Tak hanya di dalam ruangan, di luar ruangan penumpang kemelut juga tak kalah sengitnya. Langkah Syahera terhenti sebelum dia sempat melewati akses jalan sempit yang ada di pinggiran dinding-dinding ruangan. Di sepanjang akses jalan itu hingga menuju ke arah lantai geladak bahagian depan Nita sama sekali tak lagi terlihat olehnya.
“Lho, Nitanya kok nggak ada ya? Nggak mungkin deh dia bisa menghilang secepat itu.” Rasa waswas mulai menyelimuti benak Syahera.
Penglihatan Syahera kemudian tertuju ke arah lautan. “Waduh, jangan-jangan dia....” gumam Syahera membayangkan sesuatu hal yang tadi sempat terpikirkan olehnya.
“Jangan-jangan Nita sudah kecebur masuk ke dalam laut,” sebut Syahera lagi. Keceplosan ternyata dia bicara. Syahera langsung menyekap mulutnya. “Ya Allah...., jangan deh, jangan Nit, nggak mungkin.” Syahera memicingkan matanya.
Tak ingin sebenarnya Syahera mengucapkan kalimat itu. Tak ingin juga dia berpikiran hingga sampai jauh ke sana. Namun entah mengapa tiba-tiba saja kalimat itu sudah terlontarkan dengan begitu saja dari mulutnya.
Syahera kini mencoba untuk mencampakkan keraguannya. Meyakinkan dirinya sendiri bahwa Nita sebenarnya telah berada di geladak kapal bahagian depan sebelum dirinya tadi tiba di sana.
Dengan harap-harap cemas, sejenak Syahera mencoba bertahan di pojok belakang dinding luar ruangan untuk memastikan. Sebuah besi siku tempat kedudukan antena radio yang tertancap kokoh di atas atap bahagian belakang ruangan penumpang itu dipegangnya dengan erat. Dijadikannya sebagai tumpuan badan berjaga-jaga jika seandainya ombak besar nanti mendadak datang menghadang.
“Hoi Nita, kamu di mana?” Syahera berteriak. Suranya dia arahkan ke geladak depan kapal. Dia juga berjinjit menjulurkan kepalanya ke atas sedikit lebih tinggi dari pada atap ruangan penumpang. Lalu dia berteriak lagi. Syehera memasang pendengarannya tajam-tajam. Hanya senyap yang dia dapat setelah teriakan. Tak ada suara sahutan. Yang terdengar hanyalah suara gemuruh ombak yang semakin bergejolak kencang.
“Nita!” Kembali Syahera berteriak. Dia lebih mengeraskan suaranya. Bahkan dengan lengkingan yang tinggi pula.
“Nita! Nita! Nita!” Syahera berteriak lagi hingga berkali-kali. “Nita...!” Dia kembali berteriak. Hingga kerongkongannya yang basah itu jadi mengering oleh teriakan, namun masih saja keheningan yang didapat oleh Syahera.
Pupuslah sudah kini harapan. Kali ini Syahera harus ikhlas untuk bisa menerima kanyataan bahwa Nita sahabat dekatnya itu benar-benar tak lagi ada di sana.
“Nita telah lenyap tercebur ke dalam lautan.” Kalimat itu yang tertinggal di dalam benak Syahera kini. Syahera tersandar lemas di dinding luar ruangan penumpang. Dia biarkan bajunya yang kotor semakin kotor menempel di dinding yang kotor.
Sejenak Syahera hanya bisa bersedekap. Wajahnya dia tengadahkan ke atas. Kedua bola mata gadis ayu berlesung pipit itu berkaca-kaca menatap angkasa. Seolah-olah dirinya membayangkan jiwa Nita sahabatnya yang tengah melayang bebas di sana melambaikan tangannya ke arahnya.
Nita adalah sahabat terbaik Syahera. Mereka berdua sudah saling kenal sudah hampir sepuluh tahun lamanya. Dimulai semenjak awal memasuki masa-masa SMP di kampung halaman mereka dulu. Hingga keduanya sama-sama memilih fakultas ilmu kelautan di universitas yang sama. Juga merantau di kota yang sama. Tak hanya itu, kamar kos Nita juga persis bersebelahan letaknya dengan kamarnya Syahera.
