"Ini belum seberapa, Mas. Masih permulaan," gumamku lalu mengusap sudut mataku."Sayang!" Masih terdengar teriakkan Mas Jaka mengiringi kepergianku.Aku bergegas masuk ke kamar mengambil tas dan juga ponsel."Sayang, Mas minta maaf. Mas nggak ada niatan buat bikin kamu tersinggung, kamu jangan marah dong, Sayang," ujarnya mencoba memberikan alasan. Ia menghalangi jalanku, aku tak mempedulikannya."Istri aku kenapa sih? Kok jadi ngambekan gini, coba sini cerita dulu sama, Mas," ujarnya lagi sambil memegang tanganku."Aku capek, Mas!" ujarku langsung menunduk dan air mata jatuh begitu saja."Sayang, jangan menangis. Maafkan aku, maafkan kata-kata kasarku tadi," ucap Mas Jaka. Bukan tentang itu, Mas. Aku hanya lelah saat harus berpura-pura baik-baik saja di depanmu. Aku lelah menjadi wanita yang sok tegar, padahal kenyataannya aku rapuh sangat rapuh.Aku sekarang hancur sendirian tanpa ada lagi yang dapat kujadikan sebagai sandaran.Aku melepaskan oelukannya. Lalu bergegas pergi dari had
Namun yang membuat dadaku seperti ditusuk banyak pedang, ketika Mas Jaka mencium 0ipi wanita itu secara bergantian, begitupun sebaliknya. Setelah itu Mas Jaka mengusap pucuk kepalanya. Lalu membukakan pintu mobil untuk wanita yang sangat terlihat menggoda itu.Mataku memanas, sebisa mungkin aku menahan agar tak menangis sekarang. Kupegang erat stir mobil meredakan gemuruh di dalam dada.Lama kuperhatikan video itu, mereka langsung melajukan mobilnya. Kulempar ponselku ke atas sofa, lagi-lagi aku harus menahan sesak dalam dada.Tapi ada yang aneh disitu, aku kembali membuka video yang dikirimkan Nandini. Aku memperhatikan video itu dengan saksama.Disitu terlihat perempuan tersebut menggunakan pakaian khas seperti orang yang bekerja di kantoran. Apa dia bekerja bersama dengan Mas Jaka? Pikiranku mulai berkelana, memikirkan siapa dan darimana wanita itu berasal.Kenapa di video itu, terlihat seolah-olah hubungan mereka sudah terjalin lama. Jika benar, sungguh sangat hebat Mas Jaka men
Namaku Jaka Wijaya, papaku seorang pengusaha terkenal, sedangkan mama memiliki banyak toko butik. Jadi bisa dipastikan aku takkan kekurangan harta tujuh turunan.Aku dilahirkan dalam keluarga yang berkecukupan, dididik sedari kecil bagaimana cara mengelola perusahaan.Saat kuliah, aku menjalin hubungan dengan seorang wanita. Dia sederhana jauh dari kata kaya, dia baik, ramah kepada semua orang. Dia juga sering kulihat membantu Ibu kantin untuk berjualan.Aku menyukainya, aku mulai berani mendekatinya walau sebenarnya dia selalu menjauh. Dari mulai kukirim surat, setangkai bunga mawar. Namun tak kunjung dapat meluluhkan hatinya.Padahal apa kurangnya aku, tampan, cerdas, mandiri. Iya mandiri, mandi sendiri. Untuk urusan pekerjaan aku hanya meminta ayahku memberikan satu perusahaannya untukku dan akulah yang mengelolanya.Papa dan mama sangat memanjakanku. Apapun yang kuinginkan pasti akan selalu dituruti oleh mereka. Jadi wajar saja, jika sampai kuliah aku masih tak bisa hidup mandiri,
