Penglihatan Cici dan Vivi yang terperangkap di dalam ruangan penumpang langsung tegang mengetahui Nita yang tadi berjalan menuju ke geladak depan tiba-tiba saja tak lagi terlihat di balik kaca jendela ruangan penumpang.
“Astaghfirullah, lihat itu Nita tercebur!” Cici langsung bersorak.
“Apa, Nita tercebur?” Sapta membelalakkan mata, soalnya dia tadi tak melihatnya.
“Di mana Ci?” tanya Sapta penasaran, juga penuh kekhawatiran.
“Di sana Sap, aku tadi sempat melihat Nita berjalan ke depan, lalu dia mendadak lenyap, mungkin saja terjungkal,” tunjuk Cici ke arah kaca jendela ruangan yang ada di sisi sebelah kanan deretan paling belakang.
“Bah, jadi Nita tercebur ke laut?” Sapta tercengang.
“Masak Ci, kok aku nggak lihat.” Wendra yang baru saja sadar dari telernya menyela. Dia kemudian mendekat ke arah Cici.
“Ya Allah, Cici itu benar Wend, aku tadi juga lihat Nita itu tiba-tiba saja menghilang di sana.” Vivi yang tadi juga melihat mendahului jawaban Cici.
“Benah nih Vi?” Nining ikut-ikutan menyela. Dia menatap ragu ke arah Vivi.
“Nggak mungkinlah aku bohong Ning, sudahlah, jangan tanya lagi!” Vivi mengibaskan tangannya.
Tak ada satu pun yang bertindak. Semuanya diam dalam kekalutan setelah dihadiahi keterkejutan. Vivi cepat bergerak menuju ke pintu ruangan. Cici yang tadi ikut menyaksikan Nita terjungkal juga ikut ke sana. Pintu itu mereka buka, tapi tak bisa.
“Wah terkunci Ci,” ujar Vivi gundah.
“Kita buka paksa yok Vi.”
“Ayok!”
Pintu geser itu mereka buka paksa dengan cara mendorongnya ke samping secara bersamaan, namun sama sekali tak bergeser. Bahkan bergerak pun tidak.
“Wah macet Ci, kita terkunci di dalam.” Vivi semakin gundah.
“Sapta, Wendra, kalian berdua itu kan cowok, jangan diam saja, bertindak dong!” seru Vivi pada Sapta dan Wendra yang dilihatnya hanya bengong melihat ke arah kaca jendela.
Bergegas Sapta dan Wendra ke sana. Nining ikut-ikutan pula menuju ke arah pintu. Ganta yang bonyok tak ketinggalan, dengan terpincang pincang dia berjalan menuju ke arah pintu keluar ruangan.
Sapta menyelonong ke depan. Pintu itu dicoba dibukanya dengan paksa, namun tak bisa juga.
“Lho, kok nggak bisa.” Sapta mulai cemas.
“Bantu aku Wend!” pinta Sapta untuk membukanya bersama-sama.
Wendra ikut mendorong pintu itu ke samping. Seluruh tenaga yang ada dia kerahkan, namun semuanya sia-sia.
“Nggak bisa Sapt, macet.”
“Gila!” Sapta menepuk jidatnya.
“Coba keluar dari jendela Sapt,” usul Cici.
“Oh iya, benar.” Wajah Sapta langsung mengarah ke kaca jendela.
Suat keanehan terjadi kemudian. Semua jendela kaca yang ada di sisi depan ruangan penumpang yang tadinya terbuka mendadak tertutup dengan sendirinya. Tertutupnya serempak pula. Kesemuanya bahkan terkunci dengan erat.
Sebuah pintu yang digunakan sebagai akses jalan masuk menuju ke dalam ruangan kemudi kapal juga terkunci dari dalam. Sapta mengintip ke sana melalui kaca pintu yang ada. Seorang juru mudi kapal yang sedari tadi tak kelihatan batang hidungnya dilihat Sapta terkapar di lantai. Berkemungkinan besar dia pingsan karena terkurung terlalu lama di sana. Kepanikan pun semakin menjadi-jadi setelah mereka mengetahuinya.
