"Kurang ajar! Awas saja kau Jaka! Tidak akan aku ampuni dirimu."Ayah berteriak lalu mengambil vas bunga dan melemparkannya.Untung saja vas bunga itu terbuat dari bahan plastik, jadi tak mudah pecah. Aku menatap Ayah dengan perasaan yang berkecamuk.Baru kali ini aku melihat ayahku semarah ini, biasanya jika sedang marah Ayah pasti bisa mengendalikan amarahnya.Kugenggam erat pakaianku, rasa takut menyeruak di dalam dada. Ibu memelukku lalu mengajakku untuk duduk di sofa.Ibu pergi ke dapur dan kembali membawakan segelas air putih untukku.Aku meminumnya hingga tandas, tenggorokanku rasanya kering sekali. Seperti sudah lama tak minum.Kutatap Nandini yang melamun memandang vas bunga di lantai. Aku memandangi Ibu, sepertinya Ibu mengerti lalu menarik tangan Nandini.Nampak raut terkejut darinya, aku segera mengajaknya duduk di sofa.Sedangkan Ayah, dada Ayah naik turun. Nafasnya tak beraturan.Ayah meremas rambutnya frustasi lalu duduk di sofa lainnya."Ayah ...," panggilku.Baru saja
"Panggil kedua orangtuamu untuk kesini," ucap Ayah dingin, lalu duduk menuju sofa.Mas Jaka menatapku sendu. Aku langsung memalingkan wajahku."Untuk apa orangtuaku dipanggil kesini?" tanya Mas Jaka. Ah, dia berlagak pura-pura tak tahu kesalahannya."Agar mereka tau apa yang kau lakukan pada putriku," ucap Ayah."Memang apa yang aku lakukan? Aku hanya mengajaknya pulang. Jangan ganggu rumah tangga kami!" teriak Mas Jaka lantang."Kamu! Pasti kamu kan yang sudah membuat Ara begini! Kamu memang wanita tak tau diri. Pantas saja tidak ada laki-laki yang menyukaimu!" teriak Mas Jaka sambil menunjuk Nandini.Plak!Aku berdiri menghampirinya dan langsung menampar wajahnya."Jangan hina sahabatku! Dia tak ada urusannya dengan kita. Kau yang salah, kau yang sudah membuatku seperti ini." Aku menekankan setiap kalimat yang keluar dari mulutku, entah kenapa tak ada lagi rasa kasihanku padanya."Kita pulang, Sayang," ucap Mas Jaka memegang lenganku. Namun segera kutepis, risih rasanya tanganku dip
Ting![Pulanglah malam ini, ada yang ingin kubicarakan! Jangan selalu beralasan lembur, aku juga perlu waktumu walah hanya semenit!]Satu pesan masuk ke gawaiku. Dan pengirimnya adalah istriku.Aku bingung tumben sekali dia mengirimkan pesan seperti ini, biasanya tidak pernah. Jika aku pulang malam, dia pasti selalu memaklumi. Kenapa sekarang dia memintaku agar pulang malam ini.Aku jadi khawatir, takut terjadi apa-apa dengannya."Mas, kenapa sih? Kok dari tadi natap gawai terus?" Suara Yose mengagetkanku.Segera kumasukkan gawai ke saku celana."Nggakpapa, ayo kembali ke kantor. Aku sudah membelikan kalung bahkan memasangkannya secara langsung padamu," ucapku padanya."Eits, tapi entar malam kamu ke tempatku lagi kan?" tanyanya manja."Tidak bisa, istriku meminta waktu untuknya malam ini," ucapku ketus."Istri? Istri terus, aku kapan dijadiin istri sama kamu. Anak dalam kandunganku juga butuh seorang ayah, jangan nunggu kandunganku besar dulu baru kamu mau bertanggung jawab," ucapnya
