Namaku Jaka Wijaya, papaku seorang pengusaha terkenal, sedangkan mama memiliki banyak toko butik. Jadi bisa dipastikan aku takkan kekurangan harta tujuh turunan.
Aku dilahirkan dalam keluarga yang berkecukupan, dididik sedari kecil bagaimana cara mengelola perusahaan.Saat kuliah, aku menjalin hubungan dengan seorang wanita. Dia sederhana jauh dari kata kaya, dia baik, ramah kepada semua orang. Dia juga sering kulihat membantu Ibu kantin untuk berjualan.Aku menyukainya, aku mulai berani mendekatinya walau sebenarnya dia selalu menjauh. Dari mulai kukirim surat, setangkai bunga mawar. Namun tak kunjung dapat meluluhkan hatinya.Padahal apa kurangnya aku, tampan, cerdas, mandiri. Iya mandiri, mandi sendiri. Untuk urusan pekerjaan aku hanya meminta ayahku memberikan satu perusahaannya untukku dan akulah yang mengelolanya.Papa dan mama sangat memanjakanku. Apapun yang kuinginkan pasti akan selalu dituruti oleh mereka. Jadi wajar saja, jika sampai kuliah aku masih tak bisa hidup mandiri, selalu saja bergantung pada ke dua orang tuaku.Lelah juga ketika kita berjuang dianya malah menghindar, berjuang sendiri itu sakit apalagi tidak dihargai pengorbanan yang selama ini sudah kulakukan.Cara satu-satunya yang kuambil agar bisa dekat dengannya adalah meminta nomor ponsel pada teman-temannya. Itu pun saat pertama kali mengirimkan pesan, dia membalas dengan jutek. Bahkan berkali-kali nomorku diblokir olehnya, entah mengapa dia terlihat tak berselera padaku saat itu.Sampai di rumah aku uring-uringan di atas ranjang, bukan karena marah tapi karena tak tau harus menulis pesan yang bagaiman lagi, agat nomorku tak diblok olehnya. Mencoba mengetik beberapa kalimat, aku menghapusnya lagi. Terasa kata-katanya ada yang salah, mencoba lagi, ya menurutku salah lagi. Aku seperti orang yang serba salah.[Bagaimana kuliahmu tadi, Ra.]Klik. Terkirim.Kulempar hapeku ke samping badan, aku gugup bercampur rasa takut. Takut diblokir lagi sebenarnya.Wanita yang kusukai bernama Aralita. Dari namanya saja sudah cantik bukan, namun perjuangan untuk mendapatkan cinta dan hati orang tuanya sangatlah susah.Ting!Satu pesan masuk ke gawaiku. Aku bergegas membukanya dan mendapati nama Aralita disana.[Baik, ini siapa?]Aku berguling-guling di atas ranjang, rasanya hatiku bahagia sekali mendapatkan pesn seperti itu.[Aku lelaki yang terus saja mengagumimu,] tulisku lagi padanya.Lama tak ada balasan darinya, hampir dua puluh menitan. Aku sudah uring-uringan di atas ranjang, berguling ke sana kemari. Resah gelisah tak tertahan menunggu balasan dari sang pujaan.[Berhentilah mengirimiku pesan, Kak. Bukankah kamu sudah memiliki kekasih, aku tak ingin dicap sebagai wanita penghancur hubungan orang lain.]Balasan dari Ara membuatku mengerutkan kening tak mengerti. Kekasih? Kekasih yang mana maksudnya, bukankah selama ini aku masih sendiri, karena tak bisa memberikan hati pada wanita lain.[Aku tidak punya kekasih, Ra. Mungkin kamu salah orang,] balasku.[Tidak! Aku tidak salah orang. Kamu Kak Jaka bukan, Kak Nadya beberapa hari yang lalu marah padaku karena katanya aku merebutmu darinya.]Balasan pesan yang dikirimkan Ara, perempuan itu lagi ternyata. Rupanya dia masih belum bisa mencari penggantiku, makanya setiap ada yang kudekati dia selalu ikut andil dalamnya.Dasar menyebalkan!Aku lalu menjelaskan yang sebenarnya pada Ara, bahwa aku sama sekali tak pernah memiliki hubungan khusus dengan Nadya.Dulu Nadya memang pernah mengejar-ngejarku, aku berulang kali melakukan penolakan. Bahkan Nadya juga pernah mengancam ingin bunuh diri jika cintanya tak terbalaskan.Karena sudah lelah dengan drama yang dilakukannya, jadi aku memilih untuk mengiyakan saja perkataan Nadya.Namun