Sapta mencoba untuk membuka beberapa jendela yang ada di sana. Hanya dengan mengandalkan kekuatan tangan ternyata tidaklah bisa. Dia coba untuk memecahkan kaca jendela dengan menggunakan pemukul kaca darurat yang terpajang di salah satu sisi ruangan, ternyata juga tak bisa. Tak hanya itu, kunci slot yang menahan pinggiran kaca juga dipukulnya paksa dengan pemecah kaca. Aneh, jangankan terbuka, bergeser saja tidak. Seluruh jendela yang ada benar-benar terkunci dengan erat. Benar-benar dikerjain oleh makhluk kasat mata mereka.
Wendra juga berusaha untuk membuka jendela dengan paksa. Bahkan salah satu dari kaca jendela yang ada dicoba dipecahkannya dengan menggunakan kursi lipat yang rangkanya terbuat dari baja bulat. Mengherankan, kaca yang seharusnya pecah itu ternyata begitu keras. Bahkan keras yang terasa mengalahkan kerasnya baja. Tenaga Wendra seolah-olah tak berarti apa-apa. Hal itu jelas sekali menunjukkan adanya suatu kekuatan misterius yang menahannya.
“Bah....! nggak bisa pecah, mampuslah kita.” Wendra menepuk jidatnya tak percaya.
Nining yang juga ikut menyaksikan kaca itu tak bisa pecah cemas seketika. “Tak masuk akal, mana mungkin?” Mulut Nining ternganga. Lalu dia meremas-remas rambutnya.
Cici dan Vivi juga melihatnya. Keduanya saling terpana. Ketakutan dan kecemasan semuanya berkecamuk dalam pikiran.
“Ya Allah, kita akan terkurung Vi, bisa mati kita di sini semuanya kehabisan udara.” ujar Cici. Rasa cemas tak bisa dia sembunyikan dari wajahnya.
Kemelut di dalam ruangan penumpang kini semakin menjadi-jadi. Wendra, Ganta, Cici, Vivi, Nining dan Sapta terperangkap dalam kepanikan. Bayangkan saja, tak ada ventilasi udara, tak ada sirkulasi udara, pendingin udara juga tak menyala, udara segar di dalam ruangan pun tak tersedia. Gas karbon dioksida juga akan semakin banyak merajalela. Jika terkurung terlalu lama, nyawa Wendra, Ganta, Cici, Vivi, Nining dan Sapta juga akan berada dalam bahaya.
*****
Belum lagi kepanikan reda, kepanikan lain kini datang pula. Wajah Wendra yang gagal memecahkan kaca jendela tiba-tiba saja berubah pucat. Sepertinya mahasiswa fakultas ilmu kelautan itu memang lagi apes di obok-obok oleh sejenis makhluk siluman laut yang iseng berbuat bejat.
Sebuah penampakan menyerobot masuk melalui kedua bola mata Wendra. Seorang perempuan paruh baya terlihat oleh Wendra mengintip dirinya dari balik kaca jendela. Anehnya, perempuan itu hanya melihat ke arah Wendra, sedangkan yang lain tidak.
“Gila, ada yang ngintip aku, kayak setan kurang kerjaan saja elu!” umpat Wendra.
Pendengaran perempuan itu terusik. Sepertinya dia bisa mendengar apa yang tersirat di dalam pikiran Wendra. Perempuan itu berang. Dia menatap Wendra bagai tatapan setan. Tak mau kalah, Wendra yang katanya tak takut setan menyerangnya dengan pelototan mata. Adu pelototan mata terjadi terjadi di antara mereka berdua. Wendra kalah, matanya dia pejamkan tak sanggup melihat lama.
Di saat Wendra kembali membuka kedua matanya, kedua bola mata perempuan itu terlihat putih semua. Perempuan itu kemudian menampakkan wajah aslinya, ternyata menyerupai sosok makhluk serigala betina. Persis sama seperti apa yang dilihat oleh Wendra di atas geladak kapal tadi. Perempuan tua itu tersenyum mesra mengetahui Wendra kalah. Wendra mendadak ciut, jantungnya kalang kabut. Untuk yang kedua kalinya Wendra kembali berteriak bagai kesetanan.
Seluruh ruangan itu bergema. Ganta, Cici, Vivi, Nining dan Sapta yang berada dalam kepanikan kaget serempak.
“Gila kamu itu Wend! Nggak di luar, nggak di dalam teriak-teriak setan melulu kerjaannya, memangnya kamu itu benar-benar sudah gila apa!” umpat Cici setelah dihadiahi kekagetan.
“Iya nih, benar-benar keterlaluan elu Wend!” Nining yang juga kaget langsung menyambung umpatan Cici.