[Pulanglah malam ini, ada yang ingin kubicarakan! Jangan selalu beralasan lembur, aku juga perlu waktumu walah hanya semenit!]Begitulah isi pesan yang kukirimkan pada Mas Jaka. Kumatikan ponselku, aku tak ingin melihat penolakan pada dirinya.Aku akan memberikanmu kejutan, Mas! Perlahan tapi pasti. Aku berbicara pada diriku sendiri lalu menyunggingkan bibir sebelah."Kenapa kau?" Suara Nandini mengagetkanku dari rencana yang kupikirkan."Nggakpapa, aku mau bikin Mas Jaka kebablasan." Aku tertawa pelan, biarlah Nandini menganggap ku tak waras."Ini bukti kan udah terkumpul, gimana kalo kamu ngajuin perceraian. Aku rasa tidak akan memberatkan sidangnya nanti," ucap Nandini to the point."Nggak semudah itu, Nan. Bukti ini belum terlalu kuat, dan tentu saja Mas Jaka bisa mengelak nantinya." Aku berucap lirih.Aku tak pernah membayangkan keluarga yang kuimpikan harus berakhir nantinya. Aku bermimpi memiliki keluarga kecil yang bahagia namun akhirnya hanya kecewa yang ada.Kenapa kau mengi
Aku memejamkan mataku. Mengistirahatkan pikiran yang sempat lelah.Tunggulah, Mas. Besok aku akan pergi ke kantormu! Aku membatin dengan perasaan yang campur aduk.****Aku tertidur dengan sangat pulas, saat terbangun tak kudapati mas Jaka disini. Kemanakah dia? Aku bertanya-tanya pada diri sendiri.Ah, terserah lah apa peduliku. Toh, sebentar lagi kami juga tidak akan bersama. Aku harus membiasakan diri tanpanya.Cukup tadi malam aku terlihat bodoh, dan hampir saja membuat diri ini tersiksa. Bahkan juga bisa kehilangan nyawa.Entah jin apa yang merasukiku tadi malam sampai-sampai aku melakukan hal tak waras itu. Ah, mengingat kejadian itu aku bergidik ngeri sendiri.Untung saja Tuhan masih sayang terhadapku, dan sekarang dia memberikanku kesehatan sepenuhnya.Aku bergegas mandi membersihkan diri, di dalam kamar mandi aku mengingat kejadian malam tadi. Tiba-tiba aku tertawa sendiri. Ah, pokoknya betapa bodohnya aku tadi malam.Tok ... Tok ... Tok ...Pintu kamar mandi diketuk, aku ter
"Wah! Ada acara apa nih. Main pangku-pangkuan kayanya seru!" teriakku yang langsung melempar tas ke atas meja kerjanya.Mereka berdua terkejut, Mas Jaka mendorong wanita itu hingga bangkit dari pangkuannya.Sepertinya mereka baru menyadari kehadiranku. Keringat membasahi wajah kedua manusia yang ada di depan.Aku masih bersikap santai, kedua tangan kutaruh di pinggang layaknya seorang majikan yang marah sambil menatap pembantunya."Loh, kok dihentikan acara pangku-pangkuannya. Padahal aku lihat, seru loh." Aku berucap sambil menaikturunkan alis."Sayang, aku bisa jelaskan! Ini sama sekali nggak seperti apa yang kamu lihat dan pikirkan!""Ya sudah kalo begitu silakan jelaskan padaku! Agar aku tak terus berkelana dengan pikiran negatif yang sedang menari-nari dalam benakku. Cepat jelaskan!" tegasku penuh penekanan sambil menatap Mas Jaka dengan tajam.Entah kenapa tidak ada lagi rasa sakit, mungkin sudah terhempas jauh dari awal saat aku mengetahui penghianatan Mas Jaka.Mungkin saat in
"Lebih baik kita berpisah!" teriakku lantang sebelum meninggalkan ruangan itu. Masih sempat kulihat senyum meremehkan dari wanita itu.Aku berlari melewati karyawan, banyak tatapan iba dari mereka. Namun tak kuhiraukan. Tak ada airmataku yang keluar, hanya rasa benci yang tertanam sekarang.Masih terasa tetes demi tetes darah yang keluar dari hidungku. Hatiku sudah membeku, hancur lebur tak bersisa.Kuusap berkali-kali darah yang keluar, mungkin orang akan iba. Namun aku, aku merasa sakit ini tak terlalu menyakitkan.Kulewati kerumunan orang yang menatap dengan bingung, aku tak peduli. Aku terus berlari menuju mobilku.Entah kenapa air mata tak keluar, padahal jelas-jelas bibirku bergetar menahan sesak di dada.Bergegas aku masuk ke mobil, ku kirim pesan pada Nandini agar menyusulmu ke kantor Mas Jaka. Kukirim alamat kantornya, untuk saat ini sepertinya aku belum bisa membawa mobil sendiri.Lihatlah, bahkan saat aku berlari Mas Jaka tak mengejarku. Apa wanita itu lebih penting dari ak