kenyataannya, Nadya masih hidup sampai sekarang. Mana kata-kata Nadya dulu yang mengatakan bahwa dia tak bisa hidup tanpaku, dasar remaja. Mereka terlalu gila hanya untuk sebuah cinta.Setelah mendapatkan penjelasan, barulah Ara percaya bahwa aku sama sekali tak pernah menjalin hubungan dengan Nadya. Apalagi sampai memberi harapan palsu.Mulai dari saat itulah, aku semakin gencar melakukan pendekatan dengan Ara, bahkan kami menjalin hubungan secara diam-diam tanpa sepengetahuan orang-orang kampus.Saat aku lulus kuliah, aku berniat menikahinya. Aku sudah tak sabar ingin memperistri sosok wanita yang benar-benar pas untukku.Saat kuajak ke rumah, Ara tak menolak. Bahkan di wajahnya tergambar raut kebahagiaan.Dan lebih menakjubkannya saat bertemu dengan kedua orang tuaku. Mamaku langsung menyukai Ara bahkan mereka sudah seperti menantu dan mertua.Aku mengajak Ara pulang, awalnya mamaku menolak beliau ingin Ara tetap bersamanya. Namun Ara menjelaskan bahwa dia takut dimarahi ayahnya. Jadi mamaku pun memahami.Perjuanganku mengambil hati ayah Ara sangatlah susah. Masih teringat saat pertama kali aku datang ke rumah Ara, beliau langsung marah terhadap Ara karena bersama seorang lelaki. Aku menyampaikan niat bahwa ingin memperistri Ara."Kau yakin ingin menikahi putriku?!" Nada bicara Ayah Ara membuatku sedikit takut, tapi saat melihat manik mata sendu yang ditampilkan Ara keberanian itu kembali muncul."Aku yakin, Pak. Sebisa mungkin aku akan mencoba membahagiakan Ara selalu," jawabku penuh dengan keseriusan dan nada yang tegas. Mencoba meyakinkan ayahnya agar bisa mengizinkanku untuk menjadikan Ara sebagai bidadari surga dan duniaku.Reaksi pertamanya awalnya beliau seperti terlihat bingung, ada raut keraguan disana. Namun, aku mencoba meyakinkannya bahwa Ara akan baik-baik saja jika bersamaku.Dari situ aku mulai berusaha mengambil hati ayahnya, dan lambat laun orang tuanya pun menerimaku sebagai calon menantu. Walau dari wajahnya aku masih melihat, mereka sangat berat melepaskan Ara untukku.Menurutku ini sedikit berlebihan, mereka seperti tidak menghargai usaha yang selama ini kulakukan. Mulai saat itu aku bertekad jika sudah menikah dengan Ara, aku tak ingin tinggal serumah dengan orang tuanya.Takut tidak cocok saja, nanti akan menyebabkan pertikaian dalam rumah tanggaku.Aku pikir awalnya Ara memang anak yang sederhana tidak kaya, ternyata aku salah dia memang sederhana, tak pernah memamerkan harta.Padalah faktanya, Ara adalah anak yang sangat berkecukupan bahkan sangat-sangat cukup. Ayahnya saja seorang polisi, sedangkan ibunya dokter di rumah sakit terkenal. Bagaimana mungkin dia bisa sebaik itu, merendah pada orang lain.Padahal dia bisa saja menggunakan kekuasaannya untuk melakukan penindasan pada orang yang di bawahnya.Namun Ara sama sekali tak melakukan itu, benar-benar calon istri idaman.Aku semakin cinta dengan Ara. Apalagi saat mengetahui dia orang yang sangat berada.Singkat cerita, pernikahan pun dimulai. Akad berlangsung dengan khidmat, pernikahan diadakan secara meriah. Sesuai dengan keinginan kami dan orang tua. Aku dan Ara saling bertatapan dan melemparkan senyum.Kebahagiaan yang saat ini dirasakan tak dapat dijelaskan melalui kata-kata lagi.Terpancar raut kebahagiaan di wajah wanita yang sekarang sudah halal menjadi istriku.Saat malam pertama aku menggunakan pengaman, dia bertanya. "Mas, kenapa memakai pengaman?"Raut wajahnya saat itu menggambarkan kekecewaan.Aku hanya menjawab bahwa usia kami masih muda, masih ingin bersenang-senang."Kita masih muda, Sayang, masih harus menikmati masa-masa awal pernikahan kita. Anggap saja seperti pacaran lagi, tapi yang kali ini secara terang-terangan." Kuberikan alasan agar tak