*****
Dalam ketidakberdayaannya, suatu kejadian misterius menyergap raga Wendra. Dirinya yang pertama kali tadi menyaksikan adanya penampakan misterius di atas kapal itu kini seutuhnya berada dalam sergapan makhluk kasat mata.
Kedua bola mata Wendra yang hitam perlahan memutih warnanya. Penglihatan Wendra kemudian diselubungi fatamorgana. Gelap gulita dunia kini dia rasakan. Wendra terduduk lemas di salah satu kursi penumpang. Dirinya terbaring dalam kebekuan badan dan ingatan. Kesadaran Wendra perlahan terbang melayang hingga menembus tujuh lapis awan. Tak sanggup lagi Wendra kini membuka matanya. Tak mampu dia bicara. Tak juga dia bisa merasakan apa-apa.
Hingga saat itu, tak seorang pun dari mereka yang terjebak di dalam ruangan itu menyadai apa sebenarnya yang telah terjadi pada diri Wendra. Secara perlahan-lahan, raga Wendra ternyata berubah wujud menjadi sosok makhluk siluman yang mengerikan. Cepat atau lambat, Wendra akan menjadi ancaman bagi siapa saja yang terjebak di dalam ruangan itu.
*****
Tak hanya di dalam ruangan, di luar ruangan penumpang kemelut juga tak kalah sengitnya. Langkah Syahera terhenti sebelum dia sempat melewati akses jalan sempit yang ada di pinggiran dinding-dinding ruangan. Di sepanjang akses jalan itu hingga menuju ke arah lantai geladak bahagian depan Nita sama sekali tak lagi terlihat olehnya. “Lho, Nitanya kok nggak ada ya? Nggak mungkin deh dia bisa menghilang secepat itu.” Rasa waswas mulai menyelimuti benak Syahera. Penglihatan Syahera kemudian tertuju ke arah lautan. “Waduh, jangan-jangan dia....” gumam Syahera membayangkan sesuatu hal yang tadi sempat terpikirkan olehnya. “Jangan-jangan Nita sudah kecebur masuk ke dalam laut,” sebut Syahera lagi. Keceplosan ternyata dia bicara. Syahera langsung menyekap mulutnya. “Ya Allah...., jangan deh, jangan Nit, nggak mungkin.” Syahera memicingkan matanya. Tak ingin sebenarnya Syahera mengucapkan kalimat itu. Tak ingin juga dia berpikiran hingga sampai jauh ke sana. Namun entah
“Nit! Nita! Nita! Ini Syahera.” Syahera berteriak lagi. Suaranya melengking tinggi. “Aku di sini Nit, di sebelah kiri kamu,” sebut Syahera, masih dengan berteriak. Sepertinya kali ini Nita mendengar teriakan. Dia mengangkat kepalanya, lalu menolehkan wajahnya ke arah Syahera. Tangan kanan Syahera yang bebas kemudian dia julurkan sejauh mungkin yang dia bisa ke arah Nita. “Nita, coba raih.!” pinta Syahera. Namun... tangan itu terlalu jauh. Bahkan sangat sangat jauh sekali untuk bisa diraih Nita. Sekitar empat atau lima meter jaraknya, mustahil Nita bisa menyambarnya. Kecuali hanya jika Nita berhasil menemukan pijakan kaki yang lain agar dirinya bisa bergeser mendekat ke arah Syahera. Nita menggelengkan pelan kepalanya, menandakan ketidakmampuan dirinya. Wajahnya kemudian dia tundukkan dengan perlahan. Sesaat Nita meratapi diri, menelan mentah-mentah kengerian di saat dirinya terpaksa harus kembali menyaksikan permukaan air laut yang semakin bergejolak ken
Di saat rasa remuk masih menggerogoti seluruh anggota badan, di saat carut marut juga masih sengit-sengitnya membajak pikiran, dalam kelelahan badan seperti demikian, pendengaran Syahera kembali disuguhi oleh rintihan permohonan yang menyayat perasaan. “Mohon tolong aku Ra,” pinta Nita dengan erangannya. Suaranya begitu lemah, hanya sedikit lebih keras terdengar dibandingkan dengan suara seseorang yang berbisik. Hanya samar-samar juga Syahera bisa mendengarnya. Namun dia tahu, sudah pasti yang dia dengar itu adalah suara Nita. Dalam kepayahan jiwa dan badan, Syahera mencoba untuk bisa duduk dari posisi menelentang. Begitu sakit yang dia rasakan. Setiap melakukan pergerakan, gadis berparas ayu itu terlihat menyeringai kesakitan. Tengkuk kaku dililit kenyerian. Punggung yang terpelecok tak bisa dia luruskan. “Ya Allah, sakitnya,” rintih mahasiswi fakultas ilmu kelautan itu mengelus-elus punggungnya. Hanya sesaat Syahera mampu bertahan. Kemudian dirinya kembali rebah