Sepuluh tahun, boleh dikatakan adalah suatu kurun waktu yang begitu lama untuk bisa memahami arti sebuah persahabatan di antara mereka berdua. Hal itu jugalah yang telah membuat kedua bola mata Syahera seketika berkaca-kaca. Juga menyebabkan warna putih yang ada di kedua bola matanya itu tiba-tiba saja berubah merah warnanya. Kedua bola mata Syahera yang memerah itu sudah cukup untuk membuktikan bahwa dirinya benar-benar merasa kehilangan seseorang yang setia bersahabat dengan dirinya hingga hampir sepuluh tahun lamanya. Setetes cairan bening kemudian tiba-tiba saja jebol dari kedua sudut bola mata Syahera yang indah. Sebegitu cepatnya.
Sepasang bola mata Syahera yang basah kini mengarah ke permukaan lautan. Dicobanya untuk sekedar bisa mengurai kesedihan. Hingga sampai ke ujung sana dipandanginya tanpa kedipan. Syahera kemudian mengarahkan pandangannya ke depan. Kedua bola mata mahasiswi ilmu kelautan itu tak sengaja terpelet pada besi pengaman lantai geladak kapal yang berada tak seberapa jauh di depannya. Cukup lama kedua bola mata gadis berlesung pipit itu tertancap ke sana. Penglihatannya kemudian semakin dia mempertajam. Sepertinya dia melihat ada seseorang yang sedang menggenggam besi bulat pembatas lantai kapal itu dari bawah. Boleh dikatakan, ada seseorang yang tengah bergayut di sana. Dalam benak Syahera langsung terbayang wajah Nita sahabatnya.
“Astaghfirullah.” Kedua bola mata Syahera terbelalak melihat.
Tak disangka, sebuah pemandangan yang menyesakkan dada telah tersuguh di sana. Napas Syahera mendesah panjang menyaksikan. Nita ternyata sedang bergayut di luar dinding kapal. Padahal sedari tadi Syahera sama sekali tak melihatnya. Di saat terpeleset tadi, Nita ternyata berhasil meraih besi bulat pembatas lantai kapal sebelum dirinya tercebur masuk ke dalam lautan.
Dalam penglihatan Syahera, hanya kepalan tangan Nita saja yang tampak, berjarak sekitar empat atau lima meter jauhnya dari posisi di mana Syahera berada. Kedua tangan Nita terlihat masih menggenggam penuh besi bulat berdiameter dua setengah inci pembatas lantai geladak. Badan Nita yang bergelantungan menempel dengan ketat di dinding lambung kapal bahagian bawah berbentuk huruf ‘V’ yang melekuk ke dalam, hingga tak terlalu jelas terlihat dari atas oleh Syahera.
“Masyaallah, Nita!” Syahera menelan air liurnya, mengatupkan kelopak matanya, juga mengusap-usap dadanya, seolah-olah dirinya tak tega melihatnya.
“Nita!”pekik Syahera. Nita tak menyahut. Syahera mencoba melongokkan kepalanya ke arah dinding bawah lambung kapal untuk mendapatkan penglihatan. Kepala dan punggung belakang Nita kini tampak olehnya, namun tak terlalu jelas.
Dengan berpegangan erat pada besi siku yang ada di atas atap ruangan penumpang, Syahera memberanikan diri membungkukkan badan. Dia kini bisa melihat hingga sampai ke bahagian bawah lambung kapal. Kaki kanan Nita terlihat melebar. Kaki itu tengah bertumpu pada lekukan yang ada dinding luar lambung kapal. Hal itu tentunya bisa untuk mengurangi beban berat badan. Kaki kiri Nita masih bergerak mencari-cari tumpuan yang lain. Namun sepertinya tak ada lagi lekukan lain yang bisa dia jadikan sebagai tempat pijakan. Bagai aksi seorang pemanjat tebing terkatung-katung tanpa pengaman, begitulah kondisi Nita terlihat kini, bergelantungan bebas di dinding luar lambung kapal yang terjal.