melukai hatinya."Tapi aku ingin segera menggendong baby, Mas," ujarnya terlihat sendu.Aku lalu mengelus pucuk kepalanya dan menghujaminya dengan ciuman lembut di kening."Nanti akan ada saatnya kita bertiga dengan baby, ya. Untuk saat ini biarlah kita menikmati masa berdua dulu, saling berbagi kasih dan sayang."Awalnya dia menolak. Namun aku tetap kukuh pada pendirianku. Hingga akhirnya Ara tak lagi memaksakan apa yang ia inginkan. Ia hanya mengangguk pasrah dengan wajah yang ditekuk.Ara tipikal wanita yang tak banyak menuntut, rumah yang kami tempati itu hadiah dariku untuknya, toko butik itu juga menjadi miliknya hadiah dari orang tuaku.Saat usia pernikahan kami 2 tahun, aku memberikannya mobil dan tentu saja semuanya atas namanya.Dia sebenarnya tak meminta, tetapi aku sendiri yang memberikannya dengan senang hati. Anggap saja itu bukti cintaku padanya.Aku bekerja di perusahaan yang diberikan oleh Papa untukku. Aku mengelolanya dengan sangat baik, bahkan peningkatannya pun sangat naik drastis.Sedangkan Ara, dia kadang berada di butik, tetapi kadang juga ia berada di rumah. Aku tak membatasi pergaulannya selama itu masih dalam batas kewajaran. Dan selalu mengandung hal-hal yang positif.Selagi membuatnya bahagia, kenapa tidak kulakukan begitu kan?,"Mas, kenapa nggak program ibu hamil aja. Aku pengen secepatnya punya anak," ucap Ara di sela kami makan malam, hingga membuatku tak dapat menutupi rasa keterkejutan.Aku melototkan mataku, lalu menggeleng cepat."Nanti ya, Sayang. Mas masih muda, kamu juga bekerja. Bikin anak mah nanti-nanti juga bisa," jawabku, aku mencoba fokus dengan makananku yang berada di piring.Tak peduli dengan tatapan matanya yang terlihat kecewa karena jawabanku yang terdengar tak memuaskan."Udah dua tahun lho, Mas? Mumpung kita masih subur." Ucapan Ara sama sekali tak membuatku melihatnya.Takut terbujuk dengan apa yang diinginkan Ara. Aku masih ingin senang-senang, tak ingin langsung berubah menjadi seorang ayah. Takut tidak bisa bebas pergi kemana pun lagi."Gimana kalo orang tua kita bertanya, kita harus jawab apa." Tergambar raut kesedihan di wajahnya."Itu urusan, Mas. Yang penting kita selalu bersama hingga Tuhan memisahkan kita." Aku merayu, lalu mendekatinya. Kubawa dia dalam pelukan."Gombal," ucapnya menepis tanganku lalu meninggalkanku sendiri di ruang makan.Aku tak ingin saat memiliki anak, perhatian Ara padaku teralihkan. Aku juga tak ingin Ara mengalami perubahan pada bentuk badannya.Maka dari itulah aku sering membatasi porsi makan Ara.****Saat ke kantor karyawanku mengatakan bahwa sekretarisku berhenti, karena ibunya yang sakit di kampung.Jadilah sekarang aku memiliki sekretaris baru yang bernama Yose.Cantik, menarik, bahkan sangat telaten dalam bekerja. Kulihat beberapa kali dia melirik ke arahku entah apa maksudnya.Sering dia seperti sengaja menabrakku. Akan tetapi, aku enggan meladeninya. Walau sebenarnya jiwa laki-lakiku memberontak.Dan saat aku bekerja di luar kota selama beberapa bulan bersama Yose. Disitulah penghianatan terjadi.Sempat terbesit rasa bersalah pada Ara, aku menyesali perbuatanku. Apalagi aku melakukannya tanpa pengaman, aku takut Ara akan mengetahui kebusukan ini dan meninggalkanku.Tapi bagaimana lagi, lelaki mana yang sanggup menahan hasrat, ketika diberikan dengan cuma-cuma.Apalagi aku sudah lama tak mendapat nafkah batin darinya semenjak pekerjaan di luar kota ini. Namun, aku selalu mengabari bahkan menelponnya.Oh Ara maafkan aku. Mungkin hanya sekali ini saja aku berkhianat.Aku terbuai dalam belaian halus Yose, rayuan dan gombalan miliknya. Entah apa yang merasukiku hingga aku berani menyentuhnya.Sebisa mungkin aku menahan nafsuku, tapi bagaimana lagi. Aku