Kini... tak ingin lagi rasanya Nita meminta. Tak ingin juga dia melihat wajah Syahera sahabatnya. Nita menyadari bahwa waktunya kini benar-benar telah tiba. Genggaman tangannya tak mampu lagi menahan seluruh beban berat badan. Kepedihan hati pun menyelusup senyap dalam pikiran. Teringat kembali oleh Nita akan setumpuk dosa yang telah terlanjur diperbuatnya selama masa hidupnya di dunia. Bagai bisa ular sanca yang menyusup pelan dalam pembuluh darah, begitulah kepedihan yang dirasakan kini oleh Nita. Cairan beracun seolah-olah merayap senyap menuju ke sebongkah jantung merah yang tak lagi berdaya. Dengan cepat racun itu menyergapnya. Lalu mengunyah-ngunyah nya hingga menimbulkan rasa pedih yang tiada tara. Terlalu menyakitkan ternyata. Tak ingin lagi rasanya Nita untuk kembali mengingat dosa-dosanya itu. Tak ingin juga dia menderita terlalu lama menjelang detik-detik kematiannya. “Biarlah aku akhiri saja kini semuanya,” pikir Nita. Dirinya merasa terpaksa harus
Apapun yang terjadi pada diri Syahera, mengapa tiba-tiba saja tubuhnya yang tadi remuk bisa kembali bertenaga, tak dipungkiri lagi, dibalik itu semua ... sepertinya memang ada suatu kekuatan kasat mata yang telah menyelusup masuk ke dalam raga Syahera. Walaupun Syahera sendiri tidak menyadarinya. Lihat saja, sudah hampir lima menit lamanya Syahera bergelantungan, namun belum ada kepayahan yang dia rasakan, hal itu tentu saja mengherankan. Bahkan juga, badan Nita yang puluhan kilo beratnya sama sekali tak sedikit pun bergeser dari genggaman tangan Syahera Lima menit lamanya bergelantungan, kesadaran Nita yang tadi sempat terbang ke awang-awang kini kembali datang. “Hah... malaikat?” Nita terperanjat seketika dirinya terjaga. Dia merasakan tangannya bagai ada yang menyergap. Wajah Nita pucat. Jantungnya kalang kabut. Yang ada dalam pikiran Nita, pasti itulah yang namanya sergapan sosok makhluk bernama malaikat. Tak ingin Nita penasaran, dia
“Syahera, aku semakin terbenam.” Nita berteriak. Sedikit demi sedikit dia merasakan dirinya kembali melorot ke bawah. Tak ada lagi jalan lain, Syahera memang harus tetap mencoba untuk mengangkat tubuh Nita ke atas agar dia bisa meraih besi bulat yang memagari lantai kapal. “Nita, kita coba sekali lagi.” “Ya Ra, soalnya aku juga takut kalau nanti ombak datang lagi, bisa bertambah remuk badan aku jadinya.” “Ok, siap-siap Nit, nanti cepat pegang besinya ya.” “Pasti dong Ra.” Kekuatan misterius yang tadi menyusup masuk ke dalam raga Syahera masih ada di sana. Namun sosok makhluk dari dimensi yang lain ternyata juga masih enggan melepaskan cekalan tangannya di kedua kaki Nita yang sudah terbenam. Begitu tangan Nita di angkat ke atas oleh Syahera, seketika itu juga Nita merasakan tubuhnya bagai meregang dengan keras. “Aduh sakit, mampuslah aku!” jerit Nita tiba-tiba merasakan kesakitan yang tak terkira. “Sudah, hentikan saja Ra!” pinta Nita