*****
“Nit! Nita! Nita! Ini Syahera.” Syahera berteriak lagi. Suaranya melengking tinggi. “Aku di sini Nit, di sebelah kiri kamu,” sebut Syahera, masih dengan berteriak. Sepertinya kali ini Nita mendengar teriakan. Dia mengangkat kepalanya, lalu menolehkan wajahnya ke arah Syahera. Tangan kanan Syahera yang bebas kemudian dia julurkan sejauh mungkin yang dia bisa ke arah Nita. “Nita, coba raih.!” pinta Syahera. Namun... tangan itu terlalu jauh. Bahkan sangat sangat jauh sekali untuk bisa diraih Nita. Sekitar empat atau lima meter jaraknya, mustahil Nita bisa menyambarnya. Kecuali hanya jika Nita berhasil menemukan pijakan kaki yang lain agar dirinya bisa bergeser mendekat ke arah Syahera. Nita menggelengkan pelan kepalanya, menandakan ketidakmampuan dirinya. Wajahnya kemudian dia tundukkan dengan perlahan. Sesaat Nita meratapi diri, menelan mentah-mentah kengerian di saat dirinya terpaksa harus kembali menyaksikan permukaan air laut yang semakin bergejolak ken
Di saat rasa remuk masih menggerogoti seluruh anggota badan, di saat carut marut juga masih sengit-sengitnya membajak pikiran, dalam kelelahan badan seperti demikian, pendengaran Syahera kembali disuguhi oleh rintihan permohonan yang menyayat perasaan. “Mohon tolong aku Ra,” pinta Nita dengan erangannya. Suaranya begitu lemah, hanya sedikit lebih keras terdengar dibandingkan dengan suara seseorang yang berbisik. Hanya samar-samar juga Syahera bisa mendengarnya. Namun dia tahu, sudah pasti yang dia dengar itu adalah suara Nita. Dalam kepayahan jiwa dan badan, Syahera mencoba untuk bisa duduk dari posisi menelentang. Begitu sakit yang dia rasakan. Setiap melakukan pergerakan, gadis berparas ayu itu terlihat menyeringai kesakitan. Tengkuk kaku dililit kenyerian. Punggung yang terpelecok tak bisa dia luruskan. “Ya Allah, sakitnya,” rintih mahasiswi fakultas ilmu kelautan itu mengelus-elus punggungnya. Hanya sesaat Syahera mampu bertahan. Kemudian dirinya kembali rebah
Kini... tak ingin lagi rasanya Nita meminta. Tak ingin juga dia melihat wajah Syahera sahabatnya. Nita menyadari bahwa waktunya kini benar-benar telah tiba. Genggaman tangannya tak mampu lagi menahan seluruh beban berat badan. Kepedihan hati pun menyelusup senyap dalam pikiran. Teringat kembali oleh Nita akan setumpuk dosa yang telah terlanjur diperbuatnya selama masa hidupnya di dunia. Bagai bisa ular sanca yang menyusup pelan dalam pembuluh darah, begitulah kepedihan yang dirasakan kini oleh Nita. Cairan beracun seolah-olah merayap senyap menuju ke sebongkah jantung merah yang tak lagi berdaya. Dengan cepat racun itu menyergapnya. Lalu mengunyah-ngunyah nya hingga menimbulkan rasa pedih yang tiada tara. Terlalu menyakitkan ternyata. Tak ingin lagi rasanya Nita untuk kembali mengingat dosa-dosanya itu. Tak ingin juga dia menderita terlalu lama menjelang detik-detik kematiannya. “Biarlah aku akhiri saja kini semuanya,” pikir Nita. Dirinya merasa terpaksa harus