"Jika terjadi apa-apa dengan Mamaku, aku takkan memaafkanmu, Sayang." Mas Jaka berbisik ditelingaku.Aku bergidik ngeri, entah apa yang ia lakukan nanti. Yang terpenting sekarang adalah kesalamatan Mama.Sempat terjadi perdebatan saat ingin membawa Mama ke rumah sakit. Mas Jaka yang selalu ingin bersamaku, dia tak ingin dipisahkan. Ayah berusaha keras agar Mas Jaka tak satu mobil denganku, takut terjadi apa-apa.Jadilah kami memakai mobil masing-masing untuk menuju rumah sakit. Kami menuju rumah sakit terdekat.Setelah lima belas menit akhirnya kami sampai di rumah sakit. Karyawan di rumah sakit bergegas membantu untuk menyambut Mama.Mama di masukkan ke ruang VIP agar lebih mudah, dan tidak terlalu berisik.Kami yang berada dalam ruangan ini semua terlihat khawatir. Namun berbeda dengan Mas Jaka seperti ada sesuatu yang membuatnya senang.Entahlah, sepertinya Mas Jaka sudah mulai tak waras.Aku duduk di sofa ruangan ini, sambil memijit pelan kepalaku yang sakit. Nandini juga sekekali
"Siapkan saja mentalmu, saat kau kehilangan semua. Maka kau akan merasakan penyesalan yang mendalam," bisikku di telinga Mas Jaka dengan nada mengejek.Terdengar nafasnya yang memburu, mungkin dia sekarang sedang menahan amarah. Ah, aku takkan selemah dulu lagi, Mas. batinku."Jaga omonganmu Ara, aku tak pernah mengajarkanmu untuk melawanku!" teriaknya sambil menunjukku dengan dada naik turun."Aku akan berhenti bicara, jika duniaku benar-benar sudah tak ada," ucapku menantangnya."Jangan bicara tentang dunia Ara! Duniamu ada padaku. Bahkan surgamu juga padaku," ucapnya dengan melemah.Terlihat penyesalan di matanya. Tapi maaf, aku tak akan terbuai kembali."Buktikan saja pada mereka, bahwa cinta kita memang hanya sampai di sini.Andai kau tak berkhianat mungkin kita akan tetap bersama," ucapku dengan senyum termanis.Ada luka yang menganga di sana, di dalam hati. Aku hanya berusaha untuk menutupi agar tak terlihat lemah."Kita masih bisa memperbaiki semuanya Ara. Mas mencintaimu," uc
Tetaplah tersimpan sebagai kenangan, walau kita tak lagi ada sebagai sebuah harapan. batinku.****POV Nandini"Ara, Nandini, ayo bangun." Suara ketukan pintu di kamar membangunkanku.Aku lalu melirik ke sampingku, di mana ada Ara yang masih terlelap dalam mimpi indahnya.Kugoyang-goyangkan tubuhnya, tapi dia masih dalam tidurnya."Iya, Tan. Ini udah bangun kok," ucapku sambil mengucek-ngucek mata."Ya ampun anak gadis orang, jam segini baru bangun. Ayo buruan mandi, katanya mau pulang ke rumah Ara." Ibunya Ara berucap sambil mengacak rambutku.Aku tersenyum lebar menampakkan gigiku. Dan dibalas kekehan kecil oleh Ibu.Aku kembali menutup pintu dan masuk ke kamar mandi mengambil air segayung.Kembali lagi ke depan di mana Ara berada, lalu menyiramkan air sedikit demi sedikit ke wajah Ara.Ppph!"Aduh, hujan!" teriak Ara dengan sangat lantang.Aku tertawa terpingkal-pingkal melihat kelakuan bocah dari Ara.Ara lalu berhenti berteriak dan menatapku tajam. Sepertinya dia mulai sadar bahw
"Kau benar-benar tak punya muka Jaka! Sudah kuberi kau dua pilihan. Pilih keluarga ini atatu tinggalkan wanita itu."Ma jangan begini, kalo bisa diselesaikan dengan kepala dingin kenapa harus pakai pilihan segala." Mas Jaka terlihat begitu prihatin."Karena kau melempar kotoran ke wajah kami Jaka! Ke wajah orangtuamu, mengerti kau!" teriak Mamanya."Maafin Jaka, Ma. Tapi Jaka nggak bisa kalo harus memilih," ucapnya."Kenapa?!" teriak Mama begitu lantang."Karena Yose sedang mengandung benih dari Jaka Ma," lirih terdengar suara Mas Jaka di telinga."Apa?! Jadi kau sudah melakukan lebih!" bentak Mama kepadanya."Sudah Jaka bilang Jaka dijebak sama perempuan ini," jawab Mas Jaka sambil menunjuk ke arah Yose."Eh, enak aja! Tapi kamu nikmatin, kan," ucap Yose tak mau kalah."Kalo bukan kamu yang kegatelan, aku juga nggak bakalan mau sama kamu!" teriak Mas Jaka."Nggak bisa gitu, dong. Di sini kita berdua sama-sama pemerannya. Kamu nggak bisa nyalahin aku gitu aja, Mas." Yose berteriak ta