Tapi apa?! Sekarang aku menangis lagi, karena luka yang ditoreh Mas Jaka bukan sekali tapi berkali-kali.Kuhapus sisa air mataku dengan kasar. Begitupun Nandini. Nandini melajukan mobil dengan kecepatan sedang.Jika bukan karena ia menangis, mungkin aku juga tidak akan menangis."Apa rencanamu?"tanya Nandini."Aku ingin mengobati bekas tamparan ini?"jawabku dingin sambil menatap lurus ke depan."Apa perlu kita melakukan visum?"tanyanya lagi."Tentu saja, ini akan kujadikan bukti di pengadilan," ucapku tegas."Apa kau yakin?" tanya Nandini sekali lagi."Tentu saja. Sudahlah Nandini apalagi yang perlu dipertahankan. Apa kau ingin aku dijadikan samsak saat dia marah," ucapku menatap Nandini tajam."Bukan begitu, siapa tau kau ingin mendapatkan bukti lebih," ucap Nandini."Bukti apalagi, bukankah ini sudah termasuk KDRT," ucapku tegas."Betul, siapa tau kau ingin memergoki mereka sedang enak-enak," ucapnya diiringi kekehan kecil."Ah, peduli badai lah. Mau mereka ngapain itu juga bukan ur
***"Ini anak kita, Ara," jawab Jaka yang berbicara sendiri dengan dinding rumah sakit jiwa.Setelah hampir 8 bulan lamanya, Jaka divonis memiliki kelainan. Dia sekarang seperti orang gila yang berbicara sendiri."Aku di samping, anak kita di tengah, kamu di samping aku. Hihi," ucap Jaka yang masih tertawa dan berbicara sendiri. Kadang Jaka juga seperti orang yang sedih, menangis, lalu marah."Apa tidak ada cara yang lebih praktis agar anak saya segera sembuh?" tanya Sang Papa yang merasa hampir putus apa melihat Putra satu-satunya sekarang berada di rumah sakit jiwa. "Untuk saat ini masih diusahakan, Pa. Kami masih membantu dia untuk sedikit demi sedikit menjadi lebih baik lagi, hanya saja Pak Jaka sekarang sulit sekali diajak berkomunikasi. Kadang jika wajtunya tidur, kami ada pemeriksaan Pak Jaka masih saja bermain-main dengan bayangannya seolah-olah itu adalah ia dan kekasihnya.""Sebenarnya kami merasa berat untuk menyampaikan ini, Pak. Sepertinya Pak Jaka ini depresi berat karen
Sesampainya di rumah setelah mengucapkan salam, Reza langsung berlalu pergi tanpa menghiraukan orang tuanya yang menatap penuh dengan keheranan karena tak biasanya putra mereka bersikap seperti itu.Pandangan mereka kini beralih pada Ara yang juga masuk ke dalam rumah terlihat sangat lesu, tak seceria saat berangkat tadi."Abangmu kenapa?" tanya sang Ibu saat Ara baru saja mendudukkan diri di sofa."Patah hati, Bu. Ditinggal nikah sama Nandini," ujar Ara pelan. Mereka berdua lalu terdiam dan saling menatap dalam."Sudahlah, biarkan dulu abangmu sendiri menenangkan dirinya. Mungkin dia hanya terkejut karena wanita idamannya sebentar lagi menjadi milik orang lain." Faisal mencoba memberikan ketenangan karena melihat raut wajah khawatir dari dua wanita yang sangat berarti dalam hidupnya."Ara takut Abang melakukan hal yang nekat," ujarnya sambil memainkan jari."Seperti apa?""Hah?""Maksudmu seperti apa hal nekat itu, Nak?" tanya Faisal lagi sambil menatap dalam sang putri."Bunuh diri
