diraih sebuah tangan besar. Mentari mengerjap saat kain itu terasa dibebatkan ke tubuhnya. “Cepat pakai bajumu, dan kita tidur. Aku sudah ngantuk.” Rasanya tubuhnya ingin ambruk ke lantai demi mendengar ucapan berbisik itu menyapa telinganya. Entah bagaimana rupa wajahnya saat ini, yang pasti rasa panas bukan hanya menjalari wajahnya, tetapi ke seluruh tubuh hingga terasa gemetar. Walaupun ini bukan pertama kalinya Samudra melihat tubuh polosnya, tetap saja rasa malu itu begitu besar. Sementara Samudra sudah mulai naik ke atas peraduan, dan memasukkan diri di balik selimut yang menutupi kakinya hingga pinggang, Mentari memutuskan berlari ke kamar mandi. Wanita itu bersandar lemas di balik pintu begitu sampai di sana. Rontok sudah
46“Ibu….”Mentari berlari menyongsong wanita bergaun serba putih panjang yang masih cantik walaupun usianya tidak lagi muda.Wanita yang tersenyum lembut itu merentangkan kedua tangannya dengan lebar bersiap menyambut Mentari. Pakaian serba putih dan rambut panjangnya yang terurai bergoyang berirama dibelai angin padang rumput yang lembab. Menciptakan keindahan tersendiri karena gaun putihnya yang sangat kontras dengan hamparan padang rumput seluas mata memandang.Kaki-kaki telanjang Mentari terus berlari melewati hamparan rerumputan hijau hingga mencapai wanita berpakaian putih itu. Ia langsung memeluk erat sang wanita dengan penuh kerinduan.“Ibu, aku kangen. Aku sangat merindukan ibu,” ujarnya bercampur isak yang tertahan. Dadanya penuh sesak. Bukan oleh kesedihan seperti biasa, tapi penuh dijejali rindu dan dan bahagia karena akhirnya bisa bersua dengan orang terkasih.Sungguh kerinduan yang lama terpendam
47“Kamu kenapa?”Pertanyaan itu kembali terlontar saat mereka duduk berdua di meja makan pagi ini.“Memangnya aku kenapa?” Lagi, Mentari balik bertanya seperti dulu. Berpura-pura tidak tahu maksud Samudra, padahal sejak tadi terus menunduk menyembunyikan wajah merahnya.Ia takut pria itu bertanya lagi, dan benar saja, sang pria benar-benar bertanya. Mungkin karena melihatnya terus menunduk dengan wajah memerah.“Muka kamu merah.”Nah, benar saja. Lagi-lagi Samudra melontarkan kalimat itu. Sangat tidak berperasaan.Mentari membuang muka. Rasa panas di wajah dan telinganya bertambah-tambah.“Mungkin karena aku semalam bermimpi bertemu ibu.” Akhirnya ia menemukan jawaban yang sekiranya pas.“Oh.” Hanya itu tanggapan Samudra. Setelahnya keheningan menemani acara sarapan mereka.Mentari sendiri memutuskan terus menunduk menikmati bubur aymh yang tengah dinikmatinya.“Ibumu sejak kapan meninggal?” Setelah sekian lama, suara sang pria terdengar bertanya lagi.“Sejak kecil, sejak umurku 7 ta
376Sore hari Nuri dikejutkan dengan kedatangan Rendra yang menjemputnya ke rumah baru mereka. Rendra meminta Nuri segera bersiap karena akan diantar ke suatu tempat. Katanya atas permintaan Bastian. Sementara Bastian sendiri tidak mengatakan apa pun, padahal waktu istirahat siang tadi mereka sempat bicara di telepon.Walaupun heran, tak ayal Nuri menurut karena sudah sangat mengenal orang kepercayaan Samudra yang dulu selalu melindungi dirinya dan Bastian itu.Rendra mengatakan ini kejutan, dan sebenarnya Bastian melarangnya untuk mengatakan lebih dulu, tapi terpaksa ia katakan karena awalnya Nuri menolak ikut. Dan benar saja, pengawal merangkap sopir itu pertama membawanya ke sebuah salon kecantikan. Di sana Nuri didandani sangat cantik. Gaun malam indah berwarna hitam membalut tubuh sintalnya. Nuri sampai pangling melihat bayangan dirinya sendiri di cermin.“Sebenarnya kita mau ke mana, Pak? Aa Bastian di mana?” tanya Nuri saat mereka sudah kembali berada di dalam mobil. Rendra memb