Aku memandang kepergian Mas Jaka dan Yose. Ada rasakasihan, ketika orangtuanya lebih membelamu daripada ia. Namun, ini semua juga balasanatas kelakuan Mas Jaka yang lupa diri.Berkali-kali ia mengatakan khilaf, berusaha mengelakbahwa dirinya tak bersalah. Tapi entah kenapa tak ada rasa percaya lagi padanya.Mama, terduduk di sofa sambil menangis tersedu-sedu.Aku menatapnya iba, bukan mereka yang melakukan kesalahan. Tapi malah mereka yangharus menanggung penderitaan.Malang!Anak yang selama ini dibanggakan malah membuat sesuatuyang sangat mengecewakan.“Mama yang sabar ya, Ma. Jangan menangis terus, Mamajuga harus menghawatirkan kesehatan Mama saat ini,” ucapku sambil.memegang tangannya.“Mama nggak nyangka aja, Ra. Bagaimana mungkin Jakabisa melakukan kesalahan begini,” ucap Mama yang masih terus menangis.“Mama harus ingat, bagaimanapun juga Mas Jaka adalahanak Mama. Anak kandung Mama, mungkin ini ujian yang diberikan Tuhan buat ngetessampai mana batas kesabaran Ara, Ma,” jawabku.
***"Ini anak kita, Ara," jawab Jaka yang berbicara sendiri dengan dinding rumah sakit jiwa.Setelah hampir 8 bulan lamanya, Jaka divonis memiliki kelainan. Dia sekarang seperti orang gila yang berbicara sendiri."Aku di samping, anak kita di tengah, kamu di samping aku. Hihi," ucap Jaka yang masih tertawa dan berbicara sendiri. Kadang Jaka juga seperti orang yang sedih, menangis, lalu marah."Apa tidak ada cara yang lebih praktis agar anak saya segera sembuh?" tanya Sang Papa yang merasa hampir putus apa melihat Putra satu-satunya sekarang berada di rumah sakit jiwa. "Untuk saat ini masih diusahakan, Pa. Kami masih membantu dia untuk sedikit demi sedikit menjadi lebih baik lagi, hanya saja Pak Jaka sekarang sulit sekali diajak berkomunikasi. Kadang jika wajtunya tidur, kami ada pemeriksaan Pak Jaka masih saja bermain-main dengan bayangannya seolah-olah itu adalah ia dan kekasihnya.""Sebenarnya kami merasa berat untuk menyampaikan ini, Pak. Sepertinya Pak Jaka ini depresi berat karen
Sesampainya di rumah setelah mengucapkan salam, Reza langsung berlalu pergi tanpa menghiraukan orang tuanya yang menatap penuh dengan keheranan karena tak biasanya putra mereka bersikap seperti itu.Pandangan mereka kini beralih pada Ara yang juga masuk ke dalam rumah terlihat sangat lesu, tak seceria saat berangkat tadi."Abangmu kenapa?" tanya sang Ibu saat Ara baru saja mendudukkan diri di sofa."Patah hati, Bu. Ditinggal nikah sama Nandini," ujar Ara pelan. Mereka berdua lalu terdiam dan saling menatap dalam."Sudahlah, biarkan dulu abangmu sendiri menenangkan dirinya. Mungkin dia hanya terkejut karena wanita idamannya sebentar lagi menjadi milik orang lain." Faisal mencoba memberikan ketenangan karena melihat raut wajah khawatir dari dua wanita yang sangat berarti dalam hidupnya."Ara takut Abang melakukan hal yang nekat," ujarnya sambil memainkan jari."Seperti apa?""Hah?""Maksudmu seperti apa hal nekat itu, Nak?" tanya Faisal lagi sambil menatap dalam sang putri."Bunuh diri