benar-benar sudah tak kuat, dan malam itu aku menghabiskan waktu bersamanya sepanjang malam.Pulang dari sana bukannya semakin menjauh, kami malah semakin dekat. Saat Yose menyatakan bahwa ia hamil 8 minggu, entah kenapa aku senang bercampur rasa takut. Yose memaksaku untuk mengumumkan kehamilannya lewat status WA, entah untuk apa. Aku menolak namun dia mengancam akan membunuh janinnya. Kubuat status di W******p, namun akalku masih sadar kuprivasi istriku sendiri. Aku mencoba menjauh dari Yose, namun dia mengatakan akan melaporkan perbuatanku pada Ara.Aku benar-benar bingung, dan sekarang usia kandungannya memasuki 4 bulan. Aku rutin mengajaknya periksa, untuk kenyamanan calon bayiku. Jujur saja untuk mencintai Yose aku tak bisa sampai detik ini. Karena Ara masih cinta sejatiku.Aku tau ini salah. Ini perbuatan dosa, tapi ya bagaimana lagi.Aku benar-benar dihantui rasa ketakutan. Takut ketika orang tuaku mengetahui aku selingkuh. Lalu Ara meminta cerai, lalu dihapus dari kartu keluarga. Ah, habislah riwayatku bukan hanya cintaku yang musnah, tapi juga hartaku."Sayang," bisikan lembut ditelingaku mampu membangkitkan gairahku. Sebenarnya aku jijik, tapi entah kenapa semenjak berhianat dari Ara aku tak pernah mengajaknya lagi. Aku malu pada diriku sendiri.Ah, sudahlah urusan harta dan cinta itu nanti. Yang terpenting sekarang adalah hasratku.Next?Gimana udah panjangkan, beri saran dong, Mak. Bagusnya si Jaka sama pelakor ini diapain ya.Yuk komen dibawah, di ramaikan ya.Terimakasih untuk semuanya sayang kalian banyak-banyak 🖤🖤[Pulanglah malam ini, ada yang ingin kubicarakan! Jangan selalu beralasan lembur, aku juga perlu waktumu walah hanya semenit!]Begitulah isi pesan yang kukirimkan pada Mas Jaka. Kumatikan ponselku, aku tak ingin melihat penolakan pada dirinya.Aku akan memberikanmu kejutan, Mas! Perlahan tapi pasti. Aku berbicara pada diriku sendiri lalu menyunggingkan bibir sebelah."Kenapa kau?" Suara Nandini mengagetkanku dari rencana yang kupikirkan."Nggakpapa, aku mau bikin Mas Jaka kebablasan." Aku tertawa pelan, biarlah Nandini menganggap ku tak waras."Ini bukti kan udah terkumpul, gimana kalo kamu ngajuin perceraian. Aku rasa tidak akan memberatkan sidangnya nanti," ucap Nandini to the point."Nggak semudah itu, Nan. Bukti ini belum terlalu kuat, dan tentu saja Mas Jaka bisa mengelak nantinya." Aku berucap lirih.Aku tak pernah membayangkan keluarga yang kuimpikan harus berakhir nantinya. Aku bermimpi memiliki keluarga kecil yang bahagia namun akhirnya hanya kecewa yang ada.Kenapa kau mengi
Aku memejamkan mataku. Mengistirahatkan pikiran yang sempat lelah.Tunggulah, Mas. Besok aku akan pergi ke kantormu! Aku membatin dengan perasaan yang campur aduk.****Aku tertidur dengan sangat pulas, saat terbangun tak kudapati mas Jaka disini. Kemanakah dia? Aku bertanya-tanya pada diri sendiri.Ah, terserah lah apa peduliku. Toh, sebentar lagi kami juga tidak akan bersama. Aku harus membiasakan diri tanpanya.Cukup tadi malam aku terlihat bodoh, dan hampir saja membuat diri ini tersiksa. Bahkan juga bisa kehilangan nyawa.Entah jin apa yang merasukiku tadi malam sampai-sampai aku melakukan hal tak waras itu. Ah, mengingat kejadian itu aku bergidik ngeri sendiri.Untung saja Tuhan masih sayang terhadapku, dan sekarang dia memberikanku kesehatan sepenuhnya.Aku bergegas mandi membersihkan diri, di dalam kamar mandi aku mengingat kejadian malam tadi. Tiba-tiba aku tertawa sendiri. Ah, pokoknya betapa bodohnya aku tadi malam.Tok ... Tok ... Tok ...Pintu kamar mandi diketuk, aku ter