375Kehidupan kembali berjalan normal setelah mereka pulang ke tanah air. Mereka melanjutkan hidup masing-masing dengan tetap membawa kehangatan keluarga yang semakin terjalin erat. Waktu seminggu liburan seolah menjadi isi ulang energi agar lebih bersemangat dalam menjalani hidup yang sesungguhnya. Antusiasme efek isi ulang itu sangat berdampak dirasakan Mentari dan Samudra. Rasa cinta mereka pun bertambah berkali-kali lipat. Rasanya tidak ada lagi yang mereka inginkan dalam hidup selain tetap bersama.Pagi ini, seperti biasa Mentari mengantar suaminya yang akan berangkat ke kantor, hingga ke mobil yang menunggu di halaman. Tangannya yang mengait erat di lengan Samudra, juga kepalanya yang menyandarm anja selama berjalan hingga halaman, menandakan jika ikatan itu tak akan terpisahkan. Beberapa kecupan di wajah mentari menjadi salam perpisahan setiap kali Samudra akan berangkat ke kantor. Baginya, satu kecupan saja tidak cukup.Mentari melambaikan tangan saat mobil mulai bergerak meni
374Keesokan paginya, sinar matahari menyelinap melalui celah tirai, menerangi kamar hotel dengan cahaya keemasan. Mentari membuka matanya perlahan dan melihat Samudra masih tertidur lelap di sampingnya. Ia tersenyum kecil, merasa beruntung bisa menikmati momen ini.Perlahan, ia mengulurkan tangan, menyelipkan jemarinya di antara rambut Samudra yang acak-acakan, merasakan kelembutan helai-helainya yang sudah mulai memutih di beberapa bagian. Tanpa sadar, hatinya berdesir melihat wajah damai yang semakin hari semakin menambah kadar cintanya.Ia teringat perjalanan cinta mereka yang penuh liku—berawal dari nikah dadakan karena pergantian mempelai laki-laki, salah paham, kecurigaan, dipisahkan fitnah, hingga akhirnya berlabuh dalam cinta yang mendalam. Sekarang, mereka punya segalanya yang ia impikan: pernikahan yang harmonis, anak kembar yang lucu, dan waktu berharga berdua seperti pagi ini. Ia merasa amat bersyukur."Mas …" bisiknya penuh kelembutan, meski ia tahu suaminya belum benar-b
373“Akhirnya ….” Samudra menjatuhkan tubuhnya di atas kasur empuk berukuran besar di kamar hotelnya. Pria itu telentang dengan kedua tangan terbuka lebar dan kedua kaki menjuntai ke lantai. Entah ada keajaiban apa, tiba-tiba saja Bastian memaksa membawa si kembar ke kamarnya, katanya ingin mengajak mereka menginap di sana.Seperti mendapat durian runtuh, tentu saja Samudra merasa lega. Bagaimana tidak? Dua anaknya ingin bermain naik kuda-kudaan di punggungnya. Dua sekaligus.“Makanya, nikah jangan terlalu tua. Biar anak pas aktif-aktifnya, papanya masih strong ngajak mainnya,” ledek Mentari sambil melihat Samudra yang ngos-ngosan melayani kedua anaknya.“Kalau Mas nikah muda, pasti bukan sama kamu.”Mentari mengernyitkan keningnya.“Iya, kan? Kalau Mas nikah umur dua puluhan, pasti bukan sama kamu, karena saat itu kamu masih bau kencur. Mungkin masih ingusan. Belum bisa dinikahi.”Mentari memutar bola mata, tapi ucapan Samudra ada benarnya. Selisih usia mereka cukup jauh. Kalau Samudr
372Pagi itu, matahari Paris menyentuh lembut jendela kamar hotel tempat Nuri dan Bastian menginap. Begitu Nuri membuka jendela, aroma bunga musim semi menyeruak ke dalam kamar, membawa sensasi kebahagiaan yang sempurna.Paris di musim semi adalah lukisan hidup: pohon-pohon sakura bermekaran di taman-taman kota, bunga-bunga aneka warna menghiasi jalanan, dan angin yang sejuk membelai wajahnya, membuat wanita itu tersenyum.Nuri berbalik menghadap ranjang tempat Bastian masih terlelap. Pertarungan panas mereka tadi malam memang menyisakan kelelahan yang teramat. Pantas jika sang suami masih nyenyak. Namun, agenda hari ini padat, dan Nuri tidak mau melewatkannya.Terlebih, hari ini mereka akan menikmatinya bersama keluarga Samudra.Nuri berjalan menuju pintu, lalu keluar dan mendatangi kamar sebelah tempat Samudra dan keluarganya menginap.Ia langsung mengetuk pintu. Tidak menunggu lama, Mentari membukanya.“Hai, Nur. Sudah cantik aja, nih. Sepertinya kamu sudah siap ya, jalan-jalan.” M