Sepanjang jalan Nandini hanya bisa menangis tanpa mengeluarkan suara. Air matanya hanya dibiarkan jatuh begitu saja membasahi pipi."Apa yang kau tangisi?" tanya Gibran dingin, tak suka melihat tingkah Nandini yang menurutnya begitu berlebihan."Cengeng!" ejeknya lagi. Nandini hanya diam tak menjawab sepatah kata pun dari Gibran yang menyebalkan."Percuma saja kau menangis, tak akan bisa mengubah segalanya. Seminggu lagi pernikahan kita, persiapkan dirimu untuk itu semua." Gibran berbicara tanpa menoleh sedikit pun pada Nandini."Bisa kita hentikan semuanya. Kamu dan aku tidak saling mencintai, bahkan kita memiliki pasangan masing-masing. Ayo kita sepakat untuk menolak perjodohan yang menyakitkan ini, Gibran," ucap Nandini memohon pada Gibran agar ia mengubah keputusan untuk menikah dengannya."Aku tidak mau!" tegas Gibran."Kenapa, bukankah kita tak saling mencintai. Bukankah kamu sudah bilang, semua ini dilakukan hanya untuk mengembangkan perusahan dan memberi peruntungan bagi orang
Tentang cinta kitaSaat sedang duduk bersantai di kafe, mata Nandini tak sengaja menatap seseorang yang sudah ditunggunya dari tadi. Tiba-tiba perasaan sesak mendera dirinya saat tak sengaja menatap sosok lelaki yang pernah memberikan warna dalam kehidupannya.“Kamu terlihat lebih bahagia saat tidak bersama denganku,” kata Nandini dengan senyum yang samar. Dari jauh Ara melambaikan tangannya pada sosok sahabat yang selama ini sudah ditunggu olehnya.Nandini balas melambaikan tangannya pada Ara. Lalu, tak berapa lama Ara dan Reza sekarang berada di depan Nandini. “Hey, apa kabar?” tanya Ara langsung memeluk Nandini dengan penuh rasa rindu.“Aku baik, bagaimana denganmu, Ara?” tanya Nandini balik. Ia menatap Ara dari atas hingga bawah. Begitu takjub dengan penampilan Ara yang sekarang.“Kamu semakin cantik dengan penampilanmu yang sekarang.” Nandini memegang lengan Ara.“Ma Syaa Allah, alhamdulillah aku baik, Nan. Terima kasih atas pujiannya, aku langsung meleyot dengar pujian yang kamu
Ina menangis tersedu menatap wajah Yose yang memucat. Ia memegang tangan sang anak, berharap dapat menyalurkan energi hangat padanya."Kenapa semua ini bisa menimpamu, Nak. Astaghfirullah, perbuatan apa yang sudah kamu lakukan, sampai-sampai Allah SWT memberikan hukuman yang begitu berat untukmu," ujar Ina mencium punggung tangan Yose berkali-kali.Ia benar-benar terkejut mengetahui bahwa sang anak tidak akan bisa kembali seperti semula lagi. Bahkan bisa juga karena salah satu masalah ini Yose akan mengalami frustasi hingga membuatnya gila.Ina tidak tahu bagaimana pergaulan Yose selama di kota. Bahkan, Ina pun tak tahu bahwa Yose menjadi simpanan om-om besar dan juga orang ke tiga dalam rumah tangga orang lain.Di kampung, Ina tak pernah berhenti mendoakan yang terbaik untuk putrinya. Berdoa agar Allah SWT menjaga putrinya di mana pun ia berada.Namun sayang, seribu kali sayang. Ia harus menelan saliva pahit saat mengetahui bahwa kehidupan Yose jauh berbanding terbalik dengan apa yan
"Dek, are you ok?" tanya Eza saat melihat Ara yang daritadi hanya menundukkan kepalanya."Ara baik-baik aja, kok. Ya sudah, kalo gitu Ara mau istirahat di kamar saja, capek!" ucap Ara berniat segera berlalu pergi dari ruang tengah ini."Dek, sebentar duduk dulu. Ada yang ingin Abang bicarakan padamu," ucap Eza sambil menatap manik mata milik Ara.Ara lalu memilih untuk duduk kembali ke sofa dan menatap abangnya dengan raut wajah yang tak dapat diartikan."Kenapa, Bang?" tanya Ara sedikit penasaran."Bagaimana dengan rencanamu yang ingin pergi ke London, apakah jadi?" tanya Eza pada Ara yang terlihat bingung memikirkan sesuatu."Sepertinya enggak jadi, Bang. Lagipula Ara kan udah dapat kerjaan, Nandini yang merekomendasikan tempat kerja itu pada Ara. Jadi, mungkin sekarang akan fokus pada pekerjaan itu saja," ucap Ara setelah menimbang-nimbang untuk memutuskan."Baiklah. Apapun keputusanmu, Abang setuju saja. Selagi itu dalam hal baik dan positif, oh ya satu lagi. Kamu tidak perlu terl