Apapun yang terjadi pada diri Syahera, mengapa tiba-tiba saja tubuhnya yang tadi remuk bisa kembali bertenaga, tak dipungkiri lagi, dibalik itu semua ... sepertinya memang ada suatu kekuatan kasat mata yang telah menyelusup masuk ke dalam raga Syahera. Walaupun Syahera sendiri tidak menyadarinya. Lihat saja, sudah hampir lima menit lamanya Syahera bergelantungan, namun belum ada kepayahan yang dia rasakan, hal itu tentu saja mengherankan. Bahkan juga, badan Nita yang puluhan kilo beratnya sama sekali tak sedikit pun bergeser dari genggaman tangan Syahera Lima menit lamanya bergelantungan, kesadaran Nita yang tadi sempat terbang ke awang-awang kini kembali datang. “Hah... malaikat?” Nita terperanjat seketika dirinya terjaga. Dia merasakan tangannya bagai ada yang menyergap. Wajah Nita pucat. Jantungnya kalang kabut. Yang ada dalam pikiran Nita, pasti itulah yang namanya sergapan sosok makhluk bernama malaikat. Tak ingin Nita penasaran, dia
“Syahera, aku semakin terbenam.” Nita berteriak. Sedikit demi sedikit dia merasakan dirinya kembali melorot ke bawah. Tak ada lagi jalan lain, Syahera memang harus tetap mencoba untuk mengangkat tubuh Nita ke atas agar dia bisa meraih besi bulat yang memagari lantai kapal. “Nita, kita coba sekali lagi.” “Ya Ra, soalnya aku juga takut kalau nanti ombak datang lagi, bisa bertambah remuk badan aku jadinya.” “Ok, siap-siap Nit, nanti cepat pegang besinya ya.” “Pasti dong Ra.” Kekuatan misterius yang tadi menyusup masuk ke dalam raga Syahera masih ada di sana. Namun sosok makhluk dari dimensi yang lain ternyata juga masih enggan melepaskan cekalan tangannya di kedua kaki Nita yang sudah terbenam. Begitu tangan Nita di angkat ke atas oleh Syahera, seketika itu juga Nita merasakan tubuhnya bagai meregang dengan keras. “Aduh sakit, mampuslah aku!” jerit Nita tiba-tiba merasakan kesakitan yang tak terkira. “Sudah, hentikan saja Ra!” pinta Nita
Angin kencang kembali menerpa lautan. Rasa dingin juga mulai dirasakan. Nita yang berada tak jauh dari Ratih melipat kedua tangan. Nita kemudian melihat ke arah Ratih. Ratih sudah tersandar di dinding belakang ruangan penumpang. Wajahnya dia tundukkan. Jidatnya dia letakkan di lututnya yang dia tekukkan. Untuk yang Kesenian kalinya, Nita kembali melirik ke arah Syahera yang tergeletak tepat di sampingnya. Syahera yang secara menakjubkan berhasil menyelamatkan Nita tadi kini masih terlihat pingsan. Nita sendiri sampai saat itu tak habis pikir bagai mana caranya dengan tiba-tiba saja Syahera bisa menyelamatkan dirinya yang sudah binasa. Nita masih ingat, tubuhnya tadi sudah lenyap kelelap. Napasnya mengap-mengap, lalu dunia dirasakannya gelap. Namun secara misterius, dalam sekejap mata kemudian tubuh Nita dan Syahera dengan begitu saja sudah berada di geladak kapal bahagian belakang. Keduanya tergeletak di lantai dalam keadaan pingsan.***** Hembusan angin kencang ke
Syahera kembali menghampiri Ratih dan Nita. Ratih menyipitkan mata melihat wajah Syehera tiba-tiba saja berubah cemas. “Syahera, ada apa sih, kok kasak-kusuk begitu?” “Kita harus memecahkan kaca jendela Rat.” “Memecahkan kaca jendela? Apa nggak salah tuh.” “Aku serius ini Rat.” “Memangnya ada apa sih Ra?” “Pintu ruangan yang tadi tiba-tiba saja terhempas kini nggak bisa lagi dibuka dari dalam, semua jendela juga nggak bisa dibuka, makanya dari tadi mereka nggak ada yang keluar.” “Terkunci maksud kamu?” “Mungkin saja macet Rat.” “Kan bisa dibuka paksa.” “Nggak bisa, mereka semuanya pada berdiri di balik pintu menunggu pertolongan kita.” Syahera menunjuk ke arah pintu ruangan penumpang. “Gawat, terkunci?” Nita yang mendengar ikut merasa cemas. “Benar Nit, semuanya pada terkurung di dalam, kita juga nggak bisa masuk.” “Ulah makhluk itu lagi mungkin Ra.” Nita langsung menebak. “Mungkin saja Nit, soal