Sepanjang jalan Nandini hanya bisa menangis tanpa mengeluarkan suara. Air matanya hanya dibiarkan jatuh begitu saja membasahi pipi."Apa yang kau tangisi?" tanya Gibran dingin, tak suka melihat tingkah Nandini yang menurutnya begitu berlebihan."Cengeng!" ejeknya lagi. Nandini hanya diam tak menjawab sepatah kata pun dari Gibran yang menyebalkan."Percuma saja kau menangis, tak akan bisa mengubah segalanya. Seminggu lagi pernikahan kita, persiapkan dirimu untuk itu semua." Gibran berbicara tanpa menoleh sedikit pun pada Nandini."Bisa kita hentikan semuanya. Kamu dan aku tidak saling mencintai, bahkan kita memiliki pasangan masing-masing. Ayo kita sepakat untuk menolak perjodohan yang menyakitkan ini, Gibran," ucap Nandini memohon pada Gibran agar ia mengubah keputusan untuk menikah dengannya."Aku tidak mau!" tegas Gibran."Kenapa, bukankah kita tak saling mencintai. Bukankah kamu sudah bilang, semua ini dilakukan hanya untuk mengembangkan perusahan dan memberi peruntungan bagi orang
Tentang cinta kitaSaat sedang duduk bersantai di kafe, mata Nandini tak sengaja menatap seseorang yang sudah ditunggunya dari tadi. Tiba-tiba perasaan sesak mendera dirinya saat tak sengaja menatap sosok lelaki yang pernah memberikan warna dalam kehidupannya.“Kamu terlihat lebih bahagia saat tidak bersama denganku,” kata Nandini dengan senyum yang samar. Dari jauh Ara melambaikan tangannya pada sosok sahabat yang selama ini sudah ditunggu olehnya.Nandini balas melambaikan tangannya pada Ara. Lalu, tak berapa lama Ara dan Reza sekarang berada di depan Nandini. “Hey, apa kabar?” tanya Ara langsung memeluk Nandini dengan penuh rasa rindu.“Aku baik, bagaimana denganmu, Ara?” tanya Nandini balik. Ia menatap Ara dari atas hingga bawah. Begitu takjub dengan penampilan Ara yang sekarang.“Kamu semakin cantik dengan penampilanmu yang sekarang.” Nandini memegang lengan Ara.“Ma Syaa Allah, alhamdulillah aku baik, Nan. Terima kasih atas pujiannya, aku langsung meleyot dengar pujian yang kamu
Ina menangis tersedu menatap wajah Yose yang memucat. Ia memegang tangan sang anak, berharap dapat menyalurkan energi hangat padanya."Kenapa semua ini bisa menimpamu, Nak. Astaghfirullah, perbuatan apa yang sudah kamu lakukan, sampai-sampai Allah SWT memberikan hukuman yang begitu berat untukmu," ujar Ina mencium punggung tangan Yose berkali-kali.Ia benar-benar terkejut mengetahui bahwa sang anak tidak akan bisa kembali seperti semula lagi. Bahkan bisa juga karena salah satu masalah ini Yose akan mengalami frustasi hingga membuatnya gila.Ina tidak tahu bagaimana pergaulan Yose selama di kota. Bahkan, Ina pun tak tahu bahwa Yose menjadi simpanan om-om besar dan juga orang ke tiga dalam rumah tangga orang lain.Di kampung, Ina tak pernah berhenti mendoakan yang terbaik untuk putrinya. Berdoa agar Allah SWT menjaga putrinya di mana pun ia berada.Namun sayang, seribu kali sayang. Ia harus menelan saliva pahit saat mengetahui bahwa kehidupan Yose jauh berbanding terbalik dengan apa yan
"Dek, are you ok?" tanya Eza saat melihat Ara yang daritadi hanya menundukkan kepalanya."Ara baik-baik aja, kok. Ya sudah, kalo gitu Ara mau istirahat di kamar saja, capek!" ucap Ara berniat segera berlalu pergi dari ruang tengah ini."Dek, sebentar duduk dulu. Ada yang ingin Abang bicarakan padamu," ucap Eza sambil menatap manik mata milik Ara.Ara lalu memilih untuk duduk kembali ke sofa dan menatap abangnya dengan raut wajah yang tak dapat diartikan."Kenapa, Bang?" tanya Ara sedikit penasaran."Bagaimana dengan rencanamu yang ingin pergi ke London, apakah jadi?" tanya Eza pada Ara yang terlihat bingung memikirkan sesuatu."Sepertinya enggak jadi, Bang. Lagipula Ara kan udah dapat kerjaan, Nandini yang merekomendasikan tempat kerja itu pada Ara. Jadi, mungkin sekarang akan fokus pada pekerjaan itu saja," ucap Ara setelah menimbang-nimbang untuk memutuskan."Baiklah. Apapun keputusanmu, Abang setuju saja. Selagi itu dalam hal baik dan positif, oh ya satu lagi. Kamu tidak perlu terl