"Wah! Ada acara apa nih. Main pangku-pangkuan kayanya seru!" teriakku yang langsung melempar tas ke atas meja kerjanya.Mereka berdua terkejut, Mas Jaka mendorong wanita itu hingga bangkit dari pangkuannya.Sepertinya mereka baru menyadari kehadiranku. Keringat membasahi wajah kedua manusia yang ada di depan.Aku masih bersikap santai, kedua tangan kutaruh di pinggang layaknya seorang majikan yang marah sambil menatap pembantunya."Loh, kok dihentikan acara pangku-pangkuannya. Padahal aku lihat, seru loh." Aku berucap sambil menaikturunkan alis."Sayang, aku bisa jelaskan! Ini sama sekali nggak seperti apa yang kamu lihat dan pikirkan!""Ya sudah kalo begitu silakan jelaskan padaku! Agar aku tak terus berkelana dengan pikiran negatif yang sedang menari-nari dalam benakku. Cepat jelaskan!" tegasku penuh penekanan sambil menatap Mas Jaka dengan tajam.Entah kenapa tidak ada lagi rasa sakit, mungkin sudah terhempas jauh dari awal saat aku mengetahui penghianatan Mas Jaka.Mungkin saat in
"Lebih baik kita berpisah!" teriakku lantang sebelum meninggalkan ruangan itu. Masih sempat kulihat senyum meremehkan dari wanita itu.Aku berlari melewati karyawan, banyak tatapan iba dari mereka. Namun tak kuhiraukan. Tak ada airmataku yang keluar, hanya rasa benci yang tertanam sekarang.Masih terasa tetes demi tetes darah yang keluar dari hidungku. Hatiku sudah membeku, hancur lebur tak bersisa.Kuusap berkali-kali darah yang keluar, mungkin orang akan iba. Namun aku, aku merasa sakit ini tak terlalu menyakitkan.Kulewati kerumunan orang yang menatap dengan bingung, aku tak peduli. Aku terus berlari menuju mobilku.Entah kenapa air mata tak keluar, padahal jelas-jelas bibirku bergetar menahan sesak di dada.Bergegas aku masuk ke mobil, ku kirim pesan pada Nandini agar menyusulmu ke kantor Mas Jaka. Kukirim alamat kantornya, untuk saat ini sepertinya aku belum bisa membawa mobil sendiri.Lihatlah, bahkan saat aku berlari Mas Jaka tak mengejarku. Apa wanita itu lebih penting dari ak
Tapi apa?! Sekarang aku menangis lagi, karena luka yang ditoreh Mas Jaka bukan sekali tapi berkali-kali.Kuhapus sisa air mataku dengan kasar. Begitupun Nandini. Nandini melajukan mobil dengan kecepatan sedang.Jika bukan karena ia menangis, mungkin aku juga tidak akan menangis."Apa rencanamu?"tanya Nandini."Aku ingin mengobati bekas tamparan ini?"jawabku dingin sambil menatap lurus ke depan."Apa perlu kita melakukan visum?"tanyanya lagi."Tentu saja, ini akan kujadikan bukti di pengadilan," ucapku tegas."Apa kau yakin?" tanya Nandini sekali lagi."Tentu saja. Sudahlah Nandini apalagi yang perlu dipertahankan. Apa kau ingin aku dijadikan samsak saat dia marah," ucapku menatap Nandini tajam."Bukan begitu, siapa tau kau ingin mendapatkan bukti lebih," ucap Nandini."Bukti apalagi, bukankah ini sudah termasuk KDRT," ucapku tegas."Betul, siapa tau kau ingin memergoki mereka sedang enak-enak," ucapnya diiringi kekehan kecil."Ah, peduli badai lah. Mau mereka ngapain itu juga bukan ur
"Kurang ajar! Awas saja kau Jaka! Tidak akan aku ampuni dirimu."Ayah berteriak lalu mengambil vas bunga dan melemparkannya.Untung saja vas bunga itu terbuat dari bahan plastik, jadi tak mudah pecah. Aku menatap Ayah dengan perasaan yang berkecamuk.Baru kali ini aku melihat ayahku semarah ini, biasanya jika sedang marah Ayah pasti bisa mengendalikan amarahnya.Kugenggam erat pakaianku, rasa takut menyeruak di dalam dada. Ibu memelukku lalu mengajakku untuk duduk di sofa.Ibu pergi ke dapur dan kembali membawakan segelas air putih untukku.Aku meminumnya hingga tandas, tenggorokanku rasanya kering sekali. Seperti sudah lama tak minum.Kutatap Nandini yang melamun memandang vas bunga di lantai. Aku memandangi Ibu, sepertinya Ibu mengerti lalu menarik tangan Nandini.Nampak raut terkejut darinya, aku segera mengajaknya duduk di sofa.Sedangkan Ayah, dada Ayah naik turun. Nafasnya tak beraturan.Ayah meremas rambutnya frustasi lalu duduk di sofa lainnya."Ayah ...," panggilku.Baru saja