Udara di dalam ruangan penumpang mulai pengap. Gas karbon dioksida CO2 juga semakin leluasa merayap. Vivi, Cici, Nining, Sapta, dan Ganta yang roboh bertumpuk-tumpuk di depan pintu ruangan mulai mengap-mengap. Dalam keadaan kehilangan kesadaran, mereka juga mengalami kesulitan dalam bernapas. Tak ada lagi yang sanggup bersuara. Ruangan penumpang yang mewah itu pun berubah senyap serasa berada di dalam kamar mayat dengan kondisi jendela dan kaca-kaca dalam kondisi tertutup rapat. Tak hanya itu, ancaman lain yang lebih mengerikan juga mulai merayap di dalam ruangan. Wendra, mahasiswa yang pertama kali melihat adanya penampakan di kapal itu sudah terlanjur disusupi kekuatan gaib makhluk siluman. Dirinya yang sedari tadi terduduk di salah satu kursi penumpang kini berada dalam kebekuan badan dan ingatan. Raga Wendra perlahan berubah wujud. Sekujur tubuhnya gosong menghitam. Mengerikan! Tak berapa lama lagi mahasiswa fakultas ilmu kelautan itu juga akan menjadi sosok makhluk sil
Air laut pecah berhamburan. Suara hempasan gelombang memecahkan kesunyian. “Braaaaaaak!” Kapal dengan bobot mati 59 ton itu terjungkal. Kemudian terseret puluhan meter seiring dengan berlariannya gulungan ombak yang berkejar-kejaran. Satu menit berlalu, ombak besar yang tadi menyapu badan kapal terlewatkan. Kapal yang terjerembab itu kembali muncul di permukaan lautan. Syahera berhasil selamat dari maut. Ratih dan Nita yang sudah terlebih dahulu berada di dalam kamar mesin juga masih hidup. Ketiganya tergelak dalam keadaan hilang ingatan. Sekujur tubuh memar setelah hempasan. Mengherankan, sesaat kemudian alam kembali tenang. Sebegitu cepatnya badai berlalu, seolah-olah tak pernah ada kejadian apa-apa. Ombak setinggi gunung yang tadi menghempaskan kapal itu kini terlihat semakin menjauh, lalu menghilang dari pandangan. Awan-awan hitam menakutkan yang tadi bergumpal-gumpal di angkasa kini juga menghilang, bersembunyi entah di mana. Cahaya kilat dan gelegar halilintar yan
Badai menampakkan puncak keganasannya. Awan-awan hitam di atas samudra semakin menebal bergumpal-gumpal. Kuat medan listrik statis di dalam awan meningkat tajam. Molekul-molekul uap air semakin memberat dan membesar, lalu tumpah ruah berhamburan. Langit hitam seolah-olah bocor. Hujan lebat pun berjatuhan membanjiri lautan. Yang lebih menakutkan, energi listrik yang tersimpan di dalam gumpalan awan badai cumulonimbus yang menyelimuti permukaan lautan itu kini mencapai puncak kekuatannya. Dentuman suara halilintar bertubi-tubi terdengar. Lalu diikuti dengan puluhan cahaya kilat dan sambaran halilintar. Terjangan kilat-kilat panas terlihat menyerupai kuku-kuku setan menyambar ke sana kemari bertubi-tubi tanpa ampun. Ratih dan Nita yang tergelatak pingsan di lantai geladak sontak terjaga mendengar suara gelegar halilintar yang memekakkan. “Astaga, badai!” Mulut Ratih ternganga melihat angkasa. Langit hitam dilihatnya memerah bagai bara. “Wah, kiamat!” Nita terbelalak m