Angin kencang kembali menerpa lautan. Rasa dingin juga mulai dirasakan. Nita yang berada tak jauh dari Ratih melipat kedua tangan. Nita kemudian melihat ke arah Ratih. Ratih sudah tersandar di dinding belakang ruangan penumpang. Wajahnya dia tundukkan. Jidatnya dia letakkan di lututnya yang dia tekukkan. Untuk yang Kesenian kalinya, Nita kembali melirik ke arah Syahera yang tergeletak tepat di sampingnya. Syahera yang secara menakjubkan berhasil menyelamatkan Nita tadi kini masih terlihat pingsan. Nita sendiri sampai saat itu tak habis pikir bagai mana caranya dengan tiba-tiba saja Syahera bisa menyelamatkan dirinya yang sudah binasa. Nita masih ingat, tubuhnya tadi sudah lenyap kelelap. Napasnya mengap-mengap, lalu dunia dirasakannya gelap. Namun secara misterius, dalam sekejap mata kemudian tubuh Nita dan Syahera dengan begitu saja sudah berada di geladak kapal bahagian belakang. Keduanya tergeletak di lantai dalam keadaan pingsan.***** Hembusan angin kencang ke
Syahera kembali menghampiri Ratih dan Nita. Ratih menyipitkan mata melihat wajah Syehera tiba-tiba saja berubah cemas. “Syahera, ada apa sih, kok kasak-kusuk begitu?” “Kita harus memecahkan kaca jendela Rat.” “Memecahkan kaca jendela? Apa nggak salah tuh.” “Aku serius ini Rat.” “Memangnya ada apa sih Ra?” “Pintu ruangan yang tadi tiba-tiba saja terhempas kini nggak bisa lagi dibuka dari dalam, semua jendela juga nggak bisa dibuka, makanya dari tadi mereka nggak ada yang keluar.” “Terkunci maksud kamu?” “Mungkin saja macet Rat.” “Kan bisa dibuka paksa.” “Nggak bisa, mereka semuanya pada berdiri di balik pintu menunggu pertolongan kita.” Syahera menunjuk ke arah pintu ruangan penumpang. “Gawat, terkunci?” Nita yang mendengar ikut merasa cemas. “Benar Nit, semuanya pada terkurung di dalam, kita juga nggak bisa masuk.” “Ulah makhluk itu lagi mungkin Ra.” Nita langsung menebak. “Mungkin saja Nit, soal
Air laut pecah berhamburan. Suara hempasan gelombang memecahkan kesunyian. “Braaaaaaak!” Kapal dengan bobot mati 59 ton itu terjungkal. Kemudian terseret puluhan meter seiring dengan berlariannya gulungan ombak yang berkejar-kejaran. Satu menit berlalu, ombak besar yang tadi menyapu badan kapal terlewatkan. Kapal yang terjerembab itu kembali muncul di permukaan lautan. Syahera berhasil selamat dari maut. Ratih dan Nita yang sudah terlebih dahulu berada di dalam kamar mesin juga masih hidup. Ketiganya tergelak dalam keadaan hilang ingatan. Sekujur tubuh memar setelah hempasan. Mengherankan, sesaat kemudian alam kembali tenang. Sebegitu cepatnya badai berlalu, seolah-olah tak pernah ada kejadian apa-apa. Ombak setinggi gunung yang tadi menghempaskan kapal itu kini terlihat semakin menjauh, lalu menghilang dari pandangan. Awan-awan hitam menakutkan yang tadi bergumpal-gumpal di angkasa kini juga menghilang, bersembunyi entah di mana. Cahaya kilat dan gelegar halilintar yan
Badai menampakkan puncak keganasannya. Awan-awan hitam di atas samudra semakin menebal bergumpal-gumpal. Kuat medan listrik statis di dalam awan meningkat tajam. Molekul-molekul uap air semakin memberat dan membesar, lalu tumpah ruah berhamburan. Langit hitam seolah-olah bocor. Hujan lebat pun berjatuhan membanjiri lautan. Yang lebih menakutkan, energi listrik yang tersimpan di dalam gumpalan awan badai cumulonimbus yang menyelimuti permukaan lautan itu kini mencapai puncak kekuatannya. Dentuman suara halilintar bertubi-tubi terdengar. Lalu diikuti dengan puluhan cahaya kilat dan sambaran halilintar. Terjangan kilat-kilat panas terlihat menyerupai kuku-kuku setan menyambar ke sana kemari bertubi-tubi tanpa ampun. Ratih dan Nita yang tergelatak pingsan di lantai geladak sontak terjaga mendengar suara gelegar halilintar yang memekakkan. “Astaga, badai!” Mulut Ratih ternganga melihat angkasa. Langit hitam dilihatnya memerah bagai bara. “Wah, kiamat!” Nita terbelalak m