"Panggil kedua orangtuamu untuk kesini," ucap Ayah dingin, lalu duduk menuju sofa.Mas Jaka menatapku sendu. Aku langsung memalingkan wajahku."Untuk apa orangtuaku dipanggil kesini?" tanya Mas Jaka. Ah, dia berlagak pura-pura tak tahu kesalahannya."Agar mereka tau apa yang kau lakukan pada putriku," ucap Ayah."Memang apa yang aku lakukan? Aku hanya mengajaknya pulang. Jangan ganggu rumah tangga kami!" teriak Mas Jaka lantang."Kamu! Pasti kamu kan yang sudah membuat Ara begini! Kamu memang wanita tak tau diri. Pantas saja tidak ada laki-laki yang menyukaimu!" teriak Mas Jaka sambil menunjuk Nandini.Plak!Aku berdiri menghampirinya dan langsung menampar wajahnya."Jangan hina sahabatku! Dia tak ada urusannya dengan kita. Kau yang salah, kau yang sudah membuatku seperti ini." Aku menekankan setiap kalimat yang keluar dari mulutku, entah kenapa tak ada lagi rasa kasihanku padanya."Kita pulang, Sayang," ucap Mas Jaka memegang lenganku. Namun segera kutepis, risih rasanya tanganku dip
Ting![Pulanglah malam ini, ada yang ingin kubicarakan! Jangan selalu beralasan lembur, aku juga perlu waktumu walah hanya semenit!]Satu pesan masuk ke gawaiku. Dan pengirimnya adalah istriku.Aku bingung tumben sekali dia mengirimkan pesan seperti ini, biasanya tidak pernah. Jika aku pulang malam, dia pasti selalu memaklumi. Kenapa sekarang dia memintaku agar pulang malam ini.Aku jadi khawatir, takut terjadi apa-apa dengannya."Mas, kenapa sih? Kok dari tadi natap gawai terus?" Suara Yose mengagetkanku.Segera kumasukkan gawai ke saku celana."Nggakpapa, ayo kembali ke kantor. Aku sudah membelikan kalung bahkan memasangkannya secara langsung padamu," ucapku padanya."Eits, tapi entar malam kamu ke tempatku lagi kan?" tanyanya manja."Tidak bisa, istriku meminta waktu untuknya malam ini," ucapku ketus."Istri? Istri terus, aku kapan dijadiin istri sama kamu. Anak dalam kandunganku juga butuh seorang ayah, jangan nunggu kandunganku besar dulu baru kamu mau bertanggung jawab," ucapnya
***"Ini anak kita, Ara," jawab Jaka yang berbicara sendiri dengan dinding rumah sakit jiwa.Setelah hampir 8 bulan lamanya, Jaka divonis memiliki kelainan. Dia sekarang seperti orang gila yang berbicara sendiri."Aku di samping, anak kita di tengah, kamu di samping aku. Hihi," ucap Jaka yang masih tertawa dan berbicara sendiri. Kadang Jaka juga seperti orang yang sedih, menangis, lalu marah."Apa tidak ada cara yang lebih praktis agar anak saya segera sembuh?" tanya Sang Papa yang merasa hampir putus apa melihat Putra satu-satunya sekarang berada di rumah sakit jiwa. "Untuk saat ini masih diusahakan, Pa. Kami masih membantu dia untuk sedikit demi sedikit menjadi lebih baik lagi, hanya saja Pak Jaka sekarang sulit sekali diajak berkomunikasi. Kadang jika wajtunya tidur, kami ada pemeriksaan Pak Jaka masih saja bermain-main dengan bayangannya seolah-olah itu adalah ia dan kekasihnya.""Sebenarnya kami merasa berat untuk menyampaikan ini, Pak. Sepertinya Pak Jaka ini depresi berat karen
Sesampainya di rumah setelah mengucapkan salam, Reza langsung berlalu pergi tanpa menghiraukan orang tuanya yang menatap penuh dengan keheranan karena tak biasanya putra mereka bersikap seperti itu.Pandangan mereka kini beralih pada Ara yang juga masuk ke dalam rumah terlihat sangat lesu, tak seceria saat berangkat tadi."Abangmu kenapa?" tanya sang Ibu saat Ara baru saja mendudukkan diri di sofa."Patah hati, Bu. Ditinggal nikah sama Nandini," ujar Ara pelan. Mereka berdua lalu terdiam dan saling menatap dalam."Sudahlah, biarkan dulu abangmu sendiri menenangkan dirinya. Mungkin dia hanya terkejut karena wanita idamannya sebentar lagi menjadi milik orang lain." Faisal mencoba memberikan ketenangan karena melihat raut wajah khawatir dari dua wanita yang sangat berarti dalam hidupnya."Ara takut Abang melakukan hal yang nekat," ujarnya sambil memainkan jari."Seperti apa?""Hah?""Maksudmu seperti apa hal nekat itu, Nak?" tanya Faisal lagi sambil menatap dalam sang putri."Bunuh diri