Ketakutan, itulah yang dirasakan oleh Vivi kini. Namun rasa penasarannya juga semakin menjadi-jadi. “Apakah sebenarnya yang terjadi di dalam ruangan kemudi? Mengapa ada suara auman dan desahan yang muncul dari sana?” Pintu ruangan kemudi yang kempot itu perlahan dibukanya juga. Lima anak tangga menuju kursi kemudi yang ada di dalam ruangan itu kemudian dinaikinya tanpa suara. Baru saja menginjakkan kaki di anak tangga yang kedua, Vivi menghentikan langkahnya. Wendra ternyata berada di sana, di pojok kiri ruangan kemudi. Wajahnya menghadap ke depan memandangi lautan. “Lho, itu kan Wendra.” Mulut Vivi ternganga. Tubuh Wendra tampak gosong bagai tersambar halilintar. Tak diduga, raga Wendra yang sedari tadi berada dalam sergapan makhluk siluman itu ternyata kini telah berubah wujud menjadi sosok makhluk yang mengerikan. Namun, apa sebenarnya yang telah terjadi, Vivi masih belum sepenuhnya paham. “Wah, ada apa ini, tubuh Wendra kok berubah jadi hitam begitu? Ja
Badai sepertinya akan kembali datang. Valdo dan Syahera masih belum juga terlihat muncul di permukaan lautan. Harap-harap cemas dirasakan, yang paling cemas adalah Nita. Sepertinya dia masih tak rela jika Syahera yang telah menyelamatkan nyawanya itu pergi untuk selama-lamanya. “Kok belum muncul juga si Valdo itu ya Rat, aku takutnya kalau ombak besar kembali datang.” Nita menapakkan kegusarannya. “Iya nih, sudah lebih dua menit. Tapi... kenapa perasaan aku jadi semakin nggak enak ya Nit, menurut aku sepertinya ada sesuatu yang aneh deh.” “Si Valdo itu maksud kamu Rat? Memang sudah begitu sifatnya, dia itu orangnya pendiam, bahkan hampir tak pernah bicara.” “Kalau itu aku sudah tahu sih, tapi yang terlintas dalam pikiran aku adalah bahwa si Valdo itu mungkin saja adalah penjelmaan dari sosok makhluk kelelawar yang menghilang di atas kamar mesin tadi itu Nit.” “Jangan nakut-nakutin kayak gitu deh Rat.” “Yah... tapi itu hanya anggapan aku saja sih.
Penglihatan Nita tertancap ke arah pintu kamar mesin. Di sanalah tadi sosok makhluk kelelawar raksasa itu menghilang. Terpikir oleh Nita, mungkin saja ada sesuatu yang lain di sana. “Jangan-jangan makhluk itu bukannya menghilang, melainkan masuk ke dalam kamar mesin, hal itu boleh jadi,” pikir Nita. Nita mencoba menelaah. Terpikir olehnya kemudian Valdo, si teknisi kapal. Nita masih ingat, sejak pertama kali kapal itu jangkar, Valdo si teknisi kapal itu masuk ke dalam ruangan mesin untuk melakukan perbaikan. Dan sejak saat itu Valdo tak lagi terlihat olehnya. “Mungkin saja Valdo si teknisi kapal itu terkunci di sana. Si Valdo itu kan biasa bekerja di laut, pasti dia jago renang. Tentu saja dia bisa menyelamatkan Syahera yang tenggelam,” gumam Nita lagi. Begitu berharapnya Nita agar Syahera bisa diselamatkan. Harapan itu memang masih ada. Nita sendiri paham, sebagai seorang mahasiswi ilmu kelautan, Syahera mempunyai kelebihan dalam hal pernapasan. Catatan kemamp
Mendung kesedihan melanda Nita. Hati kecilnya tak bisa menerima kenyataan bahwa Syahera yang telah menyelamatkan dirinya dari kematian itu telah pergi untuk selama-lamanya. “Kamu jangan pergi Ra, jangan tinggalkan aku sahabatmu!” sebut Nita. Kedua bola matanya memerah menahan air mata. “Syahera, Syahera! Kamu di mana!” Nita kembali berteriak memanggil-manggil nama sahabatnya. “Syahera mungkin sudah nggak ada lagi Nit,” sela Ratih menampakkan wajah kesedihannya. Ratih kemudian menengadahkan wajahnya ke atas. Sesaat dia memejamkan mata, kemudian dia kembali melihat ke arah Nita. “Dia telah pergi meninggalkan kita Nit, kita harus rela menerimanya,” sebut Ratih lagi. “Nggak mungkin Rat, nggak mungkin dia telah pergi, tolong jangan katakan kalimat itu lagi Rat, jangan lagi,” balas Nita. Sepertinya dia benar-benar tak rela mendengar kalimat yang terucap dari mulut Ratih tadi. “Nggak mungkin!” ulang Nita lagi. Untuk sejenak Nita diam menena