Ketakutan, itulah yang dirasakan oleh Vivi kini. Namun rasa penasarannya juga semakin menjadi-jadi. “Apakah sebenarnya yang terjadi di dalam ruangan kemudi? Mengapa ada suara auman dan desahan yang muncul dari sana?” Pintu ruangan kemudi yang kempot itu perlahan dibukanya juga. Lima anak tangga menuju kursi kemudi yang ada di dalam ruangan itu kemudian dinaikinya tanpa suara. Baru saja menginjakkan kaki di anak tangga yang kedua, Vivi menghentikan langkahnya. Wendra ternyata berada di sana, di pojok kiri ruangan kemudi. Wajahnya menghadap ke depan memandangi lautan. “Lho, itu kan Wendra.” Mulut Vivi ternganga. Tubuh Wendra tampak gosong bagai tersambar halilintar. Tak diduga, raga Wendra yang sedari tadi berada dalam sergapan makhluk siluman itu ternyata kini telah berubah wujud menjadi sosok makhluk yang mengerikan. Namun, apa sebenarnya yang telah terjadi, Vivi masih belum sepenuhnya paham. “Wah, ada apa ini, tubuh Wendra kok berubah jadi hitam begitu? Ja
Badai sepertinya akan kembali datang. Valdo dan Syahera masih belum juga terlihat muncul di permukaan lautan. Harap-harap cemas dirasakan, yang paling cemas adalah Nita. Sepertinya dia masih tak rela jika Syahera yang telah menyelamatkan nyawanya itu pergi untuk selama-lamanya. “Kok belum muncul juga si Valdo itu ya Rat, aku takutnya kalau ombak besar kembali datang.” Nita menapakkan kegusarannya. “Iya nih, sudah lebih dua menit. Tapi... kenapa perasaan aku jadi semakin nggak enak ya Nit, menurut aku sepertinya ada sesuatu yang aneh deh.” “Si Valdo itu maksud kamu Rat? Memang sudah begitu sifatnya, dia itu orangnya pendiam, bahkan hampir tak pernah bicara.” “Kalau itu aku sudah tahu sih, tapi yang terlintas dalam pikiran aku adalah bahwa si Valdo itu mungkin saja adalah penjelmaan dari sosok makhluk kelelawar yang menghilang di atas kamar mesin tadi itu Nit.” “Jangan nakut-nakutin kayak gitu deh Rat.” “Yah... tapi itu hanya anggapan aku saja sih.
Penglihatan Nita tertancap ke arah pintu kamar mesin. Di sanalah tadi sosok makhluk kelelawar raksasa itu menghilang. Terpikir oleh Nita, mungkin saja ada sesuatu yang lain di sana. “Jangan-jangan makhluk itu bukannya menghilang, melainkan masuk ke dalam kamar mesin, hal itu boleh jadi,” pikir Nita. Nita mencoba menelaah. Terpikir olehnya kemudian Valdo, si teknisi kapal. Nita masih ingat, sejak pertama kali kapal itu jangkar, Valdo si teknisi kapal itu masuk ke dalam ruangan mesin untuk melakukan perbaikan. Dan sejak saat itu Valdo tak lagi terlihat olehnya. “Mungkin saja Valdo si teknisi kapal itu terkunci di sana. Si Valdo itu kan biasa bekerja di laut, pasti dia jago renang. Tentu saja dia bisa menyelamatkan Syahera yang tenggelam,” gumam Nita lagi. Begitu berharapnya Nita agar Syahera bisa diselamatkan. Harapan itu memang masih ada. Nita sendiri paham, sebagai seorang mahasiswi ilmu kelautan, Syahera mempunyai kelebihan dalam hal pernapasan. Catatan kemamp