Sepanjang jalan Nandini hanya bisa menangis tanpa mengeluarkan suara. Air matanya hanya dibiarkan jatuh begitu saja membasahi pipi."Apa yang kau tangisi?" tanya Gibran dingin, tak suka melihat tingkah Nandini yang menurutnya begitu berlebihan."Cengeng!" ejeknya lagi. Nandini hanya diam tak menjawab sepatah kata pun dari Gibran yang menyebalkan."Percuma saja kau menangis, tak akan bisa mengubah segalanya. Seminggu lagi pernikahan kita, persiapkan dirimu untuk itu semua." Gibran berbicara tanpa menoleh sedikit pun pada Nandini."Bisa kita hentikan semuanya. Kamu dan aku tidak saling mencintai, bahkan kita memiliki pasangan masing-masing. Ayo kita sepakat untuk menolak perjodohan yang menyakitkan ini, Gibran," ucap Nandini memohon pada Gibran agar ia mengubah keputusan untuk menikah dengannya."Aku tidak mau!" tegas Gibran."Kenapa, bukankah kita tak saling mencintai. Bukankah kamu sudah bilang, semua ini dilakukan hanya untuk mengembangkan perusahan dan memberi peruntungan bagi orang
Tentang cinta kitaSaat sedang duduk bersantai di kafe, mata Nandini tak sengaja menatap seseorang yang sudah ditunggunya dari tadi. Tiba-tiba perasaan sesak mendera dirinya saat tak sengaja menatap sosok lelaki yang pernah memberikan warna dalam kehidupannya.“Kamu terlihat lebih bahagia saat tidak bersama denganku,” kata Nandini dengan senyum yang samar. Dari jauh Ara melambaikan tangannya pada sosok sahabat yang selama ini sudah ditunggu olehnya.Nandini balas melambaikan tangannya pada Ara. Lalu, tak berapa lama Ara dan Reza sekarang berada di depan Nandini. “Hey, apa kabar?” tanya Ara langsung memeluk Nandini dengan penuh rasa rindu.“Aku baik, bagaimana denganmu, Ara?” tanya Nandini balik. Ia menatap Ara dari atas hingga bawah. Begitu takjub dengan penampilan Ara yang sekarang.“Kamu semakin cantik dengan penampilanmu yang sekarang.” Nandini memegang lengan Ara.“Ma Syaa Allah, alhamdulillah aku baik, Nan. Terima kasih atas pujiannya, aku langsung meleyot dengar pujian yang kamu
Ina menangis tersedu menatap wajah Yose yang memucat. Ia memegang tangan sang anak, berharap dapat menyalurkan energi hangat padanya."Kenapa semua ini bisa menimpamu, Nak. Astaghfirullah, perbuatan apa yang sudah kamu lakukan, sampai-sampai Allah SWT memberikan hukuman yang begitu berat untukmu," ujar Ina mencium punggung tangan Yose berkali-kali.Ia benar-benar terkejut mengetahui bahwa sang anak tidak akan bisa kembali seperti semula lagi. Bahkan bisa juga karena salah satu masalah ini Yose akan mengalami frustasi hingga membuatnya gila.Ina tidak tahu bagaimana pergaulan Yose selama di kota. Bahkan, Ina pun tak tahu bahwa Yose menjadi simpanan om-om besar dan juga orang ke tiga dalam rumah tangga orang lain.Di kampung, Ina tak pernah berhenti mendoakan yang terbaik untuk putrinya. Berdoa agar Allah SWT menjaga putrinya di mana pun ia berada.Namun sayang, seribu kali sayang. Ia harus menelan saliva pahit saat mengetahui bahwa kehidupan Yose jauh berbanding terbalik dengan apa yan