"Jika kau masih tak bisa diberitahu, lebih baik kita pulang saja sekarang. Aku tidak ingin jika harus terlibat dalam permasalahanmu lagi. Jika kau masih ingin di sini, setidaknya jaga emosi dan ucapanmu di tempat orang lain!" tegas Anton sambil menatap sang anak dengan tatapan tajam."Maafkan, Jaka, Pa. Ya sudah kalo begitu Jaka ingin masuk ke dalam bersama Papa," ujarnya menunduk dan merapikan jasnya.Jantungnya berdetak kencang saat menginjak rumah Ara, karena ini adalah kali kedua ia menginjak rumah ini setelah sempat pernah adu selisih dengan Ara dan juga mantan mertuanya.Sedangkan Eza di belakang menatap Jaka dengan pandangan yang tak dapat diartikan. Ia takut Jaka akan melakukan hal konyol lagi yang bisa saja membahayakan nyawa mereka yang berada dalam rumah ini.**"Bagaimana kabar, Ayah?" tanya Jaka dengan perasaan gelisah. Karena sekarang ia merasa sedang diintimidasi. Bahkan tatapan-tatapan mereka yang berada di dalam sini serasa sedang mengulitinya."Baik," jawab Faisal si
"Ara."Panggilan dari sebuah suara membuat Ara berhenti bernapas beberapa detik. Helaan napasnya terdengar berat."Dia lagi," gumam Ara nyaris tak terdengar."Bagaimana kabarmu? Kulihat sekarang kau semakin berisi dan terlihat lebih bahagia," ujar Jaka tanpa memedulikan tatapan tajam yang dilontarkan Eza padanya. Sekarang ia hanya memfokuskan pandangannya pada Ara.Wanita yang hampir membuatnya gila dan penuh akan segala obsesi yang tak bisa dikendalikan."Mau apa kau ke sini?" tanya Eza dengan wajah datar. Tangannya mengepal erat, bahkan sekarang napasnya pun tak beraturan. Terlihat terengah-engah.Baru saja tadi ia merasakan suasana yang baik-baik saja, tenang, damai tanpa ada gangguan sedikit pun. Setelah kehadiran Jaka, semuanya berubah menjadi panas dan tegang."Ara," panggil Jaka lembut tanpa menjawab pertanyaan yang telah dilontarkan oleh Eza.Karena memang dari awal kedatangannya bukan untuk bertemu dengan Eza, melainkan melihat wanita yang dulu dan hingga saat ini masih memen
"Kau sadar tidak Jaka, caramu seperti ini hanya akan menyakiti dirimu sendiri. Aku sudah lelah mengikuti segala kemauanmu, padahal kau baru saja tahu bahwa mamamu sudah pergi meninggalkan kita untuk selamanya. Jika mamamu mendengar kabar berita ini, dia juga pasti akan sangat sedih melihatmu begitu berambisi.""Pa, aku tidak berambisi. Aku hanya ingin memperbaiki semuanya bersama Ara. Aku tau aku salah, aku bahkan tidak mengelaknya. Namun, apakah salah jika aku mencoba untuk berubah dan menata semuanya agar kembali menjadi rapi?" tanya Jaka pada sang Papa. Semangatnya ketika ingin bertemu dengan Ara tadi hilang begitu saja saat mendengar penuturan dari sang Papa."Hentikan semua ini, Jaka! Kau lupa, baru beberapa hari ini kau membuat masalah pada Ara. Kau menyalahkan segalanya atas kematian mamamu pada Ara. Padahal jelas, mamamu pergi karena semua terjadi atas kecerobohanmu. Karena keras kepalamu yang hanya menuruti ego semata, tanpa memikirkan sebab apa yang akan terjadi ke depannya.