Mendung kesedihan melanda Nita. Hati kecilnya tak bisa menerima kenyataan bahwa Syahera yang telah menyelamatkan dirinya dari kematian itu telah pergi untuk selama-lamanya. “Kamu jangan pergi Ra, jangan tinggalkan aku sahabatmu!” sebut Nita. Kedua bola matanya memerah menahan air mata. “Syahera, Syahera! Kamu di mana!” Nita kembali berteriak memanggil-manggil nama sahabatnya. “Syahera mungkin sudah nggak ada lagi Nit,” sela Ratih menampakkan wajah kesedihannya. Ratih kemudian menengadahkan wajahnya ke atas. Sesaat dia memejamkan mata, kemudian dia kembali melihat ke arah Nita. “Dia telah pergi meninggalkan kita Nit, kita harus rela menerimanya,” sebut Ratih lagi. “Nggak mungkin Rat, nggak mungkin dia telah pergi, tolong jangan katakan kalimat itu lagi Rat, jangan lagi,” balas Nita. Sepertinya dia benar-benar tak rela mendengar kalimat yang terucap dari mulut Ratih tadi. “Nggak mungkin!” ulang Nita lagi. Untuk sejenak Nita diam menena
Syahera tumbang. Kesadarannya menghilang. Keenam makhluk cebol yang telah menghabisi Syahera itu juga mendadak menghilang dari penglihatan. Ratih dan Nita yang menyaksikannya tercengang. “Ya Tuhan.” Wajah Nita tegang. “Bah, makhluk-makhluk cebol itu menghilang.” Ratih kebingungan. “Mereka itu para siluman Rat.” “Benar Nit, wajah mereka sangat menakutkan.” “Memang dasar makhluk siluman ... biadab!” Nita mengumpat. “Tapi gawat Nit, bisa-bisa saja Syahera kecebur kalau badai kembali datang,” sebut Ratih. Tak bisa dia menyembunyikan rasa kekhawatirannya. Dia perhatikan lagi, posisi Syahera tergeletak tepat di pinggir lantai geladak. Jika kapal itu kembali terguncang, dapat dipastikan Syahera akan terhambur masuk ke dalam lautan. “Bagaimana ini Nit, Syahera bisa saja celaka.” “Ya Tuhan, jangan sampai deh.” Nita tak ingin berpikiran sampai ke sana. “Syahera!” teriak Nita. “Syahera! Bangun Ra!” Nita berteriak lagi. Kedua bola
Udara di dalam ruangan penumpang mulai pengap. Gas karbon dioksida CO2 juga semakin leluasa merayap. Vivi, Cici, Nining, Sapta, dan Ganta yang roboh bertumpuk-tumpuk di depan pintu ruangan mulai mengap-mengap. Dalam keadaan kehilangan kesadaran, mereka juga mengalami kesulitan dalam bernapas. Tak ada lagi yang sanggup bersuara. Ruangan penumpang yang mewah itu pun berubah senyap serasa berada di dalam kamar mayat dengan kondisi jendela dan kaca-kaca dalam kondisi tertutup rapat. Tak hanya itu, ancaman lain yang lebih mengerikan juga mulai merayap di dalam ruangan. Wendra, mahasiswa yang pertama kali melihat adanya penampakan di kapal itu sudah terlanjur disusupi kekuatan gaib makhluk siluman. Dirinya yang sedari tadi terduduk di salah satu kursi penumpang kini berada dalam kebekuan badan dan ingatan. Raga Wendra perlahan berubah wujud. Sekujur tubuhnya gosong menghitam. Mengerikan! Tak berapa lama lagi mahasiswa fakultas ilmu kelautan itu juga akan menjadi sosok makhluk sil
Syahera kembali menghampiri Ratih dan Nita. Ratih menyipitkan mata melihat wajah Syehera tiba-tiba saja berubah cemas. “Syahera, ada apa sih, kok kasak-kusuk begitu?” “Kita harus memecahkan kaca jendela Rat.” “Memecahkan kaca jendela? Apa nggak salah tuh.” “Aku serius ini Rat.” “Memangnya ada apa sih Ra?” “Pintu ruangan yang tadi tiba-tiba saja terhempas kini nggak bisa lagi dibuka dari dalam, semua jendela juga nggak bisa dibuka, makanya dari tadi mereka nggak ada yang keluar.” “Terkunci maksud kamu?” “Mungkin saja macet Rat.” “Kan bisa dibuka paksa.” “Nggak bisa, mereka semuanya pada berdiri di balik pintu menunggu pertolongan kita.” Syahera menunjuk ke arah pintu ruangan penumpang. “Gawat, terkunci?” Nita yang mendengar ikut merasa cemas. “Benar Nit, semuanya pada terkurung di dalam, kita juga nggak bisa masuk.” “Ulah makhluk itu lagi mungkin Ra.” Nita langsung menebak. “Mungkin saja Nit, soal