Syahera tumbang. Kesadarannya menghilang. Keenam makhluk cebol yang telah menghabisi Syahera itu juga mendadak menghilang dari penglihatan. Ratih dan Nita yang menyaksikannya tercengang. “Ya Tuhan.” Wajah Nita tegang. “Bah, makhluk-makhluk cebol itu menghilang.” Ratih kebingungan. “Mereka itu para siluman Rat.” “Benar Nit, wajah mereka sangat menakutkan.” “Memang dasar makhluk siluman ... biadab!” Nita mengumpat. “Tapi gawat Nit, bisa-bisa saja Syahera kecebur kalau badai kembali datang,” sebut Ratih. Tak bisa dia menyembunyikan rasa kekhawatirannya. Dia perhatikan lagi, posisi Syahera tergeletak tepat di pinggir lantai geladak. Jika kapal itu kembali terguncang, dapat dipastikan Syahera akan terhambur masuk ke dalam lautan. “Bagaimana ini Nit, Syahera bisa saja celaka.” “Ya Tuhan, jangan sampai deh.” Nita tak ingin berpikiran sampai ke sana. “Syahera!” teriak Nita. “Syahera! Bangun Ra!” Nita berteriak lagi. Kedua bola
Udara di dalam ruangan penumpang mulai pengap. Gas karbon dioksida CO2 juga semakin leluasa merayap. Vivi, Cici, Nining, Sapta, dan Ganta yang roboh bertumpuk-tumpuk di depan pintu ruangan mulai mengap-mengap. Dalam keadaan kehilangan kesadaran, mereka juga mengalami kesulitan dalam bernapas. Tak ada lagi yang sanggup bersuara. Ruangan penumpang yang mewah itu pun berubah senyap serasa berada di dalam kamar mayat dengan kondisi jendela dan kaca-kaca dalam kondisi tertutup rapat. Tak hanya itu, ancaman lain yang lebih mengerikan juga mulai merayap di dalam ruangan. Wendra, mahasiswa yang pertama kali melihat adanya penampakan di kapal itu sudah terlanjur disusupi kekuatan gaib makhluk siluman. Dirinya yang sedari tadi terduduk di salah satu kursi penumpang kini berada dalam kebekuan badan dan ingatan. Raga Wendra perlahan berubah wujud. Sekujur tubuhnya gosong menghitam. Mengerikan! Tak berapa lama lagi mahasiswa fakultas ilmu kelautan itu juga akan menjadi sosok makhluk sil
Syahera kembali menghampiri Ratih dan Nita. Ratih menyipitkan mata melihat wajah Syehera tiba-tiba saja berubah cemas. “Syahera, ada apa sih, kok kasak-kusuk begitu?” “Kita harus memecahkan kaca jendela Rat.” “Memecahkan kaca jendela? Apa nggak salah tuh.” “Aku serius ini Rat.” “Memangnya ada apa sih Ra?” “Pintu ruangan yang tadi tiba-tiba saja terhempas kini nggak bisa lagi dibuka dari dalam, semua jendela juga nggak bisa dibuka, makanya dari tadi mereka nggak ada yang keluar.” “Terkunci maksud kamu?” “Mungkin saja macet Rat.” “Kan bisa dibuka paksa.” “Nggak bisa, mereka semuanya pada berdiri di balik pintu menunggu pertolongan kita.” Syahera menunjuk ke arah pintu ruangan penumpang. “Gawat, terkunci?” Nita yang mendengar ikut merasa cemas. “Benar Nit, semuanya pada terkurung di dalam, kita juga nggak bisa masuk.” “Ulah makhluk itu lagi mungkin Ra.” Nita langsung menebak. “Mungkin saja Nit, soal