371Panik, Bastian berjalan ke arah kios tempat terakhir kali ia melihat Nuri. Ia menanyakan pada beberapa orang di sekitarnya dengan menyebutkan ciri-ciri Nuri, namun tak seorang pun mengetahui istrinya.Aneh, dalam sekejap saja, Nuri hilang seolah ditelan bumi.Pikiran Bastian mulai dipenuhi kekhawatiran. Ini negara orang, dan Nuri baru ke sini. Tidak bisa bahasa Prancis maupun Inggris. Bagaimana kalau ia tersesat?Bastian memutuskan untuk menghubungi Nuri melalui ponsel, tapi panggilannya tak tersambung.“Nomornya tidak aktif,” gumamnya, merasakan kekhawatiran yang semakin besar. Ia terus mencoba, namun hasilnya tetap sama. Napasnya mulai tak beraturan, bayangan buruk terus menghantui pikirannya.Bagaimana jika Nuri diculik? Atau tersesat jauh? Ini Paris, negara yang asing bagi istrinya.Tanpa berpikir panjang, ia mulai menyusuri setiap sudut jalan, berharap bisa menemukan sosok Nuri yang entah kenapa bisa hilang secepat ini.Langkah Bastian semakin cepat, dadanya mulai terasa sesa
370Paris menyambut dua keluarga itu dengan segala pesonanya yang melegenda. Bastian, Nuri, Samudra beserta Mentari dan juga si kembar, turun dari taksi di depan hotel bergaya klasik yang berada di jantung kota.Gedung hotel itu berarsitektur ala Eropa kuno dengan detail balkon berornamen besi tempa dan jendela besar berbingkai kayu putih. Setiap sudutnya tampak seperti lukisan, begitu indah dan romantis. Paris memang terkenal dengan pesona abadinya, dan hari itu, senyum tak pernah lepas dari bibir Nuri.Wanita mungil itu langsung membulatkan mulutnya. Tak henti-henti ia mengagumi kota mode itu semenjak menginjakkan kaki di bandara Charles de Gaulle tadi.“Aa….” Nuri memekik seraya menyatukan kedua tangannya yang terkepal di depan dada. Tubuhnya sedikit membungkuk. “Kita benar-benar di Paris, ya?” tanyanya polos tanpa melihat Bastian karena pandangannya terus menyapu seluruh sudut kota.Bastian tersenyum. Pun dengan Samudra dan Mentari yang ikut mendengar. Antara bahagia yang Bastian
369Bastian mengusap wajahnya setelah mengembuskan napas berkali-kali. Laki-laki itu duduk di sofa dengan wajah menunduk, kedua siku bertumpu di atas pahanya.Suara langkah ayah dan adiknya semakin memudar di kejauhan, membawa kelegaan sekaligus kepedihan yang menyatu dalam dadanya. Rasa lelah dan berat di dadanya mulai bergulir. Ia tahu, sejak saat ini, hubungan dengan keluarga tidak akan sama lagi.Ia yakin, meski tadi sudah menjabat tangannya karena paksaan sang ayah, Andra tidak akan begitu saja melupakan semua ini. Dan Richard? Bastian sangat yakin bahwa mulai saat ini pria itu akan membatasi diri dalam memberikan kasih sayang dan perhatian padanya karena khawatir menimbulkan kecemburuan dari anaknya yang lain.Padahal Bastian sudah sangat bahagia memiliki keluarga. Siapa sangka kebahagiaannya harus diwarnai dengan drama kecemburuan dari adiknya yang berlanjut dengan percobaan merebut istrinya.Sebuah tepukan mampir di pundak Bastian. Sentuhan itu seperti jangkar yang membawanya
368Kedua tangan Bastian kembali mengepal kuat. Wajahnya yang sempat tenang kini kembali memerah dan tegang. Andai bukan karena gelengan Nuri yang menunjukkan ketakutan dan tatapan memohon dari Samudra agar ia tetap tenang, wajah Andra yang sudah babak-belur itu mungkin akan dibuatnya semakin tak berwujud.Bastian menahan napas, padahal dadanya sudah naik-turun dengan cepat."Aa..." Nuri mendekat. "Jangan dengarkan dia. Dia hanya mengada-ngada. Itu sama sekali tidak benar. Aa tahu saya hanya menyukai Aa." Wajah Nuri pucat, sorot ketakutan terpancar jelas. Tangannya meraih tangan Bastian."Saya hanya menganggapnya sebagai adik. Tidak lebih," lanjut Nuri mengiba. "Kalaupun tadi saya menemuinya, itu karena dia bilang mau pamitan sebelum ke Yogya. Kami tidak sempat bertemu sebelum kita kembali ke sini." Suara Nuri terdengar lirih dan bergetar."Sungguh, kalau saya tahu akan seperti ini, saya akan membangunkan Aa saat dia menelepon dari depan pintu. Aa, percayalah pada saya. Dia gila kalau