"Jika kau masih tak bisa diberitahu, lebih baik kita pulang saja sekarang. Aku tidak ingin jika harus terlibat dalam permasalahanmu lagi. Jika kau masih ingin di sini, setidaknya jaga emosi dan ucapanmu di tempat orang lain!" tegas Anton sambil menatap sang anak dengan tatapan tajam."Maafkan, Jaka, Pa. Ya sudah kalo begitu Jaka ingin masuk ke dalam bersama Papa," ujarnya menunduk dan merapikan jasnya.Jantungnya berdetak kencang saat menginjak rumah Ara, karena ini adalah kali kedua ia menginjak rumah ini setelah sempat pernah adu selisih dengan Ara dan juga mantan mertuanya.Sedangkan Eza di belakang menatap Jaka dengan pandangan yang tak dapat diartikan. Ia takut Jaka akan melakukan hal konyol lagi yang bisa saja membahayakan nyawa mereka yang berada dalam rumah ini.**"Bagaimana kabar, Ayah?" tanya Jaka dengan perasaan gelisah. Karena sekarang ia merasa sedang diintimidasi. Bahkan tatapan-tatapan mereka yang berada di dalam sini serasa sedang mengulitinya."Baik," jawab Faisal si
"Ara."Panggilan dari sebuah suara membuat Ara berhenti bernapas beberapa detik. Helaan napasnya terdengar berat."Dia lagi," gumam Ara nyaris tak terdengar."Bagaimana kabarmu? Kulihat sekarang kau semakin berisi dan terlihat lebih bahagia," ujar Jaka tanpa memedulikan tatapan tajam yang dilontarkan Eza padanya. Sekarang ia hanya memfokuskan pandangannya pada Ara.Wanita yang hampir membuatnya gila dan penuh akan segala obsesi yang tak bisa dikendalikan."Mau apa kau ke sini?" tanya Eza dengan wajah datar. Tangannya mengepal erat, bahkan sekarang napasnya pun tak beraturan. Terlihat terengah-engah.Baru saja tadi ia merasakan suasana yang baik-baik saja, tenang, damai tanpa ada gangguan sedikit pun. Setelah kehadiran Jaka, semuanya berubah menjadi panas dan tegang."Ara," panggil Jaka lembut tanpa menjawab pertanyaan yang telah dilontarkan oleh Eza.Karena memang dari awal kedatangannya bukan untuk bertemu dengan Eza, melainkan melihat wanita yang dulu dan hingga saat ini masih memen
"Kau sadar tidak Jaka, caramu seperti ini hanya akan menyakiti dirimu sendiri. Aku sudah lelah mengikuti segala kemauanmu, padahal kau baru saja tahu bahwa mamamu sudah pergi meninggalkan kita untuk selamanya. Jika mamamu mendengar kabar berita ini, dia juga pasti akan sangat sedih melihatmu begitu berambisi.""Pa, aku tidak berambisi. Aku hanya ingin memperbaiki semuanya bersama Ara. Aku tau aku salah, aku bahkan tidak mengelaknya. Namun, apakah salah jika aku mencoba untuk berubah dan menata semuanya agar kembali menjadi rapi?" tanya Jaka pada sang Papa. Semangatnya ketika ingin bertemu dengan Ara tadi hilang begitu saja saat mendengar penuturan dari sang Papa."Hentikan semua ini, Jaka! Kau lupa, baru beberapa hari ini kau membuat masalah pada Ara. Kau menyalahkan segalanya atas kematian mamamu pada Ara. Padahal jelas, mamamu pergi karena semua terjadi atas kecerobohanmu. Karena keras kepalamu yang hanya menuruti ego semata, tanpa memikirkan sebab apa yang akan terjadi ke depannya.