"Dek, are you ok?" tanya Eza saat melihat Ara yang daritadi hanya menundukkan kepalanya."Ara baik-baik aja, kok. Ya sudah, kalo gitu Ara mau istirahat di kamar saja, capek!" ucap Ara berniat segera berlalu pergi dari ruang tengah ini."Dek, sebentar duduk dulu. Ada yang ingin Abang bicarakan padamu," ucap Eza sambil menatap manik mata milik Ara.Ara lalu memilih untuk duduk kembali ke sofa dan menatap abangnya dengan raut wajah yang tak dapat diartikan."Kenapa, Bang?" tanya Ara sedikit penasaran."Bagaimana dengan rencanamu yang ingin pergi ke London, apakah jadi?" tanya Eza pada Ara yang terlihat bingung memikirkan sesuatu."Sepertinya enggak jadi, Bang. Lagipula Ara kan udah dapat kerjaan, Nandini yang merekomendasikan tempat kerja itu pada Ara. Jadi, mungkin sekarang akan fokus pada pekerjaan itu saja," ucap Ara setelah menimbang-nimbang untuk memutuskan."Baiklah. Apapun keputusanmu, Abang setuju saja. Selagi itu dalam hal baik dan positif, oh ya satu lagi. Kamu tidak perlu terl
"Jika kau masih tak bisa diberitahu, lebih baik kita pulang saja sekarang. Aku tidak ingin jika harus terlibat dalam permasalahanmu lagi. Jika kau masih ingin di sini, setidaknya jaga emosi dan ucapanmu di tempat orang lain!" tegas Anton sambil menatap sang anak dengan tatapan tajam."Maafkan, Jaka, Pa. Ya sudah kalo begitu Jaka ingin masuk ke dalam bersama Papa," ujarnya menunduk dan merapikan jasnya.Jantungnya berdetak kencang saat menginjak rumah Ara, karena ini adalah kali kedua ia menginjak rumah ini setelah sempat pernah adu selisih dengan Ara dan juga mantan mertuanya.Sedangkan Eza di belakang menatap Jaka dengan pandangan yang tak dapat diartikan. Ia takut Jaka akan melakukan hal konyol lagi yang bisa saja membahayakan nyawa mereka yang berada dalam rumah ini.**"Bagaimana kabar, Ayah?" tanya Jaka dengan perasaan gelisah. Karena sekarang ia merasa sedang diintimidasi. Bahkan tatapan-tatapan mereka yang berada di dalam sini serasa sedang mengulitinya."Baik," jawab Faisal si
"Ara."Panggilan dari sebuah suara membuat Ara berhenti bernapas beberapa detik. Helaan napasnya terdengar berat."Dia lagi," gumam Ara nyaris tak terdengar."Bagaimana kabarmu? Kulihat sekarang kau semakin berisi dan terlihat lebih bahagia," ujar Jaka tanpa memedulikan tatapan tajam yang dilontarkan Eza padanya. Sekarang ia hanya memfokuskan pandangannya pada Ara.Wanita yang hampir membuatnya gila dan penuh akan segala obsesi yang tak bisa dikendalikan."Mau apa kau ke sini?" tanya Eza dengan wajah datar. Tangannya mengepal erat, bahkan sekarang napasnya pun tak beraturan. Terlihat terengah-engah.Baru saja tadi ia merasakan suasana yang baik-baik saja, tenang, damai tanpa ada gangguan sedikit pun. Setelah kehadiran Jaka, semuanya berubah menjadi panas dan tegang."Ara," panggil Jaka lembut tanpa menjawab pertanyaan yang telah dilontarkan oleh Eza.Karena memang dari awal kedatangannya bukan untuk bertemu dengan Eza, melainkan melihat wanita yang dulu dan hingga saat ini masih memen
"Kau sadar tidak Jaka, caramu seperti ini hanya akan menyakiti dirimu sendiri. Aku sudah lelah mengikuti segala kemauanmu, padahal kau baru saja tahu bahwa mamamu sudah pergi meninggalkan kita untuk selamanya. Jika mamamu mendengar kabar berita ini, dia juga pasti akan sangat sedih melihatmu begitu berambisi.""Pa, aku tidak berambisi. Aku hanya ingin memperbaiki semuanya bersama Ara. Aku tau aku salah, aku bahkan tidak mengelaknya. Namun, apakah salah jika aku mencoba untuk berubah dan menata semuanya agar kembali menjadi rapi?" tanya Jaka pada sang Papa. Semangatnya ketika ingin bertemu dengan Ara tadi hilang begitu saja saat mendengar penuturan dari sang Papa."Hentikan semua ini, Jaka! Kau lupa, baru beberapa hari ini kau membuat masalah pada Ara. Kau menyalahkan segalanya atas kematian mamamu pada Ara. Padahal jelas, mamamu pergi karena semua terjadi atas kecerobohanmu. Karena keras kepalamu yang hanya menuruti ego semata, tanpa memikirkan sebab apa yang akan terjadi ke depannya.